Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ummat dipaksa membuat perbedaan.

Posted by agorsiloku pada Oktober 31, 2006

Entah mengapa, perbedaan satu syawal di Indonesia ini, setelah untuk kesekian kalinya sejak aku kecil dulu sampai sekarang kerap terjadi. Tapi, baru tahun ini saya merasakan ketidakpuasan yang SANGAT dari perbedaan ini. Terlalu banyak sisiran kata yang menempatkan ummat harus mengerti akan perbedaan ini. Diberikanlah pelapis berupa : Perbedaan itu rahmat, toleransi dan saling mengerti. SATU SYAWAL 1428 atau Tahun 2007 nanti, boleh jadi kesombongan yang dilantunkan dengan ragam alasan oleh para petinggi agama untuk membuat perbedaan terjadi lagi. Rasanya sudah hampir dalam kurun waktu 40 tahun saya merasakan ketiadagunaan membuat perbedaan ini. Namun, yang mengesalkan adalah :

  1. Terenggutnya kebersamaan dalam keluarga ketika takbir dan sholat Ied menjadi ritual yang tidak membangun kebersamaan dalam lingkup keluarga kecil kami.
  1. Adanya kecenderungan saling membenarkan dengan dibungkus toleransi semu (catatan sebelumnya : Perbedaan satu syawal : Rahmatkah?).
  2. Ada permintaan kepada ummat untuk mengerti perbedaan ini dan melakukan toleransi. Lho?, Ini benar-benar lucu dan ngaco. Kok ummat yang disuruh mengerti, bukannya para petinggi agama dan petinggi yang menetapkan 1 syawal itu yang mestinya mengerti apa yang diinginkan ummat, dibutuhkan ummat. Kok kita ini malah dimudaratkan begitu. Di sia-siakan oleh keangkuhan keyakinan dan perbedaan.
  3. Makin tahun, aku merasa perbedaan ini adalah kesia-siaan.

Berikut ini ada tulisan yang layak juga saya kutipkan, dan kebetulan baru saya baca dari satu milis yang mengutip :

Resonansi Harian Republika tanggal 09 Oktober 2006
Kampanyekan ”Bersama Berlebaran Bersama ”

Mari kita dukung Kampanye BERSAMA BERLEBARAN BERSAMA tahun ini dan
seterusnya.

Sehabis shalat Tarawih kemarin malam saya dihentikan oleh Fadli di serambi masjid. Saya diajak duduk bersila bersama Uun dan Kang Ngalwi. Rupanya mereka sudah mulai terlibat dalam suatu pembicaraan dan saya diminta bergabung.

”Kang Ngalwi punya pertanyaan dan kita diminta menjawabnya,” kata Fadli setelah saya duduk. ”Katanya, kita ini hidup sekampung, seagama, sekitab suci, senabi; tapi nanti kita akan berlebaran pada hari yang berbeda. Di kampung ini sebagian akan berlebaran hari Senin, sebagian lagi hari Selasa.
Kenapa? Apakah ini nalar? Apakah ini patut?”

Saya tersenyum dan merasa naif. Tapi nanti dulu. Sekilas pertanyaan itu memang terasa tidak bermutu, bahkan bodoh. Apalagi bagi mereka yang merasa pakar di bidang agama. Oleh para alim, pertanyaan Kang Ngalwi pasti akan digilas dengan jawaban: ”Sudahlah, pokoknya kita hormati keyakinan masing-masing. Tahun ini, yang mau Lebaran hari Senin maupun Selasa, semua baik-baik saja karena keduanya berpegang dengan keyakinan masing-masing, dan keduanya punya dalil segudang untuk membenarkan keputusan yang mereka ambil.”

Itulah kearifan tertinggi yang selama ini bisa dicapai oleh umat Islam. Namun sebenarnya kearifan tertinggi itu masih menyisakan perasaan tidak nyaman dalam kenyataan hidup sehari-hari, terutama di lapisan bawah.

Jadi pertanyaan Kang Ngalwi itu tidak mengada-ada, bahkan mungkin mewakili perasaan umum masyarakat awam.

Jelasya, masyarakat awam merasa tidak nyaman bila ada Lebaran yang berbeda hari.

Ya, bagaimana bisa nyaman (terasa konyol) ketika masjid di sebelah sudah bertakbir dan masjid kita masih melakukan shalat Tarawih.

Bagaimana silaturahmi tidak menjadi janggal ketika kita sudah menyantap gulai kambing, berpakaian bagus, bergembira ria karena hari Lebaran sudah tiba tetapi tetangga masih berpuasa.

Bagaimana hati tidak terasa buntu ketika salaman kita belum bisa diterima oleh teman yang Lebarannya baru besok hari.

”Lho, sampeyan ini diminta bergabung dengan harapan mau menjawab pertanyaan Kang Ngalwi. Kok malah merenung,” Fadli mengingatkan saya.

”Wah, jawaban saya pasti sudah kalian ketahui karena kita sama-sama sering mendengar ceramah yang menyinggung masalah perbedaan hari Lebaran,” jawab saya.
”Baik. Kalau begitu saya ingin tanya. Kalau boleh memilih, sampeyan lebih suka Lebaran bareng atau Lebaran sendiri-sendiri?” kejar Fadli.

”Saya lebih suka Lebaran bareng.”
”Kenapa?”
”Rasanya, itu lebih patut, lebih enak. Bahkan andaikata Kanjeng Nabi masih ada di tengah kita, saya yakin beliau tidak berkenan dengan Lebaran yang tidak kompak ini.”

”Ya, betul. Jadi kenapa para alim yang memimpin umat tidak bisa kompak dalam menentukan hari Lebaran?”

Terus terang saya malas menjawab pertanyaan ini sebab khawatir akan ditertawakan oleh para alim. Maka saya senang ketika Uun mengambil alih dan mencoba menjawab pertanyaan Fadli.

”Begini, Fad,” kata Uun. ”Perbedaan keyakinan di antara para pemimpin memang punya dasar berupa dalil-dalil. Yang jadi masalah, saya kira, adalah sikap memutlakkan keyakinan masing-masing.”

”Memutlakkan bagaimana?”
”Memutlakkan, ya tidak bisa ditawar meski sikap itu melanggar ruh Islam yang amat menjunjung tinggi kebersamaan. Dan membuat umat di bawah menjadi tidak nyaman.”
”Tapi Kanjeng Nabi pernah bersabda, perbedaan di antara umat Islam adalah rahmat.”
”Ah, kamu sendiri tahu, penerapan sabda itu tidak boleh sembarangan. Dan saya sangat yakin Kanjeng Nabi merasa sedih dengan perbedaan hari Lebaran ini.”
”Kalau begitu kamu punya gasasan apa?”

”Demi kemuliaan Kanjeng Nabi maka saya sampaikan gagasan ini. Tapi, Fad, kamu jangan kaget: Mari kita putuskan jatuhnya hari Lebaran melalui keputusan politik. Ada beberapa opsi yang ingin saya tawarkan, tapi saya kemukakan satu saja yang paling sederhana.”
”Lebaran dengan keputusan politik?” tanya Fadli dengan mata melebar. Terus terang saya dan yang lain juga terkejut.

”Nah, betul kan, kalian kaget? Sebab kalian lupa Umar bin Khatab RA pernah mengambil keputusan politik untuk mengatur suatu ritus ibadah, dalam hal ini adalah shalat Tarawih. Bukankan shalat Tarawih berjamaah dan dilakukan sebulan penuh merupakan pengaturan Umar bin Khatab? Apakah itu bukan keputusan politik setelah Umar bin Khatab melihat umat Islam waktu itu melaksanakan shalat Tarawih sendiri-sendiri sehingga di mata beliau kurang enak dipandang?”

Kecuali Uun yang tertawa-tawa, selainnya jadi memasang wajah serius karena merasa tersodok oleh pemikiran anak yang tidak lulus STAIN itu. Dan, masih dengan tertawa-tawa, Uun melanjutkan omongannya.

”Bagaimana kalau umat Islam Indonesia dalam menentukan hari Lebaran kompak saja makmum ke Makkah? Maka kita akan melaksanakan shalat Id bareng pada hari yang sama dengan orang Makkah, hanya pelaksanaannya kita lebih cepat empat jam. Jadi tak usah lagi ada orang yang mengaku paling jago dalam ilmu hisab, atau paling jago dalam mengintip hilal. Dan yang penting kita jadi lebih patut karena sebagai umat yang mengaku paling baik, bisa berlebaran bareng.”

Uun mengakhiri omongannya dengan tertawa. Kami tak bisa berkomentar. Dan Kang Ngalwi amat-sangat setuju. Tapi entah para alim karena Uun, itu tadi, STAIN saja tidak tamat.

Redaksi Mualaf Center Online : Kami mengajak anda berkampanye Bersama BerLebaran Bersama dengan mengirimkan topik ini ke Sepuluh Rekan Anda dengan email, dengan harapan semoga Iedul Fitri tahun 1427 H ini tidak ada perbedaan harinya. Jika dapat cc kan juga ke DPP Muhammadiyah dan DPP NU.

Tahun ini Alim Ulama NU ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama Muhammadiyah dalam penentuan Iedul Fitri 1 Syawal, bergantian di tahun depan Alim Ulama Muhammadiyah ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama NU dalam penentuan Iedul
Fitri 1 Syawal, karena toh dua-duanya mengklaim benar dalam penentuan 1
Syawal. Jika terjadi Hmmmm Indahnya Kebersamaan kata Aa Gym.

Resonansi Harian Republika tanggal 09 Oktober 2006

4 Tanggapan to “Ummat dipaksa membuat perbedaan.”

  1. fadila said

    Redaksi Mualaf Center Online : Kami mengajak anda berkampanye Bersama BerLebaran Bersama dengan mengirimkan topik ini ke Sepuluh Rekan Anda dengan email, dengan harapan semoga Iedul Fitri tahun 1427 H ini tidak ada perbedaan harinya. Jika dapat cc kan juga ke DPP Muhammadiyah dan DPP NU.

    Tahun ini Alim Ulama NU ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama Muhammadiyah dalam penentuan Iedul Fitri 1 Syawal, bergantian di tahun depan Alim Ulama Muhammadiyah ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama NU dalam penentuan Iedul
    Fitri 1 Syawal, karena toh dua-duanya mengklaim benar dalam penentuan 1
    Syawal. Jika terjadi Hmmmm Indahnya Kebersamaan kata Aa Gym.

    Kalau memang ini solusi yang terbaik rasanya tidak salah tahun depan dimulai. Jadi marilah kita bersama sama dukung kampanye kebersamaan ini demi persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia. Alhamdulillah, di US 1 syawal 1427H ( 06 ) jatuhnya pada Oct. 23, 06 . Hampir semua muslims di states melaksanakan lebaaran bersama.

    Suka

  2. […] subuh jadi sedikit ramai, terutama mengenai lebaran bersama.  Karena kita haruslah mengerti, perbedaan itu rahmat, karena semua ijtihad berpahala apapun isi telaah kritis satu Syawal. Lalu kita akan berlebaran […]

    Suka

  3. sofwani said

    Assalamualaikum Wr.Wb.
    Fikiran saya sama para ulama yang membuat perpecahan umat.sehingga urusan yang seharusnya tidak berpecah sehingga berpecah. jalan keluarnya adalah ” Bubarkan organisasi yang membuat perpecahan umat sehingga umat tidak bingung”
    Pemimpin kan berfungsi menyatukan bukan memisahkan
    instrofeksilah bagi anda yang merasa memimpin umat.
    Salam
    Sofwani

    @
    Wass.w.w.
    Perpecahan ?… ah massa… Bukankah organisasi-organisasi itu juga yang ikut membangun bangsa ini. Berapa sekolah dan ponpes telah dibangun warga NU, warga Muhammadiyah dan berbagai organisasi Islam lainnya.
    Yang membuat perbedaan bisa jadi internal atau eksternal. Sepanjang persoalannya sebenarnya simpel-simpel saja, memang seharusnya selalu dibuat dalam konteks kemashalatan bersama.
    Allah tentu maha Pengasih dan maha Penyayang, tentu tidak karena perbedaan telunjuk digerakkan atau tidak terus Allah menghukum siapa yang berselisih pemahaman/pengertian.
    Jangan juga seeh karena perbedaan itu rahmat, lalu senang berkata :”monggo ini demokrasi”, seolah mengesahkan perbedaan demi keakuan masing-masing. Tentu semua ada pada konteksnya. Namun, memang yang terbaik, saya kira melihat perbedaan itu sebagai rahmat.
    Memang berat tanggungan “pemimpin ummat”, “pewaris nabi”. Perpecahan bagaimanapun membuat sisi kehidupan berkeluarga besar dan kecil menjadi tidak nyaman. Namun, boleh jadi ada juga yang merasa senang dan nyaman (dan mendapatkan keuntungan) dari perbedaan yang dibentuk dan dipelihara… Terlebih di ranah konflik politik dan kepentingan. 😦
    Salam kembali, agor.

    Suka

  4. […] Padahal teknologi dan pengetahuan untuk posisi hilal sudah jauh lebih maju dari pada masa lampau.  Perbedaan itu rahmat.  Bukankah perbedaan ini sudah berlangsung berabad-abad yang lalu, atau kalau di Indonesia yang […]

    Suka

Tinggalkan komentar