Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Nikmatnya Hidup Dalam Prasangkaan !

Posted by agorsiloku pada Februari 15, 2009

Dikirim pada tanggal 2009/02/11 pukul 19:48

Sebelum saya membuka blog ini saya berasumsi seperti asumsi saya di atas tapi saya menulis komentar setelah saya membaca isi yg tersirat dari blog itu bukan yg tersurat saja. Memang benar dugaan saya bahwa pemilik blog ini mengaku sbg ahlu sunah tapi sebenarnya adalah salafi (wahabi) yg juga sering ngaku sebagai ahlu sunah. Ahlu sunah sejati tidak berkeyakinan bahwa tuhan berada di suatu tempat atau di langit misalnya. Maha suci Allah dari sifat yg di yakini kaum salafi ini. Saya telah membaca karangan Harun Yahya ini, beliau sangat gigih memperjuangkan keyakinan islam yg tinggi ini, dan telah membuat geger para kaum kafir dan ateis di seluruh dunia. Bagi saya Harun Yahya adalah pejuang Islam di zaman modern ini. Beliau telah berjasa. Tapi bagi kaum wahabi dari dahulu sampai sekarang jarang menghargai para pakar-pakar islam yg telah banyak berperan dlm bidang ilmu pengetahuan dan para pemimpin Islam lainnya. Sebut saja mulai dari Ibnu Sina, Alqindi, alkhawarizmi mereka itu telah dianggap kaum yg merobah agama dg akalnya. Para wali songo saja mereka anggap sebagai org yg menyebarkan ajaran takhyul, syirik dan bid’ah. Padahal mereka telah banyak berjasa mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.

@
Catatan yang menarik, juga cara pandangnya. Di blog ini, kalau dicari dengan kata Harun Yahya, beberapa tulisan bercerita tentang karya beliau. Tulisan yang diungkapkan pada postingan ini, penulis aslinya menjelaskan bahwa Beliau sangat menghormat Harun Yahya dan tidak mencap ahlul bid’ah apalagi bahlul. Namun, memberikan cara pandang terhadap pola berpikir dan kesimpulan yang ditarik. Terlepas dari yang menyampaikan itu benar atau salah, namun menyampaikan sebuah dialektika berpikir dalam sebuah arena publik untuk bersama melihat kebenaran atau ketidakbenaran.

Tulisan Abu Hudzaifah al-Atsari menunjukkan hal ini. Kematangan berpikir dan logika. Saya belajar dari tulisan Beliau, seperti juga saya betapa sulitnya memahami konsepsi yang dicetuskan Ibn Arabi.

Pada bagian tertentu dari persoalan, siapapun bisa gamang terhadap apa yang dipelajari, dipahami, dan diyakini. Hari ini bisa saja pemahaman seperti H, lain kali seperti I. Itu adalah dinamika berpikir. Siapapun mengalaminya. Karena itu mencap sebagai K atau A, menurut hemat saya lebih baik dihindari.

Kita memang kerap membutuhkan memahami latar belakang seseorang untuk memahami realitas berpikirnya. Tapi itu tidak berarti karenanya kita menjustifikasi bahwa karena mereka berjasa, maka luput dari kesalahan atau kekeliruan. Sebaliknya juga, yang mengoreksi juga, belum tentu telah dicukupkan ilmunya untuk mengoreksi. Namun, dari keduanya ada komunikasi intens sehingga kita bisa ‘menilai’ dan ‘merasa’ mana yang lebih tepat. Cara pandang yang berbeda itu bukannya untuk menghancurkan, tapi untuk saling memahami. Bukan harus dipahami dan diakui.

Jadi, sangat jelas bahwa agor tidak pernah mengaku di blog ini sebagai ahlu sunnah. Kalau saya menyukai tulisan Quraish Shihab, mengutip tulisan Jalaludin Rahmat, apa terus berarti … atau menuliskan hadis yang diterima oleh…. maka saya …… atau saya mengutip pemikiran Rashid Khalifa, maka saya menerima pandangan almarhum Beliau sebagai bla…bla…bla…

Menurut agor, alangkah repotnya bangsa ini mengurusi latar belakang sebagai alat untuk menjustifikasi. Blog ini sama sekali bukan apapun… blog ini tempat belajar, tidak bermazhab, tidak bergolongan. Kalaupun ada, saya berharap masuk golongan muslim saja dan diterima amal ibadah, diampuni dari segala salah oleh yang bersangkutan dan oleh Sang pencipta.
Kalau di akhirat nanti, dibangkitkan dan setiap manusia akan mencari golongan-golongannya masing-masing, maka satu harapan adalah panji yang dibawa Rasul S.A.W. itu saja. Tidak mencari pemimpin golongan-golongan yang seabreg itu. Tidak punya kartu anggota lain dan punya satu tuntunan saja : Al Qur’an.

Ini idealnya… betapa tipisnya memiliki, namun berusaha tidak berputus asa.

Oh ya, saya perlu menegasi ini karena sebagai sebuah pribadi yang ingin menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja dan menulis biasa-biasa saja juga selalu ada keinginan untuk dihargai kenetralan ini dan tidak diberati oleh pencapan oleh saudara-saudaraku dalam satu panji : Islam.
Wassalam.


5 Tanggapan to “Nikmatnya Hidup Dalam Prasangkaan !”

  1. Namanya juga manusia bisa salah bisa benar, selagi yang namanya manusia hanya dapat mengemukakan pikiran dan pendapat, benar atau tidak,mungkin dapat teruji belakangan. Harun Yahya dapat salah, contohnya Pendapat Harun Yahya mengenai dibalik Materi. Apa pendapat Agor? Kok kayaknya dibalik Materi seperti pendapat Aristoteles dalam menanggapi dunia sebagai tidak nyata! bayang-bayang semu! Kalau dunia semu atau palsu, amal ibadah di dunia jadi semu juga dong. Kalau dunia semu, Akhirat jadi semu juga, karena amal ibadah dan keimanan adalah semu. WAH!!!

    @
    Dunia ini penuh senda gurau, semu, hanyalah main-main belaka difirmankan Allah SWT kepada manusia dalam konteks perbandingan dengan akhirat. Dengan kata lain, konsepsi ini berada dalam satu konsepsi menyeluruh tentang kehidupan berawal dan kehidupan berakhir. Perjalanan manusia di dunia adala perjalanan transisi untuk sampai ke kampung akhirat yang lebih kekal. Banyak cara pandang mengenai kesemuan ini tergantung dari sisi mana kita akan melihat dan mengamatinya.

    Pandangan Harun Yahya mengenai di balik materi dan persepsi banyak dikaitkan pengamat lain ke cara berpikir Ibn Arabi (Wahdatul Wujud). Bisa ya bisa tidak, sisi-sisi pandang dan keluasan persoalan dan memaknainya, agor kira bagian penting dari persoalan ini. Kita tidak bisa membangun konklusi dalam satu arena yang begitu luas dan dalam hanya dari satu model berpikir.

    Agor sendiri, yang baru bisa dipahami, ada persamaan pola berpikir antara pandangan apa dibalik materi, pendekatan kuantum tentang materi, wahdatul wujud, atau pemikiran pillgram tentang sifat-sifat holografis alam semesta. Bagian-bagian tertentu model pengamatan dan berpikir ini juga sangat erat kaitannya dengan pola logika akal para sufi dalam melihat isi dunia. Tergambarkan juga dalam Injil atau falsafah Tao.

    Aristoteles memandang dunia ada dalam fakta dan nyata, sedangkan Plato berpikir dan konsepsi dunia ide dan dunia realistis. Aristoteles lebih mengarah pada faktor fisis dan indera serta logika, sedangkan Plato mengkonsepsikan dunia ide ke arah dunia nyata. Plato menilai dunia ide adalah dunia yang sebenarnya.

    Kalau kita merujuk pada penciptaan, pada kuantum fisis, maka penciptaan adalah kejadian terus menerus dari ketiadaan menjadi ke-beradaan- ada yang belum bisa dijelaskan dengan baik, bagaimana ketiadaan menjadi ada. Dari energi manakah datangnya (dari masa depankah?), sehingga kejadian yang disebut di depan adalah ‘pengembalian energi yang dipinjam’.

    Di balik persepsi Materi.
    Kesemuan kejadian digambarkan cukup menarik oleh HY. Beliau menjelaskan bahwa otak berpikir kita menangkap persepsi. Otak itu sendiri ada di dalam sebongkah benda di dalam kepala dimana sinyal-sinyal bio-digital ditangkap sistem syaraf dan tergambar dalam otak kita. Burung yang ada di luar yang dilihat oleh mata, kemudian dipindahkan wujud fisiknya ke dalam otak kita melalui sinyal-sinyal untuk sampai ke dalam tubuh kita. Di ruang gelap itulah wujud gambaran yang dilihat itu tampak. Otak kita menghasilkan visualisasi. Pendekatan logis dan berpikir ini yang menyatakan bahwa memang yang ada dalam pikiran kita itu adalah semu.
    Sesungguhnya, kita juga tidak tahu sebenarnya kita ada dimana. Kita hanya tahu apa yang dipersepsikan oleh otak kita untuk kita pahami. Ini yang dijelaskan cukup manis oleh Harun Yahya. Bukan hal yang baru, karena ini juga telah banyak diungkapkan oleh pemikir lainnya.

    Dunia ide, pembentukan ciptaan, prasangkaan, pembentukan logis dari kejadian berpikir memang semakin mengarahkan pada model : memang sesungguhnya dari ketiadaan menjadi ada dan akan kembali pula pada ketiadaan. Jadi, di sini letak ke-semu-nya.

    Kalau Dunia Semu, lalu akhirat juga semu?.
    Tidak, Allah Maha Berkuasa menegasi bahwa Kampung Akhiratlah yang sebenar-benarnya kehidupan.

    Selebihnya, wallahu’alam.
    Wassalam. Mas Sobir di semangatislam

    Suka

  2. haniifa said

    @Mas Sobirin Nur
    Namanya juga manusia bisa salah bisa benar
    ___________
    Kalau bigitu Sultan Raden Mas @Haniifa bisa Benar dan Mas @Sobirin bisa Salah… 😀

    Suka

  3. Ya manusia bisa salah, kebenaran dapat dibuktikan dengan penelitian dan hanya tuhanlah yang maha benar!

    Suka

  4. haniifa said

    Ya Kang Mas @Haniifa bisa benar betul, kebenarnya dapat dibuktikeun dengan penelitian yang sudah ada atau sedeung dilakukeun-nya, dan hanya tuhanlah Allah yang maha benar!.

    Suka

  5. Abudaniel said

    Assalamu’alaikum,
    Manusia bisa salah bisa juga benar.
    Karena manusia, secara umum bukanlah maksum, kecuali para Nabi/Rasul.
    Walaupun mereka, kadang-kadang melakukan “kesalahan”, tapi kesalahan tersebut bukanlah menyangkut prinsip agama, dan juga langsung dibetulkan dan ditegur oleh yang Maha Benar. Contohnya, Nabi SAW didalam surat ‘Abasa (AQ 80:1-3), atau surt Attahrim (AQ 6:1).
    Begitu juga para Imam Besar/Imam Mujtahid, seperti Imam As-Syafi’i pernah mengatakan : “Pendapatku (menurutku) benar, tetapi ada kemungkinan salah, pendapat mereka (menurutku)salah tetapi ada mungkin benar”.
    Benar dan salah dalam hal pendapat/pemahaman dalam masalah agama (Islam), tidak tergantung dari golong mana yang berpendapat, Wahabi, Salafi, Syi’ah,bahkan Mu’tazilah sekalipun, sejauh pendapat dan pemahamannya didasarkan kepada AQ dan Hadits yang shahih dan dilengkapi dengan ‘ilmu tentang agama (Islam) yang cukup,boleh-boleh saja. Salah dan benar adalah didasarkan dari sudut pandang masing-masing, tergantung pada kapasitas dan penguasaan dan kedalaman ilmuannya.
    Menyalahkan pendapat orang lain harus dengan mematahkan dalil yang mereka ajukan. Bukan hanya berdasarkan sentimen golongan atau berdasarkan prasangka dan sikap apriori.

    Wassalam,
    @
    Wassalamualaikum ww Mas Abu.
    Memang betul Mas Abu, prasangkaan kerap disebutkan sebagai bagian yang menjadi tantangan orang beriman… banyak kejadian antara kebenaran dan pembenaran… lalu pembenaran menjadi kebenaran bermula dari prasangkaan.

    Wass, agor.

    Suka

Tinggalkan komentar