Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains – 3

Posted by agorsiloku pada Februari 18, 2007

Akhir Alam Semesta

Surat Al-Qiyamah bercerita pada kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Pada ayat 8 dan 9, mengindikasikan bahwa langit dan bumi kembali menjadi satu, seperti halnya ide dasar teori Big Crunch.

Sementara itu, di surat At-Takwir ayat 1, 2, 6, 11, dan 12 bercerita tentang matahari membengkak sampai menjadi merah dengan temperatur yang luar biasa panasnya. Saking panasnya sehingga semua air yang ada di bumi menggelegak dan menguap. Inilah salah satu proses evolusi bintang, dan matahari kita adalah seperti bintang biasa yang pasti akan mengalami proses mati. Ayat 11 juga menegaskan pelenyapan langit, seperti proses akhir alam semesta pada teori Big Crunch.

Hal yang sama juga disebutkan pada Surat Al Anbiyaa ayat 104: “Pada hari Kami (itu) Kami gulung langit sebagai mengguling lembaran lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulangnya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.”

Alam semesta kita memang masih lama untuk berakhir, karena masih mengembang. Tapi, bumi dan tata surya kita bisa saja lebih hancur jauh lebih dahulu daripada Alam Semesta. Nah…. Nah… Nah…

——————
Kesimpulan

Kita kembali ke tujuan awal artikel ini: menjawab 4 pertanyaan esensi alam semesta dari kaca mata Kosmologi Islam.

1. Berapa besar alam semesta?
Alam semesta adalah wilayah yang subhanallah besarnya dan sedang mengembang. Mengembang ini akan berhenti pada satu masa seperti model closed-universe yang cendrung didekati Kosmologi Islam.
2. Dibuat dari apa?
Disebutkan bahwa Hidrogen menjadi materi utama pembuatan struktur alam semesta.
3. Bagaimana permulaannya?
Alam semesta berasal dari satu sumber, dan kemudian Allah mengembangkannya. Ini sangat dekat dengan teori Big Bang.
4. Bagaimana akhirnya?
Akan ada akhir bagi alam semesta. Sebagaimana permulaan yang berasal dari satu titik, maka akan diakhiri dengan kembalinya alam semesta menjadi titik. Hal ini juga digambarkan dalam model closed-universe. Cuma kemungkinan kita ga sempat menikmati detik-detik terakhir umur alam semesta karena kemungkinan besar tata surya kita lebih dahulu menemui kiamatnya.

Mudah-mudahan artikel ini membawa wacana baru bagi para pembaca, dan bisa memperlihatkan betapa harmonisnya hubungan antara teologi dan sains. Dan sesungguhnya lah sains membantu kita memahami agama (walau tidak semua yang pasti).

——————
Referensi
1. Al Quran
2. T. Djamaludin (Researcher of Sun and the Universe, LAPAN Bandung Indonesia), Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al-Quran, 2000
3. F. Rusydi, Early Cosmology Report, February 2004
4. Olaf Pedersen, Early Physics and Astronomy – A Historical Introduction, Cambridge University Press, the revised edition 1993 (ISBN: 0-521-40899-7)
5. Scott Dodelson, Modern Cosmology, Acdemic Press, 2003 (ISBN: 0-12-219141-2)

Ditulis oleh Buyung | September 13, 2004 10:52 am

Komentar-komentar

Uenak tenan mbacanya. Mbaca tulisanmu ini, diiringi Bimbo yang sedang melantumkan ‘Balada sekeping taman surga’, terasa makin nikmat. Pasti kuliah umumnya lebih nikmat lagi. Jadi menyesal tidak ikut hadir. Ntar di rumahku saja ya, biar anak2 bisa ikutan. Terimakasih Buyung…

Bakat nulismu suatu saat musti menghasilkan sebuah prasasti bagi umat. Bisa dalam bentuk buku2.. yang akan berumur lebih panjang dari penulisnya.

# Dikirim oleh: Ismail | September 13, 2004 07:40 pm

Assalamu’alaikum wr.wb.

Benar Yung, tidak lama lagi kamu bisa ngasih kuliah tamu seperti yang diungkapkan dalam pesanmu itu, pesan-pesan “kuniyah” nya terpatri dengan kuat… Saya daftar ikut sebagai peserta “kuliah tamu” yang telah digagas dan sudah berjalan ini ya..Kemaren sempat di kasih tahu Mas Amal, namun saya nggak tanya detailnya…

Wassalam

# Dikirim oleh: fahmi | September 14, 2004 12:08 pm

Yung.. malah nambah pertanyaannya.. nanti deh gue tanyain dipertemuan berikutnya.. terutama mengenai string theory dan gravitasi.. hehe..

# Dikirim oleh: Indra | September 14, 2004 12:24 pm

Buyung…..terus terang.. menarik…

tapi…gue termasuk yang kontra dengan kosmologi islam nya….

sorry, bukan apa apa… menurut gue,walopun buyung mengklaim tidak mencocok-cocok kan, tapi tetap kesan/upaya mencocok-cocokkan fakta kosmologi dengan al-qur’an sangatlah jelas kentara dalam tulisan ini…terutama saat membahas big bang dan big crunch.. seolah olah buyung ingin berkata: “bener lohh qur-an, semesta itu berasal dan akan berakhir kembali ke satu titik awal, bukti tuhh..big bang (awal) dan big crunch (akhir)” dengan kata lain,menurut opini gue, ini seolah-olah dijadikan oleh teman teman peserta diskusi untuk menjadi suatu justifikasi akan kebenaran alqur-an (yang sebenernya gak perlu dijustifikasi lagi…)

1. Perkembangan string teory: big bang nggak lebih dan nggak kurang adalah satu fase yang emang akan dilalui oleh sebuah “semesta kecil”…dan itu akan terjadi berulang
ulang seperti siklus…lalu…..kenapa semesta kecil..?? ternyata, hasil terakhir membuktikan (mungkin teori yang paling kuat sekarang) bahwa alam semesta itu parallel…(inget film the one-nya jet lee, mungkin parallel universe bisa digambarkan seperti itu) yang mana, tetap berlaku hukum hukum fisika yang sama.

Teori ttg alam semesta, bukan lah lagi cuma teori flat, closed atau open universe yang
sekarang sudah dianggap tidak menarik lagi, tapi discrete universe (selain parallel universe)… dimana, tiap tiap universe ini memiliki dimensi ruang dan waktu sendiri…bahkan, terakhir semarak dengan 11 dimensi universe dan parallel universe…. mungkin lebih jelas kalo kita baca Scientific American dari bulan Jan-July 2004 (kebetulan “om” gue langganan…) atau lebih mengasyikkan baca “the elegan universe” karangan Brian Greene, professor muda dari columbia univ yang bukunya ngalahin a brief history of time nya hawking (kebetulan gak nge-fans ama hawking), bahkan, the elegan universe masuk nominasi pulitzer (99 apa 2000..lupa..)

Balik lagi ke penciptaan alam semesta, kalo dulu, waktu (t) sebelum big bang nggak bisa dijelaskan, lalu di klaim para teolog bahwa itulah yang disebut dari tiada menjadi ada, alias menyetir akan peranan tuhan di sini, ehh ternyata…. string teory pun membuktikan bahwa there is “(an ancient) time” before the (recent)time and before the big bang…dan dianggap atau lebih tepat disimpulkan bahwa sebenernya big bang pun bukan lah awal penciptaan semesta , tapi, sekali lagi cuma sebuah fase perkembangan universe…begitu pun halnya dengan big crunch….dua topik ini sudah bukan menjadi isu hangat dalam kosmologi, tetapi “dark matter” yang dianggap lebih mempesona …karena dianggap menyimpan banyak informasi yang bisa diketahui ttg “jagat raya seperti apakah yang ada sebelum big bang terjadi? “

Jadi, kalo bole dirujuk ulang kesimpulan yang buyung tulis:

3. Bagaimana permulaannya?
Alam semesta berasal dari satu sumber, dan kemudian Allah mengembangkannya. Ini sangat dekat dengan teori Big Bang.
4. Bagaimana akhirnya?
Akan ada akhir bagi alam semesta. Sebagaimana permulaan yang berasal dari satu titik, maka akan diakhiri dengan kembalinya alam semesta menjadi titik. Hal ini juga digambarkan dalam model closed-universe……….

==>> big bang, dari hasil terkini, bukan lah awal permulaan terciptanya alam semesta, tapi itu cuma suatu siklus yang selayaknya selalu dilalui oleh sebuah semesta…dan tentunya.. sudah ada semesta “kuno” sebelum big bang terjadi…dan, untuk mencermati lebih lanjut ttg “semesta kuno” ini, disinilah “dark matter” dianggap lebih mempesona… hal yang sama dengan big crunch… setelah big crunch, akan tercipta lagi “universe” yang lebih baru… hal ini terus berulang ulang entah sampe kapan…

jadi bila qur-an mengatakan bahwa alam semesta berasal dari dan akan kembali ke satu titik, lalu kita merujuk kepada teory big bang dan big crunch..karena terdapat satu koneksitas disini, dan ternyata, bukti bukti sekarang, menunjukkan bahwa big bang dan big crunch bukanlah awal dan akhir dari suatu semesta tapi “cuma sebuah siklus” yang akan dilalui oleh “sebuah semesta” lalu apakah kita akan bilang, “alquran kalo gitu salah dongg..?? ” ataukah cara kita yang mencocokkan kitab suci dengan gejala alam yang patut dipertanyakan lagi…wallahu alam…

akhir kata, gue jadi pusing sendiri….

gue mungkin gak sempat malem ini untuk ngebahas tuntas untuk nulisin opini gue..

tapi bole kan kalo gue ngasih tanggapan kontra/comment ttg kosmologi islam…

mungkin besok kalo waktu sempet…gue nulis yang lengkap….

anyway…. salut buat buyung..mungkin kita bisa diskusi “darat” suatu saat….

greets,

ican

# Dikirim oleh: ican | September 14, 2004 10:36 pm

Hihi… makasih buat semua tanggapannya lho, Bang Ismail, Uda Fahmi, dan Ican. (Buat Indra: awas loe ga datang nanti hehe). Mudah2an ini ngasih semangat gpmps membuat kuliah umum di waktu dekat ini.

Kalau ada yang mau datang silakan lho.. asal tidak lupa membawa makanan buat pembicara dan pendengar (hihi).

Buat Ican, hihi, mungkin emang pemaparan argumenku masih belum pas untuk menggambarkan tidak mencocok2kan tadi. Tapi, sesungguhnya memang tidak demikian niatnya dan aku berusaha untuk tidak sampai seperti itu.

Namun perkembangan kosmologi memang banyak dikontribusi oleh Teologi. Tidak hanya oleh Islam saja, tapi juga oleh agama lainnya. Di Injil misalnya, surat pertama mereka Genesis itu bercerita tentang Kosmologi. Di Hindu, Budha, dan Yahudi juga ada dibahas tentang Kosmologi.

Namun, memang diantara prespektif Kosmologi versi Teologi ini yang banyak menjadi literatur Sains (sengaja atau tidak) justru dari Quran. Setidak-tidaknya itulah yang terlihat ketika kami presentasi Early Cosmology saat ngambil mata kuliah Kosmologi tahun lalu. Hindu misalnya, mereka percaya pada proses “pengulangan”, dan dalam kitab mereka malah menyebutkan kapan alam semesta mati (kiamat) – yang bisa dikalkulasikan dan mendapatkan angka eksak!

Catatan: Bagi yang sangat tertarik, aku bisa usahakan bahan presentasi “early cosmology prespective dari masing-masing agama dan juga mitos” dari rekan-rekan peserta kosmologi tahun lalu.

Motivasi aku sendiri pas ngambil topik itu lebih banyak karena ketidaktahuan Kosmologi Islam (padahal perasaan tiap hari ngaji hehe). Saat diskusi dimulai, saya memang menegaskan masalah “jastifikasi” seperti kata Ican tadi: Bahwa itu bukan motivasi dari wacana ini.

Tapi sekali lagi, mungkin memang gaya bahasaku masih lemah sehingga masih memancing apriori ke sana. Mohon maaf Can (dan juga semua)… mudah2an ke depannya masih bisa diperbaiki.

Mengenai ide terbentuknya alam semesta, Big Bang emang bukan satu2nya, dan mungkin memang bukan lagi yang favorit. Banyak sekali ide yang berkembang sekarang ini. Hal ini juga aku singgung saat diskusi. Salah satu solusi dari Medan Gravitasi GR-nya Einstein malah ada yang mengindikasikan tidak ada bigbang.

Namun, dari semua ide dan teori yang ada, Bigbang adalah yang memiliki bukti terbanyak (walau tidak ada yang mengatakan yang paling benar) saat ini.

Begitu juga dengan model alam semesta. Ide tentang alam semesta paralel memang bukan barang baru (saat diskusi juga sempat disinggung). Keparalelan alam semesta yang 4 level itu sempat menjadi barang hangat dikalangan para kosmologis, namun sayangnya minim bukti (kalau bisa dikatakan bukti yang dipaksakan).

Catatan: Salah seorang peserta kuliah Kosmologi tahun kemarin ada yang berani mengambil topik ini dan menghabiskan waktu 45 menit bercerita tentang hal ini. Kalau memang sangat tertarik, aku bisa usahakan mendapatkan bahan presentasinya.

Selain itu, juga masih ada alam semesta diskrit (seperti yang disebutkan Ican), dan masih banyak lagi (aku ga ingat satu2; yang masih keingat paralel, diskrit, dan universe-antiuniverse).

Catatan: Kebenaran dalam sains memang relatif. Sebuah teori dikatakan benar SELAMA tidak ada teori yang berhasil membuktikan itu salah (Feynman).

Model alam semesta yang masih banyak dianut orang saat ini adalah bersumber dari Medan Gravitasi dari GR-nya Einstein (yang memberikan solusi model geometris & kosmologi alam semesta). Model Geometrinya sendiri dimodelkan lebih detilnya oleh Friedman, Robertson, dan Walker (makanya disebut FRW model).

Model ini adalah model yang paling banyak di-riset orang saat ini. Bukan karena dianggap paling benar, tapi karena secara matematika sudah mapan (dibandingkan yang lain) dan lebih memungkinkan untuk dilacak kebenarannya. Bisa jadi suatu saat nanti ditemukan itu salah, tapi setidak2nya sampai sekarang pemahaman ilmu dan teknologi kita lebih mengarah ke model ini.

Super String Theory, salah satu kandidat serius Theory Of Everything misalnya, memiliki masalah serius: karena saking matematikanya mereka kesulitan untuk melakukan eksperimen yang paling sederhana untuk teori ini.

Nah, kembali ke Big Bang tadi… bisa jadi memang bagian dari siklus yang panjang. Kayak ide: bahwa sebelum alam semesta kita sekarang sudah ada alam semesta sebelumnya. Seperti proses osilasi. Namun, aku sendiri pesimis apakah ilmu kita suatu saat bisa sampai menjawab itu? Subhanallah…

Mengenai masalah “pencocok”an di paragraf terakhir: ini menjadi cocok-cocokkan kalau memang dari awal kita sudah apriori duluan. Bisa jadi memang beberapa pilihan kalimatku ga pas diatas sehingga memancing apriori duluan. Namun, kalau dari awal pendekatan yang dilakukan: ini adalah salah satu sumber literatur “early cosmology”, maka warna ‘cocok-cocokkan’ insyaallah mudah2an berkurang jauh. Memang riskan, topik ini enak dibahas tapi besar resiko terjebak dalam pembahasan “kemutlakan agaman”. Kalau udah sampai kesana.. wah, kiblat diskusi dah berubah secara fundamental hehehe.

Sains kita bisa berubah. Apa yang kita anggap benar sekarang secara saintifik bisa jadi ga berlaku 100 tahun yang akan datang. Namun aku pribadi percaya Quran kita tidak akan pernah usang, kita aja yang tidak sanggup memahami semuanya.

Wallahualam…

Sedikit menyinggung dark matter:
Berdasarkan Medan Gravitasi Einstein, isi alam semesta ini ada 3: Radiasi, Matter, dan Dark Energy. Dark Matter adalah hipotesis sebuah komponen alam semesta yang tidak berinteraksi dengan yang lain.

Benda ini menarik dikaji karena dia mengisi 26% dari alam semesta kita! (ingat: ini cuma perhitungan mereka2 aja sesuai dengan kemampuan ilmu dan teknologi). Matter biasa (planet, bintang, etc) saja cuma 4%. Dan yang paling besar adalah Dark Energy 70% (salah satunya adalah ide tekanan negatif).

Yang dark-dark ini memang sangat mempesona. Mungkin suatu saat nanti kita akan coba bahas ini ya?

Senang sekali dengan komentar Ican yang juga mau berbagi ilmu. Berbicara tentang fenomena alam adalah memang hasratku terbesar, setelah tidur dan makan tentunya hihihi…. Jadi Ican ditunggu lho kedatangannya buat diskusi. Jangan lupa bawa makanan ya Can…. ^^

# Dikirim oleh: Buyung | September 15, 2004 09:37 am

Assalamualaikum Wr. Wb

Makasih ya tulisannya, semakin menambah wawasan saya tentang penciptaan langit dan bumi, yang baru sedikit saya ketahui. Semoga semakin menambah keimanan, Amin.

Tulis lagi doonk.

Wassalam

# Dikirim oleh: Dini | September 16, 2004 10:35 am

Tulisan yang bagus, yung … enak dibaca en menantang, hehehehe, membuka banyak pertanyaan baru dan fenomena baru.

cuma sekedar bertanya nih, mengapa hanya hakikat fisika yang diDEFINISIkan sebagai ayat Allah, bukan kah hakikat hidup dan segala keilmuan?

terkait dengan proses penciptaan dan asal mula alam semesta dan segala macam mitologi “keberadaan Tuhan”, mungkin kalo gue melihat dari sudut pandang biokimia/mikrobiologi. pernah rasanya gue kemukakan tapi mungkin lupa, begini ….

seorang scientist menumbuhkan mikroba dalam erlenmeyer flask. untuk mengarahkan agar mikroba tersebut tumbuh, bertingkah laku dan memproduksi apa yang diharapkan sang scientist maka sang scientist menerapkan aturan dan menciptakan kondisi yang membuat mikroba tersebut hidup dengan baik, tentunya sesuai harapan si scientist. apakah scientist yang menentukan hidup mikroba ? tentu tidak ! akan mati atau tidak, itu terserah mikroba, sang scientist memberikan kondisi dan aturan tapi tetap yang menentukan dirinya sendiri ya mikroba tersebut. terlepas dari sikap scientist yang akhirnya berkompromi dengan mikroba, sang scientist sudah menjadi Tuhan bagi mikroba tersebut. Hidup mikroba akan berarti baik kalau ia memang tumbuh, bertingkah laku dan menghasilkan sesuatu yang memang diharapkan oleh sang scientist. kalau tidak ? maka sang scientist mencari mikroba lain yang bisa membantu apa yang diinginkannya (bisa dengan mencari mikroba yang benar-benar lain atau memodifikasi mikroba tersebut sehingga menghasilkan banyak mutan yang kemudian di tapis, dilihat mikroba mana yang bisa dan mau menuruti keinginan sang scientist).

apabila sang scientist diposisikan sebagai mikroba, yang untuk hidupnya sudah disediakan/diturunkan aturan-aturan (norma, agama, de es te), diciptakan kondisi dimana ia bisa hidup dengan baik (ketersediaan air, bahan makanan, de es te) sedangkan sesuatu yang lebih besar, UvO (Unyil van Otong, hehehe) misalnya, maka UvO akan menjadi Tuhan bagi sang scientist.

UvO ini kita dudukkan sebagai scientist, dan BvB (Buyung van Basten … ;P) sebagai UvO, dan seterusnya dan seterusnya. tetap tidak akan bertemu pada titik apapun. seperti teori big bang, big crunch, apapun, akan tetap terbuka pertanyaannya jika pertanyaan terbesarnya tidak terjawab: Siapa yang menciptakan Tuhan?

kembali lagi ke cerita awal, kalau ternyata kita ini adalah mikroba, yang hidup dilengkapi Al Qur’an ala mikroba, sudah sangat pasti kita akan menafikan keberadaan sang scientist (baca: manusia). misal dalam Qur’an ala mikroba tersebut disebutkan pula bahwa mikroba itu adalah ciptaan yang terbaik dan dipercaya untuk mengemban amanah (dari sang scientist untuk memproduksi sesuatu yang diinginkan sang scientist) yang bagi sang scientist sendiri mungkin memilih mikroba tersebut karena telah mengenal karakter sang mikroba tersebut sehingga berani memilih mikroba tersebut (similarity: ketika Allah menjelaskan pada malaikat mengapa manusia yang dipilih untuk menjadi khalifah di muka bumi).

Kita bisa bicara begini begitu tentang kehidupan dalam bentuk lain (dalam bentuk bintang dan planet sekalipun) karena kita membaca al Qur’an versi manusia (Al Qur’an pula, bagaimana juga yang membaca kitab lain, yang mungkin punya perspektif dan persepsi yang mungkin berbeda ?) Betapa sombongnya kita sebagai manusia untuk mengklaim bahwa kita yang paling mengenal Allah dengan berusaha menjabarkan Allah dan segala bentuk ciptaan-Nya.

Pada akhirnya, kalau kita bahas terus hanya akan membuat keyakinan kita akan Allah menjadi luntur. Jadi ? kalao menurut gue, sebagai manusia kita mungkin sebaginya menjalankan apa yang memang sudah diperintahkan. sisanya ? seperti yang Allah bilang: sami’na wa atho’na. Kenapa? kalau memang kita pada posisi mikroba, minimal kita akan membuat hidup kita bermakna (setidaknya buat sang scientist), kalau ternyata memang kita yang betul-betul pilihan langsung (apa yang kita percaya sebagai) Allah, maka hidup kita insya Allah bermakna bagi-Nya dan bagi kita sendiri.

ini rasanya memang menjadi jebakan bagi para ilmuwan, untuk terus menggali jawaban akan segala fenomena yang ada. asumsi dan segala macam pembenaran atau pencocokan, silakan saja. hanya jangan lupa akan satu hal bahwa sebagai manusia (dengan segala keterbatasannya), kita tidak berhak untuk mencampuri urusan Allah. biarkanlah pertanyaan terbuka itu terbuka, bukan karena kita tidak mampu, bukan karena kita tidak mau, tapi karena secara harfiah kita memang tidak berhak.

gue cuma bisa bilang: wallahu alam …

# Dikirim oleh: unyil | September 16, 2004 11:55 pm

ralat pada paragraf 7, maksudnya bukan menafikan scientist tapi menuhankan scientist,

# Dikirim oleh: unyil | September 17, 2004 12:11 am

Buat Mbak/Ibuk/Tante Dini: iya, sama2… tapi ga usah berterima kasih. Soalnya disatu sisi ketika diskusi itu saya juga banyak nyolek2 makanan tuan rumah hihi…

Wah, koko’ Wangsa komentarnya seperti biasa: menghanyutkan… kalau dibaca tanpa sadar tahu2 udah sampai di muara….

Kenapa Fisika aja yang aku defenisikan? Wah, ini mungkin karena aku menganggap semua fenomena alam ini fisika. Kehidupan juga fenomena alam, tapi rasa2nya fenomena ini masih (atau tidak akan pernah) dimengerti secara logika. Mata yang berfungsi untuk melihat dengan segala sistem kerja dan operasinya… tiba2 tidak bisa dipake ketika orang tidur atau meninggal. Yang melihat kayaknya memang bukan mata, tapi sesuatu dibelakang mata itu (yang hidup).

Walau demikian, aku sepakat bahwa bio-xxx (ya, soalnya ilmu bio ini kan udah mengawini banyak ilmu lain hihihi) termasuk fenomena alam, dengan kata lain: ini juga sunatullah.

Aku juga ingat ko’ Wangsa pernah bercerita tentang hal tersebut. Kalau ga salah juga pernah aku dan Bang Is(mail) lanjutkan waktu obrolan santi di meja makan.

Tapi ko’, waktu aku membuat artikel itu motivasinya memang bukan untuk mempertanyakan Tuhan. Cendrungnya memang untuk mau membawa kita2 ke lab terbesar di alam semesta: alam semesta itu sendiri (yah, mungkin no. 2 sih setelah otak, tul ga Bang Ferry?). Memakai frame “kosmologi konvensional” dari Quran karena itulah tulisanku saat ambil kuliah Kosmologi tahun lalu :p. Bisa juga buat topik yang baru, tapi kemarin waktunya ga begitu memungkinkan buat ppt dari 0.

Sedikit meneruskan tentang keberadaan Tuhan: ujung dari pengkajian hal2 yang ko` Wangsa sebutkan diatas itu tidak hanya selalu melunturkan tentang konsep Tuhan lho… sebaliknya bisa jadi semakin membuat si BvB (hihi, ada2 aja ngasih nama) semakin percaya akan Tuhan (ini juga yang pernah dibahas ustadz Yassin suatu ketika).

Jadi ingat celoteh Mas Amal: Ini jangan2 emang Tuhan sengaja ngasih harapan pada kita untuk terus mengejar jawaban2 atas pertanyaan2 itu… namun sesungguhnya itu diluar garis pengetahuan yang Allah berikan. Nah lhoo.. ?

# Dikirim oleh: Buyung | September 17, 2004 08:04 am

stuju, buyung. sebenernya yang jadi pertanyaan gue skarang adalah arah pengembangan kosmologi islam itu kemana, ya? apakah untuk menemukan sesuatu yang baru untuk kemudian dijadikan sebagai sarana bersyukur dan men-subhanallah-i ciptaannya atau memang untuk mengorek jati diri manusia dan alam semesta ini (berujung pangkal pada keberadaan Tuhan). ada garis yang sangat tipis diantaranya, yang bisa mengalirkan kita ke either peningkatan keimanan atau penafian Tuhan.

aduh, jadi pengen ikutan kulum kosmologinya, menarik …

# Dikirim oleh: unyil | September 17, 2004 11:27 am

Diskusi kosmologi ini menjadi semakin menarik. Kurasa karena spannya merambah banyak wilayah. Siapapun bisa terlibat di dalamnya. Aku pun terbawa. Sempat melintas dalam diriku, beberapa pertanyaan sederhana:

Ketika kita berbaring di halaman rumah pada tengah malam, melihat langit yang ditaburi bintang-bintang, dan pikiran meluncur melebihi kecepatan cahaya, menembus ujung-ujung galaksi,

Atau ketika pikiran kita dibawa mengembara oleh uraian-uraian pengetahuan dari berbagai sumber tulisan, mengembara sampai ujung imajinasi manusia tentang alam semesta, merasakan nikmatnya berbagai teori dan temuan tentang kosmologi terkini,

Atau ketika kita tidak sanggup lagi berkata apa-apa, manakala membayangkan diri ini hanyalah setitik debu di alam semesta,

Akankah semua itu akan membuat kita semakin mengenal siapa diri ini, ataukah semakin mengenal alam semesta tetapi lupa siapa diri ini?

Jika alam semesta itu berulang, seperti lingkaran, selalu kembali ke asalnya, begitu seterusnya… akankah demikian juga dengan diri manusia, yang katanya merupakan miniatur dari alam semesta, mikrokosmos dari sebuah makrokosmos? Dimana titik itu di dalam diri manusia? Bagaimana rasanya ketika diri ini mendekati titik itu? Apakah sebungah ketika pikiran kita mendekati umur 10E-36 detik alam semesta? Bagaimana rasanya lubang hitam dalam diri, yang mampu menyerap segala yang melintas di sekitarnya (marah, sedih, kecewa, gembira, dan segala rasa yang ada)?

hanya bertanya saja,

# Dikirim oleh: Ismail | September 18, 2004 10:50 pm

Komentar untuk artikel ini telah ditutup. Terima kasih atas partisipasi anda.

Copyright (c) 2003 deGromiest

Satu Tanggapan to “Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains – 3”

  1. erander said

    Saya sependapat bahwa kata2 mas Yung : “Mudah-mudahan artikel ini membawa wacana baru bagi para pembaca, dan bisa memperlihatkan betapa harmonisnya hubungan antara teologi dan sains. Dan sesungguhnya lah sains membantu kita memahami agama (walau tidak semua yang pasti).”

    Oleh sebab itu, agama sebaiknya diajarkan tidak dengan doktrin tapi pendekatan akal budi dan keimanan. Yang pasti, semua kembali kesemula. Dari ada ke tiada. Dari tiada ke ada. Begitu seterusnya.

    @
    Betul Mas Yung itu menarik, betapa harmonisnya hubungan antara tanda-tanda kuasa Allah yang diberikan pada orang berakal. Jelas Allah tidak mengajarkan teologi, tapi menandai, memberitakan yang pada bagian-bagiannya ada hal yang menyangkut sains.
    Ini satu pilihan yang saya buat sebagai tema blog. Bukan sains & religion, tapi sains in religion, bukan religion in sains…..
    Hanya mencari prioritas pilihan dalam kehidupan. salam

    Suka

Tinggalkan komentar