Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Oleh-oleh Sholat dari Tanah Suci

Posted by agorsiloku pada Januari 24, 2007

Meskipun sholat itu menatap pada arah kurang lebih posisi kepala saat sujud (menunduk), faktanya sudut mata bisa saja melihat kegiatan lain di sekitar kita. Juga, telinga mendengar kadang apa yang dibaca dan terutama dibaca imam. Oh, kalau begitu sholatnya nggak khusyuk dong?. Entahlah, khusyu atau tidak. Namun, inilah beberapa yang saya ingat karena melihat :

  • Imam kagak pernah tuh membaca basmallah yang dikeraskan pada saat membaca surat Al Fatihah. Beda dengan di tanah air, selalu dimulai dengan Basmallah. Baik di Mesjidil Haram, begitu juga di Mesjid Nabawi, sama.
  • Waktu sholat shubuh, tidak pernah sekalipun imam membaca do’a Qunut. Entah di waktu yang lain yang saya tidak ikuti.
  • Banyak yang sholat duduk tasyahud akhir, tidak menyilangkan kaki kirinya ke kaki kanan. Tapi tetap duduk pada lipatan kakinya. Kalau posisi lipatan jari kaki saat duduk atau takbir rukuk ada yang mengangkat tangan sampai dada atau ada juga yang tidak, kelihatannya terjadi juga. Begitu juga, dengan posisi tangan di dada, ada yang di dada, di pusar, ada juga sedikit di bawah pusar. Namun, rasanya nggak enak ya kalau melihat yang sholat tangannya tidak di dada atau di atas perut, tapi malah membentuk cekungan ke bawah dan tanganya cenderung lurus. Kayak main-main saja (mungkin karena perbedaan kebiasaan saja).
  • Waktu duduk di antara dua sujud, ada jamaah yang mengangkat kedua tangannya sampai sedikit di bawah bahu pada posisi duduk sebanyak dua kali secara cepat. Seperti gerakan takbir.
  • Ketika salam, ke kanan, terus mengangguk menghadap ke depan, lalu salam lagi ke kiri. Jadi 3 gerakan. Kalau di tanah air, 2 gerakan yaitu salam ke kanan lalu ke kiri. Paling di tengah hanya berhenti sesaat sebelum bersalam ke arah lawannya.
  • Tidak pernah ada shalawat dan salam dibacakan/dipimpin imam seusai sholat fardlu. Setelah fardlu dan sholat jenazah, kelihatannya ibadah kembali ke masing-masing individu.
  • Ada orang kedua yang mengikuti imam mengeraskan bacaan ketika berpindah ke rukun sholat (jadi kata “Allahu Akbar” terdengar dua kali, yang pertama suara imam – pelan, yang kedua orang lain), entah siapa. Tapi, kalau di Mesjid Nabawi, saya lihat ada yang mengeraskan itu berdiri menghadap jemaah, di dekat imam. Ketika saya lihat, saya berpikir kok dia nggak ikut sholat?.
  • Hampir setiap sholat fardlu, selalu saja ada sholat jenazah. Kecuali sekali, di waktu magrib dalam rangkaian arba’in tidak ada sholat jenazah. Jelas, karena ada jemaah yang meninggal (sholat jenazah dengan 4 takbir).
  • Waktu Adzan pertama kurang lebih satu jam sebelum sholat subuh. Adzan kedua menjelang sholat. Antara adzan kedua dan qomat berselisih kurang lebih 5-10 menit. Kalau di Indonesia, biasanya lebih pendek.
  • Yang lalu lalang di depan jemaah saat sholat pada jarak sajadah banyak sekali. Kebanyakan berusaha menghindari, tapi tidak sedikit juga yang memaksa. Kadang ada juga jemaah yang protes, paling diingatkan :”Hajj… hajj… sabar…..”. Tapi kalau orang Indonesia, tampaknya jauh lebih santun.
  • Shalat tidak bisa sujud, karena langsung bertemu punggung jemaah di depannya. Maklum padat yang sangat padat. Tentu tidak di setiap sholat, hanya kondisi tertentu saja, terutama kalau dekat lingkaran Ka’bah dan memaksakan diri yang biasanya diikuti jemaah lainnya.
  • Waktu shalat sepertinya tidak membaca do’a iftitah. Kalaupun ada, mungkin pendek saja, soalnya cukup cepat jaraknya ketika imam memulai do’a Al Fatihah.
  • Arah sholat jemaah di Mesjidil Haram tidak satu arah, seperti di tanah air. Wajar saja sih, kan semua menghadap Ka’bah. Baitullah kan pusat peribadatan. Inilah satu-satunya tempat di mana orang sholat di satu mesjid tidak pada arah yang sama. (Iyalah… gitu saja kok ditulis)
  • Banyak tempat-tempat sholat, seperti di Hijir Ismail, Maqam Ibrahim (Mesjidil Haram), Raudah (Nabawi), Mimbar Nabi, Mesjid Quba yang mendapatkan pahala berlipat dari pada di mesjid lainnya. Beberapa hadits menyampaikan hal ini.
  • Di dalam mesjid banyak disediakan air minum (air zam-zam) di Nabawi dan Mesjidil Haram. Tapi di tempat lain sih tidak ada. Juga Al Qur’an tersedia dalam rak-rak yang mudah dijangkau oleh jamaah.
  • Jamaah yang dalam ujian Allah karena kesehatan, memakai kursi roda. Jadi bisa bersliweran di depan kita. Baik sedang/ketika sholat, maupun yang berthawaf.
  • Jamaah yang kemampuan fisiknya kurang, ada yang berangkat ke mesjid dengan membawa kursi kecil. Saat sholat, orang-orang itu duduk dalam kursi. Saya apresiasi terhadap penyikapan seperti itu. Kalau kagak bisa berdiri, dudukpun jadi. Sepanjang bisa, mereka memilih mesjid sebagai tempat beribadah. Memang sih, ada hadits, pahalanya jauh berlipat dibanding di rumah. Bahkan, untuk derajat sholat shubuh dan ashar, terutama Subuh memiliki nilai lebih. Disaksikan malaikat. Baginda Nabi bilang, sholat subuh, andaikan tahu, orang akan memburunya dengan merangkak sekalipun. Bagaimana dengan di Indonesia?.

Lainnya :

  • Ditegur di Bir Ali, waktu berpakaian ihram. Pakaian ihram atas diselendangkan dengan menampakkan bahu. “Itu hanya dipakai saat thawaf saja pada putaran 1 dan 3”. “Nggeh…nggeh Mas”, jawab saya.
  • Ustad kami bilang di sekitar Raudah- Mesjid Nabawi, ada juga yang menangis-nangis saat berzikir. Ini biasanya oleh orang-orang yang berdoa sambil menangisi mengapa makam Ali tidak di sebelah makam Nabi. Nggak begitu jelas, tapi kalau itu bagian dari gaya zikir saya juga nggak tahu. Biasanya pada hari-hari tertentu ada yang berlaku seperti itu. Saya sendiri nggak lihat.

Apakah perbedaan itu menimbulkan masalah?. Tampaknya tidak. Setidaknya saya tidak tahu. Saya hanya menulis apa yang dilihat saja. Berbagi pengalaman, tidak untuk memperbesar perbedaan, tapi untuk mengenal perbedaan. Perbedaan memang bukan keharusan, tapi segala sesuatu di alam semesta memang dibangun oleh perbedaan-perbedaan. Jadi perbedaan itu adalah rahmat.

“Begitu!”.

“Haditsnya ada lho”.

“Iya deh. Sebuah mobil tidak dibangun dari ban melulu. Semua komponen yang diperlukan ada untuk menjadi mobil”.

“Tapi perbedaan itu, kan bla…bla… bla. Soal sempurna atau tidak sholatnya, soal gaya, soal bahasa, soal … dan banyak lagi adalah bid’ah. Bid’ah adalah bla…bla…bla. Dan semua bid’ah adalah sesat?.”

Lihatlah saat ini ada ini, itu. Berbagai penggolongan disebutkan bermunculan, berlarian diantara gemuruhnya kata-kata.

Saya diam saja. Saya merasa bukan apa-apa dari siapa-siapa. Saya merasa juga tidak mengerti wahabi, salaf, syiah (ahlul ba’it), sunni, mazhab, manhaj, muztazilah, atau lain-lain keruwetan istilah. Saya tidak mengerti semua perbedaan itu, tidak paham semua sebutan itu, tidak mengerti semua itu. Dan lebih penting, saya tidak mau berada pada siapa-siapa dan pada mana saja. “Saya hanya ingin belajar lebih baik pada Al Qur’an, pada hadits, tapi bukan pada siapa-siapa yang membuat saya berada pada sebutan-sebutan lainnya”

Saya tidak tahu caranya, tapi saya hanya ingin menjadi “bagian dalam dari dua lembar kain ihram itu”, Bisik hatiku. Dua saja yang coba dipahami, dipusakai, seperti sabda Junjungan di akhir kehidupan dunianya.

“Dapatkah aku menjadi bagian dari kain ihram itu?”. Dua lembar kain tanpa jahitan, tanpa batasan dengan Sang Maha Pencipta?

Tanganku memegang leher. Bahkan lebih dekat dari urat leher.

Perbedaan-perbedaan itu adalah catatan untuk melihat perbedaan, di depan Kabah, dalam lapisan baju ihram kami semua sedang menyembahMu, mengagungkanMu, menikmati sebuah penghambaan.

Y ang paling baik, tentu yang paling bertakwa. Saya jauh sekali dari tataran itu. Jadi, ketika menulis catatan ini. Mohon juga tidak disalahpahami.

(Catatan Perjalanan Hajj 19)

2 Tanggapan to “Oleh-oleh Sholat dari Tanah Suci”

  1. sikabayan said

    euheuhehu… kabayan sedikitnyah dapat memahami soal golongan teh…
    di akhir jaman teh islam akan menjadi 73 golongan… golongan mana yang benar teh?…
    euh golongan mana yang benar?… jadi bingung… salah pertanyaannyah barangkali yah?…
    jadi yang mana yang benar teh gituh?… euh menurut kabayan mah yang benar teh adalah yang tidak ikut golongan… soalnyah yang benar mah yang ikut sama Allah sajah…. bukannyah yang ikut golongan… euh…
    ah.. kabayanmah cumah hamba Allah bukan hambanyah golongan…

    @
    ingin menjadi golongan kanan, golongan orang bertakwa….

    Suka

  2. sikabayan said

    euheuheuh… golong… gulung….giling…
    euh… asal jangan bulat ajah yah kang agor… soalnyah kalau bulat mah 1/1000 dari paling kanan teh berarti paling kiri…
    kecuali kalau tangan kanan kiri mah ujung kanannyah abis… kecuali lagi meluk tangan kanan sama kirinyah menyatu…
    tapi kalau lagi berdiri shalatmah memang tangan kiri diikat tangan kanan teh simbolik janji kita mengikat/menutup keburukan dengan kebaikan… euh.. karena yang Maha Esa atau karena Allah, sesuai telunjuk yang tersisa…

    @

    Heuueuh kang kabayan…. bahkan mengapa tangan kiri “diikat” tangan kanan apakah simbolik ataukah sebuah sinergi…..

    Suka

Tinggalkan komentar