Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Agama dan Kemegahan Spiritualitas

Posted by agorsiloku pada November 18, 2007

Terus terang saja, saya terkejut dengan komentar sendiri di komentar kekuatan gairah muda yang tanpa pikir panjang saya komentar, agama dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda. Berbeda jika dilihat dari sudut pandang akal. Namun, Allah sendiri tidak merujukkan pada urusan indera fisis dan “mata” batin sebagai dua hal yang dipisahkan. Misalnya, mengenal Tuhan dan beribadah kepadaNya, dilakoni dengan merujuk pada fungsi-fungsi akal (lihatlah alam semesta ini, adakah yang tidak sempurna dari pengelihatanmu yang payah itu… (QS 67:4)) dan ragam lainnya yang menunjukkan keberakalan manusia dalam memposisikan dirinya dalam alam semesta. Jadi, saya pahami saja seluruh ranah fisis dan spiritual adalah sesuatu yang padu. Nggak usah dipisah-pisahkan sebagai sebuah spirit bahwa jagoan spiritual adalah dekat kepadaNya.

Lha… kalau setiap hari dzikir dan menghabiskan energi untuk memuji namaNya, tapi nggak ngasih makan sama anak isteri, nggak sedekah karena miskin padahal otak encer dan tenaga kuat. Piye toh!. Kan, selain kita disuruh ibadah kepadaNya, ya kita juga disuruh untuk menjalani kehidupan sosial sebaik-baiknya. Bahkan tetangga yang kelaparan akan menjadikan sebab ibadah kepada Allah sia-sia. Beberapa hadis menjelaskan bahwa bau masakan yang kita masak pun sudah menjadi bahan teguran ketika kita tidak perduli pada tetangga.

Jadi, fisis dan Pemilik alam ghaib itu senantiasa dalam kesibukan. Ini artinya, fisis dan ghaib itu ada dalam tatanan segala urusan. Hanya kepala kita saja memisahkan untuk sistematika. Perilaku ibadah manusia sebagai hamba Allah diukur dan diuraikan lebih banyak pada dimensi antar manusia. Bagaimana kita menjalankan interaksi sosial dan memenuhi dunia ini dengan kemakmuran.

Jadi ingat cerita salah satu hadis (apa ya lupa), tapi begini deh : Nabi dan para sahabat lagi kongkow-kongkow…terus ada orang berlalu. Nabi terus bilang tuh orang itu calon surga. Para sahabat heran dan ikuti itu orang… ternyata setelah diperhatikan hidupnya biasa saja, perilakunya juga biasa saja. Sholat juga secukupnya saja. “Jadi apa dong ente punya kelebihan”, akhirnya sahabat bertanya. Jawabnya : “kagak dengki !”.

Sederhana saja tapi susah, tapi begitu tinggi dimensi spiritualnya dalam hubungan antara manusia.

Kadang saya berpikir yang namanya orang shaleh dengan seluruh energi kesalehannya adalah orang yang menghabiskan seluruh energi dan waktunya dengan meninggalkan dunia dan asyik masyuk dengan Allah !. Tentu, tetapi tidak juga …ngkali begitu. Soalnya Allah begitu menghargai agar ciptaanNya dalam menjalankan laku ibadah dengan memperhatikan perilaku sosial dalam keseharian.

Tentu pandangan ini bukan mentidakkan pendekatan perilaku makrifat, tasawuf yang malah sering dianggap “anti dunia”. Namun, memposisikan bahwa pandangan ibadah tidak ngkali sebaiknya tidak diukur dari pemahaman spiritual saja. Tapi dari sisi “kemanusiaan”. Yang paling bertakwa itu juga adalah manusia yang paling memberikan manfaat untuk manusia lainnya. Tentu pula ini tidak menafikkan bahwa pusaka dunia ini diisi oleh orang-orang shaleh yang bangun di waktu malam dan memuji dan memohon ampunanNya.

Kemegahan Spiritual.

Mempercayai dunia spiritual adalah hasrat manusia, jalan menuju kepadaNya tentu juga adalah jalan spiritual. Mempercayai ilmu perbintangan dan peramalan adalah jalan spiritual dark age yang tidak kontekstual dalam proses keberagamaan. Kita juga melihat dalam keseharian perilaku spiritual yang menjalaninya seperti orang yang juga bermegah-megahan pada dunia. Oleh karena itu ibadah kepada Allah dengan melakukan ritual yang diperintahkan berbeda dengan dimensi spiritual meditasi atau pemusatan pikiran. Olah spiritual adalah energi yang tidak beda pula dengan kekuatan nonsains (belum bisa dipahami sains). Jelas ini bukan ibadah.

Nggak begitu juga lah… kan hasilnya sama : kepuasan spiritual !.

Ketentraman didapat dengan mengingat Allah bagi orang beriman. Khusyuk dalam sholat tidak berarti kita tidak mendengar orang yang bertamu dan mengucapkan salam. Ada penjelasan hadits mengenai ini.

Karena itu, setiap perjalanan sainspun atau memberikan makan fakir miskin, membantu saudara, sopan santun akan menjadi perjalanan spiritual menujuNya jika dinisbahkan karenaNya.

Memang mudah sih untuk bicara, mengikuti jejak kerendahan hati, seperti dikisahkan sahabat buntet tidaklah gampang. Mencari mahluk seperti itu di tengah hiruk pikuk dunia, makin sulit. Namun, tentu kita merindukan manusia dengan level spiritualisme tinggi yang mengayomi isi dunia…..

Kebanggaan spiritual tidak berada dalam keberagamaan, tapi ada di sisi yang bersebrangan meskipun berada pada wilayah itu. Karena diperintahkan, maka ritual menjadi bagian pula dalam perjalanan. Karena itu pula, wajar banyak dari kita kemudian mengeluh dan merasa aneh, kok begitu tinggi perilaku spritualnya, tapi tidak tampak dalam dunia sehari-hari. Kita gamang dalam situasi ini. Agama kok jadi tidak akrab, padahal kita rindu surga.

Lalu, pada dimensi spiritual mana saya berada…. 😦

10 Tanggapan to “Agama dan Kemegahan Spiritualitas”

  1. landy said

    Pembahasan yang cukup menarik

    @
    😀

    Suka

  2. kurtubi said

    Kang Agor saya memilih agama saya sebagai bagian dari spiritual dan sosial. Jadi hampir tidak ada keagamaan dan kehidupan sosial berpisah. Karena semuanya meurpakan rahmat: “رحمتي وسعت كل شيئ” RahmatKu melingkupi segala sesuatu.

    Mungkin jika agama dianggap sebagai hanya aturan formal, dari sudut fiqh lah ia memandang. Jika pola agama dibentuk hanya dari sudut ini yang terjadi yaa adu argumen. Ohya pak update tentang Adu Pengalaman Rohani sudah aku update. saya sepakat kok dengan sampean. TQ atas masukannya.

    @
    Kang Kurt sudah tentu ya… kalau membaca blog akang…terasa sejuk dan menikmati dalam satu satuan tak terpisahkan, jalinan tanpa awal, jalinan tanpa batas… semua berawal dan berakhir di titik yang sama. Tak ada pembagian yang memisahkan, seperti firmanNya.
    Salam dan tabik selalu…. agor…

    Suka

  3. Fortynine said

    Seperti komentar saya di sini. Saya hanya merasa heran, kok masih ada saja pemuka agama/manusia yang rajin ibadah yang masih suka marah marah, pandangan matanya seperti menghakimi (kalau tidak mau disebut pandangan mata bengis), dan tentu saja yang paling keliatan adalah pelit!

    Padahal jikalau yang rajin ibadah itu dapat kepuasan spiritual. nampaknya orangnya akan jadi bersorot mata teduh, pembawaan tenang, dan tentu saja tidak pernah merasa takut, apalagi takut kehilangan alias ga pelit.

    Terima Kasih. Mohon maaf kalau ada salah dan keliru.

    @
    Nah… jelas kan… ketika mendapatkan kepuasan spiritual, tentram hatinya… bersorot mata teduh… berarti “pemuka” itu, apalagi jika pelit… berarti belum mencapai apa yang dicita-citakannya…. 😀

    Suka

  4. sora9n said

    Kebanggaan spiritual tidak berada dalam keberagamaan, tapi ada di sisi yang bersebrangan meskipun berada pada wilayah itu.

    Memang ada benarnya juga, bahwa kebanggaan spriritual tak selalu ada dalam keberagamaan. Misalnya, ada orang yang merasa bangga/terpuaskan secara spiritual hanya dengan kerja sosial dan membantu sesama. Tapi perlu dicatat juga bahwa ada orang mendapat pencerahan spiritual lewat jalur agama; i.e. spiritnya berkembang seiring dengan keberagamaannya.

    Kalau menurut saya sih, sebetulnya kebanggaan/kepuasan spiritual itu ada pada sesuatu yang universal. Agama bisa saja menjadi salah satu jalan untuk mencapainya… walaupun bisa juga tidak. Mungkin ini akhirnya kembali pada keadaan pribadi (atau cara berpikir) orang itu sendiri. 😕

    @
    Sepertinya, saya juga ingin menegasi ke situ…. sesuatu yang universal… bukankah juga terdapat kondisi “kesesatan spiritual” ….

    Suka

  5. assalamualaikum
    agama bukan cuma ibadah koq mas, agama itu mencakup 5 aspek
    1. Imaniah (niat) niat yang betul dan ihlas
    2. Ibadah (disini posisi sholat puasa zakat haji dzikir etc)
    3. Muasyarah ( hubungan manusia dengan manusia)
    4. Muamalah ( cara manusia mencari nafkah dan membelanjakannya)
    5. Akhlak (ini buah dari ke empat aspek tersebut)

    @
    Wass.wr.wb.
    Ketika mendefinisikan agama saja dan agama Islam ada fokus yang kemudian berbeda. “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku..” menjadi salah satu indikator bahwa agama memiliki perbedaan-perbedaan dalam perangai terhadap cakupannya… kalau nggak salah lho… mohon koreksi kalau keliru lho… 😀

    Suka

  6. nothing said

    Kang Agor,

    Ada 2 hal yg saya ingin sharingkan/tanyakan/diskusikan:

    1. Kenapa kita selalu terjebak pd pengkotak2an definisi. Termasuk definisi dr kekuatan spiritual, sebagian org memang terjebak bhw kekuatan spiritual itu didapat dr czikir, shalat, puasa dan amalan2 pribadi lainnya. Tidak begitu menurut yg saya tau dan jumpai dr mereka2 yg saya masukkan ke dlm kategori kuat secara spiritual. Ibadah2 tersebut hanya sebagian kecil dr alat/proses utk meningkatkan kemampuan spiritual. Ada banyak hal yg dilalui utk mencapai derajat tersebut (nantinya saya ingin mengkoreksi/mengkritisi istilah kekuatan spiritual itu sendiri).

    2. Sebetulnya saya lbh cocok menggunakan istilah “jiwa yg bersih/sempurna”. Perjalanan yg kita lakukan dlm kehidupan adalah perjalanan menyempurnakan jiwa. Untuk itu ada banyak hakekat yg harus kita buka terlebih dahulu. yaitu misalnya, apa itu jasad, apa itu jiwa/soul/nafs dan apa itu ruh/spirit, dan bagaimana keterkaitan antar mrk. sentral dr semuanya adalah Jiwa/nafs, krn nafs itulah jati diri kita. Dalam pemenuhan keinginan2nya jiwa membutuhkan jasad sebagai alat, sehingga kenapa kita melakukan bbrp ritual yg berkaitan utk mengontrol/menjinakkan jiwa. Dalam proses2 tsb jiwa akan mengalami banyak rintangan, sehingga diperlukan ruh (akal) yg membimbing/memberi rambu2 dalam nilai2 (kebenaran). Sehingga proses kita bukanlah berujung pd peningkatan kemampuan spiritual (ruh), “peningkatan” (pemberdayaan) kemampuan ruh (melalui perenungan2 hanyalah alat/media utk meningkatkan kesempurnaan jiwa/nafs.
    Dimana hubungan2 ibadah2 sosial dg semuanya??
    Salah satu ciri dr jiwa yg sempurna, adalah jika setiap amal/ibadah/perbuatan yg dilakukan telah mencapai derajat “ikhlas”. Tidak bisa hanya sholat kita yg ikhlas, tp bagaimana kita ikhlas kepada manusia/makhluk di sekitar kita adalah salah satu dr ujian derajat keikhlasan kita. ikhlas saja tanpa mempunyai tujuan yg “mantap” (kuat/bening/suci) tdklah cukup. Akal/ruh kita harus bs membantu jiwa menemukan hakikat/tujuan/hikmah dr amal2 tsb.
    Yang ingin saya sharingkan adalah, kita tdk bisa mereduksi hakikat dr “kekuatan spiritual” hanya sampai pd amalan individu. sebagaimana kita tahu semuanya memiliki derajat masing2, dan salah satu penentu derajat adalah seberapa bermanfaat semua amalan2 tsb terhadap diri sendiri/manusia/makhluk lain.

    Terima kasih. Maaf kang Agor dg kekurangan2 yg ada.

    @
    Mas Hamida… rasanya saya malah nggak bisa memberikan catatan lagi… sudah dilengkapi… memang ini yang ditunggu 😀

    Suka

  7. nothing said

    Yang kececeran:

    Kekuatan spiritual bukanlah tujuan, namun penyempurnaan jiwa lah tujuan. Kekuatan spiritual hanyalah efek/akibat/karomah yg didapat krn kesempurnaan jiwa. Bahkan tdk sedikit “kekuatan spiritual” yg dihasilkan dr “cara/tujuan” yg salah. Kita tdk pungkiri tdk sedikit org yg melakukan amalan2/ibadah2nya bukan dg tujuan keridhaan Allah namun dg tujuan utk mendapatkan “kekuatan spiritual” itu sendiri, dan mrk pun mendapatkannya.
    Maafkan tulisan2 yg terburu2 ini. Semoga tidak puas.

    @
    Lha… itu yang ingin juga agor sampaikan sebagai benang merahnya Mas Hamid. Bukankah di sekitar kita banyak yang unjuk kuasa kekuatan spiritual sebagai kemegahan spiritual, seperti bangunan megah, seperti real estate… seperti sinetron-sinetron mistik… 😀

    Suka

  8. […] semacam ini biasanya dimulai dari identifikasi terhadap corak pemahaman keagamaan yang ada, lalu membuat semacam klasifikasi (kategorisasi) dan menyusun peta potensi […]

    Suka

  9. […] masukan dari kang Agorsiloku, dari komentar di bawah ini, maka keyakinan sayapun sama. Bahwa jika tertulis di artikel ini […]

    Suka

  10. nothing said

    Hehehe..betul sekali makanya saya tdk mau menyatakan comment saya sbg kritik, ketidaksetujuan, tp sebagai sharing/tambahan, pertanyaan juga, diskusi juga.

    @
    ha..ha..ha… diskusi itu membadaikan otak (brainstorming), kritik itu dan ketidaksetujuan itu seperti gerinda batu yang mengasah ketajaman pedang. Sharing itu tambahan air yang melicinkan gerinda batu agar semakin jernih berpikir. Memang yang kadang risih adalah ketika kita “dihakimi” oleh karena kekeliruan berpikir. Namun, Alhamdulillah agor bersyukur karena selama ini lebih banyak yang bersama-sama meluruskan, mengasah pedang akal dan tidak menghukumi…. 😀

    Suka

Tinggalkan komentar