Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Mengapa Mencampurbaurkan Sains ke Dalam Agama?

Posted by agorsiloku pada Oktober 25, 2007

Terutama Islam, terdapat kecenderungan pada dekade abad 20 ini untuk “menjerumuskan” sains pada agama?.  Apakah itu relevan?, apakah itu perlu?.  Apakah Islam akan mereduksi (atau sebaliknya) memperluas wawasan sains ke perspektif yang lebih “berwawasan” ataukah sebaliknya, Islam mereduksi sains ke tataran spiritual sehingga semangat menggali dan menemukan, bereksperimen atas nama ilmu dan pengetahuan, serta teknologi justru akan berhenti di tataran spiritual?.

Apakah sains selama ini telah mereduksi pemahaman totalitas keberagamaan menjadi wilayah sempit yang berputar pada pendekatan empiris, eksperimen, dan materialistik?.  Apakah sains telah dan akan menjawab semua persoalan kehidupan dan kemasyarakatan.  Apakah peradaban diselesaikan dengan sains, dan pengguna sains (teknologi) menjadikan manusia mencapai kesempurnaannya.

Apakah pendekatan teologis diperlukan untuk memenuhi hasrat sains, atau sebaliknya hasrat sains dipenuhi oleh pendekatan relijius.  Apakah semua persoalan spiritual adalah dunia unik yang tidak bisa disentuh oleh sains, dan para pencari kebenaran hanya bisa dicapai melalui pendekatan spiritual.

Apakah juga orang-orang yang berada pada tataran spiritual adalah juga manusia-manusia yang lahir batinnya berada pada kedekatan pada agama?.   Apakah upaya-upaya spiritual itu menunjukkan kesungguhannya untuk mendekatkan diri kepadaNya?

Apakah sains memang harus berlepas diri dari pemikiran spiritual?.

Wah…

Ini semua pertanyaan ini datang gara-gara Mas Herianto , yang memberikan komentar di blog saya :

Kira2 dari penemuan ini apa implikasinya terhadap pemahaman kita dalam hal penciptaan alam ini ya… ? Adakah bagian2 dari apa yg dijelaskan di Al-Qur’an ttg ini perlu kita tafsir/kaji ulang ?

Lalu kemudian, muncul trekbek lama yang pada beberapa sisi saling meresahkan  yang memang berputar-putar di wilayah sains dan agama.

Dan kemudian, saya ingin bertanya : apakah perjalanan sains juga adalah sebuah perjalanan spiritual, sebuah pendakian untuk memenuhi pertanyaan paling mendasar dari kehidupan ini : Apa makna hidup?.  Sains tidak menjawabnya, tapi ujungnya selalu mempertanyakannya.

Kalau juga ada sains Islami, apakah juga akan tumbuh Sains Kristen, Sains Budha, Sains Tao?.

Bagaimana dan seperti apakah kita mengkajinya?…..

Catatan :

Tulisan ini hanya berupa sejumlah pertanyaan… campur aduk dan belum terumuskan. Mohon maaf….

23 Tanggapan to “Mengapa Mencampurbaurkan Sains ke Dalam Agama?”

  1. Dimas said

    “apakah perjalanan sains juga adalah sebuah perjalanan spiritual?”

    Saya pernah membaca sebuah kisah seorang astronot NASA Edgar Mitchell. Setelah beliau menyelesaikan misinya di luar angkasa dan kembali ke bumi, beliau mengalami suatu perasaan bahwa alam semesta ini begitu indah, sebuah rancangan yang sempurna dan sebuah penciptaan yang memiliki sebuah tujuan. Beberapa astronot juga mengalami hal yang sama. Edgar Mitchell kemudian membangun sebuah organisasi yang bernama Noetic Science yang akan mendalami hubungan antara science dan spirituality. Walaupun dia berasal dari background science, dia berusaha mencari apakah ada sebuah jalan yang dapat menghubungkan antara science dan spirituality.

    “In 1971, Navy Captain Dr. Edgar Dean Mitchell traveled on the Apollo 14 mission and became the sixth person to walk on the Moon. Instead of returning to Earth with moon rocks, Dr. Mitchell brought back a message of unity. While looking at the blue planet spinning outside his spacecraft window he experienced a transformative awakening and had a sense of the interconnectedness of all things”

    Sebuah wawancara yang dikutip dari sebuah website

    [SET]: In 1971, as you pulled away from the Moon and made your way back to Earth, what did it feel like to be in the space between worlds?

    [EM]: I’ll have to set up the story for you just a little bit. The spacecraft was oriented perpendicular to the plane that contains the Earth, the Moon and the Sun. Not flying perpendicular to that plane – but moving through it back to Earth. The spacecraft was rotating to maintain the thermal balance of the Sun. What that caused to happen was that every two minutes, with every rotation, we saw the Earth, the Moon and the Sun as they passed by the window. The 360-degree panorama of the heavens was awesome and the stars are ten times as bright and, therefore, ten times as numerous than you could ever see on a high mountaintop on a clear night. It was overwhelmingly magnificent.

    [SET]: What were you thinking then?

    [EM]: I realized that the molecules of my body and the molecules of the spacecraft had been manufactured in an ancient generation of stars. It wasn’t just intellectual knowledge – it was a subjective visceral experience accompanied by ecstasy – a transformational experience.

    [SET]: You were raised as a Southern Baptist and studied as a scientist. Then you had this visceral, spiritual experience in space: how did you reconcile this with your upbringing and training?

    [EM]: The experience in space was so powerful that when I got back to Earth I started digging into various literatures to try to understand what had happened. I found nothing in science literature but eventually discovered it in the Sanskrit of ancient India. The descriptions of samadhi, Savikalpa samadhi, were exactly what I felt: it is described as seeing things in their separateness, but experiencing them viscerally as a unity, as oneness, accompanied by ecstasy.

    [SET]: Can you speak to the division that is often drawn between science and spiritual experience, between the material world and consciousness?

    [EM]: The materialist worldview says that everything is due to the bumping together of little atomic structures like billiard balls – and consciousness is an accident of that encounter. The opposite extreme is the idealist interpretation, which has been around since Greek times or earlier. It says that consciousness is the fundamental stuff, and matter is an illusion, a product of consciousness.

    Science and religion have lived on opposite sides of the street now for hundreds of years. So here we are, in the twenty-first century, trying to put two faces of reality – the existence face and the intelligence or conscious face – into the same understanding. Body and mind, physicality and consciousness belong to the same side of reality – it’s a dyad, not a dualism.

    This is what I’ve been working toward for the past thirty-five years and why I founded the Noetic Institute. After my experience in space, I believed it was time for us to take a look at spiritual or religious experiences from the point of view of quantum science.

    ***
    Semoga bermanfaat
    (Mas agor komen pertama dihapus saja, banyak hal yang kurang bermanfaat di link yang website tercantum.) –> oke.

    @
    Mas Dimas trims… di antara sejumlah pertanyaan… juga apakah berpikir pada kesadaran suprarasional, metafisis, makrifat, tasawuf dan segala macam kegiatan spiritual harus menafikkan kesadaran rasional. Sehingga pertanyaan sebaliknya berbunyi : Apakah semua perjalanan spiritual juga tersembunyi dalam logika-logika kesadaran. Tidakkah seharusnya juga logika metafisis juga berada dalam kesadaran rasional.

    Seperti halnya penolakan sejumlah ilmuwan terhadap spiritual, begitu juga para spiritualis menafikkan energi material dalam perjalanannya? Bukankah, pemahaman apapun (termasuk kesadaran spiritual) membutuhkan pengetahuan wujud/nyata/terpahami untuk menjelaskannya?

    Suka

  2. Dimas said

    Mas agor saya belum bisa menjawab sejauh itu, saya juga sedang belajar dalam hidup ini, dan memang hubungan antara akal dan jiwa ini selalu menarik untuk dipelajari. Sampai saat ini, yang hanya saya ketahui hanyalah spiritualisme berhubungan dengan jiwa, dan materi berhubungan dengan akal. Tugas saya adalah belajar bagaimana akal ini bisa mendengar suara yang datang dari jiwa. Hal ini berarti akal sebagai abdi bagi jiwa. Dengan begitu, jiwa ini bisa membimbing akal untuk mewujudkan visi hidupnya di alam materi ini. Begitu…

    Puyeng aku mas! hahaha
    *Minum obat puyer cap 7 bintang dulu*

    @
    Sama… kita sedang belajar dan bertanya dan sesempat-sempatnya merenungi di sisa waktu. Jiwa dalam pemahaman saya adalah titik nol yang ketika tiba di dunia tidak tahu apa-apa, kecuali ruh yang telah dirujuk untuk “mengenal siapa Allah”. Kemudian setelah sampai di dunia, kepada hati dibisikkan jalan ketakwaan dan kefasikan, hati itu kemudian memanfaatkan akal untuk berkontempolasi dan mengelaborasi keseluruhan pemahaman dunia. Dengan itu jiwa bergerak menuju kesempurnaannya (atau pengingkarannya). Jadi, sepertinya kita bersetuju bahwa akal yang derivasinya antara lain berpikir (tafakur), merenung, ilmu, mengolah menjadi abdi bagi jiwa. Jiwa membawa akal untuk mencapai visi hidupnya atau menjadi pembangkang yang totalitas mengingkari semuanya…

    Ternyata kita sama puyengnya juga…. 🙂

    Suka

  3. danalingga said

    Dan kemudian, saya ingin bertanya : apakah perjalanan sains juga adalah sebuah perjalanan spiritual, sebuah pendakian untuk memenuhi pertanyaan paling mendasar dari kehidupan ini : Apa makna hidup?. Sains tidak menjawabnya, tapi ujungnya selalu mempertanyakannya.

    Kalo sepemahaman saya sih semua hal itu bisa spiritual, baik itu sains, agama, perang, dll. Jadi bisa jugalah kalo ternyata sains itu merupakan sebuah perjalanan spritual, sebab bukankah tiap orang punya jalan masing-masing?

    *eh akhirnya gue nanya lagi tuh*

    @
    … dan karena meyakini sesungguhnya kita akan dikembalikan kepadaNya, maka jiwa adalah pokok persoalan dalam perjalanan kepadaNya jua. Maka tentulah apapun yang bergerak dan terjadi dalam dunia fisis, kayak-kayaknya sih adalah perjalanan sang jiwa. Dan itu tentu keniscayaan sebuah perjalanan spiritual pula, seperti laron yang kemanapun pada akhirnya menempuh perjalanan mencari cahaya….. 😀

    Suka

  4. alex said

    IMHO, Sains dan agama pada zaman sekarang ini sebenarnya mengalami fase yang sama seperti ketika filsafat dan agama bertemu dulu.
    Tidak dicampur-aduk benarnya kan, Bang Agor?
    Cuma karena masih ada hal-hal rancu, dimana sains bersikap lebih skeptis terhadap apa yang dipandang agama sebagai masalah ghaib atau belum terbuktikan menurut pengalaman manusia…

    Saya yakin, pada akhirnya sains, filsafat dan agama akan bertemu satu titik yang sama…

    Yakin, sampai saat ini 🙂

    @
    Kurang lebihnya, saya kira juga begitu. Filsafat dan sains mencari titik yang sama, sedangkan agama yang berlandaskan kitab wahyu datang untuk memberikan catatan dan koreksi atas seluruh pemikiran filsafat dan sains. Mengapa sains masuk pada katagori ini?, karena sains juga pada ujungnya mencari jawaban pada “makna kehidupan”, “harus ada pencipta”, dlsb. Kotak epistemologis ilmu akan sampai pada ranah filsafat dan agama mengisi tujuan-tujuan penciptaan. Filsafat dan sains dibawa (atau mengingkari) untuk bertemu agama. Sedang agama dengan landasan wahyu memang sudah duduk manis di puncak peradaban…. 😀

    Suka

  5. Dua-duanya saling berpaut, kan sama-sama dari Sang Pencipta. Kali aja. Setelah membaca buku Religion and the Science, Keith Wilkes, saya pernah menyulut polemik di HU Pelita. Ramai.

    @
    Seramai pasar malamkah?, apakah ada kemudian reposisi sains terhadap spiritual (sepertinya ya) tapi apakah para sufi tetap cenderung menafikkan akal (semestinya nggak?).

    Suka

  6. rozenesia said

    “Knowledge without religion is blind, religion without knowledge is lame..”
    – Einstein

    Saya yakin, pada akhirnya sains, filsafat dan agama akan bertemu satu titik yang sama…

    Yap, IMO, kesemuanya tetap sama-sama bergerak menuju ke kesimpulan yang sama, yaitu rahasia kehidupan. Ketika satu pihak sudah tidak bisa menjelaskan, maka pihak lain menyumbangkan pemikirannya. 😀

    @
    Melanjutkan komentar balik kepada rekan Alex di atas ini, karena agama statis (tidak ada wahyu baru) tapi ada sejumlah multi interpretasi (pencarian ta’wil) maka sains dituntut harus membuka diri pada dimensi immaterial. Artinya konsepsi ilmu sebagai determinisme menggugat dirinya sendiri untuk mencapai rahasia kehidupan itu sendiri. Sebagian dari unsur wahyu bisa diterjemahkan ke dalam ranah sains, sebagian lainnya wahyu tidak memiliki konteks sama sekali pada sains. Demikian juga sains, tidak akan bisa pernah sampai pada dimensi ayat-ayat yang memang tidak diijinkan sains bisa memasukinya. Di sinilah peran konsepsi iman akan mereposisi sains. Tabrakan tidak bisa dihindari lagi karena absolutisme dari agama dan dinamika dari sains. Karena itu, prasarat sainstis masuk ke ranah agama hanya satu : iman.

    (waduh… koreksi ya kalau keliru… 😀 )

    Suka

  7. El Za said

    Assalamualaikum wr wb.

    Kodratnya kita ini memang wajib belajar sejak lahir hingga liang kubur,
    dari hal-hal paling sederhana sampai super kompleks, karena kita dikaruniai kondisi akal/berpikir logis.
    Bahkan belajar makanpun perlu usaha keras, mulai belajar mengunyah, memegang sendok, nggak sampai kececeran dst (dan bagi yg kebablasan hingga bisa makan (hasil korupsi)aspal, minyak, gedung, pulau, bahkan makan sesamanya, naudzubillah).
    begitu pula dgn pengetahuan, tidak hanya dapat dipandang dari sudut materialis, karena ternyata ada fakta-fakta interaksi sosial, bahasa hati, sopan santun, akhlak, dan juga agama.
    Sains memang mengutamakan sisi materialis, tetapi menjadi buntu manakala sains bertanya tentang alam sesudah mati misalnya.
    Beberapa dorongan dalam Al Qur’an pada manusia memang secara khusus menyruh manusia memahami sains (misal ttg penciptaan langit bumi, siang malam, material kimia, kedokteran, pertanian, mekanik, BIology, fisika, nuklir/zarrah, dsb) tetapi semua itu lebih diarahkan untuk mndorong manusia memahami dirinya sendiri sebagai mahluk Tuhan yang akan menempuh perjalanan hidup ini dan hidup sesudah hidup di dunia ini, sehingga mengajak manusia pada kebenaran yang akan menyelamatkan dirinya (dan semua orang disekelilingnya ), untuk selamat di dunia hingga akhirat.
    Kita diajak (krn tidak ada paksaan dalam agama) untuk terus berpikir dan berpikir, diharapkan kita dapat berjuang untuk mendapatkan kebenaran itu, baik dengan pendekatan sains, doa, akhlak mulia dsb sesuai yang diajarkan Al Qur’an dan Rasulullah.
    Jika dahulu mungkin penyebaran Islam banyak melalui Mukzizat atau karomah para wali penyebar Islam yang beraroma “wuzz” atau “bleg” langsung jadi; tapi di abad-abad terakhir ini justru mungkin banyak diungkap kebenaran Qur’an oleh saintis dgn ilmu sains yg semakin berkembang, satu persatu mulai terkuak kebenarannya, apa yang diungkap 13 abad lalu baru trbuka sedikit demi sedikit oleh teknologi tinggi sains dimasa sekarang, walaupun belum terbuka semuanya.
    Dorongan untuk belajar sains hanya satu sisi pembahasan di Al Qur’an, mengarahkan manusia pada tanda-tanda kebesaran Allah SWT. dengan tidak melupakan apa yang menjadi fokus utama, yaitu bahwa dengan semua itu diharapkan dapat mendorong manusia bertakwa kepada Allah SWT.
    Dengan demikian sains, tidaklah semata-mata sains, yang membuat orang jadi kebablasan seperti manusia yang belajar makan tadi, sehingga dibentengi akhlak mulia tidak akan sampai kebablasan makan yang bukan jadi haknya, sains yang kebablasan tanpa didasari akhlak mulia, akan membuat manusia jadi lupa diri dan menghancurkan diri sendiri serta orang lain di sekitarnya.

    Wassalamualaikum Wr wb.

    @
    Jika sains tidak terikat (terpahami) dalam konteks agama atau etika, atau etika tidak berbasiskan landasan pengertian yang dimulai dari agama (wahyu), tidak ada utusan-utusanNya pada setiap masa, atau ulama yang mendapatkan hidayahNya, apakah etika ahlak mulia masih mungkin berlandaskan seperti yang kita kenal sekarang ini?.

    Namun, pada kondisi faktual saat ini, sains harus (diinginkan) bebas nilai-nilai religi. Dan fakta juga bahwa dunia sains justru dikuasai, dibentengi, dan dikuasai justru oleh orang-orang (sainstis) yang jauh dari nilai-nilai agama tapi mengusung nilai lain. Namun, fakta juga mereka memiliki nilai dasar deterministik yang berbeda.
    Apakah dengan begitu manusia secara umum berada pada posisi lupa dan menghancurkan diri sendiri?….

    Wass, agor.

    Suka

  8. Herianto said

    Dalam hal ini saya lebih banyak mengikuti aja dulu pak, belum punya gagasan baru selain yg telah ditulis teman2 di atas.. 😀

    @
    Ditunggu tentu pamungkasnya… 😀

    Suka

  9. engkus said

    Assalamu’alaikum wr,wb, Saya hanya mandang pada dasarnya ajalah bahwa agama (Islam, Kristen, Hindu, dll) merupakan sumber dari segala sumber ilmu. Kenapa begitu? Mari kita buktikan. Seseorang yang berjalan dalam kegelapan tidak mungkin melihat apa2 kan? Jangankan untuk melihat, untuk berjalanpun tidak bisa, mesti perlu tongkat sebagai guidance. Lain lagi jika pake obor atau batere center sudah pasti bisa berjalan dengan lancar, dan bisa melihat benda apa saja yang terlihat di area sekeliling yang terang kena cahaya obor atau batere center tadi. Dari hasil melihat tadi timbul pertanyaan macam2. Dari pertanyaan itu timbul rasa ingin tahu. Nah, dari rasa ingin tahu itu orang akan melakukan penelitian dan experimen. Maka atas berkat cahaya agama itulah orang menemukan sesuatu dan dikembangkan seluas luasnya untuk kemudian ditransfer kepada pemikir2 lainya.
    Mari kita perhatikan Firman Allah di akhir Surat Al Kahfi “Qul lau kanal bahru midada likalimati robbi lanafidal bahru qobla antanfada kalimati robbi walau ji’na bimislihi madada” [Saking luasnya/kaya rayanya ilmu Allah, sehingga diumpamakan lautan sebagai tintanya untuk menulis ilmu Allah masih tidak akan cukup untuk menuliskannya]. Ilmu Allah yang dikasihkan kepada manusia hanya sebagian kecil menurut pandangan Allah, tapi hasilnya begitu mencengangkan. Begitulah Allah dengan melalui cahaya agama dalam hatinya hamba Dia karuniakan sebagian ilmuNya.
    Sekarang kita hanya tercengang/kagum terhadap para pemikir/para saintis yang ditransfer ilmu dari para profesor yang dikaruniai ilmu oleh Allah [pemilik ilmu]. Dan kita hanya menikmati menyerap ilmu dari para saintis yang ditransfer ilmu oleh para profesor tersebut, kita hanya mengembangkanya seraya lupa terhadap pemilik ilmu [Allah] sehingga timbul anggapan bahwa sain dan religy tidak ada hubungannya sama sekali.
    Mohon maaf lahir batin,
    Wassalam,
    Atas nama pangarang,
    raksa5

    @
    Betul… apalagi kalau kita memperluas konteks pemahaman, seperti Mas sampaikan. Allahlah yang (sesungguhnya) pemilik ilmu, alam semesta ini adalah kalam illahi yang terwujud sebagai fakta kekuatan dan kekuasaan Maha Pencipta. Di sini persoalan akan selesai sebagai “selesai”.
    Orang beragama melihat fakta sains dalam konteks pandangan moral dan kepasrahan pada Sang Pemilik Segalanya, orang yang tidak berada pada kedekatan agama akan melihat fakta sains dari jaring falsafah pandangan (dan prasangkaan)nya terhadap alam semesta dan sains. Iptek sebagai produk sains pada saat ini lebih banyak disandarkan dari hasil pemikiran dan pengolahan tiada henti, “justru” dari yang menafikkan agama dalam kehidupan. Di sisi lain, para pemeluk yang taat pada agama juga sedikit berperan dalam perkembangan sains. Anggapan yang timbul adalah “tidak ada hubungan”.

    Suka

  10. El Za said

    Assalamualaikum Wr wb.

    saya tertarik dgn komentar Maz Agor di point 7.
    ada keinginan bebas dari manusia untuk mencoba berlepas diri dari agama, namun demikian fakta-fakta ilmiah di Alqur’an justru terungkap oleh sains modern di masa sekarang di saat manusia telah mencapai perkembangan yg memungkinkan untuk memahaminya.
    pertanyaan maz Agor ” Apakah dengan begitu manusia secara umum berada pada posisi lupa dan menghancurkan diri sendiri?…(jika agama tidak ada).”

    agaknya sulit dijawab, karena fakta menunjukkan pengaruh agama sejak jaman dahulu, dan itu pasti membawa dampak pada peradaban. Menjadi sulit dijawab karena kita tinggal di bumi yang satu-satunya ini, andai misal ada bumi lain yg memunculkan peradaban tanpa agama, mungkin kita bisa membuat komparasi.
    dan pengaruh itu juga telah membentuk watak dan peradaban bahkan membentuk perundangan system pemerintahan. Jadi faktanya, manusia tidak bisa steril dari pengaruh agama, bahkan di negara atheis sekalipun, pasti akan membuat perbandingan dengan negara non atheis, dan ikut terpengaruh secara tidak langsung.

    Baiklah, Itu pertanyaan yang menarik, dgn kata lain, andai agama di dunia ini tidak ada, apa akibatnya bagi manusia? begitu kan?
    Pada masa lalu (bahkan hingga kini pada kasus tertentu), setiap pelanggaran aturan Tuhan, selalu berakibat azab yg langsung, itulah makanya manusia sangat terpengaruh oleh agama.
    tetapi akan datang suatu masa, dimana manusia sudah tidak lagi memegang agama, ketika sudah tidak ada lagi manusia yang berTauhid kepada Allah. maka pada saat itulah “batas” pemeliharaan bumi, alias saatnya kiamat, karena sudah tidak ada lagi gunanya Bumi dipelihara sebagimana tujuan semula penciptaan manusia(sumber : Hadist, saya lupa riwayatnya)
    Percaya atau tidak itu kembali kepada iman, sebagaimana yang maz Agor sampaikan.

    Wasslamualaikum wr wb.

    @
    Wass. Wr.wb. Mas El. Memang berlepas dari agama dengan aturan dan fiqihnya adalah kecenderungan umum sehingga manusia “tidak dibebani” keharusan beribadah, tidak dibebani keharusan percaya adanya hari penghisaban, tidak perlu merenungkan adanya surga dan neraka. Manusia cenderung mengembangkan etika universal atas hubungan “permukaan” dalam sosialisasi manusia modern. Atau dalam bahasa paling umum adalah : MANUSIA TANPA AGAMA tidak mengharuskan manusia BERTERIMAKASIH PADA PENCIPTANYA. TIDAK PERLU APA-APA. CUKUP YAKIN SAJA KALAU ALLAH ITU ADA, DIA AKAN MAHA ADIL ATAU ALAM SEMESTA ITU ADA SEPERTI ITU SEJAK DARI DULU dan tidak akan berubah sampai kapanpun. Kalaupun akan hancur… ya 15 milyar tahun lagi deh.
    Nah, kalau begitu… apa dampak terhadap etika manusia dalam kehidupan di penghujung peradaban ini?.

    Namun, betapapun sampai kini, etika universal sangat dipengaruhi oleh agama. Tanpa agama sebagai sumber etika maka selalu terdapat kecenderungan etika+hawa nafsu adalah perpaduan ideal 😀 sekaligus 😦

    Suka

  11. El Za said

    Assalamualaikum wr wb.

    Masih menyambung point 10,
    berkaitan dengan akhlak di masa hampir kiamat itu, digambarkan bahwa manusia sudah jatuh kepada akhlak yang paling rendah, jauh lebih rendah dari hewan, sudah tidak ada aturan lagi mana yang boleh ataupun yang tidak, jangankan sex bebas seperti ayam di jalanan, bahkan sesama manusia saling memakan dagingnya sudah biasa, sangat-sangat mengerikan, dan bibitnya sudah ada sejak jaman sekarang, yang berangsur-angsur menggeser norma agama. pergeseran ini tidak hanya merusak kalangan bawah, bahkan sudah di kalangan system negara.
    sudah tidak ada lagi yang menganjurkan kebaikan, jika pun ada maka segera dimusnahkan oleh yang lain, jaman itu jaman yang sangat mengerikan, gelap bagai tak ada cahaya apapun lagi. Naudzubillah.

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Ya… dalam sistem dimana ahlak dan etika menjadi barang langka, maka apa pilihan bagi orang yang merasa dan “mengaku beriman”?….
    Ataukah akan ada waktunya manusia diganti dan didatangkan ummat yang “Mereka mencintai Allah” dan “Allahpun mencintai mereka?”

    Suka

  12. engkus said

    Saya mengomentari point no.10 dan 11,

    Memang betul disaat perkembangan dan kemajuan iptek dan sains yang begitu mengagumkan, ada sisi lain yang menurun drastis ke titik nol yaitu akidah dan akhlak. Saya jadi inget statment dari orang2 bijak (tidak pasti apakah hadis atau bukan)yang mengatakan bawa nanti akan datang suatu masa “adil,makmur sentosa dan sejahtera”. Tapi hal itu sebatas dimensi materi saja. Sedangkan dimensi agama akan padam (Agama sebatas simbolik, sedangkan aplikasi dalam moral sama sekali jauh bergeser dari norma2 agama, mereka yang betul2 memegang agamanya bagaikan memegang bara api dalam tangan,dilepas api itu akan mati, dipegang tak tahan dengan panasnya).
    Semua umat akan kebagian rasa keadilan, kemakmuran, dan kesejahtraan. Namun agama betul2 padam walupun banyak yang mendirikan sholat, menbaca alqu’an dan ibadah lainnya hanya kepalsuan belaka, karena pada masa itu (sekarang) manusia hanya senang mengejar kepalsuan dan takut/allergy pada yang asli. Hal itu diibaratkan seperti anak kecil yang merasa senang dengan mainan macan macanan. Tapi kalau dihadapkan dengan macan yang asli dia akan lari ketakutan.

    @
    Alangkah memiriskan hati masa itu. Tentunya sebuah masa yang ciri-cirinya sudah berada di lingkungan kita !?

    Suka

  13. kurtubi said

    iya benar sekali pertanyaan di belakang artikel sampean: apakah benar ada sains islam, sebagaimana juga apakah ada pakaian muslim, bank muslim dan berbagiai label lainnya… heheh OOT pak maaf yaa… justru komentar saya mencampuradukkan hal-hal yang ada dikepala… 🙂

    @
    😀 waktu saya mengawali membuat blog ini, memilih tema sains in religion, karena saya pikir sains itu ada dalam lingkup usaha manusia untuk mengenal dirinya dan untuk mengenali Sang Pencipta. Kalau temanya science and religion maka sains ditempatkan sejajar dengan agama kalau pilih “atau” maka menjadi pilihan, mau jadi saintis atau mau jadi agamawan. Entah mana yang lebih tepat, cuma rasanya lebih sreg sains adalah alat Allah kepada manusia supaya manusia mengenalNya…

    Suka

  14. cimole said

    hehe…..

    @
    🙂 😀

    Suka

  15. ALBERT PRAWIRA said

    Saya setuju , bahwa iptek tidak boleh bercampur dengan agama. karena agama merupakan hal terpenting dalam hidup ini sedangkan sains hanya sementara di dunia ini . sadarlah kawanku semua …
    indonesia sudah hancur gara-gara sains ini………………
    met tahun baru 2008……………………………

    @
    Ada beberapa hal yang perlu diamati dari pendekatan sains dan religiositas :
    Pandangan Islam :
    Alam semesta diciptakan oleh Allah SWT sebagai pencipta dan pemelihara.
    Alam semesta diciptakan dan dipelihara bukan sekedar materi saja (materialisme – yang menjadi pendekatan sains selama ini).
    Alam semesta menjadi suatu jalan mencapai tujuan (transisional) sebelum mencapai tahapan lanjut kehidupan.
    Alam semesta memiliki khasanah dan keteraturan (tertib moral – etika, aturan) yang sebagian terpahami sebagian lagi tidak.

    Hal-hal yang kurang/tidak bisa diterima sebagai bagian dari sistem islami antara lain :
    Kegiatan ilmiah dilakukan dengan cara khas islami (apakah ada !), kecuali dimulai segala sesuatu dengan basmallah.
    Penelitian keilmuan harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah. Kitab AQ bukan tuntunan ilmu pengetahuan (sains) tapi tuntunan akhlak.
    Penekanan pada persoalan mujizat dalam sains tidak dikenal.
    dan lain-lain.

    Jelas pula, sains dipahami, tapi tidak bebas nilai. Ada pencampuradukan pengertian dan penyikapan dalam hal ini yang seharusnya dapat kita lebih sistematikan lagi atau lebih arif menyikapi…. 😀

    Namun, terimakasih untuk ketajamannya memberikan pandangan … Met Tahun Baru juga dan trims kesudiannya berkunjung ke blog agor.

    Suka

  16. oRiDo™ said

    aku sih yakin klo semua nya kembali pada agama..
    🙂

    Suka

  17. haniifa said

    Siapa cepat… dia dia dapat 😛

    Suka

  18. Faubell said

    Assalamu ‘alaikum

    Agama dan Sains adalah suatu siklus tertutup (close circuit bagaikan suatu siklus air, ada bagian yang dikerjakan di bumi dan ada bagian yang dikerjakan di langit (atmosfir). Walaupun manusia sudah bisa membuat hujan buatan, toh kualitas dan kuantitasnya jauh sekali dari hujan Ciptaan Allah. Kenapa kita selalu lupa bersyukur…..??.

    Simbolis dalam matematika : agama/spiritual adalah bilangan -1
    sains adalah bilangan +1
    Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah pemberian dari Allah, maka saya lambangkan dengan bilangan -1, supaya seimbang ada tuntutan untuk mengaplikasikan pemberian itu untuk menjadi MENGADA di muka bumi dengan bahasa yang membumi dalam ranah sains.Idealnya adalah merepresentasikan bilangan +1, supaya totalitas adalah 0 (zero). Kalau tidak begitu, maka ada ketimpangan.
    Untuk menjadi MENGADA di muka bumi, ada tahapan yang dilalui yaitu KARSA, RASA, & CIPTA. Tahapan itu dilakukan oleh AKAL dan PIKIRAN. Akal yang baik adalah manakala meyakini -1 tadi, dan tidak mengkorupsi menjadi -1/2 atau -3/4 karena banyak jebakan didalam akal. Tugas pikiran adalah menuangkan dalam bahasa Sains sehingga membentuk WUJUD yang bermanfaat bagi alam.
    Kenapa BULE KEBO lebih maju dalam Sains, karena mereka memberdayakan pikirannya untuk mewujudkan +1 tadi, namun banyak yang melupakan -1 nya, sehingga tidak imbang, makanya banyak yang SAKIT JIWA, karena mengahalalkan banyak hal yang merusak jiwa.
    Sedangkan Manusia yang merasa berAKAL namun malas untuk berpikir, terjebak dalam angan2nya dan pikiran negatif, bahkan biar lebih wah merekonstruksi dirinya menjadi KEBO BULE, kebo yang kebule-bulean.
    Jadi ingat sejarah kenapa kebudayaan Islam mulai runtuh di SPANYOL. BULE KEBO maju karena SPAro NYOLong..:D.
    Lha kalau separuhnya dicolong lagi, apa jadinya ya?…Hiks..hiks..
    Kapan ya..?, bisa melihat orang2 berbondong masuk Agama Allah.

    Bangun….bangun…
    Wassalam.

    Suka

  19. haniifa said

    Assalamu ‘alaikum,
    @All
    Wahh… gimana jawabnya !! ( Anonymous != haniifa 😀 )
    Malah sebenarnya ingin saya tambahi komen mas @Anonymous

    Close circuit :
    Segala sesuatu yang berada dibumi, contoh : siklus air hujan, siklus piramida makanan,… dll, kira-kira hukum ke-kekalan energi.

    Open circuit :
    Segala yang datang dari langit (baca: luar bumi) menuju bumi, contoh : Sinar matahari, Grafitasi bulan, hujan meteor, hujan partikel… dll, dan setelah dibumi benda-benda/partikel tersebut tetap berada dibumi.

    Open-close circuit :
    Segala sesuatu yang menyebabkan osilasi dan berperngaruh pada tatanan di bumi, contoh: Pancaran sinar matari siang-malam, perubahan iklim, Grafitasi bulan sabit s/d purnama.

    Dunia ilmu pengetahuan adalah sistem Open-Close, namun untuk mencapai titik extrim harus berlandaskan Kitabullah (Sebagai Muslim Al Qur’an yang pertama dunk 😀 )

    Duhhh… jadi inget filosofisnya mas Albert 😀

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  20. […] Global warning Wong Elektro mesti ngerti dunk “arus searah”, “dioda” dan “transistor… […]

    Suka

  21. Faubell said

    @haniifa
    Assalamu ‘alaikum,
    Terimakasih atas definisnya.
    Apakah benar hujan meteor hanya proses open circuit?, air saja diuapkan dulu untuk oleh SINAR matahari untuk membentuk siklus air hujan.
    Memang sih kalau yang diperhatikan obyeknya (METEOR) tidak keluar lagi dari bumi, tetapi ada GAYA2 yang bekerja antara planet MARS & YUPITER yang menyebabkan meteor pada terpelanting masuk kebumi. Kenapa ya planet YUPITER, SATURNUS, URANUS, NEPTUNUS adalah planet GAS yang besar2 (JOVIAN/JOVIAL planet)? tidak seperti merkurius, venus, mars yang kelihatan ada BATUANnya?
    Apakah keberadaan JOVIAN planet tersebut adalah wujud AMALAN si “BUMI” dalam berikhtiar?
    Mari direnungkan.
    Wassalam

    Suka

  22. haniifa said

    Wa‘alaikum Salam,
    @Mas Faubell

    Hujan meteor saya definisikan sebagai “Open circuit” karena benda langit ini hanya berlaku hukum “One-directional” dari arah luar terhadap bumi terserah apapun bentuknya baik berupa gas karena gesekan dengan atmosfir bumi, atau terkondensasi membentuk awan kemudian tebawa oleh hujan ke-bumi, atau berupa serpihan kecil saja yang menimpa bumi (pernah terjadi di benua amerika, jatuhan batu meteor yang besar membentuk semacam kawah). Selanjutnya dengan adanya hukum grafitasi bumi benda-benda langit tersebut tidak kembali lagi ke langit khan !!
    (Kemungkinan mengandung “VIRUS”, nahh ini nyang membuat ilmuan kebo bule kelimpungan… 😀 )

    Sedangkan siklus hujan atau gelombang radio saya definisikan sebagai “Close circuit” terhadap bumi oleh karena itu berlaku hukum “bi-directional” dari arah bumi kembali ke-bumi.

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  23. Anonim said

    Mari kita fikir cipta’an, jgn fikir dzaty nxa

    Suka

Tinggalkan komentar