Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Bersimpuh Di Depan Kabah

Posted by agorsiloku pada Januari 7, 2007

Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika la ka labbaik, innal-hamda, wan ni ‘mata, laka wal mulka, la syariika lak. Labbaik allahumma labbaik, …

Kami sudah berpakaian ihram. Di dalam bis, menjelang malam masuk ke kota Mekkah, Ustad kami meminta jamaah melantunan talbiyah. Temaram menjelang malam, pertama kali masuk dari tanah halal ke tanah haram dalam alunan nada talbiyah yang perlahan seperti bersepakat dengan nada spiritual hati. Langit biru dan lampu sorot bis menyinari jalanan menghadirkan suasana sakral yang ada di hati masing-masing penumpang. Tak terasa, air mata meleleh; membasahi mata, mengalir ke pipi sebagian menetes ke baju ihram yang pertama kali dipakai.

Ya Allah, ya Rabb kami, kami penuhi panggilanMu, kami penuhi panggilanMu. Tak ada sekutu bagiMu. Saya susut air mata yang mengalir, mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca bis. Langit menjelang malam seperti menyambut suara hati kami digelar kerinduan, digelar kesedihan yang hadir begitu saja.

Hati bertanya-tanya, apa yang akan saya alami di dalam perjalanan haji ini. Lintasan-lintasan pikiran, kesalahan-kesalahan dalam kehidupan berganti-ganti masuk arena nurani. Inikah rukun ke lima itu, inikah perjalanan prosesi untuk datang ke rumahMu?. Apakah kedatangan ini akan ditunjukkan olehNya segala kejadian untuk mengingatkan hambaNya, seperti beberapa cerita yang saya baca atau dengar dari tanah air. Saya haruslah pasrah menerima semua ini. Terbesit kekhawatiran di dalamnya. Tanah Haram adalah Tanah Suci. Yang dihalalkan di tanah halal, menjadi haram di tanah haram. Sedang saya datang dengan seluruh kemaksiatan, datang dengan segunung kelalaian dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terpuaskan oleh akal dalam gelimang nafsu.

Air mata yang membasahi pipi kususut dengan tangan. Pandangan ke luar bis dan temaram menjelang malam setidaknya bisa menutupi rasa galau di hati dan tidak dilihat jemaah lainnya. Saya merasa tidak memiliki cukup persiapan untuk memenuhi panggilanNya. Kesibukan pekerjaan yang selama ini memenuhi seluruh pikiran telah menterlantarkan segala persiapan untuk memenuhi rukun ke lima ini.

Air mata adalah juga keajaiban yang meringankan beban hati dalam dada. Saya ingin pasrahkan saja segala apa yang memang seharusnya terjadi untuk terjadi. Ada sedikit rasa plong di hati. Suara talbiyah dari jemaah lain terdengar pelan, “kami datang… kami datang memenuhi panggilanMu”.

Ketika bis sampai di hotel, segera kami mengambil barang bawaan. Masuk ke hotel dan bersiap untuk memasuki Mesjidil Haram. Selama beberapa hari kami menginap di Mekkah, di hari pertama ini kami akan melakukan umrah karena waktu untuk berhaji masih lebih dari dua minggu lagi. Setelah berumrah akan ke Madinah selama sembilan hari, kemudian melaksanakan haji.

Tidak ada sedu sedan, thawaf dan sa’i dilakukan sesuai petunjuk pembimbing. Suasana yang ramai dan bacaan yang tidak begitu hafal membuat hati tidak mantap. Buku petunjuk depag Indonesia yang kugantungkan kubaca terburu-buru. Di setiap selesai satu putaran thawaf ada satu bacaan yang harus dibaca. Ribet rasanya, apalagi bacaan al Qur’an saya masih terbata-bata. Akhirnya, setelah memasuki putaran ke tiga, saya lupakan saja bacaan pada buku Depag itu, ambil yang sederhana saja, mengikuti petunjuk buku kecil hijau yang diberikan oleh Departemen keagamaan Arab Saudi. Pembimbing juga menyampaikan, jika kesulitan membaca pakai yang lebih ringkas saja. Jadi, saya pakai saja bacaan zikir dan doa sapujagat yang lebih ringkas. Rasanya ini lebih mantap.

Keramaian suasana tak begitu memungkinkan untuk khusyu. Namun, saya lihat beberapa jamaah yang menangis di depan Ka’bah. Pakai menangis segala. “Subhanallah”, seruku dalam hati. Seperti nasihat teman di tanah air, apa saja yang kamu lihat, dari pada memperbincangkan dalam hati, lebih baik gunakan untuk berzikir saja. Subhanallah, walhamdulillah, wa la ilaha ilallah, allahu akbar...

Tiba waktu sholat, thawaf berhenti. Semua sholat dahulu, kemudian thawaf dilanjutkan. Setelah thawaf, dilanjutkan sa’i. Juga dengan 7 putaran dimulai dari bukit shafa. Perjalanan sa’i mengingatkan jemaah memahami apa yang dilakukan oleh Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim untuk mendapatkan minuman untuk anaknya.

Usai sa’i, tahalul dengan memotong sedikit rambut. Selesai sudah umrah, bisa berpakaian biasa lagi.

Bersimpuh di Depan Kabah.

Usai do’a ketika melihat kabah, kemudian sholat di depan kabah, menatap rumah tua yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim di masa lalu. Ka’bah ditutupi kiswah, selubung hitam yang menutupi baitullah ini. Hati bergelora. Inilah titik pusat ummat Islam, di mana dari segala arah ummat sholat menghadap kiblat. Inilah gambar yang sering ada pada sajadah, tempat saya bersimpuh tanpa khusyu. Berdo’a asal jadi dan sering hanya ingin cepat-cepat saja menyelesaikan sholat. Namun, kini hanya berjarak beberapa belas meter saja di depan Ka’bah. Inilah rumah pertama yang dibangun untuk memujiNya, untuk beribadah padaNya.

Pada raka’at terakhir dari suatu sholat di depan Ka’bah, mata menjadi basah. Tak terasa air mata mengalir mengikuti bacaan sholat yang terpatah-patah. Ketika sujud, menjadi sujud yang menjadikan lutut dan tangan melemas, tertunduk dalam kenestapaan. Luluh lantak rasanya hati ini. Do’a permohonan ampunan Allah mengalir dari tenggorokan. Subhanallah, maha suci Engkau ya Allah telah membawaku, mengijinkanku datang ke sini, memenuhi panggilanMu. Saya tertunduk, kemudian menatap nanar Ka’bah. Di sekeliling Ka’bah ramai orang berthawaf, beberapa yang sholat di bagian ini (maqam Ibrahim) ada juga yang menangis. Tidak lelaki, tidak juga wanita. Beberapa di antaranya larut dalam suasana hatinya masing-masing.

Ternyata, alangkah nikmatnya penghambaan ini. Sholat di Mesjidil Haram, bersimpuh di depan Ka’bah adalah kenikmatan. Tidak ada tempat di muka bumi ini yang memiliki citarasa kenikmatan untuk beribadah, senikmat di Mesjidil Haram. Tak terjelaskan oleh kata-kata. Ramainya manusia yang berthawaf, sholat di sana-sini menjadikan kita berada pada bagian terindah dalam perjalanan nurani.

Saya mengerti kini, mengapa banyak jamaah ingin kembali ke Mekkah, bersujud di sini. Memuji dan memuja namaNya, mengagungkan kuasaNya. Kenikmatan yang dirasakan, kedamaian yang menyelimuti hati, tak bisa ditandingi oleh sisi manapun dalam perjalanan spritual manusia. Allah maha besar, tidak ada sekutu bagiMu. KepadaNyalah kita akan kembali.

Tiba-tiba saja saya ingat lagi tentang pahala. Sholat di Mesjidil Haram, bila diterimaNya, berpahala seratus ribu kali dibanding sholat di mesjid lainnya. Seratus ribu kali euy, itu kan sama dengan sholat 5 waktu selama hampir 55 tahun!!!!. Alangkah maha PemurahNya. Di sini saya harus bisa menggali pahala, seru hatiku, di sini juga dapat dirasakan kenikmatan menjadi seorang hamba. Di sini juga ada harapan terhapuskannya segala kemaksiatan yang telah menjadi bagian dari nafsu duniaku selama ini.

Bersimpuh di depan Kabah adalah sesuatu yang tak terjelaskan lagi dengan kata-kata. Ringan rasanya langkah-langkah untuk kembali ke hotel. Saya menginap di Hotel Al Rawasi, hanya 100 meteran dari gerbang pertama mesjid.

(Catatan Perjalanan Hajj 3)

8 Tanggapan to “Bersimpuh Di Depan Kabah”

  1. Abah mama saya lagi di tanah suci juga…
    Kangeen…
    semoga mereka menjadi yang terbaik yang mereka bisa..
    BTW, posting yang mencerahkan! Trims,,,

    Suka

  2. arief said

    saya ucapkan selamat bagi anda yang telah menjalani ibadah haji. walaupun saya belum punya ongkos buat kesana, saya ingin sekali pergi haji. doakan arief ya supaya arief dan keluarga arief bisa sempat kesana…

    Suka

  3. agorsiloku said

    @ Mas Jurnalis super
    Salam juga.
    @ Mas Arif,
    Semoga Allah mengabulkan doa Mas. Insya Allah terkabul. Berhajilah selagi muda karena memang kegiatannya membutuhkan fisik yang sehat. Orang-orang yang jauh sebelum kita, berhaji sampai 4-6 bulan, mengarungi samudra. Bahkan katanya ada yang tersesat ke benua lain. Kini, segalanya menjadi lebih mudah. Iba juga rasanya melihat orang tua, bungkuk, sakit tetap berjuang untuk mendapatkan ridhaNya. Mereka-mereka itu, boleh jadi sudah haji sebelum berangkat haji…..

    Suka

  4. sugeng said

    Subhanallah…..,sungguh saya terharu membaca “Bersimpuh di depan kabah”…., alangkah bahagianya bagi mereka yang sudah melihat kabah secara langsung, bisa bersimpuh di depannya…
    sementara saya baru bisa berangan-angan, doain sugeng juga ya biar bisa lekas umroh dan haji… amiin….

    @
    Amin.

    Suka

  5. wiriajaya said

    Doakan kami diberi umur dan rezeki berhaji di tanah suci, dan doakan kami menjadi haji yang mabrur dan dihapuskan segala dosa.
    Amin

    @
    Semoga do’a Mas didengar dan dikabulkanNya. Amin

    Suka

  6. tofa said

    subhanaallah…smoga smua orang bisa menunaikan ibadah haji

    @
    Subhanallah… semua orang !?, jika mampu dan menginginkan lalu mengusahakan, dan diijinkanNya….

    Suka

  7. Budhe dati said

    Mengenang haji menjadi spirit sendiri buat saya. Melihat foto-foto ketika haji, membaca pengalaman haji selalu membuat hati bergetar. Merasakan kembali kebahagiaan ketika bersimpuh di depan ka’bah menjadi obat untuk hati yang sedang suntuk. Sayang saya tak bisa mengekspresikan dengan kata-kata seindah mas agor…

    Suka

    • agorsiloku said

      Terimakasih dan teriring salam, kiranya Budhe Dati senantiasa dalam rahmat dan hidayahNya yang berlimpah menyelimuti isi alam semesta ini. Agor juga membaca kembali, mengenang kembali… betapa terasa kerinduan itu menyesakkan dada dan mengalirkan pada keniscayaan yang sulit untuk diungkapkan. Tentu Budhe Dati juga telah mengekspresikan dalam buliran hati yang sampai ke berbagai penjuru dari orang-orang yang menyayangi, dari alam sekitar dan kita semuanya. Rasanya tidak pernah ada kata kata indah yang bisa diungkapkan ketika kita bersimpuh dalam sejuta pengharapan dan ketidakberdayaan di rumah tuaNya, tempat pertama kali rumah tempat menyembah dan menyucikan namaNya. Yang menjadi perlambang bagi manusia untuk hadir memenuhi undanganNya….
      Wassalam, agor

      Suka

Tinggalkan komentar