Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Standarisasi Kepribadian Muslim

Posted by agorsiloku pada Desember 15, 2006

He…he… judulnya bagus tenan. Jelas dong tolok ukurnya. Standarisasi ini mengisahkan hal-hal yang memang harus dikuasai, dipatuhi. Pokoknya sebagai tuntunan, oke banget. Akidah yang benar, Ibadah yang benar, Ahlak yang kokoh (serupa yang dicontohkan junjungan), kekuatan jasmani yang oke, kemampuan berpikir yang canggih, kemampuan untuk berjuang melawan hawa nafsu, pandai menjaga waktu, keterampilan mengatur urusan, kemampuan untuk berusaha mandiri, dan bermanfaat bagi orang lain.

Lengkap dan sempurna!

Saya sih percaya, jika itu dibumikan, maka akan menjadi kekuatan ahlak yang dahsyat. Menjadi penerang di tengah keabsurditasan kehidupan sosial. Saya juga percaya ada sejumlah orang yang berada pada tataran yang memenuhi 10 syarat keunggulan pribadi.

Namun, untuk kebanyakan anggota masyarakat kita. Untuk mencapai angka cukup berarti pada skala pengertian masyarakat madani yang taat dan berakidah oke, rasanya pada bagian-bagian tertentu justru tidak atau minimum kurang diperlukan.

Mengapa?.

Karena kita (maksudnya saya) belum pintar melangkah, pada beberapa kenyataan kita berada pada kelas-kelas elementer. Jadi, menjadi terlalu berat jika berada di intermediate apalagi advance.

Lalu, yah… menurut saya sih kampanye saja mulai dari hal-hal sederhana.

Misalnya apa ya?.

Wah nggak tahu juga ya, tapi menurut saya ulama kita, para da’i jangan hanya mengingatkan hubungan dengan Sang Khalik dan model-model peribadatan saja, tapi bagian-bagian utuh dari proses ahlak antar manusia dan sebagai anggota masyarakat madani perlu mendapatkan perhatian.

Ya, sekedar jual gagasan saja, tanpa mau konsekuensinya. Para pemimpin spiritual harus berbicara lebih keras untuk hal-hal, misalnya :

sabar dalam antrian di jalan raya,

menyalip kendaraan di depan,

meringankan timbangan, atau literan,

menjual barang kadaluarsa,

menukar sandal di mesjid,

memotong atau menyalip kendaraan lain,

membayar tilang sama polisi,

membuang sampah di jalan tol, jalan umum, atau ke rumah tetangga

mengambil buah punya tetangga,

menjual barang busuk,

menerima uang hasil korupsi,

membagi-bagi hasil korupsi dan bentuk-bentuk korupsi.
berdemostrasi sebagai lahan bisnis atau protes?

menghina agama yang berbeda, atau yang tidak mau beragama sekalipun.

memperolok-olokan presiden, juga ulama atau tokoh.

mengistanakan rumah,

memfoto copy buku bajakan,

beli CD atau kaset bajakan atau software bajakan,

memaki isteri, memaki tetangga, menyesat-sesatkan yang tidak sepaham,

membuang sisa makanan di restoran, di rumah, di jalan.

tersenyum kepada tamu,

dan perkara yang sesungguhnya benar-benar hadir dalam keseharian kita. Dan kita juga menjadi pelaku aktifnya?.

Tapi,…

ada hal yang menurut saya prinsip, kita kadang melihat kasus dari kacamata moral, tapi tidak memahami bagaimana sudut pandang moral/etika, melakukan pengukurannya untuk dibumikan. Kalau semua keshalehan itu berada pada integritas pribadi, maka barisan untuk menjadi kesalehan massal dan kesalehan sosial juga tidak terbentuk.

Ini yang tampaknya semakin langka. Kebetulan ada teman cerita, dia tinggal di Jepang. Di jalan dia kehilangan (jatuh dompetnya). Esoknya dia dapatkan di kantor Polisi. Dan cerita sejenisnya. Lha, ini di Indonesia, benar-benar barang langka. Seolah tidak ada lagi hubungan antara kesalehan kepada yang MahaKuasa dengan masyarakatnya. Pengebirian ini kita lakukan dengan sadar atau saking terbiasanya, kita sudah anggap menjadi lumrah.

Mengapa pemimpin spirtual?, kenapa tidak hukum, kenapa tidak tanya pada penguasa (pemerintah). Yah, karena di situ segala gelimang ada. Dan tampaknya pelurusan timpang, karena hukum dan pelaksanaannya berada di bawah sandal-sandal penguasa yang zalim. Terlalu lama, dan kita sudah larut di dalamnya. Orang menjadi kaya dengan cara tak halal atau melanggar hukum akan dinilai tidak melanggar hukum, sampai benar-benar hukum menjeratnya. Masyarakat akan cenderung kagum dan hormat pada orang kaya dan berkuasa, meskipun dia zalim. Zalim yang secara fisik tampaklah yang masih bisa terukur. Zalim kapitalistik, sudah menjadi bagian dari kecerdasan. Sehingga eksploitasi menjadi hal yang wajar dan terhormat. Kita sudah tidak lagi bisa mengenalinya.

Semua yang a sosial, begitu erat dalam keseharian dan semuanya menjadi indah.

5 Tanggapan to “Standarisasi Kepribadian Muslim”

  1. Jadi, selama ini saya sepertinya baru dalam tahapan “mengaku” sebagai muslim ya? Belum “diakui”…
    Yang mengakui itu siapa juga?

    Suka

  2. El Zach said

    Assalamualaikum Wr wb

    inti dari Islam ini sebenarnya adalah akhlak, Akhlak kepada Allah Yang Esa, Akhlak kepada diri sendiri, Akhlak kepada sesama manusia, Akhlak kepada mahluk hidup lain, Akhlak kepada lingkungan semesta. Dengan demikian jika seseorang telah beriman Islam dengan benar, insya Allah akan sempurna akhlaknya.
    Tidaklah Allah mengutus Nabi Muhammad SAW kecuali untuk memperbaiki Akhlak umat manusia.
    ini seharusnya yang menjadi standard kepribadian Muslim.
    dengan demikian tindakan apapun yg melanggar akhlak tentu ada konsekuensinya, di dunia dan terutama di akhirat nanti.
    inilah yang sering dilupakan Guru-guru agama, sehingga yg dipandang sebagai muslim itu sifatnya parsial, mungkin soal sholatnya saja, puasanya saja,lahiriahnya saja, dsb yg sifatnya ritual. Tetapi melupakan makna/hikmah dari ritual2 tsb.
    padahal ada banyak contoh dari kisah teladan di masa Rasulullah SAW, yg menunjukkan inti dari akhlak ini.

    Di Negara2 maju, penerapan akhlak ini lebih bersifat tinjauan sebab akibat,bukan dari sudut pandang agama, dengan demikian mereka merasa perlu untuk mendidik perilaku ini sejak prasekolah hingga perguruan tinggi dgn tdk lupa menyampaikan nilai sebab akibat dari kasus per kasus.
    misal,
    a. antri itu penting krn jika tdk antri akan terjadi kekisruhan sehingga merugikan dan mempermalukan semua orang.
    b. kebersihan harus dijaga, krn kalau sampai sakit, maka produktifitas untuk mencari nafkah akan hilang/berkurang sehingga merugikan diri sendiri dan perusahaan.
    dsb..dsb
    krn itu tdk heran di sekolah TK (Jepun) misalnya, benar-benar diajarkan bagaimana tatacara antri, membuang sampah yang baik, menata meja hingga bersih, dsb, beda dgn kita, sudah dipaksa menghapal 5000 nama presiden dunia. Ini baru 2 contoh saja.
    tidak heran salah seorang pejabat tinggi mereka pernah mengatakan, orientasi pendidikan di Indonesia tidak jelas.

    sebenarnya kita jauh lebih lengkap, karena tdk hanya dipandang dari sudut duniawi saja, tapi juga ada konsekuensinya di akhirat nanti.

    dan semua itu harus dimulai dari pribadi masing-masing Muslim, tdk perlu menunggu pemerintahnya bagus, setelah diri sendiri bagus, maka cahayanya akan menyebar ke sekitarnya, entah sebagai teladan atau diajarkan. Sebagimana Rasulullah dahulu sendirian ditengah rusaknya moral negara2 jahiliyah, sehingga cahayanya menyinari seluruh dunia.inilah sifat Rahmatan lil Alamin. !

    begitu pula sebaliknya, jika seseorang berbuat keburukan, maka idenya akan menyebar ke sekitarnya, lebih-lebih pemimpin yang buruk, akan dicontoh masyarakat luas, misal seorg pemimpin yg korup, maka sifat korupnya itu pasti dan pasti akan menjalar ke rakyatnya, apalagi jaman sekarang tiap kejahatan idenya menjalar luas melalui media masa.

    Wassalamualaikum.

    Suka

  3. agorsiloku said

    Betul Mas El Zach, kita jauh lebih lengkap, namun semakin sedikit rasanya diamalkan….

    Suka

  4. Dono said

    Ass.wr.wb,
    Memang manusia diciptakan sempurna atas kejadiannya,disamping itu ada juga yg kurang lengkap atas takdirNya.Kita yg lengkap ini musti banyak berterimakasih kepadaNya.
    Jangan kita seperti kaum yahudi, mereka diselamatkan dari kekejaman firaun oleh Allah s.w.t, itupun mereka masih mau menyembah berhala ( sapi betina ).
    AstafirAllahalzim.

    Wassalam.

    Suka

  5. […] oleh agorsiloku di/pada April 1, 2009 Apakah beramal itu berpahala?. Apakah bekerja itu […]

    Suka

Tinggalkan komentar