Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Tafsir Surah Al-Ma’un : Pembelaan Atas Kaum Tertindas

Posted by agorsiloku pada Desember 23, 2008

Nur Khalik Ridwan : Tafsir Surah Al-Maun – Pembelaan Atas Kaum Tertindas, Penerbit Erlangga,2008, 270 hlm.

Judul buku ini cukup menantang : Pembelaan Atas Kaum Tertindas, Surah Al-Ma’un.  Memang surat pendek ini penuh makna dan memposisikan kaum teraniaya, tidak berdaya (dari segi harta) untuk mendapatkan tempat dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ummat yang mengaku beragama. Di mata surat ini, pendusta agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin.  Pernyataan Allah yang begitu tegasnya untuk menegasi bahwa kekurangperhatian pada orang-orang “tak berdaya” dan membiarkan orang miskin berada dalam kemiskinan adalah PENDUSTA AGAMA.  Yap… pendusta.  Maka kecelakaanlah buat orang-orang yang shalat, yang lalai dalam shalatnya, berbuat riya dan enggan menolong dengan barang yang berguna.

Beragama dalam surah Al-Ma’un tidak selau identik dengan kesalehan dan ketakwaan.  Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang bisa dipercaya dan membawa amanah (hlm 3).  Wacana besar yang dibawa surah ini adalah membalik semua itu dengan mengatakan bahwa kalangan orang beragama itu “ada pendusta agama”.  Orang yang haji dan shalatnya rajinpun bisa jadi adalah pendusta agama.  Simbol agama dan kesalehan vertikal tak selamanya sepadan atau segaris dengan apa yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri.  Bahkan bisa jadi kesalehan ritual agama yang dilakukannya merupakan manipulasi semata untuk mengkhianati agama .

Surah Al-Ma’un ini juga membawa pesan : betapa pentingnya keterlibatan sosial dan pembelaan sosial kepada masyarakat miskin, minoritas, dan pentingya membela ketidakadilan dan menjustifikasi gerakan-gerakan sosial berbasiskan santri dan kitab kuning (hlm 4).  Jelas sekali bahwa surat ini memberikan petunjuk bahwa kesalehan ritual tidak menjadi bermakna tanpa kesalehan sosial.

Buku setebal 270 hlm ini, menjelaskan pula bahwa cita-cita NU maupun Muhammadiyah terilhami oleh poin-poin dari Surah Al-Ma’un ini.  Mendirikan panti asuhan, sekolah, rumah sakit, dan lembaga nirlaba lainnya dimotivasi oleh pesan tersurat dari Al Qur’an.

Pembahasan panjang lebar dari penulisnya perihal banyak hal diuraikan pendek-pendek dan panjang-panjang dalam bahasa kedalaman yang “sulit dipahami” oleh orang awam.  Baru mulai bab ke tujuh (hlm 104) pembahasan masuk pada skenario mengenai surah ini.  Sumber-sumber rujukan dan analisis di sana-sini dari berbagai sudut pandang mengenai wahyu, mushaf,  mufasir, dan lain sebagainya cukup memperpanjang isi buku ini.  Boleh jadi memang bahasan penting untuk mereka yang ingin ngelmu tentang berbagai logika-logika kebahasaan dan sumber serta analisisnya; tapi sangat melelahkan untuk orang yang hanya ingin membaca nuansa praktis dan esensi persoalannya.  Buku ini lebih mirip dengan karya skripsi atau mungkin tesis ketimbang pembahasan dari usaha memaknai dan memotivasi agar pembaca umum menyadari betapa perhatian Allah terhadap kaum tertindas harusnya dijadikan perhatian seksama.  Bukannya penulis tidak menyampaikan pesan ini, tapi kerumitan isi sangat kuat terasa sedangkan fakta-fakta sosial dan kemiskinan yang selayaknya muncul pula dalam pembahasan kaum tertindas sebagai fenomena negeri ini nyaris tidak muncul sama sekali ke permukaan.

Buku dengan bahasan berat ini cocok untuk pembaca yang ingin mendalami lebih dalam dan lebih ke dalam lagi pesan yang dikandung dengan pemaknaan yang jauh lebih ke dalam.  Dengan kata lain, buku ini sangat bersifat akademis ketimbang menjelaskan fenomena sosial yang menggugah ummat atas kurangnya perhatian pada pesan yang dikandungnya.  Kering dari ilustrasi aktual adalah salah satu titik lemah dari buku ini yang semestinya dengan judul segagah ini akan lebih baik jika dilengkapi fenomena sosial yang merujuk pada perhatian antropologis dan struktural kemiskinan bangsa ini.

Beberapa bagian dari buku ini, bisa jadi pula menimbulkan polemik karena kebebasan berpikir dari penulisnya misalnya mengenai shalat dua bahasa (hlm 215).  Namun, secara keseluruhan bahasannya cukup menarik untuk disimak, lepas dari sepakat atau tidak sepakat dengan pandangan penulisnya.  Toh fakta juga kita lihat sehari-hari bahwa ritual-ritual dan tampak sebagai orang bertakwa begitu kentara, tetapi ketika bertemu dengan orang miskin maka matanya dan mata hatinya dialihkan ke tempat lain.  Bahkan negara dan pemerintahpun berbuat demikian.  Mengusir orang miskin jauh lebih mudah dari pada mengentaskan dari kemiskinan.  Dan kita merasakannya setiap hari…

13 Tanggapan to “Tafsir Surah Al-Ma’un : Pembelaan Atas Kaum Tertindas”

  1. lovepassword said

    Mengusir orang miskin jauh lebih mudah dari pada mengentaskan dari kemiskinan.

    Kalo caranya menghilangkan kemiskinan adalah dengan cara ini. Yah mungkin levelnya pembesar kita emang cuma sampe sini. HI HI HI
    Supaya kota X nggak ada kemiskinan, buang saja orang miskin ke kota Y, dari kota Y supaya nggak ada kemiskinan buang lagi orang miskin ke kota Z. Endingnya buang saja orang miskin ke Luar Negeri. Otomatis kan nggak ada kemiskinan tuh. Lha wong orang miskinnya sudah nggak ada.
    Yah…Gicu deh…

    @
    Suatu hari, karena tugas dinas, saya berangkat dengan teman saya yang kebetulan baru pertama kali mendarat di luar negeri (Eropa). Pertama kali, dia melihat public transportation yang tepat waktu; komentarnya masih saya ingat benar :”mereka benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyatnya…”.
    Kisah perilaku membuang orang miskin dan orang gila dari satu kota ke kota lain bukan perkara bohong, tapi menjadi buah bibir di antara suara “rakyat”. Ketika walikota atau bupati meminta agar kota dibersihkan dari kaum papa dan orang gila, maka terjadilah orang teraniaya diusir dan orang gila dikumpulkan untuk dimasukkan ke dalam mobil tertutup kemudian dibuang di kota lain. Memang saya hanya mendengarnya dari cerita, tetapi yang bercerita adalah rekan-rekan swasta yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap kejadian ini.
    Alangkah nistanya perbuatan ini……

    Suka

  2. Sains-Inreligion bicara tentang orang tertindas?
    Wow! Sains yang langka!

    @
    Mas Shodiq Mustika ini ada-ada saja. Namun, bukankah kita sama menyadari bahwa sains yang menghasilkan produk teknologi juga menindas sebagian manusia lainnya, menciptakan alat pembunuh yang makin canggih dan menjualnya kepada mereka yang saling membenarkan dirinya demi agama, demi ekonomi, dan demi kekuasaan…..

    Suka

  3. Gusti Dana said

    Ass.Wr.Wb..

    Hanya 1 ayat pendek saja dari Al-Qur’an saja sudah sebagian ditafsirkan dengan buku yg sangat tebal.

    Kalau seluruh Ayat dari Al-Qur’an ditafsirkan bagaimana ya Mas??:-o.Mungkin lautan tinta akan kurang untuk menulis penjelasan ayat2 Allah.

    Subhanallah..

    @
    Wass ww.
    Dan Allah Azza Wa Jala mengingatkan kita bahwa pemahamannya tidak akan juga dipahami oleh manusia. Perbendaharaan yang manusia juga tidak bisa menjangkaunya, hanya bisa mengimaninya.
    Subhanallah.

    Suka

  4. […] 2008, 12:53 pm Posted by zal in Yang direnungkan. trackback Tertarik dengan postingan Mas Agor disini,  yang  menyajikan ulasan sebuah buku yang mengambil dasar pemikiran dari AQ : 107 […]

    Suka

  5. Jalan pintas..
    tak pernah pantas..!
    Realita menyedihkan..!

    @
    Bangsa yang susah besar,.. karena usaha mengentaskan kemiskinan hanya menjadi wacana….

    Suka

  6. […] Tafsir Surah Al-Ma’un : Pembelaan Atas Kaum Tertindas […]

    Suka

  7. Wahid said

    Biaya untuk Pemilu 2009 sebesar Rp. 47,9 triliun (bs u/ bikin sekian banyak rumah). Coba biaya itu bwt ngentaskan kemiskinan (sekolah gratis, rumah sakit gratis). Daripada…. buat kampanye (bwt bikin spanduk, baligo, kaos, bendera, jaket, …. kan ga manfaat tuh…???

    @
    Biaya pemilu Indonesia memang luar biasa besar dan rumitnya…
    untuk apa sebesar ini, sedangkan kemiskinan tidak juga dientaskan…. 47,9 T… benar-benar tidak masuk akal….

    Suka

  8. rochyadi said

    mari semua introspeksi. apakah kita sudah peduli terhadap kemiskinan di sekitarkita? . kalau saja masing2 peduli kpd keluarga masing2 ini sudah merupakan upaya mengurangi beban pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. pemerintah wajib peduli terhadap rakyatnya terlebih rakyat miskin, namun banyaknya urusan yang harus ditangani, akhirnya kewalahan. untuk itu marilah menyikapi apa yang dikatakan dalam Surat Al Maun kita mulai dengan jangan saling menyalahkan, tetapi dengan berbuat hal nyata yang positif yang dimulai dari diri sendiri masing2.

    Suka

    • agorsiloku said

      Mas Rochyadi, tentu benar, mari kita introspeksi dengan lingkungan kita, dengan desa kita dan dengan tanah air kita, dan dengan keseluruhan isi dunia ini. Perhatian berbagai organisasi agama di dunia atau yang tidak memiliki afiliasi dengan agama pun mencurahkan perhatian pada sisi-sisi kemanusiaan. Organisasi kiri atau kanan, memberi perhatian pada anak terlantar dan kaum tertindas. Suatu hal yang patut diapresiasi. Namun fakta pula bahwa, gelandangan dan kaum terlantar setelah lebih dari 50 tahun merdeka, Indonesia menjadi negara yang semakin jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara yang merdeka berpuluh tahun kemudian. Dengan kata lain, peran negara dan Pemerintah untuk memenuhi tujuan memakmurkan masih berlepotan. Dari pandangan ini, saya lebih mengatakan. Persoalannya bukan partisipasi, tapi KEHARUSAN NEGARA dan PEMERINTAH untuk menjawab tantangan untuk mengentaskan kemiskinan, memberikan dukungan penuh pada fasilitas masyarakat dari berbagai sudut. Pemerintah adalah yang memerintah, itikad itu harus tercermin nyata dalam setiap upaya birokrasi. Jadi, gerakan masyarakat dan anggaran serta tindakan dari pemimpin akan jauh memberikan kontribusi besar pada keseluruhan tujuan dibanding dengan partisipasi masyarakat. Jadi, Pemerintah HARUS DISALAHKAN, DIINGATKAN. Sama sekali bukan dengan pernyataan : MULAI DARI DIRI SENDIRI BERBUAT POSITIF YANG DIMULAI DARI DIRI MASING-MASING. Kalau pandangan seperti ini dimiliki dan dijadikan PEGANGAN oleh Birokrat, niscaya akan jadi sumber petaka dan PEMERINTAH hanya mengatakan, ini harus dari PARTISIPASI masyarakat. Inilah pernyataan yang sifatnya politis. Di Negara manapun, sukses ekonomi dan kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh PARTISIPASI masyarakat, tapi dari TATANAN yang dibangun oleh para PEMIMPIN BANGSAnya. Pemimpin FORMAL, bukan pemimpin informal. Pemimpin adalah pemegang amanat, bukan kampanye untuk kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Kalau hakikat kepemimpinan dipegang sebagai amanat, maka cerita Indonesia menjadi lain.
      Tentu kita memberikan apresiasi kepada semua pihak untuk membela kaum tertindas, itu adalah upaya mulia. Alangkah indahnya jika pemegang kekuasaan berpikir dan beramal shaleh seperti mereka yang membangun dan berkontribusi nyata dalam mengentaskan kemiskinan. Watak moral, tumbuh bukan dari gedung bertingkat seratus atau mesjid yang bertahtakan emas, tapi dari perhatian semua ketertindasan. Kita akan sepakat itu.
      Tragisnya bangsa ini, lebih suka mengusir kaum miskin dari arena kerasnya kehidupan atas nama Perda dan Perundang-undangan, dari pada memenuhi tugas mulia berbangsa yang dirujuk oleh para pendiri bangsa ini…..

      Suka

  9. hendra said

    Boleh ga saya nge link??
    nuhun

    Suka

  10. ” Penafsiran Surat Al Ma’un sungguh menginspirasi saya untuk bercita-cita menjadi pengusaha yang dermawan,dan mendirikan panti asuhan dan sejenisnya,alangkah indahnya jika semua orang saling berbagi”

    Suka

  11. Pencari Ilmu said

    Nice Resensi, kritis dan mencerdaskan

    Suka

Tinggalkan komentar