Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kyai Tolong Doakan Pelacur Saya (2) Tamat

Posted by agorsiloku pada Oktober 17, 2009

Tiupan angin pantai yang menerpa wajah Pak Kyai, kadang keras kadang lembut di tengah terik matahari menjelang siang, sepertinya tak lagi mampu menghentikan keringat panas dingin yang mengalir.  Permintaan anak muda yang berbeda belas tahun dengannya tak terbayangkan sebelumnya.  Naudzubillah min zalik !. Logika macam apa ini?. Permohonan macam apa ini?, memohon dimudahkan untuk suksesnya maksiat. Tak pernah terbayangkan ada permintaan begitu rendahnya dari manusia macam ini kepada Yang Mahasuci?. Kesediaannya untuk mendo’akan terbentur dengan perang nurani dan logika.
Namun, hatinya sedikit terhibur pula. Bukankah tidak sedikit para orang-orang besar di negeri ini juga yang berucap syukur karena menerima amplop, bertambah rekeningnya karena keputusan yang dibuatnya. Bahkan sambil bertanya kepada penyogoknya :”ikhlas?”. Lalu dengan senyum penuh santun dijawab “Lillah hita’ala”. Kemudian dijawab lagi :”Alhamdulillah kalo begitu”. Dan amplop berubah jadi tas kotak keren yang sering dibawa para petinggi atau eksekutif. Isinya tumpukan uang seperti di film-film mafia, pertukaran terjadi di lift, di hotel, dan dimana saja yang sebisa-bisanya tidak terlacak aparat….

“Namun itu adalah pilihan manusia di dalam menjalani takdirnya”, sergah Pak Kyai yang sedang berdialog dengan dirinya sendiri. “HambaMu ini memilih mencintaiMu ya Rab!, memilih jalan lurus yang Engkau tunjukkan pada hambaMu. Namun, mengapa Engkau memintaku untuk memenuhi permintaan anak muda ini?. Permintaan yang Engkau tentu akan melak’natnya?”.

Ditatapnya anak muda ini dalam-dalam. Tak tahu harus menjawab bagaimana. Pertarungan kalbu dan pikirnya beradu-adu. Sedang Mas Tugimin menatapnya berbinar-binar. Mata Pak Kyai juga ditatapnya pula. Tampak memang keterkejutan pada wajahnya, sinar matanya terang sejenak namun kemudian meredup lembut. Wajah Pak Kyai yang tetap lembut menenangkan hatinya. Tugimin yakin, melalui orang-orang seperti inilah permintaannya kepada Tuhan akan dikabulkan. Capek rasanya promosi ke sana-sini, bahkan juga meminta petuah dan syarat dari berbagai macam yang hasilnya tidak juga membuat Tugimin merasa hidup mandiri. Tugimin yakin betul, bahwa do’a hanya makbul di tangan Kyai seperti ini. Biayanya juga tidak begitu mahal, hanya beberapa pincuk nasi, sambal, dan ayam beberapa potong yang sengaja digoreng dan diraciknya sendiri sudah cukup untuk menyenangkan hati Pak Kyai yang akan ditugasinya menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Bukankah Tuhanku dan Tuhannya sama. Tuhan boleh jadi enggan mengabulkan doaku karena aku hidup sembarangan dan hanya tahu waktu sholat tapi ogah mengikuti ritualnya. Mesjid hanya untuk tempat beristirahat karena kerap lebih bersih dari pada rumah kecilnya di pesisir pantai ini. Tapi, kalau melalui Pak Kyai, tentulah Tuhan akan tak kuasa menolak permintaannya.

Tugimin tersenyum.

Terbayang sudah pelacurnya yang beberapa sudah beranjak tua itu akan kembali bergairah. Beberapa kamarnya yang mulai kusam akan dicatnya kembali, dirapihkan biar tamu-tamunya senang. Tugimin tentu tidak usah lagi menomboki salah seorang perempuannya yang semestinya sudah dia usir, tapi iba karena anaknya yang tinggal 100 km dari sini masih membutuhkan ibunya yang bekerja padanya.

Tugimin kembali tersenyum kemenangan.  Tuhan dalam pikirannya adalah Tuhan yang akan memenuhi pemintaan Tugimin melalui jalur yang benar.  Kalau di depanku ada seribu pintu untuk memenuhi permintaanku dan semuanya digembok erat-erat.  Maka dengan tatapan mata Pak Kyai dan tiupannya saja, maka pintu-pintu uang itu akan terbuka.  Tuhan takkan beranilah menolak doa hambaNya yang saleh.

Lamunannya kemudian buyar.

“Nak Tugimin.. eh Mas Tugimin..” Pak Kyai menyapa dengan helaan nafas yang berat dan panjang.

“Ya Pak Kyai…”, Jawab Pak Tugimin takzim.

“Baiklah, permintaanmu kupenuhi.  Mari kita berdo’a bersama-sama”.  Pak Kyai kembali menarik nafas panjang yang sedikit tersendat-sendat.

“Kamu sekarang pergilah mandi, berbersih diri, berpakaian selayaknya mau bertemu Allah, Rajanya manusia”.  Lalu nanti menjelang sholat Dzuhur kita berdoa bersama-sama.

“Dikalbulkan Pak Kyai?”  Tugimin memaksa.

“InsyaAllah”.  Pendek jawaban Pak Kyai dengan degup jantung yang tiba-tiba keras, seperti mendengar kilatan petir.

“Sekarang pergilah”

“Siap Boss”.

Tugimin segera beranjak pergi.  Ringan langkahnya, meskipun agak sedikit kesal juga, “Mengapa saya harus ikutan berdo’a?.  Saya nggak lah, nanti merusak.”  Tapi mungkin kewajibannya untuk jadi pendengar, jadi di situ tentu ada petunjuk untuk melakukan perempuan-perempuannya….

Tugimin kembali tersenyum.  Sebagai pendengar ya !.

Jelang sesaat kemudian beberapa jama’ah mulai berkumpul di musholla mesjid, tak jauh dari tepi pantai.

Tugimin datang sedikit terlambat, berpakaian cukup rapih, berpeci pula.  Pakaian koko (atau sering pakaian dari infiltrasi budaya Cina ini disebut pakaian takwa), berwarna putih.  Tampak jelas, bukan miliknya sendiri, karena ukurannya yang terlalu singset dibanding ukuran tubuhnya.

Usai salat Dzuhur berjama’ah, ritual sederhana do’a untuk memenuhi permintaan khusus ini dipersiapkan. Tugimin keluar dari barisan, duduk paling belakang.  Jama’ah lainnya mulai mempersiapkan diri dengan sedikit bimbang.  Kiranya gerangan apa yang akan disampaikan oleh Pak Kyai.

Suara Pak Kyai memang terkenal lembut namun tegas, mudah dicerna, mudah dipahami.  Suara do’a yang dilantunkan untuk memenuhi permintaan Tugimin mulai diperdengarkan.   Awan putih yang berarak berlalu di atas musholla itu seolah terhenti sejenak dan menaungi musholla dari  panas matahari yang menyengat.  Angin semilir berlalu menyapu leher dan wajah para jam’ah.  Hembusan angin semakin menenangkan jama’ah yang mulai mendengarkan irama do’a Kyai.

Tangan yang tengadah menghadap kiblat dan alunan nada do’a seolah menghentikan bumi dari putarannya.  Jama’ah terkesima, tak seperti biasanya Kyai melantunkan puja puji kepada Sang Khalik begitu panjangnya.  Dimulai dari puja dan puji keesaan Allah, kemahaanNya dalam mengurus ciptaanNya, keagungan asrsy-Nya mengalahkan samarnya deru ombak di kejauhan.

…..

Ya Allah, Ya Rabb…. Engkaulah pencipta langit dan bumi.  Segala puji bagiMu…

SurgaMu adalah tempat yang Engkau janjikan,

NerakaMu adalah benar dan menjadi tempat kembali hamba-hamba yang Engkau murkai….

…..

Jamaah terdiam, suara Kyai bak sebuah jarum yang begitu lincah dan cepat memasuki telinga jamaah, langsung menembus hati dan pikiran.  Hilang sudah keraguan “apa do’a Kyai”, namun harap-harap cemas, berita akhirat apa yang akan disampaikan.  Andai saja manusia bisa melihat, boleh jadi suara yang dilantunkan ke arah kiblat ini langsung menyebrang lautan, melesat menuju Ka’bah kemudian dengan kecepatan urusannya, naik ke atas, menggapai langit meninggalkan jauh di belakang do’a do’a ummatnya yang lain.  Boleh jadi pula ketajaman suaranya menggugah penjaga-penjaga langit dan para malaikat yang berjajar rapih mengaminkan do’a Sang Kyai.

Puja-puji yang dilantunkan menimbulkan kerinduan para jamaah pada Sang Pencipta, JanjiNya mengembangkan hati dan pikiran menjadi kesatuan tanpa batas.  Pujian dan kemahamurahanNya dalam taburan kata bagai sejuta cita-cita yang datang seketika.  Jama’ah berbunga-bunga, ringan hatinya.  Kian meyakini betapa terasa rahman dan rahim Sang Mahapenyayang ke pada isi alam semesta.

Tak ada suara lagi selain Sang Kyai, bahkan angin pun sepertinya enggan bergerak.  Semua dalam kedamaian, semua dalam kesendirian, semua dalam kesunyian.  Jamaah seolah didekatkan bunga-bunga surga, keindahan yang hanya akan tiba yang dijanjikan kepada hamba-hambanya yang saleh.

Bukan hanya Tugimin, jamaah peserta yang kerap menemani Kyai merasakan aura yang sangat berbeda.  Tak terasa air mata mulai meleleh bahagia.

Hanya Tugimin yang sedikit menyesal.

“Duh… mengapa ini tidak sekalian diminta saja”, sergah pikirannya.  Namun, tentu tak pantas menganggu kekhusuan do’a.  Tugimin terkagum-kagum. “Oh.., ternyata janji Tuhannya Kyai nikmat bener”.

“Biar nanti kuminta lagi deh”.  Tugimin sedikt tenang.  Paling toh hanya mengulangi ayam goreng atau ayam bakar yang menjadi kesukaannya untuk dimasak….

“… janjiMu adalah benar, … kiamatMu adalah benar,  kami takut dengan pada hari yang Engkau janjikan, jauhkanlah kami dari siksa api membakar yang bahan bakunya dari manusia dan batu….

Jamaah mulai terkesima….

Tugimin menggigil.

Sang Kyai tetap khusyu dalam do’anya.  Bukan hanya para jam’ah yang ada dalam lingkaran do’a, bahkan pohon kelapa, dinding mushola dan lantainya seakan mengecil dan menciut.  Pasir yang berserakan di sekitar mesjid tak mampu lagi bergerak.  Semua diam, tak ada nyali lagi.  Tak ada derai air mata yang mampu keluar dari tempat persembunyiannya….

… karenanya, ya Allah, ya al Mu’min, al Muhaimin, al Jabbaar yang kehendakmu tak dapat diingkari, kami memohon ampunanMu, kami berserah diri……

Tugimin mulai berharap….

Dia mulai lupa sogokannya pada Kyai…

Masuk pada sesi berikutnya, Kyai relatif muda ini mulai menyebut nama Tugimin.  Dimulai dengan do’a untuk Tugimin dan secara pelan namun pasti mendekati apa yang diminta olehnya.

Tugimin sudah tak tahan lagi.

“Stop… stop Pak Kyai…”

“Permintaan batal, permintaan diganti,….”

Kyai tetap khusyu berdoa.  Semua jamaah nyaris tak menggubris, khusyu dengan pikirannya masing-masing.

“Saya akan pulangkan mereka, kasih pesanggon dan saya berhenti”, Suara Tugimin keras dan serak di antara ketakutannya.  Wajah sangarnya tak nampak sama sekali, seperti bayi besar yang tak berdaya.

Kyai tidak menggubris, menolehpun tidak !

Do’a tetap dilantunkan dan ketika sampai pada titik permintaan, maka permintaan terakhir dari Tugiminlah yang diperdengarkan.

Sampai akhirnya do’a yang panjang ini selesai.

Awan yang menaung musholla sudah beranjak pergi.  Tugimin setengah jam yang lalu sudah bukan Tugimin saat ini.

Kyai muda ini berseru dalam hati : “Sungguh Engkaulah maha berkehendak, tiada yang dapat menahan kehendakMu.  Sungguh Engkau maha merencanakan….  Hidayahmu adalah hakMu yang menjadi keindahan kuasaMu……”

—-

Tugimin kemudian membubarkan perempuan-perempuannya dan menjadi pengusaha muda katering yang suskses di kota.

(Terimakasih rekan yang menceritakan kisah yang dialaminya penuh inspiratif ini, diceritakan kembali dengan dipenuhi bumbu-bumbu tanpa menghilangkan esensinya)



8 Tanggapan to “Kyai Tolong Doakan Pelacur Saya (2) Tamat”

  1. lovepassword said

    Cerita ternyata baru dirancang yah ?

    Suka

  2. qarrobin said

    Sungguh, saya tak dapat menebak akhir ceritanya, very interesting…..

    Suka

  3. lovepassword said

    Ada kilatan menyambar dalam benak dan terjadilah titik balik. Dan kadang itu sukar diduga kapan waktunya

    Suka

  4. Dimashusna said

    Betul-betul Do’a.

    Suka

  5. dalam bening kisahmu, kudapati jejakMu…Ya, alimul ghoibi wa shahadah, huwa rahmanurrahim…

    Suka

  6. Anonim said

    itulah pertolongan allah..sangat berbeda dengan perkiraan manusia..

    Suka

  7. Hamba Allah said

    Sungguh kisah yang mendebarkan…banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah ini.

    Suka

Tinggalkan komentar