Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penyediaan Buku Donload : BSE dan Polemiknya

Posted by agorsiloku pada Agustus 29, 2008

Sebelum analisis lebih cius, ini komentar yang saya jadikan postingan dari Love Password:

Dalam kasus penyediaan buku yang bisa didownload, saya sih setuju saja. Pertama : Untuk mendekatkan masyarakat terutama siswa secara tidak langsung dengan teknologi. kedua : Untuk menyeimbangkan biaya buku konvensional yang ada di pasaran. Kalo masalah buku hasil download dinilai malah ujung-ujungnya lebih mahal, atau waktunya mepet, ya itu memang kekurangan.

Saya setuju bahkan sangat respek bila ada guru yang mau repot membuat diktat sendiri. Tetapi dalam pengamatan saya selama ini tanpa bermaksud membuat generalisasi – memang ada “beberapa” guru yang lebih bersikap sebagai makelar buku ketimbang berpihak kepada siswa.

Saya tentu tidak menutup mata juga bahwa proses ini didukung bahkan tidak cuma didukung – tetapi juga malah sebagian adalah hasil pemaksaan dari pihak sekolah.

Jadi gamblangnya : Murid dipaksa secara halus maupun kasar oleh guru mereka untuk membeli buku buatan penerbit tertentu yang “bekerjasama ” dengan sekolah.
Guru melakukan ini sebagian juga karena paksaan/tekanan sekolah(KEpala sekolah, dan penguasa sekolah lainnya).

Buku sekolah setiap tahun harus ganti dengan alasan ada revisi atau ada perkembangan ilmu pengetahuan tertentu meskipun faktanya perubahan itu nggak signifikan atau hanya sedikit saja. Yang semestinya bisa ditambahkan lewat catatan dari guru. Bukan “memaksa” murid membeli buku baru, nggak bisa minjem dari kakak kelas atau kakaknya.

Saya sempat ngobrol dengan beberapa orang tua murid yang kebetulan saya kenal. Pada umumnya mereka memang mengeluhkan masalah ini.

@Tapi pada saat yang sama pembiaran habis-habisan untuk biaya lainnya yang dipungut untuk pendidikan yang sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dan tanpa pertanggungjawaban publik yang jelas dan transparan.

Kalau bicara biaya, ya tentu semua biaya mesti dipertanggung jawabkan.

@ Semakin tingginya frekuensi pejabat yang memandang bahwa pendidikan adalah biaya yang memberatkan masyarakat. Bukan mengajarkan melihat pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia.

Saya rasa secara umum rakyat kecil saat ini justru melihat bahwa biaya pendidikan memang memberatkan mereka. Masalah pendidikan sebagai investasi tentu saja itu benar. Tapi tentu perlu diupayakan agar bukan gologan kaya saja yang bisa berinvestasi.

Intinya perlu diupayakan suatu suasana pendidikan yang kreatif yang nggak mahal tetapi tetap bermutu gitu loh.

Apakah itu mungkin ???
Dalam skala kecil saya rasa banyak contohnya, tetapi memang saya belum pernah melihat ini dalam skala besar.
Dalam skala yang kecil, misalnya anda bisa melihat pendidikan alternatif qaryah thayyibah di Kalibening Salatiga. Gedung sekolahnya sangat biasa saja, malah rasanya nggak layak dibilang gedung, plangnya saja nggak ada, bahkan dulu waktu saya beberapa kali masuk ke sana nggak ada pagernya tetapi murid-muridnya berani, dan kreatif. Keren, Jagoan Neon pokoknya deh.

Memang harus diakui juga ada peran sponsor yang cukup signifikan untuk ini, antara lain dari BOS Indonet Salatiga yang berbaik hati menyediakan internet gratis, bahkan Pak Bos ini mau berperan sebagai guru pengajar juga. Tetapi intinya saya mau ngomong kalo pendidikan yang murah dan tetap bermutu itu masih mungkin.

Ocreee Bos …????? Yak…..- Terimakasih bagi anda yang sudi mendengar pidato saya. Hik hik…..

link : http://www.pendidikansalatiga.net/qaryah/kalibening.htm
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel_cetak.php?aid=4363
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8643
dll

Pendidikan semacam ini saya rasa nggak cuma ada di Salatiga saja tetapi saya rasa ada banyak ragamnya di berbagai daerah. Saya mengutip pendidikan alternatif qaryah thayyibah di Kalibening Salatiga sebagai sampel karena kebetulan saya sempat mengintip beberapa kali di sana.
——-
Qaryah Thayyibah adalah fenomena menarik dan mungkin contoh dari swadaya masyarakat. Tapi saya tidak tahu persis, apakah Sampurna Foundation ikut membantu, karena memang perusahaan ini jualan rokok tapi juga memiliki tanggung jawab sosial yang lumayan dalam mengembalikan sebagian keuntungan dari rokok untuk dikembalikan ke masyarakat.
BSE adalah pembelian hak cipta sehingga dengan bebas pemerintah membebaskan jual beli karena hak ciptanya sudah dibeli seharga puluh sampai ratus juta. Kemudian Pemerintah menetapkan harga jual cetak yang kurang lebih harga bukunya sama dengan harga kertas putih eceran. Harga yang ditetapkan ini kurang lebih 15% lebih tinggi dari biaya hpp sebuah buku.

Jadi kalau harga cetak buku sekitar 5000 rupiah, maka pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi buku yang didonlot ini sekitar Rp 5.750,- . Untuk buku dengan hpp (harga pokok penjualan yang sama), umumnya penerbit menjual dengan harga sekitar 2-3 kali lipat dari harga pokok penjualannya atau sekitar Rp 11.000 – 15.000,- Mahal?. Kalkulasinya kurang lebih begini : Biaya diskon buku 30-40% = Rp 4500, hpp 30%, royalti, 10%, biaya overhead perusahaan 20%, perkiraan keuntungan 10% (total 100%). Ini gambaran kasarnya.
Yang dilakukan oleh Pemerintah adalah : Membeli royalti (artinya kurang lebih 10%) dan menganggap tidak ada biaya untuk overhead perusahaan, keuntungan, dan diskon sebagai mekanisme ekonomi.
Sekedar informasi, buku ditetapkan harga jualnya. Berbeda dengan komoditi lain yang harga mengikuti harga pasar. Saya kira ekonom atau yang melakukan usaha mengerti benar konsekuensi harga ditetapkan 15% lebih tinggi dari harga pokok.

Tapi toh sudah ada Group Jawa Pos yang menerbitkan buku BSE untuk masyarakat dengan harga yang sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah, meskipun kalau saya tidak salah, jenis kertas yang dipakai tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan jenis kertas yang dipakai adalah HVS 70 gram. Tampaknya penerbit lain atau pengusaha dadakan akan bermunculan pula memanfaatkan peluang bisnis baru ini. Dari satu sisi tentu saja ini menggembirakan, meski tentu tidak bagi penerbit, khususnya penerbit buku pelajaran yang dianggap sebagai konglomerat pemeras !. (Tapi ngomong-ngomong adakah konglomerat penerbit buku pelajaran?, punya usaha atau bisa ngemplang royaltie dan pemerintah takut sehingga dibiarkan ngemplang Rp 7 Triliun sejak 2001.  Kalau Agor seeh, baru terlambat bayar listrik 200an ribu saja lewat dua hari sudah datang petugas PLN mau memutuskan aliran listrik.) Tujuh Triliun rupiah, sudah berapa Presiden melewati Indonesia sejak 2001.  Betapa hebatnya pengusaha ini.  Sejauh agor tahu, banyak penerbit buku yang bangkrut dan gagal dapat kredit dari Bank.  Penerbit masih barang aneh dan tak layak diberi kredit.  Coba kalau baca Swa peringkat industri maju, pastilah Penerbit buku tidak ada dalam daftar. Tapi, bukan tidak ada lho yang kayak juga. Tapi saya yakin juga, Presiden yang sekarang juga pasti ragu-ragu untuk menagih hak pemerintah rakyat dari pengusaha batubara ini.  Jadi, selamatlah untuk pengusaha konglomerat.  Nanti kalau ngemplang semakin besar juga, Presiden berikutnya mungkin akan mengundang lagi ke istana negara… hiiiik.

Kembali ke topik. Apakah pelanggaran spek ini dilakukan karena pengaruh rendahnya harga jual?. Yang jelas, kalau dulu, Pemerintah tidak dibenarkan membeli dengan anggaran dana Pemerintah jika tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Entah kini. Dia bikin peraturan, dia juga bisa mengubahnya untuk menyesuaikan dengan selera kepemimpinan. Yang jelas, mendiknas sendiri bilang : Dulu pembajakan diharamkan, sekarang dihalalkan. Bahkan pahalanya banyak. Mungkin akan lebih baik lagi kalau seluruh buku pengetahuan di Indonesia dibajak saja dari SD sampai perguruan tinggi. Pokoknya untuk ilmu, tidak boleh ada harga biaya. 😀

Adakah yang hilang dari kebijakan ini, atau benarkah menguntungkan untuk investasi pendidikan di Indonesia? Setidaknya kita selalu belajar dan mengambil hikmahnya. (Sambil bertanya kapan kita bisa memberantas kemiskinan atau paling tidak mendekati negara seperti malayasia, korea, yang sama-sama miskin dan sengsaranya 50 tahun yang lalu. Namun, sekarang mereka jauh di depan kita…. 😦

—-

Tapi kok rasanya belum sampai pada pembahasan polemik dan usulan ya…  Jam kerja udah hampir dimulai 😀

jadi segini dulu deh… syukur kalau ada rekan mau melengkapi.

Mari kita berpikir positif, puasa sebentar lagi tiba, kerinduan sudah semakin sampai.  Maafkan segala khilaf dan lupa…..

2 Tanggapan to “Penyediaan Buku Donload : BSE dan Polemiknya”

  1. Terimakasih atas kebaikan hati mas Agor yang menanggapi komentar saya sedemikian serius sehingga dijadikan bahan postingan. Hik Hik aku jadi terharu. Elo baik hati deh.

    Masalah harga jual buku cetak BSE yang anda anggap terlalu rendah, jujur saja saya nggak ngitung sedetail anda. Kalo memang dirasa memberatkan penerbit – tentu bisa dicari solusi yang win-win yang tidak terlalu merugikan penerbit dan tidak memberatkan orang tua siswa.
    Yang juga mungkin bisa kita pikirkan : Apakah dunia penerbitan dan perbukuan kita sudah benar ? Dalam arti mengapa bisa timbul banyak biaya yang sedemikian tinggi ? Serta mungkinkah ada sisi yang bisa dikurangi biayanya ???

    Masalah konglomerat yang ngemplang pajak batubara, dsb bertril-tril – mungkin bisa anda bahas lebih detail lain kali karena rasanya tidak terlalu signifikan hubungannya dengan kasus buku pelajaran yang kita bicarakan saat ini.

    Masalah ada banyak keluhan dari orang tua siswa tentang harga buku yang mahal, itu fakta Mas Agor, karena selain berita dari media yang tentu juga bisa anda baca – saya juga sempat ngobrol dengan “beberapa” orang tua siswa. Selain masalah harga buku, keluhan mereka juga terkait dengan buku pelajaran yang selalu berganti, seolah mereka “dipaksa” harus beli buku baru setiap tahun. Nggak bisa pinjem.
    Ada sekolah yang dengan sukses(suskes menurut saya tentunya), mengatasi masalah ini yaitu dengan mengumpulkan buku dari kakak kelas yang tidak terpakai untuk dipinjamkan ke adik kelas mereka. Bahwa cara ini berpotensi “mematikan” penerbit buku pelajaran karena siswa jadi tidak perlu membeli buku baru, saya rasa ada kans untuk itu. Tetapi Mas Agor, dalam kasus ini , saya rasa sekolah maupun guru wajar bila lebih berpihak kepada siswa mereka ketimbang penerbit.

    @Yang jelas, mendiknas sendiri bilang : Dulu pembajakan diharamkan, sekarang dihalalkan. Bahkan pahalanya banyak. Mungkin akan lebih baik lagi kalau seluruh buku pengetahuan di Indonesia dibajak saja dari SD sampai perguruan tinggi. Pokoknya untuk ilmu, tidak boleh ada harga biaya. 😀

    Omongan Mendiknas ini saya rasa nggak usah ditanggapi serius dalam arti ditanggapi berdasarkan teks demi teks. Karena jelas itu sekedar gaya bahasa semata. faktanya pembajakan kapan dihalalkan secara terang-terangan ? Wong sebenarnya hak cipta buku itu telah dibeli oleh pemerintah.

    Sekali lagi : Bila anda menganggap pendidikan sebagai investasi – Oke saya setuju. Tetapi :

    Hik…hik….-Ada tapinya lho :

    – Bila dianggap sebagai investasi hendaknya investasi itu juga masih bisa terjangkau oleh rakyat kecil.

    – Bedakanlah pendidikan dengan sekolah.
    Sekolah adalah salah satu bagian dari pendidikan. tetapi sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan. Beri kesempatan yang sama antara anak sekolah dan tidak – dengan parameter yang bisa dibandingkan bukan semata-mata urusan ijasah.

    =================

    Masalah kali bening : Saya nggak tahu pasti Sampurna nyumbang atau nggak. Karena saya bukan orang dalam.
    Tetapi sependek pengetahuan saya, yang berperan besar sejak awal saat pesantren/sekolah alternatif itu belum terkenal adalah Indonet Salatiga.

    Saya sempat berjumpa dengan Pak Bos pada suatu kali di markas beliau. Dan dia bahkan menjanjikan memberikan sumbangan internet gratis yang lain kepada semua sekolah asalkan mereka bersatu dan mau mengelola bareng-bareng. Hasil akhirnya : Menyatukan banyak sekolah ternyata nggak gampang.

    SALAM Mas Agor.

    @
    Mas Love, dipostingkan ulang, karena temanya menarik dan cukup relevan karena memang sebagian pengalaman masa lalu saya ada di situ. Jadi saya kenal betul liku-liku dunia ini.
    Namun, topik ini memang sangat luas. Ada sisi-sisi ideologis, politis, dan sisi ekonominya. Semua punya pembenaran sendiri-sendiri.
    Saya coba komentar sedikit tentang Buku mahal untuk rakyat miskin.
    Menurut agor, untuk orang miskin yang harus dilindungi oleh negara adalah : Biaya perumahan gratis, biaya sekolah gratis, biaya berobat gratis. Bukankah amanat undang-undang begitu !. Tapi kalau kayak (artinya membayar pajak secara benar) maka tidak perlu gratis. Fakta ini sangat terbalik di lapangan. Pemerintah memberikan dana BOS main pukul rata untuk sekolah. Anak saya yang sekolah di SMPN Jakarta, malah dapat bantuan BOS padahal jelas 80% anak keluarga mampu sampai sangat mampu. Ini contoh betapa buruknya manajemen administrasi pemerintahan.

    Fakta, tapi saya lupa lagi sumbernya (harus dicari). Biaya buku kurang lebih 0,5-1,5% dari penghasilan orang tua lebih besar untuk seragam, eskul, transportasi, uang jajan, uang pembangunan. Contoh sederhana, anak saya harus bayar Rp 5 Juta untuk uang pembangunan. Biaya transport, biaya lainnya jauh lebih dari biaya buku, bahkan oleh tas dan seragam sekolah saja kalah. Di negara barat, pengeluaran untuk buku mencapai 2% dari penghasilan orang tua. Atau bandingkan pengeluaran untuk rokok orang tua dibanding dengan usaha meraih ilmu (ilmu jangan anggap sama dengan buku, banyak jalan menuju keberhasilan, buku hanya salah satu saja).

    Saya anggap penting buku karena buku adalah bagian paling penting dari investasi, tapi harus jujur diakui, dalam dunia yang sarat korupsi, menyogok dan menipu dgn cara sah, jauh lebih menghasilkan uang dari pada punya ilmu yang banyak dan bekerja keras. Ini fakta pedih. Tapi, saya punya teman yang dalam periode singkat punya rumah dan mobil, sedangkan saya harus menyicil bertahun-tahun untuk mendapatkan kurang dari sepersekian teman saya.

    Karena saya biasa menganggarkan beli buku sejak saya mahasiswa dan punya ribuan buku yang dibeli dengan keringat sendiri, rasanya sedih melihat kalau ke gramedia, kok yang beli buku sampai ratusan ribu rupiah kebanyakan bukan pribumi. Karena mereka kayak?, karena mereka bekerja keras, karena mereka pintar?. Ini lingkarannya (jadi ingat lagi teori ekonomi Adam Smith) atau Pembangunan Negara Dunia Ketiga Todaro.
    Karena saya menganggap beli buku itu investasi, maka mahal atau tidak menjadi tidak penting. Saya lebih suka makan di warteg dan beli buku, dari pada harus makan ke Mac D atau ke Cafe.

    Jadi pisahkan antara tidak mampu beli yang harus didukung oleh pajak dan pemerintah, dengan semangat pada ilmu. Kalau orang tua punya penghasilan jutaan, lalu punya mobil dan TV 29 inch, lalu merokok lagi. lalu punya alasan mahal, tidak bisa pakai punya kakak, adik, maka saya paham : Alasan antropologis/sosial lebih besar dari pada keinginan menimba ilmu. Jadi ada sisi lain. Apalagi kalau dikatakan sambil turun dari Volvo atau sambil antri di Cafe. Saya merasakan pola sikap itu ada, karena isteri saya juga begitu. Selalu berat membeli buku (dan kadang saya juga). Padahal untuk pengeluaran lainnya, bisa puluhan kali lipat lebih besar.

    Lihat saja, apa yang dilakukan penumpang di luar negeri dan di Indonesia…. Ini fakta yang mendapatkan dukungan kuat dari negeri terkorupsi peringkat atas di dunia.

    Dan betapa beratnya kita keluar dari lingkaran ini.
    Yang lain… nanti deh mungkin cocok untuk postingan… 😀

    Suka

  2. Oke Bos Agor, masalah ini memang menarik dan rumit.

    Silakan baca tanggapannya di blogku :

    http://lovepassword.blogspot.com/2008/08/melihat-buku-pelajaran-yang-mahal-dan.html

    SALAM Ya

    Suka

Tinggalkan komentar