Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Uang Pembangunan Rp 5 Juta (Masuk Kelas 1 SMA)

Posted by agorsiloku pada Agustus 28, 2008

Tidak ada yang salah dari keputusan Komite Sekolah dari cerita temanku tentang biaya apalah namanya Rp 5 Juta sebagai salah satu ketentuan lanjutan diterima di salah SMA Negeri di Jakarta Selatan ini. Katanya tahun sebelumnya Rp 3,5 Juta. Di Bandung, kata seorang pemerhati biayanya antara Rp 500 ribu sampai belasan juta rupiah. Ini tentu saja di luar biaya eskul, biaya seragam, biaya tas, buku, ongkos jajan, biaya pulsa, handphone model terbaru (paling nggak jangan kalah sama temen), biaya komputer, biaya fotocopy, dan berbagai biaya lainnya.

Semua biaya sekolah, pada dasarnya adalah biaya investasi yang akan dipetik di kemudian hari setelah seorang siswa menjadi pelajar yang terpelajar dan menjadi anak bangsa yang bersaing di kancah internasional atau sekedar jadi kuli konsumerisme bangsa.

Kalau ambil contoh tadi, uang pembangunan Rp 5 juta per siswa kelas 1 yang baru dikali jumlah siswa (ada 10 kelas) artinya ada 10 x 40 siswa x Rp 5 Juta = Rp 2 Milyar. Maka keberadaan murid baru dari kesepakatan Komite Sekolah di salah satu SMA terkumpul (atau akan terkumpul) Rp 2 Milyar. Tidak semua murid membayar, tidak semua siswa mampu, tidak semua bla…bla…bla… Namun, esensinya adalah bagaimana uang tersebut digunakan dan dipertanggungjawabkan. Termasuk juga pertanggungjawaban bagi kesejahteraan sekolah (murid dan guru serta tenaga administrasi sekolah).
Untuk sekolah swasta jumlahnya, apalagi sekolah top yang uang spp bulanannya bisa sampai Rp 2 juta per bulan dan uang bangkunya bisa puluh juta rupiah, ceritanya tentu lain.

Hanya orang tua mampu sajalah yang bisa menyekolahkan sampai biaya segitu.

Di satu sisi, Pemerintah dan sejumlah insan pendidikan atau pemerhati pendidikan juga getol untuk menyediakan buku murah, bahkan satu buku bisa harganya setengah dari makan paket murah Mac. D atau Kentucky.
Namun, buku murah, semurah apapun, ilmu untuk mendapatkannya tidaklah murah. Biaya-biaya yang menyertai dan sering kali, biaya yang menyertai ilmu, jauh lebih mahal dan dihargai dari pada ilmu itu sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, boleh tanya sama guru aktif, berapa mutu kurikulum pendidikan dan materi buku yang digunakan di sekolah sejak GBPP, KBK, KTSP, sampai yang sekarang. Bagaimana kualitas buku dan kualitas guru untuk pengajaran. Apakah perubahan kurikulum dan misi dan visi pendidikan mengubah perilaku guru?. Apakah perubahan teknologi sedang mengubah kemampuan bangsa untuk berkompetisi?.

Tapi yang jelas, dalam era pilkada ini. Pendidikan menjadi bagian untuk “menentramkan” hati masyarakat dan penggede untuk menggratiskan pendidikan. Menurut saya mimpi ini mengajarkan sesuatu yang buruk kepada masyarakat. Masyarakat semakin diajarkan untuk melihat pendidikan sebagai biaya, bukan sebagai investasi. Kemajuan di bidang riset atau pelatihan di Indonesia sangat terbelakang, karena anggaran untuk hal ini dipangkas habis-habisan dan anggaran pendidikan yang ada lebih banyak untuk biaya administrasi dari pada meningkatkan daya saing. Ah sudahlah… di sini para ahli sudah terlalu sering berbicara.

Saya hanya merasa, Pemerintah berjuang untuk memurahkan buku sedemikian rupa sehingga membatasi para guru atau penulis untuk menjual dan hidup dari hasil karya tulisnya, kecuali segelintir saja dari sejumlah penulis yang ketiban untuk bukunya dibeli. Suatu hal yang akan menurut saya memprihatinkan adalah :
Semakin tingginya frekuensi pejabat yang memandang bahwa pendidikan adalah biaya yang memberatkan masyarakat. Bukan mengajarkan melihat pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia.

Semakin mengharamkan aktivitas sekolah untuk yang dianggap memberatkan orang tua, khususnya buku. Tapi pada saat yang sama pembiaran habis-habisan untuk biaya lainnya yang dipungut untuk pendidikan yang sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dan tanpa pertanggungjawaban publik yang jelas dan transparan.

Peran pemerintah dalam pendidikan, sebenarnya baru sampai tingkat SD yang jumlahnya tersedia. Pendidikan dasar untuk SMP dan pendidikan lanjutan untuk SMA, SMK sebenarnya jauh lebih besar peranan swasta. Artinya swadaya pendidikan oleh masyarakat jauh lebih besar dari pada kemampuan Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Dan peran serta masyarakat dari unsur swadaya itu jelas harus memampukan baik secara proses maupun dari segi biaya.

Pemerintah juga kerap pukul rata antara yang mampu dan tidak mampu. Kebijakan pukul rata terhadap biaya ini (karena lemahnya struktur data). Yang mampu dapat bantuan banyak, sedangkan yang gagal mendapatkan kesempatan pendidikan dan berada di luar sistem, tetap terlunta-lunta.

Ah.. cape deh kalau diteruskan….
toh tidak akan mengubah apa-apa…..

3 Tanggapan to “Uang Pembangunan Rp 5 Juta (Masuk Kelas 1 SMA)”

  1. Dalam kasus penyediaan buku yang bisa didownload, saya sih setuju saja.Pertama : Untuk mendekatkan masyarakat terutama siswa secara tidak langsung dengan teknologi. kedua : Untuk menyeimbangkan biaya buku konvensional yang ada di pasaran. Kalo masalah buku hasil download dinilai malah ujung-ujungnya lebih mahal, atau waktunya mepet, ya itu memang kekurangan.

    Saya setuju bahkan sangat respek bila ada guru yang mau repot membuat diktat sendiri. Tetapi dalam pengamatan saya selama ini tanpa bermaksud membuat generalisasi – memang ada “beberapa” guru yang lebih bersikap sebagai makelar buku ketimbang berpihak kepada siswa.

    Saya tentu tidak menutup mata juga bahwa proses ini didukung bahkan tidak cuma didukung – tetapi juga malah sebagian adalah hasil pemaksaan dari pihak sekolah.

    Jadi gamblangnya : Murid dipaksa secara halus maupun kasar oleh guru mereka untuk membeli buku buatan penerbit tertentu yang “bekerjasama ” dengan sekolah.
    Guru melakukan ini sebagian juga karena paksaan/tekanan sekolah(KEpala sekolah, dan penguasa sekolah lainnya).

    Buku sekolah setiap tahun harus ganti dengan alasan ada revisi atau ada perkembangan ilmu pengetahuan tertentu meskipun faktanya perubahan itu nggak signifikan atau hanya sedikit saja. Yang semestinya bisa ditambahkan lewat catatan dari guru. Bukan “memaksa” murid membeli buku baru, nggak bisa minjem dari kakak kelas atau kakaknya.

    Saya sempat ngobrol dengan beberapa orang tua murid yang kebetulan saya kenal. Pada umumnya mereka memang mengeluhkan masalah ini.

    @Tapi pada saat yang sama pembiaran habis-habisan untuk biaya lainnya yang dipungut untuk pendidikan yang sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dan tanpa pertanggungjawaban publik yang jelas dan transparan.

    Kalau bicara biaya, ya tentu semua biaya mesti dipertanggung jawabkan.

    @ Semakin tingginya frekuensi pejabat yang memandang bahwa pendidikan adalah biaya yang memberatkan masyarakat. Bukan mengajarkan melihat pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia.

    Saya rasa secara umum rakyat kecil saat ini justru melihat bahwa biaya pendidikan memang memberatkan mereka. Masalah pendidikan sebagai investasi tentu saja itu benar. Tapi tentu perlu diupayakan agar bukan gologan kaya saja yang bisa berinvestasi.

    Intinya perlu diupayakan suatu suasana pendidikan yang kreatif yang nggak mahal tetapi tetap bermutu gitu loh.

    Apakah itu mungkin ???
    Dalam skala kecil saya rasa banyak contohnya, tetapi memang saya belum pernah melihat ini dalam skala besar.
    Dalam skala yang kecil, misalnya anda bisa melihat pendidikan alternatif qaryah thayyibah di Kalibening Salatiga. Gedung sekolahnya sangat biasa saja, malah rasanya nggak layak dibilang gedung, plangnya saja nggak ada, bahkan dulu waktu saya beberapa kali masuk ke sana nggak ada pagernya tetapi murid-muridnya berani, dan kreatif. Keren, Jagoan Neon pokoknya deh.

    Memang harus diakui juga ada peran sponsor yang cukup signifikan untuk ini, antara lain dari BOS Indonet Salatiga yang berbaik hati menyediakan internet gratis, bahkan Pak Bos ini mau berperan sebagai guru pengajar juga. Tetapi intinya saya mau ngomong kalo pendidikan yang murah dan tetap bermutu itu masih mungkin.

    Ocreee Bos …????? Yak…..- Terimakasih bagi anda yang sudi mendengar pidato saya. Hik hik…..

    link : http://www.pendidikansalatiga.net/qaryah/kalibening.htm
    http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel_cetak.php?aid=4363
    http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8643
    dll

    Pendidikan semacam ini saya rasa nggak cuma ada di Salatiga saja tetapi saya rasa ada banyak ragamnya di berbagai daerah. Saya mengutip pendidikan alternatif qaryah thayyibah di Kalibening Salatiga sebagai sampel karena kebetulan saya sempat mengintip beberapa kali di sana.

    SALAM BOS Agor…-

    Suka

  2. Dela_luthu said

    Saya setuju dengan apa yang dituliskan. Memang sejatinya pendidikan adalah investasi untuk masa depan anak kita dan bangsa. Jepang sendiri langsung menginvestasikan guru dan pendidikan ketika peristiwa Hiroshima.

    Memang sangat disayangkan ketika biaya pendidikan dianggap pengeluaran bukan investasi. Saya pribadi menganggap sumbangan pendidikan adalah penunjang untuk menyediakan sarana dan prasarana belajar. Lihat saja BPK Penabur, atau Al Azhar.

    Tetapi tentu saja dari uang yang masuk ini harus dapat dipertanggung jawabkan oleh pihak sekolah. Di beberapa sekolah yang saya kenal tidak ada satupun sekolah yang memberikan laporan pertanggungjawaban atas “sumbangan” uang bangunan yang diberikan oleh para orang tua siswa.

    Apa ini artinya cuma mereka yang memiliki dana yang mencukupi untuk mendapatkan pendidikan bermutu, sayangnya untuk saat ini jawaban saya adalah ya.

    Sebenarnya pembiayaan sekolah dapat diambil dari masyarakat tanpa membebani masyarakat. Misal, dana untuk tanggung jawab perusahaan bagi masyarakat (aduh lupa bahasa Inggrisnya Coorporate apa gitu…) itu kan ada UU yang mengatur agar perusahaan mengeluarkan beberapa persen dari keuntungan mereka untuk kemajuan masyarakat, sehingga dengan adanya bantuan ini diharapkan masyarakat tidak terlalu dibebani oleh biaya operasional sekolah (terlebih daerah industri).

    Jangan cape ya mas, mungkin tidak terlihat merubah tapi siapa tahu bisa jadi bibit perubahan. 🙂

    Suka

  3. elmuttaqie said

    Salam kenal………

    Saya adalah guru TIK di MAN Kotabaru tapi aslinya (sesuai SK dari Depag) saya seharusnya ngajar agama karena sarjana agama, tapi berhubung di madrasah kami guru agamanya numpuk ya terpaksa harus ada yang mau ngajar mata pelajaran umum, termasuk saya apalagi karena saya orang baru di sekolah. Gak kerasa udah 3 tahun ngajar TIK & ajaibnya tahun tadi lulus sertifikasi guru sbagai guru TIK profesional (meski belum nerima tunjangannya) tanpa melalui proses diklat. Saya sendiri bingung.. Makanya saya mau belajar dari sampeyan biar nggak malu2in di depan anak2 kalo ngajar TIK terutama yg berkaitan dengan materi yg aneh2 selain itu ingin menimba pengalaman sampeyan terkait dengan penggunaan TIK secara maksimal di sekolah dan yg paling penting saya pengen belajar nulis… mohon diterima ya sebagai murid, hehehehe!

    Terimakasih atas perhatiannya…
    By the way pa, kalo sampeyan sempat dan ada waktu luang mohon sudi kiranya bertandang ke gubuk blog reot kami di http://www.elmuttaqie.wordpress.com agar dapat nantinya memberikan bimbingan dan tuntunan yang pas untuk calon murid sampeyan yang gagap teknologi ini.

    Sampai berjumpa kembali di waktu dan gelombang yang sama

    zainal muttaqien

    @
    Salam kenal kembali Mas Zaenal Muttaqien.
    Selamat telah menjadi guru TIK. Di tengah para sarjana agama, maka yang memiliki semangat dan kemauan lebih mendapatkan peluang tambahan menjadi guru ilmu pengetahuan komputasi. Ini menarik karena pengetahuan bisa diraih dengan banyak cara dan sekolah formal atau diklat hanya sebagian kecil untuk pemenuhan kebutuhan ini.
    Untuk belajar menulis, wah saya bukan pakarnya. Secara tidak langsung saya berguru kepada :
    http://webersis.com/ yang rajin berbagi ilmu, sangat produktif menulis. Juga Mas Mushodiq yang sangat produktif menulis, salah satu dari sekian blognya adalah :
    http://salatsmart.wordpress.com/
    Sedangkan saya memang sih pernah menulis sedikit pengalaman orang lain tentang menulis dan link-linknya di sini :

    Menulis Buku dan Menulis di Media Massa/Blog -1


    dalam beberapa seri tulisan.
    Sedangkan mengenai teknologi dan komputasi… wah… di sini agor juga ikutan belajar dari berbagai-bagai yang sebagian masuk dalam tag IT yang sengaja agor simpan di tag.

    Blog Mas malah menurut saya jauh lebih tampil cantik dari blog agor yang simpel. Menarik dan variatif.
    Salam selalu, dan selamat berkarya….
    😀

    Suka

Tinggalkan komentar