Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Apa Yang Paling Penting Dalam Pendidikan Sekolah?

Posted by agorsiloku pada Agustus 13, 2008

Ini sebuah diskusi dan pengajaran dari rekan guru, tentang apa yang paling penting dari pendidikan formal pendidikan dasar dan menengah tentang sekolah di Indonesia.  Tentunya penting, artinya harus ada dan tidak bisa digantikan.  Kalau tidak ada, maka tidak bisalah pendidikan berlanjut.  Alias tidak bisa diteruskan !.

“Kurikulumkah?”

“Ya, kurikulum atau satuan pengajaran adalah model-model yang ditetapkan dan harus diikuti agar siswa atau peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan baik”.

“Apakah jika Pemerintah tidak mengeluarkan rambu-rambu yang setiap ganti menteri ganti kebijakan itu proses pendidikan akan berhenti dan siswa tidak bisa bersekolah?”

“Ya… tidak juga sih, guru kan masih bisa mengajar.  Ngapain kami disekolahkan dan belajar cara mengajar, kalau tidak ada kurikulum tidak bisa mengajar.  Kurikulum itukan rambu-rambu.  Bukan berarti tanpa kurikulum maka pengajaran akan berhenti.  Lagian, sudah biasalah pemerintah kita kan tumpang tindih terus menerus.  Pokoknya tiap menteri harus punya karya baru, yaitu mengganti kurikulum !”

“Oke deh.  Kalau bukan kurikulum, bagaimana kalau Buku sebagai sarana penting dalam pendidikan?”

“Ho…ho..ho.. sori ya, tanpa buku pun kami bisa mengajar kok. !”

“Jadi kalau begitu bukan buku dunk ?”

“Ya buku memang bukan hal pokok untuk proses pendidikan formal di sekolah !, meski harus diakui buku adalah sarana pendukung untuk proses transformasi ilmu pengetahuan ke peserta didik !”

Tanya jawab terhenti sebentar.  Kita harus merenungkan kembali, apa yang sesungguhnya paling penting dalam proses pendidikan di sekolah ini.

Ada yang bisa bantu?

9 Tanggapan to “Apa Yang Paling Penting Dalam Pendidikan Sekolah?”

  1. edy said

    anggaran pendidikan, minimal 1/4 dari total APBN?

    @
    Berarti kalau tidak ada apbn, pendidikan sekolah sd, smp, sma tidak bisa terjadi?.
    Fakta, hanya jumlah SD yang lebih banyak dibangun pemerintah, ribuan bahkan puluhan ribu sekolah SD, SMP, SMA, Pondok Pasantren, TPA, maupun sekolah dengan afiliasi organisasi didirikan.
    Dengan kata lain, APBN tidaklah menentukan ada atau tidaknya lembaga pendidikan….

    Suka

  2. yureka said

    yang merisaukan bagi saya adalah model”pendidikan nyonji” atau istilahnya ngramal. bayangkan sekian tahun anak2 kita diajak nyonji atau ngramal soal apa ya yang akan muncul di ujian ini ujian itu…. (maaf dgn segala hormat utk para pemilik lembaga bimbingan belajar yg nota bene menjadi panglima gerakan nyonji”

    bagaimana bangsa kita jadi penemu ? lho… wong pake pendidikan gaya peramal !!

    Suka

  3. sitijenang said

    ada pendapat bahwa pendidikan formal sebenarnya hanya bisa membangun landasan kehidupan siswa. perkara nanti mau jadi apa, semua terserah pilihan para mantan siswa. namun, setidaknya dari landasan tersebut bisa dijadikan dasar berpijak yg lumayan kuat untuk mengarungi kehidupan ketika sudah lepas landas. perkara landasan yg bagaimana dan dengan harapan mencapai apa, sepertinya tergantung kepada nurani dan pemahaman para penentu kebijakan.

    Suka

  4. Donny Reza said

    Tujuan yang jelas barangkali? saya curiga, jangan2 selama ini pemerintah tidak punya tujuan yang jelas perihal penyelenggaraan pendidikan…

    Suka

  5. Yang paling penting : Murid.

    @
    Ha…ha…ha.. jelas 3 komponen utama terjadinya pendidikan adalah ada guru, ada murid, dan ada tempat.
    salah satu tidak ada, ya nggak ada sekolah. Maksud ane… setelah ketiganya itu lho… passwordnya itu apa ya…

    Suka

  6. Setelah ketiganya memang nggak ada yang penting kok. Kalo muridnya ada, gurunya ada, ditambah bonus ada fasilitas untuk belajar ya sudah kan sudah bisa belajar. Yang penting kan memang cuma itu. Tetapi karena tujuan pendidikan itu arahnya diperuntukkan untuk Sang Murid jadi saya anggap murid yang terpenting.

    kalo kita melihat asal mula cikal bakal sekolah itu ya kan cuma mengisi waktu luang dengan belajar. Dah itu saja.
    jadi passwordnya : tetap murid. yang lain pemeran cadangan alias figuran.

    @
    Memang betul murid yang penting, kurikulum tidak penting, guru tidak penting (penting juga), tempat tentu saja penting. Ketiganya menjadi unsur yang tempat terjadinya proses pengajaran/pendidikan.

    Perlengkapan pendidikan yang paling penting adalah seragam.
    Murid harus bersekolah formal dengan seragam. Tanpa seragam maka murid tidak boleh bersekolah.
    Mari kita lihat :
    “Pak guru, saya tidak punya seragam dan tidak mau berseragam”.
    “Harus pakai, bekas pun tidak apa..”
    “Kalau tidak punya, biar kami belikan seragam !”, sergah gurunya.
    “Pokoknya saya tidak mau !. Bersekolah itu yang penting belajar, bukan berseragam !”

    Guru-guru kemudian rapat, dan membahas tentang seorang murid yang tidak mau berseragam pergi ke sekolah.

    “Ini adalah peraturan sekolah !. Murid yang tidak mau memakai seragam melanggar ketentuan sekolah, melanggar tata tertib, melanggar etika dan disiplin, dan bla…bla…bla… Dengan seluruh alasan dan kewajiban, maka semua murid di sini harus berseragam”

    “Tapi saya tidak mau berseragam !.”

    Guru-guru bimbang, apakah murid ini harus dikeluarkan atau tidak !. Murid tidak punya buku, gpp. Murid tidak mencatat masih bisa dimaklumi, murid tidak naik kelas, masih bisa dipahami, murid ribut masih bisa dimengerti, murid tidak membayar spp atau iuran lainnya masih bisa dimengerti.

    Tapi murid tidak pakai seragam sekolah?. Ini peraturan yang harus ditegakkan. Jadi kesimpulannya, murid tidak boleh belajar di sini jika tidak mau mengikuti tata tertib sekolah : Berseragam.

    Kesimpulan : SERAGAM SEKOLAH ADALAH HAL YANG PALING PENTING

    Suka

  7. Konsep adanya seragam itu kan tadinya supaya tidak ada gap antara si miskin dan si kaya. Maksudnya kalo pakaiannya sama semua bahannya juga sama maka kelihatannya setara gitu loh. Tapi jangan lalu dengan adanya seragam itu malah membebani murid yang miskin dong ahhh.

    Seragam sih sebenarnya nggak penting-penting banget. Intinya : Balik lagi ke tujuan asalnya. Sekolah itu untuk apa ???
    Lalu dipikir lagi apakah dengan sekolah itu tujuannya yang hendak dicapai kira-kira bisa tercapai.

    kalo ternyata menganggap sekolah formal yang ada didepan tidak berguna/melenceng, ya cari sekolah lain. Kalo dianggap semuanya nggak berguna, ya cari sekolah non formal atau belajar di rumah saja. Putus sekolah bukan akhir dari segalanya.

    Tidak perlu dibuat dikotomi antara orang yang bersekolah(formal) dan orang yang bersekolah non formal.
    yang makan sekolahan juga belum tentu lebih pinter dari yang nggak.

    Dikotomi sekolah(formal) dan nggak sekolah – menyesatkan dari banyak sisi :

    Pertama : menghapus atau setidaknya mengurangi kesempatan orang-orang cerdas yang nggak sarjana. karena nilai kepandaian cuma diukur dari selembar ijasah.

    Kedua : Harapan masyarakat pada sarjana/orang-orang sekolahan terlalu tinggi sehingga malah menciptakan beban tersendiri bagi lulusan sekolah. Gengsi kalo usaha mulai dari nol dsb.
    Sarjana kok jual bakso misalnya.

    Perlu dicari sistem yang adil untuk kebaikan semua kelompok. Jangan semuanya cuma dilihat dari selembar ijasah saja. Apalagi ijasah di Indoensia mudah dibeli. Ini merusak orang-orang jujur, baik yang sekolah maupun nggak.

    @
    Mas Ari, di sini kunci persoalan keterjebakan kita pada seragam. Alasan seragam yang dipakai adalah untuk menjembatani pakaian si kaya dan miskin. Kalau itu sebagai argumennya, maka ada fakta yang harus kita lihat :
    Orang kaya dan miskin, ketika bersekolah akan tampak yang kaya memang kaya dan yang miskin memang miskin. Banyak asesoris di luar peraturan seragam yang akan menampilkan hal itu.

    Kaya dan miskin adalah fakta yang tidak usah disembunyikan. Mahasiswa juga bisa berkuliah tanpa seragam dan biasa-biasa saja. Kalau pakai baju mewah dan gaya mo kuliah malah jadi aneh (tidak wajar)… kayak ke pesta saja.

    Untuk mengatur berpakaian yang sopan dan sederhana, dari jenis bahan, model bisa ditetapkan sekolah tanpa keharusan berseragam. Pemerintah mewajibkan berseragam sekolah. Jadi seragam menjadi kewajiban untuk bisa bersekolah. Bukan lagi soal gap kaya-miskin. Sekolah boleh tidak punya perpustakaan atau laboratorium, tapi tidak berseragam adalah pelanggaran.

    Yang tidak berseragam, boleh-boleh saja dan tidak ada paksaan dalam berseragam demi tujuan menghilangkan gap kaya dan miskin. Alasan ini menurut agor tidak valid dan sangat mengada-ada. Seragam adalah komoditas dagang antara pengusaha dan sekolah dan kewajiban untuk menyamaratakan manusia bukan dari sisi esensi pendidikan.

    Namun, fakta kemudian mulai dari asesoris tempelan menjadi lebih penting dari pada esensi pendidikan itu sendiri. Ini adalah faktanya.
    Seragam nggak penting-penting banget –> tapi wajib. Lha kalau wajib, apa itu nggak penting?

    Pendidikan juga, tampaknya begitu erat dengan kepentingan politik dan pilkada. Ini juga menjadi fakta. Pendidikan adalah komoditas politik yang “enak” untuk diperdagangkan kepada calon pemilih. Entah itu bupati, gubernur, sampai ke posisi paling puncak.

    Suka

  8. mita said

    apa peranan statistik dalam pendidikan?
    balas ya..
    mita_lenz@yahoo.co.id

    @
    Pertanyaan yang sulit. Statistik, seperti pada umumnya, dijadikan alat untuk menganalisis dan mengevaluasi kejadian dalam satu sistematika berpikir. Bisa juga menjadi alat untuk mendapatkan anggaran proyek yang lebih besar…..
    begitu juga dalam dunia pendidikan.

    Suka

  9. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)

    Strategi Pendidikan Milenium III
    (Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
    Oleh: Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).

    DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.

    Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?

    KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).

    Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.

    Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun – seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?

    Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.

    WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).

    Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.

    Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.

    ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).

    Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.

    Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.

    SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).

    Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.

    BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).

    @
    Tulisan sangat menarik dan menantang, bolehkan agor jadikan postingan… 😀

    Suka

Tinggalkan komentar