Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Buku Murah : Kebijakan Populis atau Pragmatis

Posted by agorsiloku pada Februari 14, 2008

Ada cita-cita mulia, pendidikan harus murah, buku harus murah, dan kalau bisa segalanya tidak usah bayar untuk mendapatkan ilmu. Mendapatkan ilmu itu sama dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan buku yang murah, maka setidaknya biaya mahal pendidikan yang diakibatkan oleh buku bisalah sedikit teratasi. Itulah harapan Presiden RI yang digodok oleh superman pendidikan pemerintah saat ini : Depdiknas.

Kebijakan berpihak pada rakyat kecil, miskin, papa dan harus sekolah ini tentunya layak untuk disambut baik. Pendidikan gratis juga telah menjadi bagian dari kampanye politik, khususnya pilkada dan sangat boleh jadi juga untuk 2009 nanti. 😀

Survey yang dilakukan oleh CRC Sektor Pendidikan – ICW tentunya hal yang layak dipertimbangkan juga. Rata-rata total besarnya tiap pungutan pada orang tua murid
oleh SD negeri di epat daerah (dalam rupiah)

Jenis Pungutan………………… Rp…….Prosentase
Uang Infak…………………….30863………2.04%
Uang Kebersihan…………….18535………1.22%
Uang Buku Ajar……………..114821………7.58%
Uang Buku Tumpukan………56777………3.75%
Uang Fotocopy………………. 21755………1.44%
Uang Olah Raga………………61680……..4.07%
Uang Pergantian Kepsek……20107……..1.33%
Uang Perpisahan…………….26755………1.77%
Uang Study Tour…………….191342…….12.62%
Uang Perpustakaan………….43154…….. 2.85%
Uang SPP/Komite Sekolah…187570…….12.37%
Uang LKS dan Buku Paket..205673…….13.57%
Uang Daftar Ulang…………..59772…….. 3.94%
Uang Ujian…………………….34909…….. 2.30%
Uang Bangunan…………….235804 ……15.56%
Uang Pendaftaran Sekolah..206225…….13.61%
Grand Total……………….. 1515742 …..100.00%

13,57% biaya pendidikan dari orang tua adalah biaya buku.  Biaya yang begitu mahalnya bagi usaha mencerdaskan anak bangsa, sehingga layak dikikis dan kalau perlu dibebaskan dunk.  Soalnya kalau biaya Uang pendaftaran sekolah, biaya uang pergantian kepsek (apa pula ini?), uang bangunan, uang perpisahan, jelas ini adalah fixed cost yang tak mungkin diganggu gugat.  Apalagi biaya studi tour.  Tanpa biaya ini, manalah mungkin anak yang seumur hidupnya belum tentu diajak tour orang tuanya bisa pergi berwisata.

Biaya pendidikan lain, yang justru terselubung adalah biaya transportasi anak ke sekolah, khususnya tentu kota besar, biaya jajan anak di kantin sekolah juga menyerap biaya yang sangat tinggi. Biaya pendidikan memang nggak mungkin gratis, tapi kalau bisa seluruh kemajuan dunia dan ilmu pengetahuan bisa diraih, sampai ke negeri Cina sekalipun… tapi kalau bisa ya murah.  Syukur-syukur bisa gratis !.

Pertanyaan kemudian, apakah buku harus murah.  Ya tentu, kalau bisa gratis !.  Cukuplah disediakan oleh Pemerintah dan laranglah orang tua atau anak untuk membeli buku.  Buku adalah juga sumber pengetahuan yang akan semakin membebankan kehidupan yang sudah susah ini.  Salah satu kesialan bangsa ini adalah banyaknya buku-buku yang diterbitkan oleh para penerbit di Indonesia yang menyebabkan buku menjadi mahal.  Buku dimonopoli oleh swasta, oleh para penerbit.  Para penulis menjual karyanya ke penerbit, lalu penerbit menjualnya dengan harga selangit.  Membuat orang tua semakin kelabakan.  Buku haruslah murah, kalau bisa malah gratis !.  Karena itulah, demi UUD 45 dan mencerdaskan bangsa, Pemerintah berbaik hati dan mulia untuk membeli copy right sehingga masyarakat bisa donlot sendiri kemudian memperbanyak, entah foto copy atau apa saja.  Yang penting bisa dipakai dan harus dipakai selama lima tahun.

Biaya pendidikan memang harus dianalisis dengan baik. Khusus mengenai buku yang menurut saya adalah komponen terpenting dalam pendidikan yang dengan buku menjadikan proses belajar, proses pencarian ilmu bisa berlangsung, maka biaya semestinya dikonsentrasikan juga pada usaha penambahan ilmu.  Namun, mencari atau membuat kebijakan populis bahwa buku adalah penyebab mahalnya biaya pendidikan adalah juga sikap pragmatisme.  Hasil survey pungutan sekolah jelas membuktikan bahwa biaya studi tour, biaya atau biaya seragam, biaya kaos kaki, sepatu, tas, transportasi, dan lain-lain jelas merupakan biaya langsung yang jauh di atas rata-rata.

Penggunaan dana BOS, DOP, DAK yang penuh tanda tanya seperti yang disitir ICW menunjukkan bahwa perhatian pemerintah masih pilih bulu.

Sama dengan perpustakaan, biaya tertinggi adalah bangunannya, bukan mendapatkan buku-buku bermutu dalam jumlah banyak dan uptodate.  Buku tetap terpinggirkan.  Buku terasa sebagai barang haram yang harus ditelan dan dipelajari, dicintai tapi sekaligus dibenci.

Copy Right.

Copy right buku, terutama buku ajar setahu saya hanyalah komponen kecil dari biaya produksi, dari sebuah proses industri yang menghasilkan buku.  Pembelian dan sekaligus usaha pembatasan pemerintah melalui Kepmen Nomor 2 diknas itu memerinci masalah perbukuan dengan asumsi-asumsi kuat yang berusaha memonopoli dan melihat penerbit sebagai salah satu komponen yang membuat biaya pendidikan mahal.

Komponen copy right itu sendiri kurang lebih hanya maksimum 10% dari harga sebuah buku.  Jadi bagaimana mungkin Pemerintah menganggap kalau 10% itu dihilangkan, maka harga buku bisa turun 50% !.

Apalagi kalau melihat hasil survey biaya pendidikan.

Rakyat tentu mengharap biaya pendidikan murah dan kalau bisa gratis, tapi seperti disinggung pada gambaran yang masih kasar di atas.  Mengarahkan pikiran masyarakat pada mahalnya harga buku sebagai sumber hambatan pendidikan rasanya tidak tepat.

Apalagi buku adalah komponen penting, lebih penting dari pungutan pergantian kepala sekolah 😥 atau uang bangunan.  Menyulut kebencian bawah sadar pada buku sebagai penyebab mahalnya biaya pendidikan tidaklah tepat.  Ada efek psikologi lain yang mendera bangsa ini.

Lalu, bagaimana sebenarnya sikap kita terhadap seluruh komponen-komponen pendidikan lainnya yang seharusnya ditekan atau malah ditingkatkan kualitas dan sebarannya.   Kadang saya bertanya, mengapa Pemerintah begitu aktif mengajarkan masyarakat bahwa biaya pendidikan harus murah, mengapa buku harus murah.  Mengapa tidak gratis saja !.   Untuk orang miskin, jelas perlu.  Untuk kelas menengah dan mampu jelas tidak perlu.  Dan menurut saya, akan lebih baik lagi kalau tidak ada lagi orang miskin, kualitas bangsa ini yang harus meningkat.  Daya beli yang harus ditingkatkan, bukannya dipelihara pada murah dan harus tetap miskin sehingga harus dibantu.  Bangsa lain bisa, mengapa kita tidak ya!.

Dari data survey yang dikutip, rasanya rencana ini lebih bernuansa politiknya ketimbang kesungguhan Pemerintah untuk meningkatkan mutu dan sikap hidup (etos) bangsa.  Mudah-mudahan pikiran ini keliru.

2 Tanggapan to “Buku Murah : Kebijakan Populis atau Pragmatis”

  1. Elza said

    Assalamualaikum Wr Wb.

    KOmponen utama suatu Negara apalagi bangsa adalah sumber daya manusia,
    jika pendidikan dipersulit macam ini, maka Negara sedang dalam proses bunuh diri.
    apalagi bangsa lain berlomba mempercanggih SDMnya agar negaranya bisa tetap eksis, bahkan jika mungkin memangsa negara lain, itulah pilihan kita, mampu bertahan atau akan dimangsa bangsa lain.
    dengan kata lain jika ingin negara ini tetap eksis, maka pendidikan harus diutamakan.
    jika pendidikan digratiskan, maka seluruh warga akan mencapai tingkat kualitas sumber daya yang bagus.
    kita tidak akan pernah tahu, dari seorang anak yang mana yg berpotensi unggul bagi masa depan bangsa, maka jika potensi itu terpangkas hanya gara-gara tidak mampu membiayai pendidikan, sangat disayangkan.

    berikut adalah kisah sukses pendidikan gratis di Irlandia,

    Bagaimana Irlandia Menjadi Negara Terkaya Kedua di Eropa
    Oleh THOMAS L. FRIEDMAN
    The New York Times
    Dipublikasikan pada 29 Juni 2005

    Sumber: http://www.nytimes.com/2005/06/29/opinion/29friedman.html?hp

    Ini hal yang mungkin Anda belum tahu: Irlandia sekarang adalah negara terkaya kedua di Uni Eropa, setelah Luxembourg. Ya, negara yang selama ratusan tahun dikenal karena imigrasi warganya,puisi tragisnya, perang saudaranya, dan lepranya; sekarang memiliki GDP perkapita lebih tinggi dari Jerman, Prancis, dan Inggris.
    Bagaimana Irlandia berubah dari negara sakit Eropa menjadi negara kaya Eropa hanya kurang dari satu generasi adalah cerita yang luar biasa.
    Kenyataan ini menggambarkan Eropa sekarang: semua inovasi muncul di negara pinggiran Eropa yang memeluk globalisasi dengan cara mereka sendiri–Irlandia,
    Inggris, Skandinavia, dan Eropa Timur. Mereka yang ikut model sosial Prancis-
    Jerman menuai pengangguran.
    Perubahan Irlandia dimulai akhir 1960-an saat pemerintah menggratiskan sekolah menengah, memungkinkan anak kelas bawah bisa menyelesaikan sekolah menengah atau sekolah teknik. Hasilnya, saat Irlandia bergabung ke UniEropa pada 1973, mereka dapat mengandalkan tenaga kerja berpendidikan mereka.

    Pada pertengahan 1980-an, Irlandia sudah mendapat keuntungan awal anggota Uni Eropa, seperti subsidi pembangunan infrastruktur dan pasar lebih luas. Tapi mereka masih belum memiliki produk kompetitif untuk dihasilkan,akibat proteksi dan kesalahan fiskal selama bertahun-tahun. Negara itu bangkrut dan para sarjananya berimigrasi ke luar negeri.
    “Kami meminjam, membelanjakan, meningkatkan pajak dan itu nyaris menenggelamkan kami,” kata Deputi PM Mary Harney. “Hanya karena kami nyaris tenggelam, kami berani berubah.”
    Irlandia pun berubah. Dalam perkembangan yang tidak biasa, pemerintah, serikat pekerja terbesar, petani, dan kalangan industri bersetuju melakukan langkah perbaikan fiskal, memotong pajak korporasi sampai 12,5 persen, mengurangi gaji dan harga, serta merayu investasi asing. Pada 1996,Irlandia membuat pendidikan tinggi pada dasarnya gratis, sehingga tenaga kerja berpendidikan lebih banyak lagi.
    Hasilnya sangat fenomenal. Sekarang, 9 dari 10 perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki pabrik di sana, seperti 16 dari 20 peralatan pembuat medis serta 7 dari 10 perusahaan pembuat piranti lunak. Tahun lalu, Irlandia mendapat investasi Amerika lebih banyak daripada Cina.

    Dan secara keseluruhan, pendapatan pajak pemerintah meningkat.
    “Kami membuat pabrik di Irlandia pada 1990,” kata Michael Dell, pendiri Dell Computer. “Yang menarik kami? Tenaga kerja berpendidikan dan universitas bagus di dekatnya. Irlandia memiliki kebijakan industri dan pajak yang secara konsisten mendukung bisnis, siapapun yang sedang berkuasa secara politik di sana. Saya percaya ini karena banyak orang yang ingat saat buruk saat pembangunan ekonomi terlalu terkait politik. Irlandia juga memiliki transportasi dan logistik sangat baik–mudah bagi produk apapun mendistribusikan produknya di pasar utama di Eropa dengan cepat.”

    Akhirnya, tambah Mr. Dell, “Mereka kompetitif, ingin berhasil, haus Dan tahu bagaimana rasanya menang. Pabrik kami di Limerick, tapi kami juga memiliki beberapa ribu orang penjualan dan teknis di luar Dublin. Bakat teknis di Irlandia juga terbukti menjadi sumber daya kami… Fakta menyenangkan: kami menjadi eksporter Irlandia terbesar.”

    Intel membuka pabrik chip pertama di Irlandia pada 1993. James Jarrett, wakil presiden Intel, mengatakan mereka tertarik banyaknya orang berpendidikan di Irlandia, pajak korporasi yang rendah, dan insentif lain yang membuat Intel menghemat miliaran dolar selama lebih 10 tahun. Program kesehatan nasional juga tidak merugikan. “Kami memiliki 4.700 karyawan di empat pabrik dan kami malah merancang chip tercanggih di Shannon dengan insinyur Irlandia,” katanya.

    Pada 1990, angkatan kerja Irlandia adalah 1,1 juta. Tahun ini mencapai 2 juta, tanpa ada penganggur, dan 200 ribu pekerja asing (termasuk 50 ribu Cina). Negara lain memperhatikan perubahan ini. Perdana Menteri Bertie Ahern mengatakan, “Saya bertemu perdana menteri Cina lima kali dalam dua tahun terakhir.”

    Nasehat Irlandia sangat sederhana: Buat agar pendidikan menengah dan Tinggi gratis; buat pajak korporasi rendah, sederhana, dan transparan; aktif mencari perusahaan global; buka ekonomi untuk kompetisi; berbicara bahasa Inggris; ciptakan kebijakan fiskal yang tertib; dan ciptakan konsensus keseluruhan paket ini dengan buruh dan manajemen–dan setia di sana karena Anda juga bisa menjadi negara terkaya di Eropa.

    “Ini bukan keajaiban, kami tidak menemukan emas,” kata Mary Harney.
    “Ini kebijakan domestik yang tepat dan percaya globalisasi.”

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Ass,wr.wb.
    Kita memang sepertinya sulit sekali belajar dari negara-negara lain. Ini contoh yang Pemerintah pasti sudah tahu, tapi terlalu sulit untuk mau…..
    Wass.agor

    Suka

  2. Waktu di SMA guru itu suka bilang, “kalau enggak mau belajar silakan, kalian rugi sendiri. Bapak sih gaji tetap, dari pemerintah.” tapi kalau melihat rata-rata pungutan total 1,5 juta begitu, ini antara adanya korupsi(mungkin) atau pemerintah enggak becus.
    Banyak sekali penghematan(terutama fasilitas buat pejabat)yang bisa disalurkan untuk pendidikan.
    Harusnya pemerintah mengarahkan agar rakyat mencintai buku, bukan membuatnya objek yang ditakuti.

    @
    Guru itu maksudnya memotivasi, yang rugi siswa sendiri. Bukan maksudnya guru berkata :”Loe belajar atau tidak, bukan urusan gw. Gw sih tugasnya ngajar aja, pokoknya digaji deh…” Pasti bukan ini. Buktinya Rex masuk sekolah kelas wahid kan… 😀
    Yang penting memang pada akhirnya bukan dihemat atau tidak, tapi efektif atau tidak. Istilah kerennya empowerment. Building the power….

    Suka

Tinggalkan komentar