Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kebersamaan Meletakkan Hajar Aswad

Posted by agorsiloku pada Januari 2, 2008

Hajar Aswad adalah permata (batu mulia – yaqut) dari surga yang diberikan kepada Nabi Ibrahim agar diletakkan di salah satu sudut Ka’bah. Nabi Muhammad yang kemudian meletakkannya dengan tangan beliau sendiri di tempat semula setelah renovasi Ka’bah pada masa Quraisy. Nabi Muhammad SAW menciumnya sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya, sehingga Hajar Aswad menjadi tempat bertemunya bibir para nabi, orang-orang shalih, para haji dan mu’tamirin sepanjang sejarah. Tempat ini juga, di masa haji menjadi tempat para saudara-saudara kita berbisnis mencium batu yang kini menjadi hitam ini 😦 .

Hajar AswadNamun bukan soal “bisnis” ini yang ingin dibicarakan. Tapi, kearifan apa yang terjadi ketika kaum Quraisy merenovasi Ka’bah. Tapi pilihan yang terjadi ketika terjadi perselisihan pendapat mengenai siapakah yang layak meletakkan permata dari surga ini?. Pada saat genting itu, Abu Umayah al-Makhizumi, yaitu orang yang paling tua di Quraisy, tampil meredam dan mengatakan bahwa tugas tersebut harus diberikan kepada orang yang paling dulu masyuk melalui pintu Bani Syaibah. Pintu Bani Syaibah adalah pintu masuk ke Masjidil Haram di sekitar perumahan penduduk Quraisy. Di samping rumah Syaibah ibn Utsman — penjaga Ka’bah. Pintu ini terletak di mas’a (tempat sa’i), atau dikenal dengan pintu no. 26.

Semata-mata atas kehendak Allah SWT, ternyata Muhammad-lah orang yang pertama kali masuk masjid dari pintu Bani Syaibah.

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini?. Betapa kepercayaan kepada orang yang dapat dipercaya untuk mengambil keputusan melegakan semua pihak. Dan pihak yang dipercayai oleh kaum pun memberikan solusi kebersamaan yang menjadikan puas semua anggota kaum yang berselisih. Rasulullah dipercaya tanpa fit and proper test, karena memang dari mudanya telah menunjukkan kekuatan akhlak yang sulit dicari bandingannya. Sorban beliaulah yang menjadi perantara batu itu dibawa para petinggi kaumnya dan bersama-sama diangkat bersama-sama ke dekat posisi tempat Hajar Aswad harus berada. Lalu diletakkanlah di situ oleh Nabi. Peristiwa ini terjadi 18 SH (sebelum Hijrah).

Sekilas Hajar Aswad.

Hajar Aswad adalah batu yang tertanam di pojok Selatan Ka’bah pada ketinggian kurang lebih 1,10 meter dari tanah, panjang 25 cm, dan lebarnya sekitar 17 cm. Awalnya merupakan satu bongkah batu saja, tetapi sekarang berkeping-keping menjadi 8 gugusan batu-batu kecil karena pernah pecah. Pecahnya Hajar Aswad terjadi pada zaman Qaramithah, yaitu sekte dari Syi’ah Ismailiyyah al-Batiniyyah dari pengikut Abu Thahir al-Qarmanthi yang mencabut Hajar Aswad dan membawanya ke Ihsa’ pada Tahun 319 H, tetapi kemudian dikembalikan lagi pada 319 H. Gugusan yang terbesar seukuran satu buah kurma, dan tertanam di batu besar lain yang dikelilingi oleh ikatan perak. Inilah batu yang kita dianjurkan untuk mencium dan menyalaminya, bukan batu di sekitarnya, dan bukan pula yang diliputi perak. Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya putih, lebih putih dari pada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adam yang menjadikannya berwarna hitam.

Wallahu’alam.

11 Tanggapan to “Kebersamaan Meletakkan Hajar Aswad”

  1. sitijenang said

    ah, masih ada kaitan dengan para dewan itu. sebagian dari mereka padahal sudah menciumnya. sayang, sepertinya ketika pulang ke rumah tidak membawa hikmah. begitukah? 😀

    @
    Ah… hati manusia…

    Suka

  2. Herianto said

    Mmm… saya tau maksud mas Agor kali ini … #Sok tau … 🙂
    Yang pertama [katakanlah] kekuatan ummat [istilah ummat sektarian ya ? 😆 ] telah terkotak2 dalam memperjuangkan aspirasinya. Adakah penengah yg layak dipercaya semacam Muhammad yg terpilih utk memindahkan “hajar aswad” di negeri ini ?
    Seperti halnya pandangan beberapa teman salafy, sebenarnya sebagian kita juga berpikiran bahwa pengelompokan adalah [cendrung] negatif. Sulit memang utk saat ini memahami kemanfaatan pengelompokan (organisasi/jama’ah/partai/hizbiyah) kecuali kemudahan dalam koordinasi. Sikap ashobiyah (bangga kelompok) memang cenderung mudah muncul di satu komunitas, di satu sisi kebutuhan kerapian dalam bekerjasama memunculkan keberadaan komunitas terstruktur demikian.
    Kembali ke laptop Al Qur’an. Kalo kita mengamati surat al-imran ayat 103 dan 104 kelihatan kontradiksi. Ayat 103 cenderung mengingatkan kita akan perpecahan (apakah maksudnya pengelompokan ?), sedangkan ayat 104 cenderung mengajak kita untuk membentuk komunitas dakwah struktural.
    So next …
    Tidak mungkinkah kita mengambil jalan tengah. Misal : Adanya komunitas pengajak kebaikan bersama yang tidak cenderung menimbulkan perpecahan (akibat ashobiyah hizbiyah tadi). Lalu di realitanya adakah yg seperti ini ?
    Katakanlah jawabannya : tidak ada.
    Lalu, apakah kita berkewajiban meng-ada-kannya. Atau bagaimana ?
    Melupakan ayat 104 tadi (“hendaknya ada segolongan diantara kamu yg …”) demi menghindari peringatan di ayat 103 (“…ingat kamu dahulunya berpecah belah”).
    Eh…
    Jadi ngblog nih … 🙂

    @
    Pengelompokkan tentu saja tidak dilarang. Yang kerap jadi masalah adalah kemampuan kita menerima perbedaan ketika yang didamba dan diuji dan dijadikan petunjuk AQ dan Sunnah Nabi. Maksudnya, ketika tujuan dijadikan tuntunan dan standar, maka faktor pengelompokkan tidak menjadi kebanggaan kelompok yang men-tidak-kan dengan kelompok lainnya dalam bangunan organisasi. Bukankah kita semua diingatkan di al-imran 105 (lanjutannya … 😉 ). Perpisahan atau lebih tepat pemisahan ketika tujuan tidak sama. Kalau tujuannya sama, seperti meletakkan batu itu, maka tentunya di antara 4 sisi sorban itu, para tetua Quraisy tidak perlu berdebat, siapa yang memegang ujung sorban sebelah kiri, sebelah depan, sebelah belakang dari sisi-sisi itu. Kepentingan pada tujuan dan ikatan kebersamaan yang diwakili sorban itu bergerak ke arah yang sama.
    Ada perbedaan menyolok antara organisasi dan pendekatan ideologis (paham). Tentunya pula kita melihat Salafy atau kholafi atau ahlul bait atau ahlul sunnah berbeda dengan cara kita melihat partai. Enaknya sih dalam manajemen modern bilangnya win-win solution….

    he…he…he… sepertinya saya transparan ya di mata Mas Her… 😀

    Suka

  3. erander said

    Setelah saya membaca postingan ini. Saya jadi paham kalo Hajar Aswad itu pernah dicabut dari tempatnya. Thanks ya pak atas informasinya.

    @
    Sama-sama Mas… 😀

    Suka

  4. Herianto said

    Nah ini dia :

    Kalau tujuannya sama, seperti meletakkan batu itu, maka tentunya di antara 4 sisi sorban itu, para tetua Quraisy tidak perlu berdebat, siapa yang memegang ujung sorban sebelah kiri, sebelah depan, sebelah belakang dari sisi-sisi itu. Kepentingan pada tujuan dan ikatan kebersamaan yang diwakili sorban itu bergerak ke arah yang sama.

    Apakah maksud mas Agor mngharapkan adanya kerjasama yang sinergis antara kelompok2 tersebut dalam satu tujuan (khairi ummah) ?

    @
    Mau memberikan catatan apalagi… terasa begitu menggelitik Mas Herianto memberikan penandaan… Andaikan semua berpikir dengan asa dan rasa yang sama…. indah ya perbedaan itu… 😀

    Suka

  5. andrieis said

    oo jd yg namanya Hajar Aswad itu batu kecil2 itu tho… kirain yg ‘pispot’ itu.
    maaf, ‘pispot’ ini sebutan dr kafirin, yg tidak tahu (seperti saya), gmn wujud Hajar Aswad tsb…

    @agor
    Bang, gmn sih caranya ngasih reply buat comment di WP?
    thx, n wassalam

    @
    Mas Andrieis maksudnya reply?… seperti kita kirim email, lalu reply atau kirim sms lalu reply?… Ya kira-kira begitu deh caranya. Namun, untuk memberikan catatan tambahan dari sebuah komen; seperti pada komen ini. Saya gunakan menu “sunting” atau “Edit “yang menjadi salah satu standar dari WP. Jadi tinggal klik saja Mudah-mudahan cukup jelas. Salam, agor.

    Suka

  6. haniifa said

    Salam,
    Menarik sekali komen mas agor:
    “Para tetua Quraisy tidak perlu berdebat, siapa yang memegang ujung sorban sebelah kiri, sebelah depan, sebelah belakang dari sisi-sisi itu.”
    Perlu saya tambahkan, bahwa tetua Quraisy juga tidak mempermasalahkan posisi peletakan batu Hajar Aswad tsb, atau dengan kata lain masih tetap lokasinya.
    Itulah esensinya bahwa batu Hajar Aswad memang diletakan oleh Imam nya Manusia (Nabi Ibrahim a.s) sebagai titik central (titik awal), dan Peletakan kembali oleh Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah terakhir.
    Jika kita mengandai-andai Nabi Ibrahim a.s sebagai titik sentral:
    Maka kitab-kitab yang diturunkan kepada “keturunan” Nabi Ibrahim a.s, akan berpusat padanya.
    Kitab Zabur (Nabi Daud a.s) = 1/4 Wahyu Allah kepada Manusia.
    Kitab Tauret (Nabi Musa a.s) = 2/4 Wahyu Allah kepada Manusia.
    Kitab Injil (Nabi Isa a.s) = 3/4 Wahyu Allah kepada Manusia.
    Kitab Al Qur’an (Nabi Muhammad s.a.w) = 4/4 Wahyu Allah kepada manusia.
    Jika kita buat 4 lingkaran, maka Kitab Al Qur’an lah yang lenkap.
    Zabur < Tauret < Injil < Al Qur’an atau 1/4r < 2/4r < 3/4r < 4/4r
    Ini diabadikan juga dengan Firman Allah pada Surat Al Maa’idah 3:
    ” … Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. … ” (QS 5:3)
    ————–
    Soal pernah dicabut lagi oleh pengikut Abu Thahir al-Qarmanthi yang mencabut Hajar Aswad.
    he.he.he.
    Saya masih ragu mas agor, mengingat Surat Al Fiil (QS 105:1-5), begitu ketatnya Allah menjaga Ka’bah, padahal saat itu Islam belum lahir (th 570 M)… atau memang …
    Begitu lemahkah Bani Quraisy menjaga Ka’bah setelah kemenangan Islam yang gemilang ? … Padahal Allah Ta’ala sudah memberikan kenyamanan dan ketentraman (QS 106:1-4) !!

    Wassalam.

    @
    Salam kembali… Wah, kembali saya bimbang nih… Kitab Taurat, Injil, 2/4 dan 2/4 maksudnya bagaimana?, hitungannya dari mana? Kalau tak salah ada hadis berkenaan dengan ini… (agor mo cari dulu deh…. ).

    Mengenai Hajar Aswad begitu juga… tapi referensinya masih butuh waktu mencari lagi… kalau nggak salah malah bukan satu kali lepas dari Ka’bah…. Namun derajat kesahihannya… agor juga tidak tahu…

    Suka

  7. hadi arr said

    Bagus sekali Mas Agor, saat ini kita memang tidak punya pemimpin yang bisa menyatukan umat. Umat Isalam sangat perlu adanya pemimpin yang bisa menjadi panutan sekaligus pelindung dari perpecahan.

    @
    Mencari (membutuhkan) yang kita percaya… apakah di sini kuncinya…. sehingga persatuan menjadi tidak berbunyi… 😦

    Suka

  8. Kurt said

    hahah.. rame baca postingan kang Agor sama kang Herianto…
    saya menyimak aja deh tidak berkomentar karena sudah lengkap dan berbobot… seperti berbobotnya Hajar Aswad waktu itu dan ternyata Kangjeng Nabi Muhammad saw yang paling berbobot waktu itu… 🙂

    @
    😀 catatan Pak Santri membuat malu hati ini…

    Suka

  9. haniifa said

    Salam,
    1/4r, perumpamaan lingkaran ( diagram venn)
    Misalnya dengan “Sepuluh Perintah Tuhan”, berbanding dengan “Perintah-perintah” dalam Al Qur’an.
    Atau …
    Dari zaman Nabi Ibrahim a.s sudah diperintahkan Shalat, Zakat, Puasa, dsb…sdb, tapi tidak sedetail Al Qur’an & Sunah Nabi Muhammad s.a.w
    Kalau ada Hadist yang berkenaan…saya sangat mengharapkan !!
    Wassalam.

    @
    Menarik benar yang Mas sampaikan. perintah shalat, zakat, puasa dan berkurban memang telah diperintahkan Allah sejak dulu. Yang pertama diuraikan antara lain berkurban. Sudah dimulai sejak Nabi Adam, anaknya Habil dan Qabil diminta melakukan kurban. Hanya bentuk shalat dan zakatnya yang berbeda. Kalau tak salah di al Qur’an dijelaskan adanya perbedaan itu. Contohnya Sabat, hari ke tujuh bagi kaum Nasrani adalah perintah Allah untuk beribadah. Shalatnya Nabi Ibrahim, tapi saya lupa sumbernya, kalau tak salah, ibadahnya adalah dengan menangkupkan tangan ke depan (wah saya tidak bisa jelaskan rinci… lupa)… Nanti kalau ketemu, saya jadikan postingan deh… 😦 Wassalam, agor.

    Suka

  10. Donny Reza said

    Tempat ini juga, di masa haji menjadi tempat para saudara-saudara kita berbisnis mencium batu yang kini menjadi hitam ini

    Bukankah aswad itu sendiri artinya hitam? 😕

    Memang sih, kepercayaan itu unsur terpenting untuk bisa menyatukan ‘ummat’ keseluruhan. Saat ini kan saling tidak percaya, saling menyalahkan. Paling kasihan yang jadi pemimipin di negeri ini, selalu saja ada pihak yang tidak percaya. Padahal, mestinya, siapa pun pemimpin yang terpilih, kita dukung bersama-sama…kalau jalannya udah nggak lurus lagi, baru kita tampar ramai-ramai. Sekarang kan kasusnya, baru aja melangkah…udah ditampar, ya nggak jalan-jalan jadinya 😀

    @
    Dari artikel yang saya baca; aswad diartikan hitam.
    Kepercayaan memang unsur penting dalam setiap keputusan. Keputusan yang baik dari orang yang tidak dipercaya, malah bisa juga dipenuhi prasangkaan. Keengganan untuk mengikuti kebaikan lebih-lebih lagi menjadi sebab tidak mau percaya, apalagi jika “ambisi” kemudian menyertainya.

    Suka

  11. haniifa said

    Salam,
    Maaf ya, Mas Agor agak menyimpang dari topik.
    “Shalatnya Nabi Ibrahim”
    Bukankah Do’a iftitahnya Nabi Ibrahim:
    ” Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. ” (QS 6:79)
    Katakanlah : “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS 6:162)
    “tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang “pertama-tama” menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS 6:163)
    ——————
    Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti Imam Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz ini sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, kecuali bagian terakhir tanpa kata “awwalu.”
    http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6412162914-2-macam-do039a-iftitah-mana-seharusnya-dipakai.htm
    Pertanyaan saya kenapa kata “awwalu” diganti ??!
    Soalnya menurut pemahaman saya kata “awwalu” = mengawali.
    Kenapa :
    Karena Nabi Musa a.s juga mengatakan “awwalu” disurat Al A’raaf ayat 143, padahal kita tahu bahwa Nabi Musa a.s bukan orang yang pertam-tama beriman :
    “…Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang ‘pertama-tama’ beriman. ” (QS 7:43)

    Wassalam.

    @
    Ass.Wr.wb.
    Yang pernah saya baca.. tapi lupa sumbernya, shalatnya nabi Ibrahim sambil berdiri dan menangkupkan kedua tangannya seperti orang bersalaman (atau bersedekap ke dada). Jadi bukan model shalat seperti yang disampaikan Nabi Muhammad. Nanti kalau ketemu sumbernya lagi ingin saya postingkan…

    Shalat juga esensinya kan mengingat Maha Pencipta. Sebuah ritual zikir.

    Mengenai pertama-tama beriman… saya juga kurang mengerti… pertama dalam lingkup saat itu.
    Karena yang beriman untuk manusia … ya jelas Nabi Adam…
    Wallahu’alam
    Wass, agor.

    Suka

Tinggalkan komentar