Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Membangun Rasa Persaudaraan

Posted by agorsiloku pada November 6, 2007

He..he… kalau mau jujur (emang dari dulu suka bohong ya !). Memilih tema blog yang menjadi tidak maunya Islami adalah persoalan tersendiri. Kemungkinan terjadinya perang antara gagasan dan pembunuhan karakter adalah lapangan kebebasan di dunia ini. Apalagi pada cara pandang golongan-golongan yang secara dewasa kekanakan untuk menyerang atau mengk****rkan lainnya. Walah bisa ribet deh. Namun, jauh di dalam hati, keinginan untuk menulis sebagai bagian dari kebiasaan, bagian dari kesukaan yang sepertinya tak mudah lepas. Saya lebih suka pembahasan itu dalam ketajaman narasi. Bukan pada penghinaan atau pelecehan pribadi. Mengapa?, karena lgagasan ijtihadlah yang menjadi titik persoalannya. Meski memang, dan tentu saja buat penerima belum tentu menyenangkan, apalagi jika merasa jadi tertuduh. Namun, jika menyampaikan dengan energi untuk meluruskan dalam ketakwaan dan ketulusan. Bukan untuk menghakimi, maka kebenaran memberikan manfaat dan menjadikan mulut dan tangan kita menjadi penyampai berita ketauhidan. Tentu lebih bagus meresap ketimbang mengolok-olok seseorang.

Meski terus terang saja, saya juga akan menghapus komentar yang kasar dan menyakitkan, tapi sepanjang runtutan pada logika dan kewarasan dimunculkan, agor akan tetap pertahankan. Meskipun isinya keras dan sangat berbeda, maka biarlah komentar itu seperti adanya. Malah akan menjadi proposal untuk mengingatkan agar menjaga hati dan diri (mudah sih mengatakan, perlu kekuatan besar untuk memeliharanya). Sepanjang kemampuan berpikir dan logis mampu disajikan oleh rekan yang sudi berkunjung, maka komentar tentu akan memperkaya dan memaknai. Namun, lebih banyak sih yang membantu meluruskan, memperkuat argumen, dan bertukar sapa. Wah ini membuat ladang amal dalam blog. Jauh di dasar hati, emang tidak ada gunanya mencari kemenangan dalam dunia dimana kita tidak saling mengenal dalam keseharian. Apalagi jika diniati blog sebagai ladang amal. Jadi tempat bersedekah. Tentu, tidak ada gunanya menyakiti (tentu juga dalam lapangan sebenarnya). Di lapangan yang sebenarnya, jauh lebih sulit. Karena ekspresi dan kebutuhan, tanggung jawab dan posisi kadang dan terpaksa mengharuskan kita membenarkan dan menyalahkan.

Menyikapi perbedaan pendapat.

Dalam dunia orang dewasa, perbedaan pendapat dihakimi oleh pandangan masyarakat (tentu juga masyarakat blogger). Penyisihan dan penghukuman juga akan menjadi tradisi blogger terhadap tulisan-tulisan yang dianggap tidak sesuai. Sebaliknya pula, masyarakat matang akan memilih berdasarkan kebebasan. Setiap kebebasan akan bertemu dengan kebebasan yang lain. Komitmen antara kebabasan itulah yang menjadi inti dari demokrasi. Karena itu, kalau kita pahami, betapa kebebasan diberikan Allah pada manusia untuk, “Yo wis, mau ingkar mau taat… terserahlah. Ini tawaranKu. Siapa ikut oke, kalau nggak ini resikonya…”. Ini petunjukNya, dan dengan ini pula, sebagian dari mereka justru menjadi ingkar. Kalau mau, bisa saja dibuat Allah semuanya beriman. Inilah komitmen demokrasi, komitmen peluang. Jadi tinggal dimanfaatkan atau tidak.

Dan di antara mukmin, jelaslah bersaudara. Maka jika berbeda pendapat… yap… berdamailah dan bertakwalah (QS 49:10). Jangan terpecah belah, bercerai berai.. (QS 2:103). Jadi jelas bukan untuk berpecah belah seperti piring pecah. Dokter emang spesialisasi memecah-mecah bagian tubuh, jadi dokter kulit, dokter mata kiri atau dokter gigi atas. Pemecahan itu tentu membangun spesialisasi untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia. Tapi, kalau profesi organisasi, sebaliknya… meningkatkan mutu persatuan. Potensi pemimpin untuk menyesatkan manusia lain sangat tinggi. Karena itu, Allah mengingatkan agar kita juga harus berhati-hati pada pemimpin.

Kembali ke soal awal yang menarik dari “Korban Fitnah“. Ada yang menarik bisa kita simak di situ. Bukan hanya pada postingan, tapi pada komentarnya. Begitu bernas dan banyak yang menyejukkan.

Kalau memang begitu, mengapa di dunia yang tanpa batas negara dan fisik ini kita merasa perlu merasa menang-menangan. Kalau ada yang baik atau buruk, lalu diminta pendapatnya, seperti seorang rekan pernah bertanya pada saya :

“Hei… Gor, mana yang lebih baik : Mantan penjahat atau mantan pasantrenan….?” Saya tersenyum sendiri. Memang kita tidak pernah tahu akhir dari satu perjalanan manusia. Semoga saja di setiap titik perjalanannya, Allah memberikan kemudahan dan kebenaran. Mudah memang mengucapkan kebenaran hanyalah milik Allah semata. Jika tak sampai masuk ke setiap proses renungan kita hanya akan bermain di lapisan terluar saja. Yang juga kotor dan berdebu.  Namun, kata itu.. tetap menjadi bagian dari kita untuk ingat, bahwa kita sesungguhnya tidak banyak memahami.  Seperti kata saintis tentang teori kuantum… kalau ada yang bilang saya memahami, pastilah dia belum memahami…. 😀

4 Tanggapan to “Membangun Rasa Persaudaraan”

  1. Herianto said

    Membangun rasa persaudaraan mahal … bahkan untuk era ini sangat mahal.
    Kita sepertinya sudah tidak “dimunisasi” dari masa “bayi” sehingga sukar terhindar dari terjangkitnya virus2 ukhuwah.
    Prilaku “klimaks” antara kelompok salafy dan liberal yg [istilah saya] kebablasan, cukuplah menjadi pembelajaran untuk merasakan betapa mahalnya harga menjaga persaudaraan dan kebersamaan.
    Bukan salah kita semata untuk berbeda, tapi salah kita adalah dalam kemauan untuk memahaminya. Semakin kita berusaha memahami seringkali justru membuat kita semakin sadar betapa kita ternyata lebih lagi berbedanya dari yg kita ketahui dari awal.
    Dari mana dana harus kita alokasikan untuk membayar mahalnya persaudaraan ?

    Lha… saya baru nulis apa ya ? 😆
    #Sempoyongan nih mas Agor, kemalaman pulang … 🙂

    @
    Kalau ada website untuk tujuan menyesatkan sebagian manusia dari petunjukNya… saya sangat bisa maklum. Usaha terus menerus itu tak akan pernah berhenti sampai berhenti waktu dan kefanaan ini. Tapi kalau menulis untuk tujuan berbagi… kan tidak ada “untungnya” kalau ….
    Tapi… jangan kemalaman pulang lho…. kasian anak di rumah menunggu….

    Suka

  2. brapiolove said

    mudah-mudahan bukan buat menang-menangan, beda pendapat untuk saling meluruskan gak masalah, kadang cuma cara penyampaian dan kemampuan menyusun kata -kata yang mengakibatkan terjadinya gesekan. Gak perlu marah, gak perlu ngambek, gak perlu patah semangat, saya yakin semua bertujuan baik.
    PADA DASARNYA SIFAT MANUSIA ITU PENUH EGOISME, saat akan terbentuknya janin jutaan spermatozoa saling berebut untuk membuahi ovarium dan sipemenang gak perduli dengan yang lain harus mati sia-sia.
    Maka pandai-pandailah mengendalikan ego kita ( sak tau yaaaa?, maaf deh….. )

    @
    Betul… jangan mudah jemu dengan sifat egois. Justru belajar mengendalikan itu yang musti ditingkatkan mutunya…. 😀

    Suka

  3. Anonim said

    Ass,wr.wb,pak Agor.
    InsyaAllah tidak lama lagi akan datang seorang wali, beliau ini adalah seorang wanita yg telah dipilih.Dia akan berusaha mengembalikan persaudaraan antara umat islam di indonesia, beliau berwajah cantik,putih, bicara tidak banyak dan sangat lemah lembut dan selalu menundukkan kepalanya, perkataan yg sering diucapkannya adalah Sembahlah Allah S.W.T karena tiada tuhan melainkan Dia dan kembalilah kepada jalan yg lurus.Banyak yg akan mendengar dia.

    Wassalam Dono.

    @
    Subhanallah… saya hanya bisa terpana….

    Suka

  4. Seharusnya perbedaan disyukuri sepanjang tak menimbulkan sengketa. Apakah setiap perbedaan pasti menimbulkan sengketa? Bagaimana agar perbedaan tak berakhibat sengketa? Jawabnya sederhana: Jangan merasa benar sendiri dan berhak memaksakan kehendak.
    Biarlah yang berbeda tetap berbeda, yang sama jangan diperebutkan, misalnya keyakinan tentang keberadaan Tuhan YME dan kebesaran Nya.
    Oksigen saja tak pernah habis dibagi-bagikan kepada semua yang membutuhkan, sebab : Sebelum menciptakan alam semesta dan isinya Tuhan YME telah merencanakan dengan saksama dan menyertakan hukum untuk mengaturnya, yaitu Hukum Ekologi Universe. Semua hukum berada dibawah hukum yang satu ini. Semua yang melanggar hukum ini akan merasakan akibatnya. Jika Dia telah merencanakan adanya perempuan dan lelaki yang berbeda, siapa saja yang akan memaksakan kehendaknya: perempuan dijadikan lelaki maupun lelaki menjadi perempuan akan sia-sia sebab tak akan sempurna bahkan dapat menimbulkan bencana. Jika Dia telah merencanakan adanya buruk dan baik, siapa saja yang akan menjadikan seluruh isi alam semesta menjadi baik, akan sia-sia, demikian sebaliknya. Yang mungkin kita lakukan adalah “menyadarkan”, memberi pengertian akan sesuatu yang baik, sebab perbuatan baik akan berakibat baik dan yang buruk akan berakibat buruk.
    Apa itu baik dan buruk?
    Ungkapan yang paling mendasar adalah: Yang baik adalah sesuatu/perbuatan yang tak mencederai/merugikan diri sendiri dan lingkungan. Mengapa? Semuanya adalah ciptaan Nya yang telah dibekali dengan kesadaran hakiki: tak ada yang bersedia dicederai/dirugikan. Satu contoh: Jika kita mencuri, berarti kita merugikan lingkungan sehingga lingkungan akan mengkatagorikan perbuatan kita tak baik/buruk, lalu lingkungan membuat hukum untuk melawan perbuatan mencuri. Seorang yang mencederai dirinya, misalnya malas/tak mau bekerja,memilih menganggur walau lingkungan menyediakan pekerjaan, akan menjadi beban lingkungan, lingkungan harus menyediakan makanan untuk orang itu, atau membiarkan orang itu mati. Kalau sudah mati……… dia tak sanggup mengurusi dirinya hingga membutuhkan “bantuan” untuk menguburnya. Jika dibiarkan, baunya akan mengganggu lingkungan dan menyebarkan penyakit.
    Kesimpulan Tuhan YME memberikan kesempatan pada setiap ciptaannya untuk mengurusi dirinya, jenisnya dan lingkungannya. Rasa persaudaraan hanya dimungkinkan jika masing-masing tak dilanggar hak azasinya.
    Yang harus difahami: Keadilan bukanlah sama rata dan sama rasa, yang rajin dan yang malas menerima jatah sama. Keadilah juga harus disertakan antara hak dan kewajiban. Mereka yang kewajibannya berat sudah sepantasnya memperoleh hak lebih besar sesuai dengan beratnya kewajiban. Namun seharusnya hak itu menyertai kewajiban tidak mendaqhului , artinya hak hanya akan diterima setelah menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
    Yang tak menjalankan kewajiban secara baik dan benar tak berhak menerima hak.

    Suka

Tinggalkan komentar