Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Bantahan atas Tulisan Luthfi Asysyaukani oleh HMNA

Posted by agorsiloku pada Juni 12, 2007

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
Bantahan atas Tulisan Luthfi Asysyaukani
oleh H.Muh.Nur Abdurrahman
SEJARAH SINGKAT PENULISAN AL QUR^AN
Penulisan Al Qur^an di masa Rasulullah saw.
Atas perintah Nabi saw., Al Qur^an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan, yaitu untuk setiap ayat yang turun Nabi SAW menyuruh tempatkan pada tempatnya dalam surah tertentu dan susunan ayatnya yang tertentu pula. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw.

Penulisan Al Qur^an di masa Khalifah Abu Bakar As Shiddiq RA.
Atas anjuran Umar RA, Khalifah Abu Bakar RA memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit RA untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur^an dari para penulis wahyu menjadi satu mushhaf.

Penulisan Al Qur^an di masa Khalifah Usman bin ‘Affan RA.
Untuk pertama kali Al Qur^an ditulis dalam satu mushhaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah binti Umar, yaitu hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar RA. Usman RA memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan AbdurRahman bin Al Haris bin Hisyam RA-hum, yang kesemuanya itu hafal Qur’an. Mushhaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut disebut Rasm Utsmaniy, satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.

Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga pase;
Mu’awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik.
Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (misalnya Ba; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas dsb. Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Peletakan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah, Sukun, tasydid dan tanda panjang, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.

Demikianlah keadaannya mushhaf itu hingga sekarang ini. Walaupun diperlengkap dengan titik, baris atau tanda baca, rasm (ejaan) ‘Utsmaniy tidak berubah dalam konteks jumlah huruf, artinya tidak ada huruf yang hilang. Dari Rasm ‘Utsmaniy ini bisa dibaca dalam 7 ahruf, yang kita kenal hingga kini dengan qiraat 7 (7-bacaan). Mengenai 7-ahruf (gaya bacaan) Nabi SAW bersabda: “Al Qur^an ini diturunkan dalam 7 gaya bacaan, maka bacalah dengan cara bacaan yang termudah bagimu (R. Bukhari 2287 dan Muslim, 818)

***

Apakah disengaja, artinya pura-pura tidak tahu, atau memang karena ketidak tahuan, yaitu Luthfi Assyaukanie (LA) mencoba mengaburkan perbedaan antara Rasm (ejaan) dengan Ahruf (gaya bacaan), maka LA melontarkan konstatering bahwa: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.”

Dengan pernyataannya itu, betul-betul LA tidak membedakan antara Rasm (ejaan) dengan ahruf (gaya bacaan). Rasm ‘Utsmani berhubungan dengan tulisan (Al Kitab, dari kataba = tulis)), sehingga Al Quran disebut pula Al Kitab. Tulisan berupa gelombang elektromagent yang menggentarkan sensor mata sehingga tulisan itu dapat dilihat oleh mata. Setelah mata melihat dibacalah dia dengan 7-ahruf berupa getaran udara yang menggentarkan gendang telinga sehingga terdengar apa yang dibaca itu. Setiap ayat, setiap kata dari Rasm ‘Utsmaniy itu dapat dibaca dalam 7 gaya (qiraat) bacaan.

Apa yang ditulis sebagai Rasm ‘Utsmaniy itu bukanlah “formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam,” seperti yang difitnahkan oleh LA. Di bawah ditunjukkan bahwa Rasm ‘Utsmaniy bukanlah angan-angan teologis, melainkan berdasar atas data kuantitatif secara matematis.

***

Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam bermohon kepada Allah:
— AHDNA ALSHRATH ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca: ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus. Dikatakan sekurang-kurangnya 17 kali, sebab di samping shalat wajib, ummat Islam yang shalat mengerjakan pula shalat sunnat. Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan apa yang termakatub langsung setelah S. Al Fatihah, (surah no.1) yaitu S. Al Baqarah (surah no.2), ayat 1 dan 2 seperti berikut:
— ALM (1), dibaca Alif, Lam, Mim
— DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (2), dibaca: dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s. albaqarah), artinya:
— Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya petunjuk bagi para muttaqin.

***

Ayat 1 adalah kode matematis bagaimana caranya Allah memelihara Al Qur^an. Semua Surah yang dibuka dengan Alif, Lam, Mim, termasuk Surah yang dibuka dengan Alif, Lam, Mim, Ra dan Alif, Lam, Mim Shad, tegasnya semuah surah yang dibuka dengan ketiga huruf persekutuan Alif, Lam, Mim, maka jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam semua surah itu adalah kelipatan 19.

No. Nama Jumlah huruf
Surah Surah Mim Lam Alif Alif,Lam,Mim

 

2 alBaqarah 2195 3204 4592 9991
3 Ali ‘Imraan 1251 1885 2578 5714
7 alA’raaf 1165 1523 2572 5260
13 alRa’d 260 479 625 1364
29 al’Ankabuwt 347 554 784 1685
30 alRuwm 318 396 545 1259
31 Luqmaan 177 298 348 823
32 alSajadah 158 154 268 580

Jumlah 5871 8493 12312 26676 = 1404 x 19

***

Dalam ayat 2 ada tanda tiga titik (spt titik pada huruf ‘tsa’ dan ‘syin’) terletak diatas kata “RYB” dan “FYH”. Tanda tiga titik diatas dua kata tsb dalam ayat 2 menunjukkan mu’jizat lughawiyah, yaitu ayat 2 dapat bermakna dua yg keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua cara dalam membaca ayat 2 tersebut, yaitu dapat berhenti pada kata RYB, dan dapat pula berhenti pada kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut menghasilkan penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu dengan yang lain saling bersinergi, saling mengisi.

Mari kita baca ayat 2:

Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal kita-bu la- rayba, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n. Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah: Itulah Al Kitab tiada keraguan, pernyataan tegas dari Allah bahwa Al Quran tiada keraguan sumbernya dari Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara membaca yang pertama ini bobotnya pada penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Quran bersumber dari Allah SWT.

Cara yang kedua, berhenti pada kata FYH: Dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan hudal lil muttaqi-n. Cara membaca yang kedua ini bermakna: Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya, jadi bobot cara pembacaan kedua ini ialah “tiada keraguan” mengenai ayat-ayat Al Quran, di antaranya jaminan Allah bahwa Allah memelihara Al Quran:
— ANA NhN NZLNA ALDzKR WANA LH LhFZhWN (AlhJR, 15:9), dibaca: inna- nahnu nazalnadz dzikra wainna- lahu- laha-fizhu-n, artinya:
— Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Dzikr (Al Quran) dan seungguhnya Kami memeliharaNya. Cara Allah memelihara Al Quran salah satunya ialah dengan kode matematis seperti kode Alif, Lam, Mim tersebut di atas.

***

Mengapa dan dari mana itu angka 19? Bacalah Seri 600 di bawah:
=======================

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL – IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
600. Jawaban yang Mendahului Bantahan, Suatu Mu’jizat

Provokator Abu Jahil berhasil menghasut Al Walid ibn Al Mughirah: “Cobalah terangkan kepada kaum-kaummu itu bahwa engkau membantah Muhammad.” Maka sehabis berpikir Al Walid berucap: “Yang dikatakan Muhammad itu tak lain dari sihir yang diterimanya dari orang lain. Itu tidak lain hanya ucapan manusia belaka.” Tak lama kemudian, Allah menurunkan ayat 11 sampai dengan ayat 30 surah al Muddatstsir. Ucapan Al Walid itu terpateri dalam ayat 24 dan 25: FQAL AN HDzA ALA SHR YWaTsR * AN HDzA ALA QWL ALBSyR * Dibaca: faqa-la in ha-dza- illa- sihruy yu^tsaru * in ha-dza- illa- qawlul basyari, artinya: Maka ia berkata, ini tidak lain dari sihir yang diterimanya (dari ahli sihir) * Ini tak lain dari perkataan manusia * Maka ayat 30 (yang terakhir dari paket) menyuruh siapa saja yang mengatakan Qur^an itu “man made”, mengadakan investigasi:
— ‘ALYHA TS’At ‘ASyR, dibaca:
— ‘alayha- tis’ata ‘asyara, artinya
— Padanya 19.

Perhatikan, bilangan 19 tidak menunjuk suatu substansi tertentu. Ha (nya) dalam ‘alayha (padanya) adalah muannats, gender perempuan, jadi Ha hanya menunjuk pada Surah, Ayat, kata (semuanya dalam bentuk muannats).

***

Dalam melakukan investigasi bilangan 19 dapat saja dilakukan terhadap sebagian isi Al Qur^an SETELAH bantahan Al Walid. Seperti misalnya Surah alA’raaf dibuka dengan kombinasi huruf-huruf Al Muqaththa’a-t (potongan huruf) Alif, Lam, Mim, Shad. Maka jumlah keempat huruf itu dalam Surah tersebut adalah kelipatan 19.
Huruf Jumlah
Alif 2572
Lam 1523
Mim 1165
Shad 98
Jumlah 5358 = 282 x 19
Maka dapat saja mulut usil mengatakan bahwa itu sengaja disusun Muhammad dan para pembantunya supaya kelipatan 19.

Oleh sebab itu kita akan melakukan investigasi dalam 3 contoh saja SEBELUM Al Walid melakukan bantahannya, seperti dinyatakan dalam judul di atas: “Jawaban yang Mendahului Bantahan.”

***

Pertama, SK pengangkatan Muhammad menjadi Nabi dan Rasul Allah, yaitu ayat 1 s/d 5 dari surah AL’ALQ (dibaca al ‘alaq). AQRA BASM RBK ALDzY KhLQ * KhLQ ALANSN MN ‘ALQ * AQRA WRBK ALAKRM * ALDzY ‘ALM BALQLM * ‘ALM ALANSN MALM Y’ALM * Tidak dijelaskan cara membacanya, tidak juga artinya. Yang penting pembaca dapat menghitung sendiri jumlah kata dan huruf seperti termaktub dalam tabel di bawah:

ayat jumlah kata jumlah huruf
1 5 18
2 4 14
3 3 14
4 3 13
5 4 17
jumlah 19 Jumlah 76 = 4 x 19

Yaitu dengan catatan:
1. Bagi yang tidak bisa membaca huruf ‘Arab Al Qur^an: Kh dan Dz itu SATU huruf.
2. Bagi yang bisa mengaji, dalam hadiah Kitab Al Quran dari Kerajaan Arab Saudi kepada para Jama’ah Islamiyah yang melaksanakan ibadah haji, pada halaman sampul termaktub bi alRasm al’Utsmaan (dengan ejaan ‘Utsman), ayat 2 dan 5 dari surah AL’ALQ kata insa-an dengan memanjangkan sa-, menurut ejaan ‘Utsman dituliskan ANSN (empat huruf), sa- yang panjang dinyatakan dengan tanda baca, tidak seperti dengan Kitab Al Quran cetakan Indonesia, perpanjangan sa- dinyatakan dengan Alif, sehingga dituliskan dengan ANSAN (lima huruf). Jadi kalau mau menghitung jumlah huruf dari ayat 1 s/d 5 dari surah AL’ALQ, jangan pakai Kitab Al Qur^an cetakan Indonesia.

Kedua, Al Qur^an dituliskan dengan ejaan yang dipakai oleh bangsa Quraisy, yang belum mengenal titik dalam huruh-huruf, seperti berikut:

1 alif
2 ba, ta, tsa
3 jim, ha. kha
4 dal, dzal
5 ra, zay
6 sin, syin
7 shad, dhad
8 tha, zha
9 ‘ain, ghain
10 fa
11 qaf
12 kef
13 lam
14 mim
15 nun
16 waw
17 ha
18 hamza
19 ya

Ketiga, dalam SK pengangkatan Muhammad menjadi Nabi dan Rasul Allah termaktub kata ANSN (dibaca: insa-n) artinya manusia. Coba kita adakan investigasi dalam bagian tubuh manusia yaitu telapak tangan. Semua telapak tangan kanan manusia ada terlukis angka Arab |/\ (18), pada telapak tangan kiri amgka Arab /\| (81). Bagi yang tidak tahu membaca huruf dan angka Arab: tulisan dibaca dari kiri kekanan, sedangkan angka dari kanan ke kiri. Nah coba jejerkan, maka menjadi 1881 = 99 x 19. Istimewanya pula, bilangan 99 itu adalah jumlah dari Asmaau lHusna, nama-nama Allah yang terbaik. Para santri sudah tahu ini semua, yaitu kedua bilangan itu dijumlahkan 18 + 81 = 99, juga didapatkan Asmaau lHusna, tetapi bilangan 19 tersembunyi, baru muncul jika dijejerkan 1881. Apakah itu bukan Mu’jizat yang dikandung Al Qur^an?

Sayangnya agama Bahai yang juga memungut angka 19 dari Al Qur^an dijadikannya khurafat dengan mensakralkan angka 19, yaitu dipengaruhi oleh filsafat Yunani aliran Phytagorean yang mensakralkan bilangan. WaLlahu a’lamu bisshawab.

*** Makassar, 9 November 2003
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
=============================

1. Fitnahan LA cs yang memfitnah bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf (mestinya ahruf, bentuk mufradnya harf-HMNA-) bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan”. Kalau LA cs berani mengatakan “kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa”, pada hal Hadits tentang 7-ahruf itu adalah Shahih Bukhari [2287] dan Muslim [818], maka saya lebih berani mengatakan bahwa semua rujukan (reference) dalam tilisannya itu adalah SEMUANYA SAMPAH belaka.
2. Dari data kuantitatif matematis di atas itu menunjukkan bahwa fitnahan LA cs bahwa “Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki,” itu adalah bohong besar. Satu huruf saja dari “copy-editing” yang berubah dari aslinya, maka rusaklah sistem keterkaitan matematis bilangan 19 dan kelipatannya. AL cs meragukan dari S. Al Fatihah sampai S. An Nas? Jumlah Surah dari S. Al Fatihah sampai S. An Nas 114 = 6 x 19. Rujukan LA cs dalam menopang fitnahannya itu yaitu dari pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114, jadinya berkurang 2 Surah, sudah merusak sistem 19. Artinya kitab al-Fihrist itu adalah SAMPAH.

Alhasil provokasi LA bahwa “semangat pembebasan terhadap teks itu patut ditiru,” dengan bertumpu diatas filosof kontemporer Perancis (kok LA tidak menyebutkan nama filosof kafir itu?), “teks –dan apalagi teks-teks suci– selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian, tahulah kita “semangat” liberal kelompok yang menamakan dirinya Islam Liberal, adalah semangat liberal yang bertumpu di atas paradigma FILOSOF ORANG KAFIR.

Wassalam, bagi yang dapat Petunjuk
HMNA

#########################################################################

Tulisann yang dibantah oleh Bapak HMNA ini merupakan jawaban terhadap tulisan LA di milis islib.com yang dikutip oleh seorang anggota milis yang saya ikuti :

#########################################################################

oleh : Luthfi Assyaukanie

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci.

Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh –dan menjadi bagian dari proyek– penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan –kalau bukan ratusan– mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus.

Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal’ dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru.

Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.
Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.

Satu Tanggapan to “Bantahan atas Tulisan Luthfi Asysyaukani oleh HMNA”

  1. andry said

    salam kenal dari saya …….

    Saya minta tolong pak. tolong diberi penjelasan tentang kaitan / hubungan rasm al qur’an dengan qira’at…..

    karna mnurut saya islam itu juga sedikit memusingkan apabila dipelajari lebih dalam…..

    jadi saya minta tolong dikirimkan penjelasannya tentang kaitan / hubungan rasm al qur’an dengan qira’at melalui web saya……

    tolong ya pak !!!!!!!!!

    wasalam !!!!!!!!

    Suka

Tinggalkan komentar