Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Memakai Dalil, Dalih, Akal, atau Hati.

Posted by agorsiloku pada April 9, 2007

Hari ini, sedikit ingin mengalirkan “nafsu” dari semua kekangan sehingga asyik membaca pertempuran Dalil Versus dalil… Ho…ho…ho sang mahasiswa. Boleh juga, dan tokoh komentar Abdul Somad, menurut saya cukup menarik. Paling nggak avatarnya berjenggot putih… Rambut putih itu, seenggaknya tanda kebijaksanaan. Membuat saya ingat pada tokoh idola (pendekar super sakti : Suma Han). Saya sendiri tidak pernah menganggap serius ketika Bang Tajib menyodorkan tesa “Membuat Tips Blog Islami“. Karena saya justru merasa nada satir dalam postingannya. So …very funny gitu men….

Kemudian, waktu seperti biasa, melenakan sampai Tuan Apung membuat isue baru yang cukup menantang. Perang blogger islami dan tidak islami. Lucu deh, meskipun saya tahu ini tidak sama dengan perangnya MUI dan JIL atau persoalan pluralisme yang ditanggapi dengan ragam pandangan. Blog Wadehel lebih tajam dan kadang kejam dalam analisis, namun enak dibaca. Beberapa tulisan terakhir, seperti mengapa Belajar Qur’an Kok Dipersulit?, dan beberapa lainnya menurut saya artikel yang cerdas (dan pada beberapa sisi menurut saya berbobot). Sisi lain, kadang menurut saya terlalu berani. Namun, tentu saja adalah haknya untuk mengurai pandangannya lepas dari urusan mencerahkan atau menceraikan pandangan-pandangan.

Blogger Abdul Somad yang saya sebut di awal menarik, karena “nggak gampang tersinggung”. Meskipun komentar kerap dibuat sebelum dibaca tuntas, sehingga beberapa teman berkomentar “nggak nyambung”, tapi keluwesannya membuat kita tidak harus berkerut dahi dan mendelete komentarnya. Kalau nggak salah, beliau yang berada di Laut Jawa ini berkomentar simpel dan humoris. Komentar lain yang masuk, antara lain :

…. setelah baca postingan kamu secara lamat-lamat, saya jadi senyum.
memahami AL-QURAN tak bisa dengan akal joe, ……

Kemudian setelah diamati lagi….

#agorsiloku
Gunakan HATI, KEYAKINAN.
ENTE belum pernah liat Surga dan Neraka bukan, dan Belum ada TEORI yang dapat menunjukkan dimana NERAKA dan SURGA, tetapi kenapa ENTE Percaya?

Dari Bang/Oom/Pak/Kyai Abdul Somad dan dikilik-kilik Joesatch agar pakai hati, membuat ingin memberikan catatan-catatan tambahan. Lepas dari setuju atau tidak setuju. Namun, nasehat Kyai Abdul Somad secara umum saya bilang bermanfaat. Namun, khusus untuk yang ke saya, ingin sedikit “protes”, tentu saja kalau beliau tidak keberatan.

Saya sepenuhnya setuju dengan banyak blog bahwa Al Qur’an hendaknya dipelajari termasuk bahasa Arabnya, dan segala turutannya. Jelas kok, dunia keilmuan juga mengakui bahasa Arab memiliki keunikan dan kemampuan mengungkapkan kata dan penjelasan lebih terinci dan jelas ketimbang menggunakan bahasa lainnya. Namun, saya juga sependapat, mengarab-arabkan dan membahasa Al Qur’an, menafsirkan dan mencoba memahami adalah dua hal yang berbeda.

Nah, Pak Kyai Abdul, saya baru taraf mencoba memahami. Kalau menafsirkan nggak berani. Supaya mengerti, enakan saja baca rujukan dari para ahli tafsir yang memang nama dan konduitenya sudah dikenal luas. Nggak mau sembarangan. Untuk memahami, nggak usahlah jadi ahli bahasa atau ahli tafsir. Sama dengan bahasa Indonesia, biar sudah puluhan tahun berbicara bahasa Indonesia, tidak juga jadi ahli bahasa, meskipun hanya bahasa Indonesia. Jadi, saya sih percaya saja yang disampaikan artinya atau terjemahannya, meskipun bukan dalam bahasa Arab. Wah, mana bisa saya bisa baca tafsir Quraish Shihab, Hamka, Ibnu Katsir, atau siapa saja kek, kalau bahasa Arab. Ya.. bahasa Indonesianyalah. Dan itu tidak sesempurna dari bahasa aslinya. Ya jelaslah. Tapi kalau para ulama berpendapat bahwa :”TIDAK BISA” memahami al Qur’an kalau dari terjemahannya, yo wis, jangan pula mereka membuat tafsir atau terjemahan dalam bahasa Indonesia. (tapi nggak begitu kan …). Apalagi kalau ada yang mengaku ulama mengatakan : Al Qur’an hanya bisa dipahami oleh orang suci saja atau mursyid gitu. Jadi sampeyan :JANGAN BACA al Qur’an kalau nggak dibimbing sang mursyid karena bla…bla… bla. Walah kalau sudah begini, jalan terbaik adalah meninggalkan mursyid tersebut…... Orang ini mengatur lebih dari yang punya kitab. Nah, ini juga yang membuat saya punya apresiasi yang baik untuk Wadehel pada pandangan beliau mengenai hal ini.

Memahami dengan hati dan keyakinan.
Kata ini, saya kira cukup sering diungkapkan oleh banyak orang pintar. Saya punya pandangan sedikit berbeda, mohon dikoreksi kalau keliru :
Al Qur’an kalau menjelaskan sesuatu sering cukup spesifik rujukan dan cara panggilannya.

  1. Yang saya tangkap dari terjemahan lho (sekali lagi terjemahan depag – meski saya kurang puas, tapi lumayanlah). Kalau berbicara tentang alam semesta, lebih ke arah dengan kata-kata : … pelajaran bagi orang yang berpikir, berakal… Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(QS 13 Ar Ra’d 19)
  2. Kalau tuntutan pokoknya adalah beriman, ketika manusia (hambaNya) harus percaya dan tidak mungkin menganalisis (misalnya tentang Neraka atau Surga), maka Allah memilih kata beriman. QS 22. Al Hajj 14. Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

Dengan begitu menurut saya, lebih cocok kalau pendekatan akal dan filsafat positivisme, pada tingkat tertentu mengunakan akal dan pikiran. Memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan alam semesta nyata harus menggunakan basis pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sedangkan ketika berkaitan dengan yang tidak dikenali pada ranah akal, digunakan konteks beriman. Kombinasi beriman dan berakal menghasilkan output takwa.

Iman dan akal adalah dua hal yang disandingkan, seperti disampaikan pada ayat QS 3. Ali ‘Imran 7 : Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Jadi, menurut saya, sebaiknya kita tidak boleh menafikkan akal dalam memahami ayat Allah. Begitu juga, ketika Pak Somad memberikan komentar tentang Dalil-nya Joesatch dan komentar saya kemudian melakukan perbandingan. Perbandingan sebaiknya sejalan dengan alur antara akal dan iman. Jangan dulu dicampuradukkan. Pencampuran adalah kombinasi yang menandai akal dan iman dengan output makin beriman, makin bertakwa.

Contoh lain tentang hal ini cukup banyak. Tentu, Pak Somad sudah lebih mengerti dari pada saya ketika Allah menyebut jin, menyebut iblis, menyebut syaitan dalam ayat-ayatnya. Juga menyebut ghaib, tersembunyi, menyebut manusia atau insan, menyebut nabi dalam permulaan ayat, menyebut tanah, bumi dan langit, atau langit saja, atau menyebut dengan Dia atau Kami dalam beragam ayat.

Tapi, kalau Pak Abdulsomad tetap memang seharusnya memahami ayat tidak bisa pakai akal… ya… nggak maksa kok. Saya cuma menyampaikan satu pandangan saja. Yang jelas, saya tidak mau mengganti kata berakal dengan kata iman. Aqli ya aqli lah…

28 Tanggapan to “Memakai Dalil, Dalih, Akal, atau Hati.”

  1. kangguru said

    lantas dimanakah ruang untuk akal ???
    *baru berani komen*

    @
    ha…ha..ha dimana ya.. (mbingungi !?) 🙂

    Suka

  2. joesatch said

    jadi bagaimana? berminat membuang akal? hehehehehe!

    @
    Berminat dong, siapa mau menampung?. 🙂
    tapi carane piye to mas!?

    Suka

  3. mrtajib said

    1qra…bacalah
    bismirab….dengan menyebut nama Tuhan….

    mengapa mesti diperdebatkan lagi tentang keterlibatan akal, kawan?

    @
    Ya, tanya kenapa. Namun, intinya bukan di situ Bang. Dalam memberikan permisalan logis pada ayat-ayat yang disampaikan Allah, menurut agor nih, alangkah lebih baik memilah contoh yang bersumber dari akal dan yang bersumber dari hati. Kalau tak salah memahami, Allah memilah dengan sangat teliti kepada manusia, kapan menyebutkan dengan beriman dan kapan berakal, berikat contoh-contohnya. Penekanannya pada hal ini.

    Dengan begitu, ketika kita memahami ayat-ayat kauniyah, benar-benar seluruh pengetahuan pendukung dicurahkan sehingga analisis semakin tajam. Tapi jika ayat kauniyah diadukan langsung dengan soal keimanan, diskusi akan segera terhenti. Pedang berpikir kian tumpul, dan ujung-ujungnya main “kapir-kapiran” lagi.

    Ini kalau nggak salah lho, pls deh luruskan ya.

    Suka

  4. apung said

    Mau menambahkan saja,

    Ibarat melihat sebuah mata uang logam dari satu sisi, kita akan melihat gambar yang berbeda dari sisi lain, namun dilihat dari sisi manapun, uang logam tetap uang logam, dan nilainya tidak akan berubah. Itulah manusia.

    Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan yang salah datangnya dari saya sendiri.

    @
    salah datangnya dari saya sendiri. –> biar solider ya Mas apung, saya juga ikutan salah. Maap ya….

    Suka

  5. Kalau memahami Al-qur’an tidak dengan akal maka Ummat Islam tidak akan ke mana-mana. Hati tetap diperlukan agar kita tidak takabur dan condong kepada kesesatan. Mungkin begitu. Maaf, ngelmu saya nggak sanggup kalau disuruh ndalil yang mengharuskan saya bisa Boso Arab.

    @
    trimakasih kang, sudi memberikan pencerahan. Memancing Kang Kombor berkomentar susah sekali, jadi alhamdulillah bersedia berkunjung dan menyampaikan pesan.

    Suka

  6. Assalamualaikum …

    Menurut saya untuk memahami segala sesuatu harus merujuk kepada logika yang menggunakan brainware yang terbungkus sebagai akal , termasuk dalam memahami ayat – ayat suci Al Quran.

    Jika kita menelaah, meneliti, menafsirkan ayat – ayat Al Quran, akal adalah salah satu tool nya, selain itu kitapun harus lebih selektif dan berhati-hati dalam menafsirkan ayat – ayat Al Quran menjadi sesuatu yang final.

    Perbedaan kultur , bahasa, biasanya akan sedikit berimbas suatu terjemahan suatu ayat Al Quran. Jika kita bersikap kritis, kita boleh menilai Al Quran terjemahan Depag belum tentu sepenuhnya sesuai dengan maksud dan nilai ayat itu.

    Pada akhirnya saya tetap berpendapat bahwa memahami Al Quran dengan menggunakan akal bukanlah satu kesalahan, tetapi lebih bersifat ilmiah. Bukankah Allah pernah berkata dalam Al Quran bahwa orang – orang yang beriman adalah orang yang selalu menggunakan akalnya.

    Orang yang mempunyai pengetahuan lebih dari akalnya, merupakan orang yang paling mengenal Allah. Orang yang selalu berpikir dengan akalnya tentang penciptaan alam semesta sangat di anjurkan oleh Allah, bahkan seorang Albert Einstein berkata dalam penciptaan alam semesta ini : ” Tuhan tidak sedang coba-coba dengan alam ini ” …..

    @
    Wass Wr. Wb Mas Mohamad Toha.
    Sepenuhnya sependapat, akal memang pada dasarnya diberikan Allah kepada manusia sebagai alat untuk melakukan analisis (bahkan terhadap hal-hal yang tidak dipahami). Hati kemudian membuat pembenaran kembali, sehingga orang beriman akan berkata : QS 3. Ali ‘Imran 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
    Saya mencoba memahami ayat ini sebagai, setelah akal diolah, manusia kemudian menyadari kesempurnaan ciptaanNya, lalu memujiNya :”Subhanallah” dan menimbulkan takut dan keyakinannya bertambah sehingga memohon agar dipelihara dari siksa api neraka. (ini bukan tafsir, tapi pemahaman saya terhadap ayat ini).

    Saya merasa (pada beberapa ayat), terjemahan Depag tidak pas terutama kalau penjelasan dalam tanda kurung dihilangkan, maka kalimatnya terkadang menjadi putus atau tanda dalam kurung mempersempit luasnya pengertian ayat ini. Saya lebih “cenderung” membaca dulu tanpa tanda kurung, baru kemudian dibaca tanda kurungnya. Jika “merasa” tidak pas, cari ayat sebelum dan sesudahnya. Jika belum merasa “sreg” baru dicari tafsir atau hadisnya (tapi ini makan waktu sehingga kurang bisa dilakukan dengan baik). Kalau belum merasa pas juga, baru dicari lagi katanya bahasa Arabnya apa. Kecenderungan untuk mencari padanan hanya pada ayat-ayat lebih sering dilakukan dari pada mencari definisi dalam tafsir.
    Alasannya karena ayat QS 11. Huud 1. Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, Kata terperinci ini menunjukkan informasi bahwa : jika mau, kita akan dapat penjelasannya. Bisa jadi penjelasannya dari rangkaian ayat, posisi ayat, atau hal lainnya yang sering disebut oleh para ahli sebagai :”Keajaiban Al Qur’an”.
    Salam.

    Suka

  7. rajaiblis said

    hati yg cerdas membuat akal menjadi bijak …

    @
    Terimakasih Oom Raib mau berkunjung ke sini.

    Tumben tidak pakai wakakakak kakakaaaak…. 😀

    Suka

  8. deking said

    Menyambung komentar Kang Tajib…
    Ayat pertama Al Qur’an adalah Iqro’ tetapi menurut saya kita tdk bisa mengartikannya secara tekstual…
    Membaca di sini adalah lebih ke MEMBACA dengan AKAL bukan MEMBACA dengan MATA.
    Kalau kita mengartikannya sebagai membaca dengan mata maka sangatlah aneh karena Alloh malahan menurunkan ayat itu kepada Nabi Muhammad yang buta huruf.
    Akal tetaplah memegang peranan penting dalam mengkaji semuanya…pokoknya kayak ucapan terkenalnya Einstein (nulisnya bener gak ya? 😀 )sebagaimana komentar saya pada tulisan Pak Agor yang terdahulu…
    Science without religion is blind
    Religion without science is lame

    @
    Kalau dengan mata, juga mata hati kan … 😀

    QS 40. Al Mu’min 58. Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.
    QS 13. Ar Ra’d 19. Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,

    Mas Deking, maaf ya, kalau agor pakai ayat untuk memperkuat argumen. Bukan karena agor ahli tafsir atau memahami dengan mendalam, namun memang sudah diniati, sebisa mungkin hanya memberikan jawaban dari ayat, bukan dari pikiran sendiri. Pikiran sendiri sih atau kutipan sana-sini, hanya sebagai alat bantu saja.

    Suka

  9. Amd said

    Mas Agor, perlukah saya bikin postingan khusus tentang orang ini? Soalnya saya sudah punya cukup bahan nih…

    @
    🙂 kalau untuk kebaikan (niatnya) gpp toh, mungkin wacana yang baik ya…..

    Suka

  10. madsyair said

    manusia menjadi benar2 manusia, kalau menggunakan akal dan nafsu. jika akal menguasai nafsu maka akan jadi manusia baik. jika nafsu menguasai akal, jadi manusia tidak baik.

    @
    Ya… betapa butuhnya perjuangan berat dan besar lagi sulit untuk menjadi baik ya….

    Suka

  11. peyek said

    Apa yang tidak bisa dicapai akal adalah suatu pencapaian?, ma’af sekedar wacana pribadi saja,

    @
    Wah jeli dan tajam sekali Mas Peyek memberikan catatan.

    Akal tidak punya “perbatasan”. Kalau agor memahami akal sebagai kombinasi dari pikiran dan intuisi. Intuisi ini adalah “sesuatu” yang tak terjelaskan, merupakan modal kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu yang tidak kita mengerti (tapi kita merasakan). Rasa-rasanya akan ada sesuatu terjadi. Kalau dalam bahasa silat, ada “hawa pembunuhan”, kalau dalam bahasa lain :’ada norma alam yang sedang terganggu’. Pemahaman ini dapat dikatakan suatu “pencapaian”, tapi kita tidak bisa mendefinisikan pencapaian itu sendiri. Di balik batas “itu” (dengan tanda kutip) adalah sesuatu yang tidak terpahami. Dari sini tampak bahwa yang tidak bisa dicapai oleh akal akan dirasakan oleh perangkat yang lain yang kita tidak kenali unsur-unsurnya, tapi ada (hati, intuisi, naluri) atau yang sejenisnyalah.

    Kalau begitu, maka sesuatu yang tidak bisa dicapai akan, tapi disadari keberadaannya, adalah sebuah batas pencapaian. Apakah hal seperti ini penting. Ya, saya kira penting. Komponen ketidakpahaman dan kepahaman adalah struktur yang membuat kita mengetahui batas pencapaian kita, memahami batas-batas aturan yang bisa dipahami.

    Nah, satu lagi. Bagaimana dengan sesuatu yang di luar akal.

    Kalau pernyataan ini, sangat jelas : apapun yang kita jelaskan dan bisa dilogikakan selalu berada pada batas akal. Yang di luar batas akal, tidak akan lagi manusia mampu membayangkan. Bayangan/pemahaman manusia tidak bisa keluar dari batas akal yang diberikanNya.

    Kembali lagi ke pertanyaan awal : Apa yang tidak bisa dicapai akal adalah suatu pencapaian?
    Sebuah pencapaian ketika kita menyimpulkan : Harus ada kalau begitu yang Mahamenciptakan, Suatu wujud yang cerdas, Harus ada kalau begitu sesuatu yang menjadi permulaan, Kalau begitu harus ada yang memelihara semuanya itu.

    Bicara di sini, yang paling mengesankan saya adalah tulisan atau pemikiran Nurcholis Majid (al) atau juga gurunya tentang Yang Maha Esa…. Salam.

    Suka

  12. Evy said

    kalau di sini pembahasan-nya bener2 mantab ya… hehee thanks pak Agor, aku pribadi menganggap fisik akal dan hati dan roh semua harus berfungsi sinergis bukan salng bertentangan dalam segala hal tidak hanya mempelajari Al-Quran, mungkin aku ga sepandai pak Agor sementara pemahamanku baru sekian saja… hehehe 🙂

    @
    Aduh mba… saya jadi malu… kita berbagi senyum dan berbagi ketidaktahuan kan… Kita sama-sama sedang belajar kan… Jangan pernah percaya dengan apa yang dipahami agor, namun semoga Allah melindungi kita dari ketersesatan memahami petunjukNya. Insya Allah…..

    Suka

  13. chairul said

    akal?

    bisa menjerumuskan atau menolong? tergantung cara pergunakannya.. ya atau tidak?

    lebih baik baca buku panduannya aja! 😀 biar gak salah setting, kalo gak bisa :
    – “Bad command or file name” atau…
    – “Errorneous syntax. Abort?” atau…
    – “Variable not found… ” atau…
    – “Sharing Violation. Access denied… ” atau…
    – “Too many parameters… ”

    hhallah…apa coba?? mangnya otak komputer (CPU) 😛

    (abis liat @Preyek — sori klo melenceng :D)

    @
    Wah ada-ada saja mas Chairul ini… di bidang komputer, yang terpenting adalah Keep n Press Any…. n u must find the key for Any… She is so nice guys….

    Suka

  14. deking said

    Hehehe…maksud saya adalah MATA yang di kepala itu lho Pak 😀

    @

    😀 ya tentu, yang disampaikan Mas hanya bisa diangguk-angguk… setuju 100%…

    Suka

  15. Akal itu di batok kepala apa di dada sih yah?

    @
    Pak Urip, itu juga pertanyaan saya dan saya sedang mencari referensinya….

    Suka

  16. Bangaiptop said

    Mbaca postingan ini saja saya sudah banyak bertanya-tanya… Ehh mbaca komentar Pak Urip, saya lebih bertanya-tanya lagi

    Berat euy pertanyaannya. Hehehe.

    Otak saya yang tidak sebesar otak gorilla ini (meminjam istilahnya wadehel) tidak kuat menjawabnya, Pak Agor.

    Saya jadi inget istilah di kampung kami, Cilincing, yaitu “Kalo nyari bini jangan pake selangkangan, tapi otak ama perasaan, dong!”

    Mencari istri, di kampung kami, katanya harus memakai Dalil, Dalih, Akal, dan Hati.

    Hasilnya…, banyak yang jomblo.

    Hehehe.

    @
    ha…ha…ha...Bang Arif Kurniawan Pasti Top…. mana tulisan sampeyan lagi… lebih rajin dong ceritanya. Kangen nih…. Otak kan tidak perlu sebesar gorilla, tapi jangan sekecil semut…. Mencari isteri bukan dengan Dalil, Dalih, Akal dan Hati… tapi pakai $$$$$….. 🙂

    Suka

  17. el_zach said

    Assalamualaikum Wr Wb.

    hah.. no..no..
    jgn kita ingin membuang akal ah…
    (nanti bisanya cuma merumput terus disembelih seperti sapi, makanya kan sapi nggak diberi amanah agama)

    karena diberi akal, manusia diberi amanat agama, memahami and belajar agama sekaligus segala aspek perikehidupan ini.

    itu pula sebabnya, kewajiban sholat hanya bagi yg berakal sehat (tidak gila) dan yang baligh (dianggap akalnya sudah memahami dgn baik).

    itu pula sebabnya, mabuk dilarang krn menghilangkan akal sehat, sehingga kalo sholat bisa kacau bacaannya.

    itu pula sebabnya…..

    Wassalamualaikum Wr Wb

    @
    Wass. Wr. Wb.
    Iya jangan ya Mas, nanti saya nggak bisa lagi menulis. Semoga Allah memelihara kita dari kehilangan akal budi.

    Suka

  18. Tadinya mau koment serius, pas baca koment bang Aib, langsung jungkir balik ngakak… *padahal kebanyakan tertawa menutup mata hati ya?*

    Eh, akal dititipkan kepada manusia tentu agar digunakan kan pak ya? Saya menolak pendapat jika akal yang dipinjamkan Allah ini tida boleh digunakan untuk mendekat pada-Nya. Justru akal harus digunakan untuk memenuhi destiny – tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku -.

    Masalah pake akal dulu baru beriman atau beriman dulu baru dipikirkan, itu bukan masalah buat saya. Kan iman itu hak prerogatif Allah, Dia yang memilih siapa yang diberi hidayah, sementara akal? Semua manusia kan diberi akal pak ya?

    @
    Tentu, akal anugerah Allah kepada manusia. Al Qur’an adalah pelajaran bagi orang berakal. Jadi, tanpa akal, kita akan membuat sarang yang sama, makan dengan cara yang sama, dan tidak bisa membuat kipas angin atau nonton MU….

    …..mengambil pelajaran melainkan orang berakal (QS 3:7)
    … hai orang berakal, supaya kamu bertakwa (QS 2:179)
    … bertakwalah kepadaKu, hai orang-orang berakal (QS 2:197)
    … terdapat tanda-tanda bagi orang berakal (QS 3:190)
    dan banyak lagi. Menyatakan bahwa Al Qur’an harus dipelajari dengan hati (tidak menyertakan akal), dianggap tidak bisa kalau dengan akal secara disadari atau tidak disadari, mengingkari pemahaman petunjukNya. Astagfirullah.

    Suka

  19. arul said

    menafsirkan ayat2 Allah memang tidak sembarangan orang, buktinya kalo diterjemahkan oleh orang2 banyak penafsiran2 mereka berbeda2…

    say sendiri tidak pernah mencantumkan ayat2 Allah untuk ditafsirkan dalam postingan saya, karena saya merasa tidak berhak dalam mengartikannya.
    lebih mending saya menggunakan tafsir2 ulama yang sudah ada…

    @
    Menafsirkan membutuhkan pengetahuan yang luas, namun mencoba memahami petunjuk Allah dengan membaca, serendah apapun pengetahuanNya tidaklah manusia layak membatasi. Allah menurunkan petunjuk dari sisiNya, janganlah manusia melakukan pembatasan, kecuali yang telah dinyatakan oleh Allah. SesungguhNya, kamilah yang memeliharaNya (ini ada ayatnya), Atas tanggungan kamilah pemahamannya (ada ayatnya), petunjuk bagi orang berakal (ada ayatnya), rahmat bagi semesta alam (ada ayatnya). Lalu mengapa kita mendahulukan pikiran kita, tafsir-tafsir ulama, seolah kita menjadi ragu bahwa Allah tidak bisa menurunkan ayat yang akan dapat dimengerti manusia. Lalu hanya orang sakti pintar mandraguna saja yang bisa. Sesuaikah pernyataan ini dengan petunjukNya.
    Subhanallah.

    Suka

  20. Akink said

    ass. wr.wb
    ikut nimbrung nich.
    akal diadopsi dari kata aql. aql tidak selalu bermakna otak. aqala adalah kemampuan untuk berpikir logis, sistematis, dan rasional. otak dan hati keduanya dapat melakukan aktivitas aqala (berpikir logis). lihat di al-qur’an.
    akal (otak) kita khan hanya “mampu” menangkap objek fisis, sedangkan kita hidup dalam lingkup fisis dan nonfisis. jadi, selain otak, gunakan juga hati (qalb) untuk menghadapi yang fisis dan nonfisis. yakinlah, qalb lebih mampu melihat hakikat daripada otak. sok pinter nich.
    wss.

    @
    Ass Wr. Wb.
    Trims Mas Aking pencerahannya. Apakah qalb = hati, apakah akal = pikiran. Apakah hati punya pikiran, apa yang dimaksud dengan nurani. Apa hubungan nurani dengan akal, nurani dengan hati?. Apakah otak itu seperti “mikroprecessor”?, Mengapa mas bilang qalb mampu melihat dari pada otak?. Apakah otak juga “melihat”?, apakah qalb juga “melihat”?, Betulkah otak kita mampu menangkap objek fisik?, Apakah rasional sama dengan berpikir logis?. Apakah qalb itu “berpikir”. Jujur saya belum memahaminya. Ini membuat pertanyaan Pak Helge sebelumnya, terlalu sulit untuk dijawab atau dipahami. Wass, agor.

    Suka

  21. mas agus said

    Assalamualaylum…
    we lha dalah, barusan aku comment di tempate mas joe, lha kok kang agor wis mbahas disini, lha wong isine meh podho jee….

    kang agor, kalo akal letaknya dimana aku ndak tahu, tapi quran menyebutkan bahwa hati(qalb) itu letaknya di dalam dada (QS Al hajj:46)

    mengenai apakah hati=qalb, paling tidak itu menurut terjemahan Quran oleh Depag memang begitu.

    @
    Hallo Mas Agus, Wass. Wr. Wb..
    Saya memang lagi nulis ini. Sudah selesai sih, tapi by plan, mau di post tanggal 19 nanti, pas saya lagi tugas ke luar kota. Masih ada titik-titik kecil yang saya belum yakini benar atau salahnya. Misal antara pikiran dan akal, logika dan hati, posisi pikiran dan hati, dan ruh yang membaca informasi. Apakah hati itu mengolah informasi nggak, sedangkan otak tempat pengolahannya. Dimanakah gambaran produk otak berada, who is the “person” read the data?. Juga hawa nafsu, apakah itu?. Kombinasi-kombinasi itu akan kah menghasilkan jawaban yang sama?. Harun Yahya, memberikan gambaran bahwa bayangan gambar dari otak itu ada dalam alam kecil di otak (benar atau salah?), juga god spot, matahati. Jadi emang masih bimbang juga….

    Suka

  22. abdulsomad said

    Assalamualaikum wr wb

    Saya banyak2 minta maaf, buat semua saudara2, rekan2, sesama muslim, dengan comment saya yang OOT dan ga connect?!

    Saya cuma sesosok manusia biasa, seperti Burung Pipit yang bulak-balik menyiramkan air dari mulutnya kedalam kobaran api, ketika api tengah membakar NABI IBRAHIM a.s; cuma sebuah bentuk kepedulian atas keterpurukan UMMAT yang semakin dalam; persiapan untuk sebuah jawaban di Akherat kelak ketika ALLAH bertanya apa kontribusi kita selama di dunia.

    @
    Wass Wr. Wb. Oom Abdul Somad,
    Mari kita saling memaafkan ya. Semoga Allah meridhai jalan yang kita tempuh dan niat yang kita suguhkan….

    Suka

  23. […] 7th, 2007 Assalamualaikum wr wb Membaca postingan agorsiloku membuat saya me-review postingan […]

    Suka

  24. […] agak sulit bagi saya memberi penjelasan yang pas atas postingan Agorsiloku ini, namun demikian saya coba buatkan analogi, semoga ALLAH menunjuki kita, memberi kita HIDAYAH, […]

    Suka

  25. […] Memakai Dalil, Dalih, Akal, atau Hati. […]

    Suka

  26. panji said

    apa perbedaan antara hati dan pikiran ? apabila orang -orang mengatakan jika hatinya baik maka akan baik semua amalnya tapi apabila hatinya buruk akan buruk semua amalnya? bagaimana kalo aku ganti atau aku tafsiri menjadi apabila akal/pikiran orang baik maka akan baik semua amalnya tapi apabila akal/pikiran buruk akan jelek semua amalnya.pernyataan saya bukan tanpa dasar tapi kalo kita renungkan kembali kita bertindak,kita beramal,kita merenung dan apapun semua kegiatan kita bersumber dari pikiran BUKAN HATI! BGAIMANA?

    Suka

    • agorsiloku said

      Ini masalah mendefinisikan hati itu apa dan pikiran itu apa? Dalam hal ini hati mendefinisikan perilaku moral dan intuisi sehingga dan sedemikian sehingga pendekatan etika menyertainya, pendekatan rasa menyertainya. Karena itu, hati mengenal budi baik, mengenal kasih sayang dan memahami sedih, tawa, dan tangis. Pikiran mendefinisika logika-logika sehingga menjadi alat ukurnya adalah efesien dan efektif, oleh karena itu mutilasi atau dokter yang bersikap frankeinstein berada dalam ranah pikiran. Rugi dan laba adalah penjelasan sikap dari efisien dan efektif. Dalam ranah asa, tentu itu dirasakan berbeda.
      Karena hati berbicara pada pemahaman baik dan buruk, bukan sekedar benar dan salah, maka menjadi mudah dipahami kalau semua pilihan kehidupan bekerja dari hati.

      Suka

  27. aburahat said

    Manusia terdiri dari jasad dan rohani atau badaniah/lahiriah dan bathiniah. Bathiniah terdiri dari roh dan jiwa.
    Penglihatan kita bisa secara bathiniah bisa juga secara lahiriah begitu juga pendengaran dll. Lalu bagaimana dengan Akal dan Hati (Qalbu)?
    Akal memilah benar dan salah bagi hal2 yang konkrit tapi tidak yang abstrak (gaib)
    Hati meyakini yang gaib dan yang konkrit (sesudah dipilah oleh akal). Wasalam

    Suka

Tinggalkan komentar