Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penjara Untuk Ibu Prita dan Keluhan Pelayanan Omni Hospital

Posted by agorsiloku pada Juni 3, 2009

Omni Hospital memang hebat !. Hotel prodeo disediakan bagi yang menyampaikan keluhannya atas pelayanan rumah sakit ini melalui milis, melalui komunikasi di dunia maya internet. Koran Tempo memberitakan hal ini secara jelas dan gamblang. Apakah keluhan pelayanan publik, melalui milis menjadi pelanggaran. Apakah keluhan melalui blog atau media massa surat kabar atau televisi bisa juga menjadi pencemaran nama baik sehingga dan sedemikian rupa, seorang ibu dengan dua anak yang anaknya masih menyusui harus dipisahkan oleh para abdi negara yang terhormat?. Banyak pertanyaan menyelimuti kita atas kejadian ini. Alangkah arifnya Pemerintahan negeri ini (khususnya pada kasus ini) sehingga dan sedemikian rupa, maka ibu yang mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit harus dijatuhi hukuman seperti ini. (belum diadili sudah dipenjara lagi, tanpa pertimbangan yang kena di hati nurani !)
Dengan penuh prihatin, saya ikut join di facebook : Bebaskan Ibu Prita.

Apakah memang negeri ini kekurangan hati nurani??????.
Dalam setengah jam terakhir bertambah 7000. Omni Hospital sedang mempopulerkan hatinya…..keberhasilannya untuk membuat keluhan pelanggan berada di titik kulminasi paling bawah negeri ini.

Duh Selamat bertarung ya para capressss.

Sekarang saya lebih paham lagi, mengapa korban lumpur Lapindo tak pernah bisa terurus, ada korban meninggal karena tertimpa reruntuhan sampah dan beragam kasus.  Keluhan konsumen dan curhat berbuntut penjara sedang disajikan sebagai pantomin negeri ini.

Seberapa pentingnya pencemaran nama baik, pelayanan konsumen, dan keluhan masyarakat ditanggapi pengusaha rumah sakit dan diantisipasi para abdi negara (bukan abdi rakyat)….

Duh Selamat bertarung ya para capressss. (nggak nyambung !)

Tadi malam berita : Ibu Prita sudah dibebaskan, Kepala Kejaksaan akan diusut…

Capress JK-Win minta Ibu Prita dibebaskan

Sumber :  Facebook

Prita Mulyasari menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Sebelumnya, seorang wartawan bernama Iwan Piliang diduga mencemarkan nama baik seorang anggota DPR melalui tulisannya di internet dan dijerat dengan pasal yang sama.

Atas kasus yang menimpa sdri. Prita Mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS. Omni International, berikut ini pendapat hukum dari saya:

Pertama :
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.

Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311. Berikut petikan pasal-pasal yang dimaksud:

Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 310
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Kedua :
Dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada teman-temannya, Prita menuliskan kalimat awal berbunyi sebagai berikut:

“Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”

Dan kalimat terakhir berbunyi”

“saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.”

Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa sdri. Prita menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan rumah sakit dan jangan terpancing dengan kemewahannya. Sdri. Prita sengaja menulis pesan tersebut dengan maksud untuk memberi pelajaran penting kepada orang lain demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/waspada terhadap pelayanan rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, sdri. Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, karena pesan yang disampaikan untuk kepentingan umum. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Ketiga :
Dalam e-mail Prita juga diceritakan banyak hal seputar pengalaman dia sebagai pasien di rumah sakit Omni International. Pada intinya, sdri. Prita kecewa tidak transparansinya informasi yang dia minta kepada pihak manajemen rumah sakit tentang hasil laboratorium. Berikut petikannya :

“Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.”

Petikan di atas menunjukkan bahwa pihak manajemen Omni memiliki catatan hasil lab 27.000 tapi tidak diberikan kepada Prita.

Cerita yang lain menunjukkan bahwa sdri. Prita merasakan bahwa rumah sakit Onmi International melakukan penanganan yang keliru terhadap dirinya. Hal ini dikuatkan oleh revisi hasil lab dari 27.000 menjadi 181.000. Prita berpendapat bahwa karena hasil laboratorium thrombosit 27.000 maka dia diminta menjalani rawat inap, sedangkan hasil laboratorium sebenarnya adalah 181.000 berarti dia tidak perlu rawat inap, cukup rawat jalan. Berikut petikannya:

“Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.”

Cerita yang lain menunjukkan bahwa sdri. Prita mengalami gangguan kesehatan yang lain akibat perawatan yang dilakukan oleh dr. Hengky, yakni tangan kiri mulai membengkak, suhu badan naik ke 39 derajat, serangan sesak napas, leher kiri dan mata kiri membengkak. Berikut petikannya:

“Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja”

“Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.”

Cerita yang lain menunjukkan bahwa setelah sdri. Prita ditangani oleh rumah sakit yang lain menunjukkan penyakitnya bukan demam berdarah, dan suntikan yang diberikan sewaktu di rumah sakit Omni International tidak cocok dengan kondisi sdri Prita sehingga menimbulkan sesak nafas. Berikut petikannya:

“Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.”

Keempat :
Dari cerita di atas, sdri. Prita Mulyasari sebenarnya dapat melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Berikut petikannya:

Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Kelima :
Perbuatan sdri. Prita Mulyasari menulis pesan lewat e-mail kepada teman-temannya tidak menunjukkan adanya motif atau niat untuk melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap rumah sakit Omni International. Dengan demikian, perbuatan sdri. Prita tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur “sengaja” dalam mendistribusikan infomasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sementara perbuatan sdri. Prita tidak bermaksud menghina justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit.

Keenam :
Pihak Kepolisian seharusnya mampu mengembangkan kasus tersebut dengan kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh rumah sakit Omni International berupa pelayanan rumah sakit yang merugikan konsumen dengan pasien sdri. Prita Mulyasari, dan tidak langsung berfokus pada soal pencemaran nama baik.

Penulis :
Ronny, M.Kom, M.H
Saksi Ahli judicial review UU ITE di Mahkamah Konstitusi

28 Tanggapan to “Penjara Untuk Ibu Prita dan Keluhan Pelayanan Omni Hospital”

  1. David said

    PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku
    Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
    Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak ‘bodoh’, lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat,sambil berlindung di bawah ‘dokumen dan rahasia negara’.
    Maka benarlah statemen “Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap” (KAI) dan “Ratusan
    rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA” (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan “Perlawanan Pihak Ketiga” untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
    Sudah tibakah saatnya??

    David
    HP. (0274)9345675

    Suka

    • agorsiloku said

      Rasanya, terlampau sering kita melihat keputusan pengadilan yang menempatkan logika dan kemanusiaan dibalik keset kekuasaan dan keserakahan. Apalagi jika persoalannya ada di urusan uang, tanah, dan pelayanan publik. Bukan tidak ada sangsi, tapi keberanian ‘mereka’ melakukan adalah cermin masih busuknya aturan dan terutama pelaksanaannya di negeri ini.

      Suka

  2. Anonim said

    sungguh pencerahan yang baik dari tulisan pak Ronny, M.Kom, M.H (Saksi Ahli judicial review UU ITE di Mahkamah Konstitusi).
    terima kasih banyak untuk infonya Pak..
    semoga tidak ada lagi ibu prita2 lainnya..dan kasusnya cepat selesai dengan kebebasan Ibu Prita dan penyelidikan terhadap RS. Omni Hospital.
    Kita sebagai masyarakat memang harus melek hukum ya..

    Suka

    • agorsiloku said

      Yap, catatan Pak Ronny yang saya kutip tersebut benar-benar mengingatkan bahwa Omni International dan Jaksa berada di titik kulminasi bawah dalam hukum dan moral para penegak hukum serta menunjukkan arogansi dari pemilik Omni (atau pelaksana-nya), sekaligus juga kebodohan dalam menangani publik relationnya. Udah gitu, masih ngotot lagi

      Suka

  3. ksemar said

    Kasus yang menimpa Mbak Prita merupakan bukti nyata bahwa penegak hukum kita masih suka mempermainkan hukum atau menerapkan pasal-pasal hukum yang keliru untuk kepentingan pribadi atau kelompok di negeri ini. Disisi lain kasus tersebut merupakan gambaran bahwa “sejumlah orang” masih senang “membungkam” keluhan, kritik dan apa yang dirasakan oleh rakyat. Jika hal ini dibiarkan maka kebebasan mengeluarkan pendapat yang dilindungi oleh UU akan segera “mati” di negeri ini. Tetap semangat Mbak Prita, doa kami bersamamu. salam, Masyarakat Marginal Sumatera Utara.

    Suka

    • agorsiloku said

      Yah … Mas, begitu sering kita merasakan atau mendengar atau membaca kejadian sejenis. Kadang kita tidak cukup peka atau kita takut untuk bersuara karena kita sendiri cenderung terbiasa membiarkan sambil berguman :”untung bukan kita”. Kita hanya bisa prihatin. Ketika Presiden RI – SBY menerima korban lumpur Lapindo dan berjanji manis untuk membantu diselesaikan, toh sampai menjelang akhir masa kepemimpinan Beliau, sudah hampir 3 tahun sejak kejadian tetap saja tak mampu diselesaikan. Kita rakyat mengelus dada. Orang marginal sepertinya jauh dari perhatian pemimpin bangsa ini. Lip Service sih terus digulirkan, namun boleh jadi karena terlalu banyak yang harus dicita-citakan, maka membungkam keluhan adalah cara terbaik. Beruntung, dunia internet memberikan kita kesempatan untuk membuka suara dan menarik perhatian (sekaligus juga) menjadi media kontrol bagi para pengusaha dan penegak hukum untuk lebih beretika. Kita harus percaya pula, internet disamping hal negatif, juga hal positif bagi kemajuan dan perbaikan tatanan budaya bangsa akan ikut terbentuk lebih baik. Kasus Ibu Prita adalah salah satu titik balik untuk memperkuatnya.
      Salam

      Suka

  4. haniifa said

    @Mas Agor
    Kata @mba Menkes, “Kan nggak ada undang-undangnya bagi Onmi International untuk memberikan/menanggapi keluhan pasien”… (Kalau keluhan “orang” jelas UU-nya.)

    Inget katanya lho !!
    Duhh… jadi takut komentar lagi dah !! 😀

    Suka

    • agorsiloku said

      Aduh Mas Haniifa, Tahukah Mas bahwa Menkes itu tidak mengurusi Rumah Sakit Swasta (seperti kata beliau). Kalau ada keluhan, sampaikan ke Dinas Kesehatan, bukan curhat sama teman-temannya atau melalui blog Begitu yang saya baca dari surfing internet. Salut deh sama Ibu Menkes ini. Benar-benar sangat masuk diakaldi pikiran, meski sebenarnya Ibu Menkes, bisa berbuat dan bersikap lebih baik dan lebih santun untuk menanggapi sakit hati salah satu anak bangsa yang menjadi keprihatinan banyak sekali anggota masyarakat.
      Satu point yang kerapa saya dapat : Mengapa ya, logika birokrat kita ini sering mengacu kepada peraturan dengan sangat kaku, tanpa logika memadai untuk sekedar bersimpati dan empati. Apakah birokrat kita semakin kehilangan citarasanya, atau saya yang makin sensi?.

      Suka

  5. Ki Ageng Selo said

    Sebenarnya banyak sekali RS yang dokternya goblok2. Dulu hampir saja anak saya jadi korban malpraktek (di RS pemerintah kota srg)
    Anak saya kena thypus di vonis kena usus buntu dan harus segera operasi. Untung saya gak percaya dan tak bawa ke RS swasta, setelah di cek ternyata kena thypus. coba kalo saat itu saya langsung setuju operasi ??? gak kebayang deh mutu dokter kita.
    Untuk Bu PRITA jangan gentar, kebenaran pasti menang. salam.

    Suka

    • agorsiloku said

      Mungkin bukan dokternya yang goblok. Tapi desakan dari pengusaha agar memaksimumkan laba menjadi dorongan negatif untuk memperpanjang penderitaan. Jadilah malpraktek, seperti kita lihat difilm-film Barat. Bahkan beberapa bulan yang lalu, kalau tak salah saya pernah membaca sampai ratusan juta dollar usaha ‘bidang kedokteran’ untuk memanfaatkan asuransi kesehatan. Alangkah jahatnya kewenangan, kekuasaan, dan uang jika tidak dipakai semestinya. Alangkah besar manfaatnya jika dilaksanakan proposional.

      Suka

  6. lovepassword said

    Jadi takut komentar sereeeeeeeeeeeeeeeeeem. Kok ada Rumah sakit yang nyeremin yah. Hi hi hi. Aku jadi takut ngeblog nih. Jangan-jangan didenda milyaran. Wah sudah miskin tambah miskin. Hiks

    Suka

    • konyol said

      Sodara-sodara yang ngomeng disinih… siap-siap diperkaraken 😆 , keterangan lebih jelas silaken hubungi Mama Laurent… gampang kok tinggal ketik REG (spasi) MAMA (spasi) LAURENT, jamin masuk reg-nya beliau 😆

      Suka

    • agorsiloku said

      Wah, mas takut didenda milyaran? Luar biasa !!!!
      Rp sejuta saja aku udah takut, tapi kalo sampai 5 ribu perak, sy nggak takut Mas.

      Suka

  7. makhluk said

    ya… sebaiknya pendapat RS OMNI didengar juga.., ibu Prita juga harus jujur.. apakah pihak RS sudah berusaha menjelaskan masalah.. atau keluarga ibu Prita yang ngotot? …

    Suka

    • konyol said

      @Mahluk
      Yap… setuju RS OMNI didengar juga, karena:

      RS OMNI nggak punya ASI, jadi hak azasi bayi dan ibu nggak didenger 😆

      RS OMNI nggak punya suami, jadi kalau suami Prita kelabakan nggak didenger 😆

      RS OMNI nggak punya bayi dan balita, jadi nggak mungkin dunk RS OMNI diculik hehehehe 😆

      Suka

    • konyol said

      Duhh… ketinggalan “atau keluarga ibu Prita yang ngotot
      Masak keluarga ibu Prita nggak punya Otot, sampean pikir tengkorak hidup gituh… 😆

      kesemutan:
      RS OMNI dibangun dari Otot busuk 😆

      Suka

    • haniifa said

      @Mas Makhluk
      Perbedaan “makhluk manusia” sama “ayam” sedikit sekali kok,
      “Ayam” jika dikasih beras dan duwit, yang diambil berasnya.
      “Makhluk manusia” jika dikasih beras dan duwit, yang diambil dua-duanya 😀

      Suka

    • agorsiloku said

      RS OMNI sudah sangat didengar, pengaduannya ke POLDA sudah didengar. Ibu Prita sudah dijebloskan ke PENJARA, didenda RATUSAN JUTA RP, DISURUH MINTA MAAF, DIADILI SECARA PERDATA DAN PIDANA, DISURUH MENGGANTI BIAYA IKLAN RS OMNI di Media Massa. Apa kesalahan Ibu prita yang curhat ke teman-temannya itu atas PELAYANAN YANG BURUK DAN TIDAK MEMUASKAN serta mengingatkan teman-temannya jangan mengalami nasib yang sama adalah sebuah kesalahan. Kalah Mas Mahluk mengalami hal yang sama, apakah Mas akan biarkan rekan-rekan Mas mengalami musibah serupa? Saya percaya jawabannya nggak.
      Yah, Mas Mahluk, sebagai sesama mahluk, mari kita berharap RS OMNI bisa lebih santun dan punya perasaan seperti kata Mas Konyol yang sampaikan, RS OMNI tidak punya ASI dan bla…bla…bla

      Suka

  8. Harun said

    Segera bebaskan Prita dari segala tuduhan dan RS Omni International harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh Prita, kerugian atas sakit yang diderita karena salah diagnosa (thrombosit 181.000 disebuat 27.000) yaitu: sesak nafas, bengkak2 dan harus di rawat inap padahal tidak perlu. Juga kerugian Prita dipenjara 2 pekan di Lapas Tangerang……
    Saya mnghimbau agar persoalan ini ditangani oleh yang berwajib spy segera selesai dan Prita mendapatkan kompesasi, pihak Omni harus meminta maaf kpd Prita dan membayar seluruh kerugian yang diderita oleh Prita…

    Suka

  9. donairl said

    Aneh dan nyata…
    Pasti uang nih penyebabnya, para penegak hukum haus uang.

    Kupikir RS Omni menggali lubang kuburnya sendiri, dgn banyak berita negatif tentangnya, pasti bulan depan banyak yg malas berobat kesana.

    rumah sakit swasta kebanyakan begitu terutama bila kita berobat menggunakan asuransi kesehatan, pasti di genjot habis-habisan biayanya.

    Suka

  10. So Riau said

    belajar jauh-jauh, sekolah tinggi-tinggi. hanya untuk menambah nilai bodoh pada diri sendiri, contonya OMNI Hospital, rumah sakitnya OK, yang tugas didalam nya pada bego semua, ketinggalan jaman tuh. masa E-Mail di tuntut kayak kurang kerjaan aja, apasalahnya ditingkatkan kinerja biar orang tambah percaya.

    Suka

  11. Ono Gosip said

    BREAKING NEWS !!!
    JAKSA AGUNG MEMERINTAHKAN MEMERIKSA PARA JAKASA YANG MENUNTUT PRITA, YANG MENURUTNYA
    TIDAK PROFESIANAL.

    TANGGAPAN KEJATI BANTEN ATAS PEMERIKSAAN JAKSA YANG MENUNTUT PRITRA:
    “Kita tidak berbicara siapa yang akan kemudian bertanggung jawab terhadap pembuatan …(BAP),yang penting, tapi siapa yang harus bertanggung jawab mereka yang melakukan tindakan pidana (PRITA). Saya berikan apresiasi kepada jaksa tersebut!!”

    Suka

  12. Ono Gosip said

    HASIL DENGAR PENDAPAT KOMISI IX DPR DGN MANAGEMENT RS OMNI:
    1. KOMISI SEMBILAN TIDAK PUAS DENGAN JAWABAN DARI PIHAK RS OMNI
    2. MENGUSULKAN PENCABUTAN IZIN OPERASIONAL RS OMNI
    3. MENCABUT TUNTUTAN RS OMNI KEPADA PRITA MULYASARI
    4. RS OMNI HARUS MINTA MAAF SECARA TERBUKA KEPADA PRITA MULYASARI

    Suka

  13. Yusrizal said

    Salam kenal aja.. Lg nyari isi keluhan prita d e-mailnya. Dptnya d sini. Salam blogger..

    Suka

  14. hmmmm said

    tp faktanya.. hukum tidak bisa dicampur aduk dgn hati nurani….

    contoh : seorang ibu mencuri nasi… tapi dia punya 3 anak yg harus dia kasi makan jg…

    di mata hukum…ya itu jelas salah… ga ada toleransi…. ga bisa gini… “krn dia punya 3 anak yg harus dikasi makan… maka dia bebas dr tindakan pencuriannya…. ”

    ya ga bisa gitu.. yg ada… dah tau punya 3 anak..ngapain mencuri ?!!! dgn alasan apapun..
    krn apa .. krn si ibu tinggal di negara HUKUM !

    indonesia negara apa ? hukum ~

    jgn membakar klo ga mau ada asap…semua ada sebab akibat…prita lulusan australi… orang terpelajar.. dia juga pasti tau akibatnya…kecuali klo emang niat….

    semua pd ngomong menegakkan keadilan… pdhl mereka yg condong kepada ketidak adilan krn memandang hati bukan hukum… sekali lagi.. hukum dan hati nurani tidak bisa disatukan..
    ya selamanya hukum cuma sandiwara belaka… wong masyarakatnya lebih puas ‘ menjadi sandiwara ‘ bukan hukum yg sebenarnya…

    Suka

    • agorsiloku said

      Kalau dalam postingan ini, TKPnya adalah keluhan konsumen.
      Hukum jelas bicara keadilan dan keadilan adalah subjek dari kemanusiaan, dan manusia bicara dengan hati. Karena itu namanya pengadilan, bukan penghukuman.
      Seorang mencuri dan hukum memberikan keputusan. Mencuri jelas salah dan hukumannya juga ada. Tentulah motif (pencurian) akan menjadi pertimbangan (meringankan dan memberatkan) ketika pengadilan dilangsungkan. Keadilan adalah keseimbangan, rasa adil diukur dengan hati.
      Kasus prita dan proses pengaduan, keluhan konsumen menjadi subjek pencemaran nama baik dan pidana dimunculkan oleh arogansi kekuasaan. Kalau Prita bukan orang biasa, bisa saja yang terjadi Omni Hospital yang harusnya diadili karena melakukan tindakan yang membahayakan pasien dan berbagai alasan lainnya.
      Jadi, jelas. Hukum dan hati nurani adalah dua komponen yang perlu disatukan.
      Tapi saya nggak bisa membahas lanjut, saya bukan orang hukum sama sekali. Tapi, sebagai manusia, saya punya hati (biar sedikit)…. 😀

      Suka

Tinggalkan komentar