Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penyebab Berpikir Keliru.

Posted by agorsiloku pada Desember 27, 2007

Akal manusia adalah salah satu kunci pokok untuk memahami. Berpikir adalah sebuah syarat mutlak utama beribadah dan beramal sholeh. Karena itu, sejak dari kecil selalu diajarkan, syarat pertama itu berakal. Kalau tidak berakal, maka terbebaslah dari segala kewajiban. 😀 Al Qur’an menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan kekeliruan berpikir :

Bersandar Pada Prasangkaan.

QS 6. Al An’aam 116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

dan jangan kita ikuti prasangkaan :

QS 17. Al Israa’36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Karena itu Descartes bilang :”Aku baru menganggap sesuatu itu sebagai realitas, kalau itu sudah jelas bagiku. Aku tak mau ada ketergesa-gesaan, menghubung-hubungkan gagasan dan kecenderungan. Aku hanya menerima apa yang sudah begitu jelas, sehingga tak ada lagi keraguan tentangnya”. Wah, Descartes seeh jelas tidak mau syubhat ya… 😀

Prasangka dan Hawa Nafsu.

Kadang seeh… dan terus-terusan kita tidak bisa netral, tidak bisa objektif gitu. Cenderung berat sebelah.

QS 53. An Najm 23. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.

Tergesa-gesa.

Banyak masalah penting dan sebaiknya kita analisis lebih mendalam, atau kita sebenarnya tidak punya cukup pengetahuan.

QS 17. Al Israa’ 85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Ini kan mengajarkan, jangan main punya konklusi, kalau pengetahuan (dan pengalaman) kita baru sedikit.

Berpikir Tradisional dan Melihat Ke Masa Lalu.

Nah ini 😀 , kebiasaan untuk “pokoknya” maka tidak ada lagi yang bisa dipikirkan. Kemampuan berpikir independen dikunci mati dengan cara pokoknya. Diskusi atau peningkatan mutu berpikirpun masuk ke keranjang sampah. 😦

QS 2. Al Baqarah 170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?.”

Memuja Tokoh.

Tak disadari atau memang sebenarnya seeh mengakui, kita terbiasa memuja tokoh. Akibat sangat dihormati, tokoh sejarah, tokoh kontemporer yang termasyhur telah mempengaruhi pemikiran dan kehendak orang lain. Pada masanya ataupun orang-orang kemudian. Tidak berani berbeda berpikir dengan sang tokoh tersebut (walau sebenarnya hati kecil bisa mempertanyakan). Di sini juga berpikir independen di kebiri sendiri. Padahal, setelah sekian lama, belum tentu dipahami oleh orang kemudian relevan lho.

QS 33. Al Ahzab 67. Dan mereka berkata;:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

Nah.. boleh setuju atau tidak.. tapi begitulah.

(Disarikan secara bebas dan sapenaknya dari “Manusia dan Alam Semesta” – Murtadha Muthahhari, hlm 43-46, Penerbit Lentera, 2002)

14 Tanggapan to “Penyebab Berpikir Keliru.”

  1. Herianto said

    Setuju nih mas Agor …
    Dalam hal memuja tokoh (senang mendiskusikannya): Gmana kalo tokoh itu adalah Muhammad SAW, kan memang harus dipuja dan diuswah. 🙂

    Dalam hal membangun identitas diri, mungkinkahkah pribadi terbentuk secara baik tanpa keberadaan tokoh yang dikagumi, atau justru keberadaan tokoh panutan membelenggu keunggulan lokal/pribadi. Apakah tidak sebaiknya mengambil jalan tengah yang disebut moderat saja. Akhir2 ini saya sering khawatir untuk jatuh ke tingkat ekstrim, sehingga selalu berpikiran bahwa jalan tengah adalah solusi teroptimal.

    Nah dalam hal kebutuhan tokoh ini, tengahnya yg mana ya ?

    @
    Bukankah semua Nabi tidak mau dipuja? namun memang diteladani (kalau bisa, semampu kita ya 😀 ). Jalan tengah?, dimoderasi?… betulkah solusi optimal?. Yang terbaik boleh jadi seperti “sandal” dimesjid…. Tinggalkan yang buruknya, ambil yang baiknya. Jangan diambil hitam putihnya sehingga dan menjadikan seolah-olah semua menjadi buruk, atau semua menjadi baik. Yang di tengah seperti ini yang Mas Herianto maksud… 😀 –> mudah-mudahan ya bisa.
    Apakah ini di tengah juga..?… moderat?… wah saya juga bingung… 😦

    Suka

  2. Tapi, setidaknya sudah memutuskan mengambil suatu jalan. Daripada bingung ngga jalan kemana-mana. Malah jadi buih beneran.

    @
    Dari pada tidak berpikir… lebih baik berpikir keliru saja!…Bagus itu memang… yang repot ketika justru kita tidak tahu bahwa kita sedang keliru…. 😀

    Suka

  3. haniifa said

    Salam,
    Nabi Muhammad s.a.w selain di teladani, juga banyak hal yang mesti kita pelajari, semisal pada saat “Perang Uhud”.
    Dalam perjalanan ke bukit uhud, di Syaikhan beliau bertemu dengan sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal (kumpulan pasukan non muslim = {Yahudi, Nasrani, Musyrik }” tapi pada waktu itu Rasullullah berkata “Janganlah minta pertolongan dalam melawan orang musyrik” sehingga kumpulan pasukan non muslim menjadi {Yahudi dan Nasrani}
    Perkiraan saya: Karena Rasullullah sangat yakin akan veteran perang “Badar” maka automatis pasukan yang di medan laga adalah veteran “Badar” sedangkan 10 tentara baru (Muslim) dari Yatsrib + 40 tentara non Muslim ={ Yahudi + Nasrani } atau 50 orang sebagai pasukan “Pemanah” di bukit.
    Apa yang bisa kita pelajari dari “perang uhud”
    Apakah Nabi Muhammad s.a.w lari dari peperangan ??
    Insya Allah, menurut pemaham saya jika bermain catur, kemudian ada posisi yang terancam maka saya akan sekuat tenaga mempertahankan posisi tersebut, (begitu juga para jendral perang).

    he.he.he.
    Biarlah para sejaratun yang menganalisa ??

    Di “perang Uhud” singa padang pasir (Hamzah), diambil Jantungnya oleh “Hindun” ??
    Apa korelasinya atas penghianatan {Yahudi dan Nasrani} saat ini ??
    Kaum nasrani merayakan hari “Valentine Day” setiap 14 Februari dengan dewa “Amor”nya (anak kecil menarik busur panah) dan ditujukan pada Jantung hati ??

    he.he.he.
    Sekali lagi biarlah para sejaratun yang menganalisa ??

    ::mas moderat::
    Pokoke”biar nggak nyambung” kok ada yach, siapa tahu saya dapet info tambahan…

    Wassalam.

    @
    Betul Mas, mempertahankan posisi dan taat perintah atasan pimpinan. Strategi tidak berhasil jika tidak ta’at. Dan itu ditunjukkan dalam perang Uhud.

    Sedang Valentine Day… wah.. saya belum mempelajari hari kasih sayang ini….

    Suka

  4. superkecil said

    afwan abang….

    berat…

    belom bisa komen

    @
    Mau berkunjung pun sudah kegembiraan. Terimakasih ya… Saya juga senang berkunjung ke blog superkecil…namun banyak pikiran besar di dalamnya. 😀

    Suka

  5. ah, untuk yang terakhir ini kan termasuk tahapan pembentukan karakter manusia, kalo ga salah ya?

    btw, sepertinya saya lihat, Kang Agor makin muda ya? gaya bahasanya maksudnya…
    😉

    @
    Pembentukan karakter manusia, itulah yang paling sulit. Kadang rasa marah membuat kita lupa…
    Kalau soal bahasa.. walah… kalau saya jalan-jalan di chiw… untuk membuat satu komen saja… susah benar… merasakan bagaimana anak muda berpikir itu ternyata sangat sulit…berlari ke waktu 20 tahun yang lalu yang pernah dialami ternyata tidak mudah lho…. mungkin buat sebagaian sih mudah… tapi buat saya susah… susah sekali… Meskipun kalau membaca bahasa gaul asyik…..dan kadang heran, seperti chiw… begitu kreatifnya mendisain bahasa… 😀

    Suka

  6. Donny Reza said

    Barangkali, point2 di atas sudah ‘mencakup’ sebagian besar umat Islam di Indonesia. Kecenderungannya memang seperti itu. Kalau kata seorang ustadz di Bandung sini, “bagaimana kita bisa menyimpulkan sebuah buku dengan hanya membaca satu halaman saja?” 🙂

    @
    Postingan ini bersumber dari tokoh besar di Timteng, tentunya boleh jadi menyangkut sebagaian besar manusia. Tidak perduli pada konteks keberagamaan yang mana. Dorongan untuk “jump to conclusion” memang warna umum dari kita. Bersifat tergesa-gesa.
    Betul, bagaimana menyimpulkan sebuah buku hanya membaca satu halaman saja, atau bahkan tidak membaca sama sekali….. (wah harus belajar membaca cepat nih…. ).

    Suka

  7. goodinfo2 said

    I must say I find this blog very interesting. I invite you to http://www.hi5christian.com wich is a great dating and social networking site where you can meet beautifull people. To join go to http://www.hi5christian.com/join_form.php

    Suka

  8. engkus said

    Assalamu’alaikum wr.wb. Wilujeng taun baru Kang Agor,

    Memuja/menyanjung pemimpin itu ada untung ruginya, tergantung type of management yang dipujanya (public figur).
    Kita coba assess dari segi untungnya dulu ” Saya menyanjung seorang tokoh religius dari kalangan Waliyullah. Kemudian saya cari informasi/data otentik mengenai biodata sang tokoh yang saya idolakan, saya baca, dan kemudian saya analisa. Pada tahap conclusion timbulah dorongan niat pada diri saya untuk meniru akhlaknya, dengan harapan mudah2an sayapun mendapat ridoNya walaupun tidak seperti dia ”
    Kemudian kita assess dari segi ruginya ” Kita lihat generasi muda sekarang ini betul2 telah kehilangan public figur yang menguntungkan. Akhirnya mereka idolakan kalangan selebritis yang pola kehidupannya serba glamor. Dan kita bisa lihat akibatnya, pola fikir mereka, akhlak mereka,gaya hidup mereka telah dipengaruhi oleh role play dan budaya sang idolanya, maka sirnalah jati diri seorang muslimnya. Mengapa mereka memilih public figur yang salah?Karena sekarang ini susah ditemukan public figur dari kalangan religius yang berakhlak mulia (mencontoh akhlak Rosulullah saw).Kalaupun ada dan diidolakan umat, sudah ditebas duluan dengan istilah hukum kultus individu oleh kalangan orientalis.
    Wassalamu’alaikum.wr.wb. Kurang lebihnya mohon maaf.

    @
    Wassalamu’alaikum Kang Engkus..
    Memang masalah figur, saya kira seeh… yang paling dekat dengan seorang anak itu justru ibu dan ibu, kemudian bapaknya. Ketika figur di dalam yang menemaninya sejak kecil itu tidak memberikan rasa aman, maka mereka mencari tokoh panutan. Sedangkan publik figur artis umumnya perasaan suka saja, tapi tidak diteladani. Artis sebagai idola adalah kesenangan, pencarian kegembiraan. Sedikit yang bisa ditiru kecuali kesukaan. Itu pilihan “modern”, sedangkan pilihan idola hati untuk keteladanan biasanya dari tokoh (atau ibu dan ayah) yang menimbulkan rasa aman bagi remaja (ketika dia remaja). Keteladanan Nabi, dalam akhlak sedari kecil kita memiliki kekaguman tanpa batas dan kita merasa sangat jauh dari perilaku beliau sehingga terlalu jauh juga untuk diidolakan untuk kekinian, kecuali untuk pencarian pilihan untuk ingin bijaksana. Kehidupan glamour menjadi satu tujuan pilihan hidup bagi kebanyakan kita. Dengan kata lain, kenikmatan duniawi. Sebuah kesenangan sedikit, tapi karena ada di depan mata, selalu saja kita terpesona. Kalangan religius yang mampu menyejukkan hati ummat adalah yang didambakan oleh banyak kalangan di setiap relung hatinya. Namun, itupun… harus kita akui… di sebuah jaman yang sulit…. Wassalam, agor.

    Suka

  9. Kurt said

    Pokoke™ aku setuju heheh … 🙂
    tapi bagaimana dengan mengikuti para Nabi, Sahabat, Tabi’in dan dst… juga para filosof, para pembaru para pemikir.

    bukankah quran bicara kepada kita:
    Atii’ullah wa’atiiurrasul waulil amri minkum.. nah ini dalam hal apa..

    eniwey, sekali lagi pokoke™ kritis itu jangan dihambat heheh 🙂

    @
    Yap… dalam hal apa ya? Saya jadi ingat ujaran bijak/hadis :”Sebaik-baiknya ulama adalah yang jauh dari penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah yang dekat pada ulama”. Saya lupa ini hadits atau bukan ya?….

    Suka

  10. Ya ya, tapi apa pangkal dari segala pangkal berpikir keliru, belum terjawab tu. Dari prasangka sampai sandaran tokoh, tentu ada penyebab (seseorang) berpikir sedemikian. Pembentuk ‘berpikir’ itu adalah pikiran itu sendiri, dan berasal dari …

    @
    Nah itu… apa? 🙂 mengapa kita bisa menjadi pembangkang yang nyata, padahal dulunya kita tidak ada?…

    Suka

  11. haniifa said

    Salam,
    ::Ersis W. Abbas::
    “Ya ya, tapi apa pangkal dari segala pangkal berpikir keliru ?” Kebohongan.
    Suatu kebohongan yang menjadi pendapat umum, akan menjadi suatu kebenaran relatif, terlebih lagi jika sipembawa berita adalah figur bagi penerima berita (mis. public figur).
    Contoh real :
    Pembuktian teori relatifitas Einstein, dengan menggunakan jam Caesium pada pesawat jet yang berputar mengelilingi bumi selama “3 HARI 3 MALAM” ??
    Bagaimana mungkin pesawat mengelilingi bumi selama “3 Hari 3 Malam” ?? Tampa mengisi bahan bakar, juga bagai mana dengan faktor cuaca, dsb …sdb.
    http://www.sahabatsurgawi.net/alkitab_ip/alkitab_ip_waktu.html
    Wassalam.

    Suka

  12. Tia said

    thats great, i am get some thing nice to make instrument of mind

    @
    😀

    Suka

  13. […] kekeliruan berpikir ?.  “Yap…, […]

    Suka

  14. […] melihat sekilas, lalu evaluasi dan kemudian menyimpulkan ini itu, maka segera berkomentar atau memberikan solusi seharusnya begini, seharusnya begitu.  Wah repot !.  Padahal, nyaris tidak memiliki kompetensi apapun pada bidangnya.  Namun, itulah […]

    Suka

Tinggalkan komentar