Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Mencari Makna Perbedaan Hari Raya Ied dan Coca Cola

Posted by agorsiloku pada Oktober 15, 2007

Ini hari kedua Syawal 1428H. Seperti biasa, perbedaan menetapkan satu Syawal itu seperti Coca Cola. Always News. Selalu ada yang baru dan menyegarkan untuk memahami perilaku ummat Islam di Indonesia. Alhamdulillah, kita sudah melewati Ramadhan. Kita berharap bersua lagi dengan Ramadhan lagi, kalau masih diberi kesempatan. Insya Allah.

Debat kusir tentang perbedaan ini menjadi bagian dari haha … hihi keluarga kami di lebaran tahun ini. Nyaris semuanya tanpa ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk berpendapat. Namun, setidaknya ada beberapa link dewasa yang menjelaskan mengenai hal ini :

Penampakan Bulan Baru.

Hilal Ramadhan.

Awal Ramadhan – Syawal – Dzuhijjah 1428H

Visibilitas Bulan Syawal 1428 H

Simulasi Rukyatul Hilal 1 Syawal 1428 H

Penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal Untuk 1428 H

Maklumat Muhammdiyah Penetapan 1 Syawal 1428 H
(hilal wujud pada 0 derajat 37 menit 31 detik)

Karena saya tidak punya ilmu yang cukup untuk hal-hal beginian itu, meskipun juga tidak cukup mengerti mengapa pada posisi 0 derajat 37 menit 31 detik hilal sudah wujud dan tidak kenapa sekalian saja pada posisi 0,1 detik saja atau mengikuti uraian pakar astronomi bahwa baru akan wujud kalau sekitar 2 derajat, atau malah menurut kriteria Danjon malah kalau sekitar 7 derajat, maka sebagai orang yang kagak ngerti ilmunya nggak bisa juga membenarkan, menyalahkan, atau meyakini kebenarannya. Keyakinan itu persoalan dimana kita tidak bisa mengetahui dan tidak bisa memahami. Unsur percaya, yakin tidak butuh penjelasan sebab akibat. Jadi kalau hilal dikaitkan dengan masalah keyakinan, ya nggak usah ada penjelasannya. Cukup pakai model Naga Bonar saja, pPokok hilal sudah ada. Tapi karena bulannya satu, buminya satu, maka model-model dikembangkan diperlukan juga sebelum sesuatu itu diyakini. Kalau cari-cari pembenaran sih gampang-gampang saja.

Kembali ke Coca Cola urusan penetapan 1 Syawal, menurut saya dan banyak orang juga berharap bahwa : ENAKKAN KAN KITA SAMA MERAYAKAN HARI RAYA FITRI ini. Termasuk juga saya tentunya, sehingga beberapa hari terakhir ini asyik dengan postingan tentang harapan berlebaran yang pada hari yang sama.

Apapun model hitungan dan pembenaran yang dilakukan, pada akhirnya hasil akhir dan polemik yang terjadilah yang juga harus diperhitungkan dengan segala kearifan, apakah dimensi penetapan 1 Syawal ini memberikan akibat positip bagi kebaikan ummat atau tidak? Ataukah sama atau berbeda sama saja. Yang penting saya yakin dengan apa yang saya yakini. Faktanya, memang yang menetapkan hari berbeda itu ada yang mulai tanggal 11, tanggal 12, tanggal 13, bahkan berdasarkan kalendar Jawa, sejumlah ummat Islam ada juga yang merayakan tanggal 14 Oktober 2007.

Ataukah malah sebaliknya, semakin terasa dari tahun ke tahun bukan kemashalatan yang dirasakan, tapi jadi kejenuhan. Karena di hati kecil ummat, keinginan kebersamaan itu sebenarnya (dan tentunya) sangat tinggi. Terbukti ketika dari manapun berasal, bila mampu berusaha berkunjung dan berlebaran ke kampung halaman masing-masing. Artinya kebersamaan bagi ummat dianggap penting sehingga ketika perbedaan ini menjadi keniscayaan, maka keluh kesah kesal kerap dilontarkan.

Kehilangan Makna.

Saat terjadi perbedaan tentunya akan membuat masyarakat muslim di Indonesia seakan terpecah. Perpecahan ini sangat mencolok saat dua organisasi massa Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menentukan berbeda dalam saat mulainya Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Seolah sudah menjadi tradisi yang turun temurun kita rasakan dengan perbedaan tersebut. Dan ternyata bukan rahmat seperti yang dikatakan melainkan justru bertambahnya jurang pemisah antara kedua massa pendukung ormas tersebut, munculnya sinisme, kebencian bahkan penghinaan terhadap sesama muslim pada segolongan masyarakat, sebuah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Lalu kapan umat Islam di Indonesia akan bisa terhindar dari khilafiah seperti ini. Jawabnya tergantung kepada para elite pimpinan ormas-ormas tersebut untuk saling mau mengalah serta kebijakan pemerintah untuk merumuskan sebuah kriteria tunggal yang disepakati bersama, lebih demi kemaslahatan umat dan menanggalkan perbedaan yang sebenarnya sangat tidak prinsip “kredibilitas organisasi?” yang selalu diagung-agungkan.

Lebaran 1 Syawal kemarin, seperti juga setahun yang lalu, ada warna-warna untuk berhaha…hihi dengan perbedaan 1 Syawal ini. Karena saya bukan dari kedua golongan ini, jadi saya tidak punya interest atau keinginan untuk membela keduanya. Hanya hati kecil merasa, perdebatan ini tidak ada gunanya. Sungguh tidak ada gunanya, tidak ada menariknya. Hanya bikin capek saja. Hati kecil, tetap saja berharap kebersamaan itu indah. Karena ketika mencari alasan kebenaran (yang saya coba jumpai dari berbagai link, tidak urung juga, saya membaca caci maki kebanggaan golongan). Saya (eh kami boleh jadi), sudah sangat bosan mendengar dan merasakan pertentangan ini. Mungkin karena ukuran pernyataan ini jauh lebih besar dibanding dengan serpihan-serpihan lainnya.

Atau, memang ini yang diinginkan !?.

Pokoknya Harus Berbeda,

Karena perkembangan ilmu pengetahuan, tafsir tekstual, kontekstual, atau apalah namanya.  Perbedaan adalah suatu keniscayaan.

“Oke deh…  ”

Tapi, menurut saya tidak selayaknya  kurang etis karenanya kita gunakan istilah-istilah seperti : ini soal keyakinan, perbedaan adalah rahmat, toleransi, mengada-ada, dan sebagainya.  Ambil contoh : 2+2 adalah 4.  Angka 4 itu bukan keyakinan, tapi perjanjian.  Perjanjian itu disepakati sebagai kaidah untuk menjelaskan bilangan matematika.  Kalau soal hilal dikaitkan dengan keyakinan, hati kecil saya bilang, itu adalah pernyataan agar tidak ada keluhan. –> Dan memang tidak seharusnya juga mengeluh/kecewa.  Semua punya hak untuk punya keyakinan masing-masing.  Mau 2+2 = 5, mau hilal itu nol derajat ufuk atau 7 derajat, atau dua derajat atau cukup setengah menit saja, adalah soal pilihan.  Kalau kebersamaan adalah penting untuk satu Indonesia, satu ummat, maka semestinya bisa dikompromikan.  Kan capek tuh kalau pendekatannya : Pokoknya Harus Beda, karena hanya kami yang benar (Masing-masing, baik yang menetapkan 11, 12, 13, 14 Oktober 2007 untuk satu Syawal 1428 H ya sama saja).  Apalagi kalau skala pengaruhnya mendominasi keseluruhan ummat.  Meskipun tidak diakui, namun kami merasa perbedaan ini menjadi sangat dipaksakan.  Tentu yang membuat tidak akan menerima pernyataan ini.  “Geer saja kali”, tapi ya itulah unek-unek saya.

Menurut saya, cara-cara berbeda seperti ini, yang berkontribusi kemunduran ummat Islam.
“Enak saja sampeyan ini ngasih penilaian.  Ngerti apa hah.  Dulu itu Nabi tidak punya teropong, kagak pernah pakai theodolit, tidak membuat peta garis astronomis.  Tidak ada itu semua.  Masa setelah ilmu berkembang, pengetahuan semakin luas dan ummat semakin banyak, hal-hal yang demi kebaikan ummat ini (ilmu astronomi untuk menetapkan hilal) dibuang saja.  Sampeyan ini benar-benar sok tahu deh.”
Yah… mau apa lagi kita ini…. orang Amerika pergi ke bulan, kita melihat bulan saja ribut.

Yang juga jelas, perbedaan ini juga menjadi arena benar-membenarkan dan salah menyalahkan sebagai hasil dari ketidakmampuan untuk bersepakat.  Bukan karena perbedaan tafsir, tapi karena memang tidak mau sepakat saja.  Saya lebih meyakini ini, dari pada alasan lilteral, kontekstual, atau pemahaman lainnya. Dengan begitu, kalau memberikan saran juga cuma satu : Para pemimpin atau yang merasa jadi pemimpin manusia Indonesia itu, bersepakatlah seperti dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di satu negara.

Mudah-mudahan tahun depan, ilmu astronomi tidak lagi menjadi kambing hitam bagi perbedaan ini.  Bangsa lain sudah pergi ke Bulan, pesawat tak berawak ke  Mars, dan lain sebagainya.  Eh.. kita masih ribut melihat bulan  😦

Catatan Lebaran, 2 Syawal 1428 H

5 Tanggapan to “Mencari Makna Perbedaan Hari Raya Ied dan Coca Cola”

  1. rd Limosin said

    met lebaran!!!

    @
    Met lebaran. Saling memaafkan dan memberikan kemenangan dari kesepakatan… alangkah indahnya.

    Suka

  2. Herianto said

    Membuat kita sepakat dalam masalah2 fiqih memang tidak sederhana. Apalagi jika sumber dalil nash (naqli) yg digunakan cendrung sama kuat, apatah lagi kalo ditambah dengan dalil aqli yang lebih luas lagi ragamnya.
    Tetapi melalui aspek lain seperti akidah dan/atau manhaj berdakwah tampaknya lebih visible untuk menemukan jalan bersama.
    Beberapa teman menyatakan bahwa keberadaan khalifah dapat memecahkan masalah ini. Tetapi tentang apa itu khalifah dan bagaimana mencapainya juga ternyata beragam juga.
    Niat dan ilmu yang diamalkan karena-NYA… Seperti di sini posisi konsistensi yg harus dikejar dulu bersama…

    @
    He…he… he… iya betul… mana mungkin seeh sepakat kalau kita menggunakan kemampuan pikir dengan segala keterbatasannya. Sudah terbukti dari masa ke masa, pertentangan tidak akan berakhir dan perbedaan tidak akan pernah bisa disatukan. Kalau yang satu bilang :”…Pokoknya kyai saya bilang begini…, aliran saya ini, saya meyakini ini dan menolak itu…” maka tidaklah ada lagi yang didiskusikan, diwacanakan, karena tidak ada lagi “building the power”. Kita akan menggeserkan pemahaman menjadi kondisi ketaatan. Taklid dan tidak butuh solusi logis untuk melakukan pembenaran terhadap ketaatan. Memang inilah ciri khas seorang yang taat. Taat kepada orang tua, taat kepada pemimpin, taat kepada Allah dan Rasulnya, taat kepada kyai, taat kepada guru, taat kepada golongan, taat kepada partai, taat kepada grup, kepada kelompok, pada solidaritas bersama. Taat ini jika tidak disertai komponen pendukung yang memadai akan berkecenderungan memanjakan ego dan menolak komponen lain yang merestorasi atau menyempurnakan proses. Taat ini juga memiliki kemampuan untuk menolak segala masukkan karena hanya pilihan ini yang benar dan terbaik.

    Apakah perbedaan ini bisa diminimalisir?

    Tentu bisa jika patokannya hanya satu, karenaNya. Di sana tidak ada ungkapan label golongan, tidak ada label apapun yang menyertai keharusan untuk taat, ditujukan kepada seluruh manusia (baca : ummat) tanpa sk apapun, tanpa embel-embel apapun. Sepanjang label ini dijunjung tinggi, maka pengelompokkan akan terus mengkristal, maka perbedaan jadi fanatisme golongan. Dan akhirnya perbedaan adalah beradunya dua kekuatan yang berbeda pandangan, pelanduk mati di tengah-tengahnya. Padahal cita-citanya sama. Demi kemashalatan ummat. 😦 😦 😦

    Suka

  3. fadli said

    makanya,tegakkan khilafah

    Suka

  4. Anonim said

    tegakan syariat islam itu secara sempurna…. mengapa kita msih tegantung dengan hal yg tak msuk akal…

    Suka

Tinggalkan komentar