Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Catatan Kritis Untuk Islam Liberal (*)

Posted by agorsiloku pada Juni 10, 2007

Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Meskipun kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal) Maret 2001 nampaknya membawa hal baru bagi sebagian orang, namun sesungguhnya ia bukanlah sama sekali baru. Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi istilah “Islam Liberal” bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk menobatkan diri (sendiri) bahwa “Islam Liberal” adalah bagian dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya (www.islamlib.com). Sesungguhnya “Islam Liberal” adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain.
Untuk membuktikan deklarasi di atas, baiklah kita lihat dua dasar argumentasinya. Yaitu : (1) hakikat imperalisme itu sendiri, dan (2) kerangka ideologi Barat (kapitalisme). Pemahaman hakikat imperialisme akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi imperalisme atau bukan. Sedang kerangka ideologi kapitalisme, akan menjadi dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi kapitalisme atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode berpikir kapitalistik atau bukan.

Imperalisme
Imperialisme (al-isti’mar) itu sendiri, menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Siyasiyah li Hizb At-Tahrir (1969:13) adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat imperialisme.

Imperialisme ini, menurut An-Nabhani (1969:13), adalah metode (thariqah) baku –tak berubah-ubah– untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme, yang berpangkal pada sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Tak mungkin ada penyebarluasan kapitalisme, kecuali melalui jalan imperialisme. Atau dengan kata lain, manakala negara penganut kapitalisme ingin menancapkan cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi imperialisme dalam segala bentuknya, baik dalam aspek politik, militer, budaya, dan ekonomi. Berhasil tidaknya aksi imperalisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri jajahan sudah mengimani kapitalisme -yang berpangkal pada paham sekularisme– atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan imperialis, berarti aksi imperialisme telah sukses.

Kerangka Ideologi Kapitalisme
Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, New York : A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut Taqiyyudin An Nabhani, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh (An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001:26; W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini (terjemahan), Jakarta : Erlangga, 1990).
Sebagai sebuah ideologi (Arab : mabda’), kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (An-Nabhani, 2001:28).

Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti demokrasi dan kebebasan. Ketika cabang agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum) (An-Nabhani, 2001:27).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah) (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1993). bersambung

Mengkritisi JIL
Paparan dua pemikiran di atas, yaitu tentang imperialisme dan kerangka ideologi kapitalisme, dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk membedah JIL, untuk menjawab pertanyaan : Benarkah agenda-agenda JIL adalah kepanjangan imperialisme Barat ? Benarkah ide-ide JIL adalah ideologi kapitalisme berkedok Islam ?

Jawabnya : IYA. Mengapa ? Sebab agenda-agenda dan ide-ide JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas Dunia Islam. Selain itu, ide-ide JIL itu sendiri, dapat dipahami sebagai ide-ide pokok dalam ideologi kapitalisme, yang kemudian dicari-cari pembenarannya dari khazanah Islam.

Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan pemikiran JIL, kiranya akan menemukan benang merah antara imperialisme Barat dan agenda JIL. Adian Husaini dan Nuim Hidayat dalam bukunya Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (2002:3) mengutip Luthfi Asy-Syaukanie, bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekpresi. Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Asy-Syaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah itjihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin (Ibid.).

Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum muslimin menganggap persoalan ini “sudah selesai” ? Apakah sejak Ali Abdur Raziq menulis kitabnya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm (1925) yang sesungguhnya adalah karya orientalis Inggris Thomas W. Arnold ? Apakah sejak Khilafah di Turki dihancurkan pada tahun 1942 oleh gembong imperalis, Inggris, dengan menggunakan Mustahafa kamal ? Apakah sejak negara-negara imperalis melalui penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam ? Dan juga, apakah nama-nama intelektual yang disebut Luthfi cukup respresentatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah ?

Yang ingin disampaikan adalah, persoalan hubungan agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai, di negara-negara Barat. Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam (Th. Sumartana, “Kata Pengantar” dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xvii-xviii). Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas JIL adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai ini. Maka ada kesejajaran antara agenda politik JIL ini dengan aksi imperliasme Barat, yang selalu memaksakan sekularisme atas Dunia Islam dengan kekerasan dan darah.

Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi (pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tak boleh ada truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astaghfirullah), tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Sulit sekali –untuk tak mengatakan mustahil-mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As- Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Kattolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Husaini & Hidayat, op.cit., hal.110-111). Infiltrasi ide tersebut ke tubuh umat Islam dengan justifikasi QS Al-Baqarah : 62 dan QS Al-Maidah : 69 jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan agama selain Islam (QS Ali Imran : 19, QS At-Taubah : 29).

Agenda-agenda JIL tersebut jika dibaca dari perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk menghancurkan Aqidah Islamiyah dan Syariah Islamiyah (Ibid., hal.81 & 131). Tentunya mudah dipahami, bahwa setelah Aqidah dan Syariah Islam hancur, maka sebagai penggantinya adalah aqidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan penjajah yang sekularistik). Di sinilah titik temu agenda JIL dengan proyek imperalisme Barat. Maka, sungguh tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa agenda JIL adalah kepanjangan imperalisme global atas Dunia Islam yang dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat.

Ini dari segi kaitan agenda JIL dengan imperialisme. Adapun ide-ide JIL itu sendiri, maka berdasarkan kerangka ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa ide-ide JIL sesungguhnya adalah ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie (ed.) dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca:taqlid) sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme.

Ide-ide kapitalisme itu misalnya : (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme -pengalaman partikular Barat- nampak misalnya dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (Ibid., hal. xxv), dan penolakan syariat Islam (Ibid., hal.30). Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti ‘adl (keadilan), persamaan (musawah), dan syura (Ibid., hal. 36). Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas -yang nampaknya sangat disakralkan JIL-didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan : “tidak boleh ada pemaksaan jilbab” (Ibid., hal. 129), “harus ada kebebasan tidak beragam” (Ibid., hal. 135), “orang beragama tidak boleh dipaksa.” (Ibid., hal. 139 & 142), dan sebagainya.

Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap benar lebih dulu secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam. Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai dengan kapitalisme akan diterima. Tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan JIL terhadap konsep dawlah islamiyah (negara Islam) (Ibid., hal. 291), yang berarti konsep ini dihakimi dan diadili dengan persepktif sekuler yang merupakan pengalaman sempit dan partikular dari Barat. Padahal sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat Th, Sumartana mengatakan :
“Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.” (Th. Sumartana, “Kata Pengantar” dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xiv).
Dan patut dicatat, sekularisme tak pernah menjadi konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan imperalisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tak mengenal perikemanusian.

Penutup
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca:karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.

Jika memang dapat dikatakan bahwa JIL adalah bagian dari proyek imperalisme Barat, maka JIL sebenarnya mengarah ke jalan buntu. Tidak ada perubahan apa pun. Tidak ada transformasi apa pun. Sebab yang ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni kapitalisme (yang, toh, sudah berlangsung). Dan pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan penjegalan perjuangan umat untuk kembali kepada Islam yang hakiki, yang terlepas dari hegemoni kapitalisme. Jadi, Anda masih percaya JIL ? Kalau begitu, saya ucapkan selamat jalan menuju jalan buntu. Semoga tidak nabrak. [ ]
– – – – –
(*) Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku “Wajah Liberal Islam di Indonesia“, diselenggarakan oleh HMJ Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, di Auditorium UNDIP Pleburan, Semarang, pada hari Selasa 8 Oktober 2002.

18 Tanggapan to “Catatan Kritis Untuk Islam Liberal (*)”

  1. KaiToU said

    Oh…, dari http://www.hizbut-tahrir.or.id (HTI) toh?

    Saya jadi bnun… 😦 Sebenarnya dengan adanya beragam kelompok/ pemikiran ini (terutama ada websitenya masing2) malah terbuka banyak diskusi dan pemikiran baru bagi masyarakat.

    Asal jangan menyimpang aja, deh… 😀 No Violence, Ok? Be Fair.

    Oiya, ini ada artikel lama di situsnya “Jaringan Islam Liberal”. Sedikit banyak juga menyudutkan pihak;”Hizbut Tahrir Indonesia.

    Oiya, satu lagi. Semoga masyarakat tidak jadi tambah bingung karena “KaiToU” pikir, tugas dari mereka adalah membimbing masyarakat untuk menuju jalan yang baik dan benar.
    [In necessity of some inbound links this site. Thanks 😀

    @
    Mas Kaitou, saya juga bingung… bagaimana kalau buat komentar baru … lalu yang ini saya hapus ya.

    Sejak kehadirannya, JIL “membantu” saya untuk mendapatkan pilihan yang menurut saya benar. Saya sendiri kalau ditanya, apakah JIL benar, akan saya jawab tidak. Kalau kita masuk site ini, dimulai dengan …. Tuhan segala agama. Saya sangat tidak sependapat. Pembuka itu memang bukan dari basmallah, tapi jelas berkonotasi demikian. Namun, saya lihat JIL juga, orang-orangnya memiliki kemampuan dan daya pikir yang bagus, jernih, lugas. Pokoknya oke banget. Bahwa menurut saya mereka kebablasan, adalah sebuah penilaian juga. Saya hanya pilah saja, mana yang menurut saya benar dan mana yang tidak. Benar menurut saya adalah ketika saya lakukan konfirmasi dengan lainnya.
    Kalau soal tugas dari mereka adalah membimbing masyarakat untuk menuju jalan yang baik dan benar… Ya jawabnya itu adalah tugas para pemimpin, dimanapun dan pada posisi apapun…. 😀

    Suka

  2. Suluh said

    Wah penentang JIL ya mas agor nich… Saya sih malah seneng ada Jaringan ini… Ikut meramaikan khasanah pemikiran islam… Eh omaigot n wadehel cocok juga loch masuk JIL… Kayaknya sih… 😀

    @
    Saya tidak sependapat dengan JIL pada beberapa sisi pemikiran dan tindakannya. Bahwa meramaikan khasanah pemikiran Islam… mungkin juga sih… Tapi lepas dari itu… saya sendiri lebih memilih tidak pada penggolongan dengan merk Islam, mengembel-embeli Islam. Menurut saya yang sangat bodoh urusan ini, Islam ya Islam saja. Tidak ada di Al Qur’an yang menjelaskan atau meminta manusia menambah-nambahkan Islam dan berbangga-bangga dengan pengikut dan golongan. Saya tidak mau pada waktunya Allah menuntut pertanggungjawaban ciptaanNya atas kebanggaan pada harta dan golongan, juga lainnya (kalau bisa, dan sebisa mungkin tidak : misal pada isteri dan anak-anak atau jabatan … tapi itu tidak mudah ya 😦 )

    Saya juga termasuk yang rajin membaca pikiran-pikiran yang dilontarkan JIL.

    Suka

  3. telmark said

    mempunyai pemikiran jenius dan komunitas hebat, bukan berarti bisa bikin sembarangan aliran kan ??? salam.

    @
    tapi… dengan komunitas hebat… penghasilan bisa hebat juga lho…..tentu saja popularitas juga ….

    Suka

  4. KaiToU said

    [Kalau soal tugas dari mereka adalah membimbing masyarakat untuk menuju jalan yang baik dan benar… Ya jawabnya itu adalah tugas para pemimpin, dimanapun dan pada posisi apapun…. 😀
    Eh, iya juga, ya 😛
    Tapi kalo tentang [Tuhan segala agama], klo dipikir2, tuhannya orang kristen, budha, islam, dlsb itu kan Allah juga. 😀
    BTW om agor, koq tag2 htmlna jadi keliatan gitu, ya? Jadi gak enak dilihat. Tau gitu, Kai tadi gak pake tag… Hu uh. 😦
    Petunjuk di atas form komentar ini ternyata bohong, yah? 😦 😀

    @

    Ketika saya belajar Al Qur’an, meskipun hanya sangat sedikit dipahami, saya tidak membaca bahwa pernyataan [Tuhan segala agama] itu sebagai hal yang benar.
    Bahwa toleransi, kehidupan bersama dalam masyarakat, piagam Medinah, kerukunan dan pemilihan sikap yang diambil, Al Qur’an mengajarkan dengan teliti dan seksama juga. Kalau tak salah memahami, berikut segala resikonya kelak.
    Petunjuk di atas form komentar : nggak tahu juga, mungkin karena ada yang terhapus oleh saya, jadi fungsinya jadi salah (kadang-kadang ada komentar yang saya perbaiki kalau ada salah ketik — hanya salah ketik saja). Dan ini berpengaruh ke tag html yang lain. Cuma saya kurang paham hal ini.

    Suka

  5. Agam said

    Dari Websitenya aja udah keliatan. disebutkan Allah merupakan Tuhan semua agama. Sudah keliatan gak benernya.

    @
    Akhirnya akan selalu pembaca mengkritisi juga… mereka mengerti dengan hatinya….mana yang keliru, diperkelirukan, dan terkelirukan…..

    Suka

  6. Bastyo said

    Ummat Islam tu hancur oleh karena ummat Islam sendiri. Bukan karena Yahudi atau dari siapapun!!
    Perpecahan yang banyak meletup dalam kehidupan internal ummat Islam, mengindikasikan ummat/insan muslim sudah banyak yang meninggalkan Islam kaffah (murni) itu sendiri.
    orang penganut paham Liberal adalah orang yang haus akan duit proyek dari Funding2 luar negeri.suatu lembaga studi/institute itu akan berjalan kalau ada sponsor duit, nah!! sponsor di sini Barat, lewat Foundation2 yang punya duit milliaran dollar..dan foundation luar negeri pasti memiliki pertimbangan tertentu jika ingin memberikan dana bagi intelektual Indonesia. ya..yg pastinya yang sejalan dengan kemauan si funding nya..
    seperti diketahui doktrinisasi barat melalui embel-embel materialisme (kapital) yang pastinya banyak membuat ngiler, goyah, menggoda insan terutama kaum2 muda Intelektual muslim Indonesia..tentu saja menyerang Islam dengan WATON kritik tidak berdasar;ngawur..Pinter tp koq goblok…
    nah akhirnya semakin banyak faksi, heterogennya aliran-aliran pemikir intelek muslim, ujung-ujungnya konflik. konflik mengarah ke perpecahan..jangan kaget kehancuran ummat Islam akan tiba tdk lama lagi..

    @
    😦 Siapa yang tertawa karenanya ?

    Suka

  7. jurig said

    waduh … untung baca ini … akhirnya ada juga yg ngebahas JIL secara detail … Banyak yg menyuruh waspada terhadap JIL, tapi ngga ada satupun alasannya yg bisa saya terima … sampe akhirnya ada artikel ini … dengan artikel ini saya bisa lebih leluasa menyikapi JIL.
    Pola pikir “barat” <em>–seperti Kapitalisme dan imperialisme–</em> memang sudah sangat meng-gurita, selalu berusaha merasuki apapun … termasuk Islam …

    @
    Sudah menggurita…. perang antar peradaban…. Samuel P. Hutington…. ?

    Suka

  8. MaIDeN said

    Yang nggak asik itu kalau pokoknya asal tuding.
    Si anu nyebut Allah dengan sebutan Tuhan, JIL
    Si anu nggak pake assalamu’alaikum tapi pake hi, hallo , JIL …
    Hati-hati sianu JIL, hati-hati sianu pemikirannya sudah JIL
    Kalau sudah puwas dan sukses sama label-melabel trus ditingkatkan lagi dengan. Ah nggak usah dibaca, dia kan JIL, jangan dibaca karena dibalik kata-kata manisnya tersembunyi agenda JIL …
    Ada lho orang yang kayak gini 😛
    Salam,
    http://del.icio.us/maid3n/JIL

    @
    Berpegang saja pada petunjukNya…. tidak ada keraguan… memisahkan yang hak dan batil….. terperinci ….

    Suka

  9. ummughayda said

    Ass.Wr.Wb,
    Salam kenal, Pak. Saya banyak dapat wawasan di blog ini, dan minta ijin link, boleh kan?. Menanggapi tulisan ini, yang jelas kebenaran dan kebatilan itu tidak pernah akan bisa bersatu, dan nurani manusia yang senantiasa bertanya dan pasrah pada Allah tentang itu akan bisa merasakan.

    @
    Wass. Wr. wb… tentu saja… kalau bisa bertukar link lebih menyenangkan… wawasan di blog ini adalah yang agor ambil dari sumber-sumber lain… Inginnya adalh menolak kebatilan… belajar pasrah dan tidak angkuh… mencoba menyadari… alangkah berat mencapainya…..

    Suka

  10. yang jadi masalah kenapa kalau JIL itu banyak masalah kok diurusin yaa? bukannya mengembangkan pemikiran sendiri saja .. misalnya pak Adhian dengan gregetnya berpikir ala Islam Syariatnya… lalu HTI terus berpacu masing2 dengan visi misinya.. ini sayangnya visinya bercampur curiga… Akhirnya Oh my God.. bangsa Indonesia jadi suka <a>cemburu. </a>

    @

    Wah saya tidak mengerti juga Mas Santri, namun kalau saya merasa perlu bahwa yang tidak setuju atau tidak sependapat melakukan sharing dan menyampaikan segala perbedaan pandangan dan pendapat untuk juga bersuara. Bukan untuk menghakimi sesama yang beragama Islam, tapi jangan dibiarkan masyarakat umumnya (yang relatif awam) untuk mengikuti satu pandangan yang bisa merusakkan akidah. Jelas ini adalah tugas moral para ulama dan ustad-ustad. Perbedaan cara pandang dan motif tentu saja di tingkat akar rumput akan menimbulkan gejolak. Ambil contoh dalam mendefinisikan ruang privat dan ruang publik, mendefinisikan pernikahan beda agama, pembuka site :”Tuhan segala agama”, Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang. Jelas menimbulkan kenisbian yang menurut saya keluar dari mainstream. Memang bukan terjemahan dari basmallah, tapi jelas menimbulkan interpretasi yang memiliki resiko buruk. Mengembangkan keterbukaan dan toleransi berbeda sekali dengan “menjual” atau menyamaratakan.

    Kalau kita telaah juga dari dua kacamata, setuju dan menolak… saya melihat dua-duanya punya alasan yang kuat. Satu kuat pada pegangan dasar akidah, satu lagi pada dasar kekuatan logika dan akal sehat. Namun, dalam arena, masing-masing menunjukkan upaya “membodohkan” satu sama lain.

    Apakah ini berakibat pembaca atau ummat menjadi bodoh?

    Tentu saja tidak… tapi dua pandangan berbeda menghasilkan pilhan-pilihan berpikir, memilah dan memilih.

    Dan ummat membutuhkan hal ini.

    Suka

  11. fauzan.sa said

    Sayangnya kawan-kawan HT (Termasuk Pak Shiddiq yang buat tulisan) ini terlalu trikotomis. Islam, Kapitalisme, Komunisme. Padahal, dunia pemikiran khan nggak hanya tiga itu. Wah, nggak asyik dong kalo diseret-seret jadi tiga itu.
    Saya pernah ditawari ikut acara kursus kepribadian HT. Setelah saya tanya apa maksudnya, ternyata jawabnya kepribadian itu pada dasarnya ada tiga. Kapitalis, Komunis, Islam. Weleh weleh weleh begitu tho. Ndak jadi ikut deh. Saya sudah merasa Islam dari dulu kok.
    Tapi, saya memang gak setuju dengan beberapa pendapat JIL kok. Di antara kata-kata mereka ada yang ngawur dan nggak pake logika, ataupun akal sebagaimana yang selama ini mereka nyatakan sebagai “diutamakan”.

    @
    Setiap orang memiliki pola pikir tertentu,kadang begitu kita “dewa”kan keyakinan itu, apalagi jika di dalamnya, disadari atau “pura-pura” atau memang disadari ada sesuatu kepentingan “lain” di balik “itu”. Pak Shiddiq bisa berpikir begitu, seperti juga pemikiran-pemikiran lain yang bersebrangan. Entah itu yang dikembangkan oleh Charles Kurzman, atau dipat-pat-gulipatkan dalam model lain. Tanyakan kepada tokoh-tokoh itu, termasuk pada yang berkutat di islib Indonesia, apa motifnya. Uang, ketenaran, atau kesalehan. Pilihan mana yang diambil. Begitu juga pada HT. Semua ada motif yang menggantungkan pada niatnya. Lalu, apa kata ummat?. Dari mana akan memberikan “penghargaan” atas penafsiran dari penafsiran dan kekerasan pada kekerasan…. Namun, sebagai proses “pendewasaan” diri atas sebuah pemahaman, setidaknya kita selalu sadari :”Yang hari ini diyakini benar”, selalu ternyata tidak mutlak. Termasuk semua inklusifitas itu, juga dalam ketertutupan dan penghakiman.

    BTW, pilihan yang diambil setuju dan nggak setuju, menunjukkan “memang” keduanya “sebaiknya” tidak bercerai berai. Kekuatan apa yang dilahirkan dari saudara yang saling menyalahkan. Nothing. Beberapa bagian dari JIL saya kagumi, juga termasuk bagian yang saya juga “ikutan” tidak sependapat.

    Suka

  12. Anonim said

    Bikin MALU!!!
    kalau mau Liberal dan semua agama sama mengapa harus menempelkan kata Islam di tengah-tengahnya? Ganti saja dgn label agama lain.
    Lagipula kata Islam tidak tepat jika digandengkan dgn kata Liberal.
    Islam bermakna pasrah, tunduk , berserah diri.
    Kepada siapa Muslim pasrah, tunduk dan berserah diri?
    Tentu saja kepada ALLOH dan Rosul NYA, Untuk pasrah, tunduk dan berserah diri ALLOH telah menurunkan AL-QUR’AN dan sang Rosul pun telah mewanti-wanti agar umatnya memegang teguh 2 panduan yang dijamin kita tidak tersesat jika mengikutinya. AL-QUR’AN dan SUNNAH nya.
    Sedangkan Liberal bermakna bebas, merdeka. Bebas dan merdeka dari apa? kalau kita mencermati kita sudah tahu apa jawabannya.

    @
    Ya… Nabi tidak mengajarkan membuat penggolongan-penggolongan. Allah juga mengingatkan untuk tidak berbangga pada pengikut….

    Suka

  13. Sayyid said

    Assalamu’alaikum kang agor!

    Damang?

    Ide-ide JIl? udah basi tuh akang! Dah kadaluarsa tp dikemas ulang trus dibubuhi istilah-istilah ‘keren’ yg sulit dipahami biar kelihatan mentereng dan berisi! Caplok sana, caplok sini, amburadul ala gado-gado!

    Dibilangin atuh kang jangan bawa2 nama Islam, ganti gitu jadi JUL (Jaringan Umat Liberal) atw apalah!

    Aih….lama-lama gregetan juga ngliatnya! mau murtad aja pake dalil segala!

    kang Agor, aing punya usul nih! Gimana kalo kang Agor aja yg jadi koordinator JIL? Biar seluruh penganut ‘mazhab’ JIL pada sholat, yg wanita biar pake kudung, trus ntar kang Agor ajarin baca Qur’an di rumah akang tiap hari abis magrib…

    kumaha kang, setuju??? Duitnya gede loh kang!

    @
    Beberapa yang saya baca, latar belakang JIL… justru jebolan pasantren dengan pengetahuan yang luas dan bernas.

    Namun, menurut agor, emang bagusnya memang JUL, biarlah Islam “seperti” itu berada dalam konsep muslim (berserah diri) bukan berliberal diri.

    Suka

  14. Aricloud said

    Kalau anda dimarahi orang tua anda karena tidak sholat, terus anda mengadu pada JIL, anda pasti dibelanya habis-habisan. Kalau anda memarahi anak anda karena berpakaian minim nan ketat, trus dia mengadu pada JIL, pasti anda akan dikritik habis oleh orang2 JIL dan anak anda pasti dibelanya.
    Kan Hak Asasi Manusia…
    Tapi..kalau anak anda dikeluarkan dari sekolah karena pake jilbab, maka anak anda tidak akan dibela oleh JIL tapi justru sekolahnya yang dibela…
    So..
    Kalau anda masih suka berbuat maksiat dan malas beribadah, ya paling gampang berlindung ke JIL deh…sudah pasti anda dibela.

    Tapi kalau Saya…
    Untuk apa mengambil resiko. Ibaratnya :

    1. Kalau kita pilih JIL, terus benar, maka masuk syurga
    2. Kalau kita pilih JIL, terus salah, maka masuk neraka
    3. Kalau kita pilih lurus-lurus aja (ikut ulama), insya Allah masuk syurga baik itu JIL benar maupun salah. Artinya, kalau kita lurus-lurus aja, maka peluang masuk syurga itu mendekati 100% (atas ijin Allah tentunya), tapi kalau terpengaruh JIL, maka peluangnya cuma 50%. Hii….mau bertaruh dengan peluang 50%

    Hidup ini cuma sekali…sekali kita salah dan terbawa mati, tak ada harapan untuk memperbaiki.

    Bukan demikian mas Agor?

    @
    😀
    Mas Aricloud :”Kalau anda dimarahi orang tua anda karena tidak sholat, terus anda mengadu pada JIL, anda pasti dibelanya habis-habisan. Kalau anda memarahi anak anda karena berpakaian minim nan ketat, trus dia mengadu pada JIL, pasti anda akan dikritik habis oleh orang2 JIL dan anak anda pasti dibelanya.”
    Agor :”Inilah salah satu sisi positip yang saya lihat dari JIL sehingga saya bisa memahami posisi kelompok muda, cerdas, dan pintar ini ketika membangun hubungan sosial antara Islam sebagai pesan Allah kepada ciptaanNya, paham keterbukaan dan toleransi denga dunia Islam yang puritan. Dengan begitu, kita bisa melakukan komparasi kesadaran dan memahami pesan dengan lebih lapang dada dan menerima pesan dari Sang Maha Pencipta — Sesungguhnya telah jelaslah mana yang hak dan mana yang batil….”

    Di sisi lain, seperti musim yang berganti, gelap berganti siang, malam untuk beristirahat, begitu juga paham serpihan dan kekanakan atau karena keangkuhan dan keinginan untuk populer — bukan tak mungkin dan sangat mungkin akan kembali ke induknya kembali. Jangan pula jalan itu kita tutup.

    Suka

  15. Raja Ahmad Ismail said

    Assalamu’alaikum,
    Berbicara mengenai JIL serta lemparan-lemparannya dan sebagian ocehan dari para tokohnya, ada beberapa hal dari sekian bayak hal yang perlu dikritisi daripada pendapat-pendapat mereka, antara lain :
    – Bahwa ada hukum-hukum yang didalam Alquran sudah tidak relevan lagi diterapkan dizaman sekarang, karena hukum-hukum itu menurut mereka adalah bersifat kontekstual dan kondisional. Contoh : Hukum minum arak/khamar/alkohol. Mungkin saja hukum ini tidak berlaku di Siberia atau Moskow, karena iklim di sana sangat dingin, maka perlu pemanasan, salah satunya ya itu tadi “Arak/Khamar/Alkohol”.
    – Walapun sudah jelas dimaktubkan didalam Alquran bahwa pernikahan antara wanita Muslim dengan pria musyrik dan “Ahli Kitab” dilarang, mereka membolehkan. Dengan alasan bahwa tidak dibolehkannya karena pada masa itu umat Islam masih sedikit, sehingga perlu menghimpun umat dengan melakukan perkawinan sesama Muslim, sedangkan sekarang umat Islam sudah besar sehingga “ketakutan” tidak memiliki umat bisa dihindari. Bahkan sesama sejenis juga boleh menikah.
    – Bahwa semua agama adalah baik dan benar.
    – Bahwa Alquran beserta hukum-hukum di dalamnya adalah produk budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan Nabi saat itu.
    – Bahwa mengingat Tuhan (Allah?) tidak perlu melakukan ritual shalat cukup mengingat (eling).
    – Bahwa Tidak ada hukum Tuhan ( menurut pendapat Ulil Abshar Abdalla ).
    – Bahwa Alquran adalah “perangkap” bangsa Quraisy untuk mempertahankan pengaruh suku Quraisy dalam Islam.
    – Bahwa Alquran merupakan restorasi teks yang dilakukan Nabi, jadi Alquran tidak benar-benar wahyu Allah, karena telah terjadi campur tangan manusia di dalamnya, jadi Alquran hanyalah pseudo sacra atau “kesucian palsu”.Sehingga karena teks Alquran juga adalah hasil dari campur tangan manusia saat Alquran dikodifikasikan, maka tidak salah kalau manusia sekarang juga “berhak” ikut campur tangan dalam mengadakan restorasi Alquran untuk menyesuaikan pada keadaan sekarang. Kalau umat Islam masih berpegang pada teks awal, maka sama saja dengan berpegang pada “barang rongsokan”.

    Banyak hal-hal “nyeleneh” yang dilontarkan oleh mereka, termasuk dengan menerbitkan Fiqih Lintas Agama ( FLA) yang cukup menghebohkan, karena bukan melengkapi Fiqih Islam malah mereduksi dan menjungkir balikkan semua hukum-hukum Islam yang selama ini dipegang oleh umat.
    Mudah-mudahan di antara saudara-saudara ada yang berkenan membahas “celoteh” mereka ini.
    Wassalam,

    @
    Ass. Wr. Wb.
    Banyak sekali memang celoteh “mereka” so very funny gitu. Dan karenanya, banyak juga yang suka dengan celotehan itu. Di sisi lain, kecenderungan untuk “marah” menjadi bagian dari kultur yang karena berbagai sebab memunculkan pandangan untuk “menghalalkan darah” lengkap dengan segala dalil dan argumennya. Namun juga menimbulkan prasangka lain yang menyebabkan sebagaian lain terpojokkan pula. Ada permainan persepsi di sini. Dan menurut pandangan “selintas”, saya melihat keterjebakan dalam melakukan kontra persepsi. Melawan dengan “adu cerdas” atau mendiamkan atau menangani dengan lebih arif (padahal sudah bijak ya !). Saya kira, kalau para ahlinya pintar menyampaikan argumentasi balik kepada ummat dengan arif (dan sebagaian tampaknya demikian), maka “menanganinya” akan lebih oke.

    Selebihnya, thx… bahasan postingan ini agak berat dan kurang menarik seeh, sehingga baru Mas yang mau berurun rembug…

    Di kejap lain, saya juga ingin membahas celotehan ini… Wass.

    Suka

  16. Quantum said

    Setuju dengan komentar dan pikiran pak Agor,

    Hak Asasi ,kebebasan, demokrasi adalah biang kekacauan di muka bumi, setiap manusia pasti punya keinginan yang berbeda beda, dan sebagian besar manusia bersifat buruk (jumlah manusia berakhlak baik amat amat sedikit, satu juta satu saja sudah banyak). Apakah yang akan terjadi jika segalanya ditafsirkan menurut Hak Asasi (Hawa Nafsu) masing masing.

    Ujung ujungnya adalah pertikaian dan pertumpahan darah, bukanlah kedamaian yang digembar gemborkan. Bahkan yang menentang hak asasi kenapa jadi dilawan oleh pendukung hak asasi. Boleh saja dong orang berpikiran menentang hak asasi (dari kacamata hak asasi). Boleh saja dong, orang memperjuangkan melawan hak asasi itu sendiri.

    Dari sini justru aneh ketika kaum liberal mulai membumihanguskan negara negara penentang tadi.
    kelompok Singa saja ada pemimpinnya, burung bermigrasi ada pemimpinnya, baboon saja juga ada pemimpinnya. semua harus tunduk pada aturan, tidak sakarepe dhewe dhewe. hebat memang manusia.

    JIL mirip mirip paham nya Sai baba, klop pasti deh (ide nya sama). Kenapa gak jadi Jamaah Saibaba Liberal saja. janganlah membawa nama Islam, Tidak ada paksaan dalam Agama. karena Islam sudah cukup menjelaskan apa itu toleransi, jauh lebih rahmatan lil alamin daripada ide ide bikinan manusia.

    @
    Pada titik ini iya… saya cenderung pakai saja dengan label lain dan kembangkan pikiran, namun dengan menamai sama, maka liberalisasinya ini menjadi “mahluk” berpikir yang menurut saya kurang proposional….

    Suka

  17. Raja Ahmad Ismail said

    Assalamu’alaikum,
    Hak Asasi?. Demokrasi?. Liberalisasi?. Sekularisasi?. Pluralisasi?.
    Secara kasar berarti (menurut pendapat saya ) : Hak Asasi adalah Hak setiap manusia atau hewan untuk berbuat sesuatu, mendapatkan sesuatu, menyuarakan sesuatu, meminta sesuatu dan berkehendakkan sesuatu, sesukanya sesuai dengan kepentingannya. Tidak boleh dilarang, ditindak, dihalangi oleh siapapun syahdan Tuhan sekalipun.
    Lho kok gitu?. Emang iya. Bukankah “katanya” Tuhan sudah memberikan kebebasan untuk berbuat sesuatu. Bukankah hukum Tuhan tidak ada. Bukankah.. bukankah…. dst.
    Karena hanya ada Hak Asasi tanpa dibarengi dengan Kewajiban Asasi, maka kacaulah tataran hidup kita sekarang. Semua menuntut “Hak” tanpa pernah menunaikan “Kewajiban”.
    Kalau yang satu berkata “Aku berhak melakukan ini” maka yang lain menjawab “Aku juga berhak melarangnya”. Maka tidak akan pernah menemukan titik kesepakatan.
    Begitu juga liberalisasi. Tidak ada yang bebas didunia ini. Bebas menurut kita belum tentu bebas menurut orang lain. Katakanlah, kita bisa mengatakan “Aku bebas berpendapat begini”, apakah kita bebas?. Tidak, karena kita terikat dengan pendapat kita sendiri. Begitu juga kita katakan, “Aku bebas mau berbuat apa saja”. Apakah kita sudah bebas?. Sekali lagi, tidak. Kita masih terikat dengan perbuatan kita. Jadi dimana kebebasan yang dicanang oleh orang-orang yang mengaku liberal?.
    Demokrasi. Ini lagi. Satu sistem yang sebenarnya malah menghancurkan tatanan bermasyarakat yang utuh. Apakah demokrasi namanya, kalau segelintir manusia yang “katanya” mewakili sejumlah orang, hasil dari konspirasi jahat, intimidasi, suap dan sebagainya, karena memiliki suara mayoritas dalam suatu forum, apakah itu dewan, kongres, dsb. berhak menentukan semua nasib masyarakat umum, berhak membuat suatu keputusan dengan mengatasnamakan rakyat, walaupun apa yang dibuat tidak menyentuh langsung kepentingan rakyat?.
    Apakah akan kita biarkan segelintir masyarakat berdemontrasi menuntut hak mereka, walaupun mengabaikan hak masyarakat umum, karena takut dikatakan tidak demokrasi?.
    Sekularisasi. Yang ini satu lagi. Paham yang sedang gencar-gencarnya diusung oleh sebagian umat Islam (?). Pemisahan antara negara dengan agama. Negara tidak boleh ikut campur dalam wilayah agama, begitu juga sebaliknya agama jangan coba-coba mengatur kehidupan bernegara. Sampai-sampai dikatakan tidak ada yang namanya negara agama (Teokrasi?). Ini diadopsi dari pemikiran segelintir umat Kristen Eropah, yang melihat kekuasaan gereja pada zaman itu mendominasi sistem pemerintahan negara mereka. Sehingga seorang Paus atau Uskup bisa dengan semena-mena dan leluasa menurunkan seorang raja dari tahtanya kalau bertentangan dengan kemauan gereja. Inilah yang tengah diusung oleh segelintir manusia yang mengaku Muslim, yang bergelar professor dan doktor, untuk diterapkan di Indonesia yang nota bene adalah negara dengan penduduk Islam terbesar didunia. Inilah hasil dari konspirasi kelas tinggi dari manusia-manusia yang membenci Islam, berkolaborasi dengan sekelompok orang yang mengaku sebagai cendekiawan Muslim untuk memainkan musik mereka.
    Wassalam,

    @
    Selalu menjadi relevan, namun para pengusung mempertahankan pada argumen yang merelatifkan petunjuk Allah. Kondisi yang dipahami logis karena tidak ada lagi yang bisa absolut membenarkan/menolak (Tidak ada Nabi yang bisa ditanya). Namun, dalam konteks kepasrahan manusia, menurut agor seeh eh.. menurut Al Qur’an, sudah jelaslah yang mana yang hak dan mana yang batil. Kolaborasi atau konspirasi sangat mungkin, dan menanggapi dengan cerdas juga sama mungkinnya. Semakin banyak “kecerdasan” dan akal digunakan, disertai kearifan hati untuk memahami petunjukNya. Insya Allah rahmatNya akan tiba pada kita semua yang dikehendakiNya 😀

    Suka

  18. Hamba Allah yang Hina said

    Assallamu Allaikum WR WB
    Bismillahi Rohmani Rohim
    Allah SWT menciptakan bumi untuk manusia, maka supaya manusia hidup di bumi Allah ini bisa selamat dan sejahtera oleh Allah SWT diturunkanlah aturan-2 Allah yaitu Al Qur’an. Al Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia, sebagai pembeda yang benar dan salah serta sebagai penjelas atas petunjuk-2 tersebut. Jadi Manusia ini tugasnya hanya untuk menyembah Allah SWT, caranya ya gunakan Al Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah SWT melalui utusannya nabi Muhammad SAW. Jadi kita tidak perlu melihat pluralisme, liberalisme, dsb yang dibuat oleh manusia, toh Allah SWT yang menciptakan bumi ini untuk manusia maha mengetahui yang dengan kasih sayang-Nya menurunkan Al Qur’an. Cukup sederhanakan. Contoh: Indonesia tidak cocok menjadi Negara Islam!, cocoknya sekuler/liberal karena pluralisme. Apakah manusia yang membuat pernyataan tersebut lebih tahu dari Allah SWT, sedangkan yang menciptakan dia adalah Allah SWT, yang memberinya rezeki adalah Allah SWT, yang menyehatkannya adalah Allah SWT, yang memberikannya udara gratis untuk bernafas adalah Allah SWT. Apakah tidak malu? Apakah kita masih berani menyombongkan diri dengan gelar keserjanaan kita? Sesungguhnya jika tidak ada tolong dan karunia dari Allah SWT, kita ini tidak ada apa-2. Marilah kita memohon ampunan dari Allah SWT atas kesombongan dan tidak tahu dirinya kita, mohon perlindungan dari godaan syetan yang menyesatkan. Amin ya Robbal Alamin. Terima kasih! Mohon maaf atas segala kesalahan dan kepada Allah SWT saya mohon ampun.
    Alhamdulillahi Robbil Alamin
    Wassallamu Allaikum WR WB

    @
    Wassalammualaikum w.w.
    Mas Hamba Allah yang dimuliakan Allah SWT.
    Rasanya memang betul, manusia itu kerap begitu sombongnya dan mudah terlena oleh kemegahan dunia dan term-term yang dipakai oleh akalnya. Pluralisme atau lainnya begitu pula. Seperti sebilah pedang, jika “penemuan” istilah ini dalam pelaksanaan dan pikirannya dikenai kekuatan untuk bersabar dan ikhlas, maka pedang pluralisme menjadi penghargaan kepada perbedaan. Namun, jika pedang yang sama digunakan untuk mengkerdilkan rahmatNya maka fungsinya menjadi sebaliknya. Sangat jelas Allah memberikan kebebasan sesuai potensi yang diberikanNya, sekaligus juga penugasan untuk memakmurkan. Luas pemahaman di sini.
    Lebih lagi, saya sependapat benar. Memohon ampun kepada Sang Khalik menjadi salah satu alat yang utama untuk tidak menyombongkan diri.
    Wass.

    Suka

Tinggalkan komentar