Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dunia dan Syariat Tidak Butuh Logika Tho!?

Posted by agorsiloku pada Oktober 28, 2007

Agak sedikit terkejut juga ketika berkunjung ke rumah sahabat yang memposting : Perlukah Logika Untuk Memahami Syariat Islam?. Meskipun selintas saya pernah baca pertentangan antara Al Ghazali dengan Ibn Tamiyah, namun saya tidak pernah berminat untuk menyeriusinya. Apalagi kalau ada pertanyaan : Perlukah logika? ini pertanyaan yang luar biasa anehnya (dalam otak berpikir saya). Mengapa?

Saya kira, kemampuan akal (kemampuan) berpikir manusia adalah berdimensi kemampuan untuk menafsirkan segala apa yang diterimanya dari lingkungan luar dan dalam dirinya. Menarik kesimpulan dan membahasakannya. Inilah yang paling membedakan antara akal manusia dan akal binatang. Kesadaran akal hewan adalah merespon apa yang diterimanya dari dalam dan luar dirinya tanpa disertai kesadaran untuk mencapai kesadaran lebih tinggi dan mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih dari apa yang telah ditetapkan dalam kesadaran akalnya. Ketika wahyu ditanamkan pada lebah : 16. An Nahl 68. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia” maka respon logika yang dipenuhi oleh lebah ini adalah melaksanakan “perintah” dari apa yang diwahyukan. Respon diberikan terbatas berdasarkan reaksi dari dalam dan luar diri lebah tanpa disertai kemampuan untuk mengolahnya menjadi apa yang disebut sebagai “peradaban”.

Karena itu, logika adalah satu komponen dari kontempelasi reaksi dan kemampuan berpikir (kesadaran) atas kejadian. Secara alamiah, logika bekerja untuk memberikan jawaban terhadap maksud/tujuan. Kecepatan reaksi dari unsur-unsur yang membentuk hasil seringkali lebih cepat dari evaluasi hasil. Misalnya kecepatan mengetik. Ada orang yang mampu mengetik 600 ketukan per menit. Jari-jari tangannya seolah memiliki pikiran sendiri. Bereaksi terhadap respon jari-jari yang lain. Supir secara otomatis akan menginjak rem ketika mobil yang sedang dikendarainya mendapati halangan. Keputusan atas pengaruh dari luar dirinya dan pada dirinya membangun kesadaran “otomatis” untuk melakukan tindakan. Berpikir rasional dengan segala pemahaman membutuhkan waktu lebih lama. Karena itu respon yang cepat tidak dilakukan manusia. Kita menyebutnya berpikir dan membahasakannya dalam satu model komunikasi (bahasa). Bahasa adalah reaksi logis dari seluruh reaksi yang diterimanya melalui verbal ataupun isyarat.

Kita, memang bisa menyederhanakan logika dan bahasa sebagai satu kesatuan untuk mengkontempolasikan kesadaran. Namun, toh kita menyadari bahasa verbal selalu disertai juga dengan bahasa-bahasa lain untuk meningkatkan derajat pemahaman (bahasa isyarat, bahasa tubuh, reaksi wajah) yang juga merupakan suatu kondisi kesadaran yang dipahami oleh logika sehingga kita bisa memahami dengan lebih baik, apa yang sesungguhnya tersurat dan tersirat. Senyum dengan bahasa yang keluar yang sopan, berbeda dengan bahasa yang santun dan nada yang getas….. (hanya sekedar contoh).

Ujung-ujungnya seeh, mau yang setuju atau membantah judul postingan ini, tetap saja dia pakai logikanya. 😀 .

Emang logika itu untuk orang berakal. Hanya orang berakal saja yang bisa memahami petunjuk. Karena itu kata tidakkah kamu berpikir, memikirkan bertebaran sangat banyak dalam Al Qur’an. Kata al-‘aql (sebagai kata dasar) malah tidak dijumpai sama sekali, tapi derivasinya yang menunjukkan kita seharusnya melakukan aktivitas akal. Jadi bukan untuk membekukan akal. Derivasinya adalah berpikir, merenung, ilmu, pandangan, persepsi, mencermati. Jelas itu adalah permainan dari logika. Dari pengertian itu maka kita bisa bilang logis (masuk akal, dapat dipahami secara rasional) atau nggak.

Dunia matematika dan komputasi tak pernah jauh dari logika. Tidak ada komputer yang bisa bekerja kalau tidak bisa melakukan tindakan logis ketika menjalankan perintah. Pada dasarnya seluruh informasi adalah bit logis 1 dan nol; nihil dan ada. Ini logika dasar yang dari sudut filsafat dan praktis tidak pernah terbantahkan lagi. 🙂

Jadi … he…he… aneh ya… kalau logika ini pernah menjadi perdebatan di kalangan ummat. Atau saya saja yang “mendewakan akal?”. Tapi jelas, manusia harus selalu bersilaturahmi dengan akalnya, tanpa akal, tidak ada syariat, tidak ada kewajiban sholat, puasa, atau apapun juga. Syarat beribadah itu berakal, artinya mampu berpikir.

Pemahaman silogisme kalau A=B dan B=C maka A=C. Jelas para pakar manapun berijtihad menggunakan kemampuan logikanya.

Sebenarnya, saya begitu yakin ini jelas-jelas dipahami oleh para pakar itu. Yang memprihatinkan bukan tidak menggunakan akal atau berpikir logisnya, karena itu tidak bisa dihindari dan sudah menjadi sifat dan potensi yang diberikan kepada manusia. Yang lebih berpersoalan adalah dengan keinginan untuk menafikkan akal dalam logika memahami ayat dan syariatnya. Kita akan cenderung menerima tanpa memperkuat daya analisis sebagai pedang berpikir. Karena itu perintah, “lihatlah… lihatlah sekali lagi… ” tidak optimum tanpa memahami kelogisan setiap aspek kehidupan. Ujung-ujungnya, yang bekerja adalah fanatisme yang kerap dipahami menjadi taklid buta. Mengikuti tanpa akal dan pengetahuan yang diproses oleh akal dan hatinya.

Namun, bagaimanapun… terimakasih atas pencerahan dari Mas Shoddiq yang menyadarkan saya, betapa sering kali saya juga simpan akal saya di tempat lemari pakaian atau karatan karena jarang dipakai. 😀

20 Tanggapan to “Dunia dan Syariat Tidak Butuh Logika Tho!?”

  1. kurtubi said

    Iyaa yaa.. akal dan wahyu menjadi bulan-bulanan pedebatan. Pengusung akal, menempatkannya di atas segala²nya sementara pengusung wahyu, juga sebaliknya. Jadi artinya digedor nurani, akal dan hati… semoga terus bergetar… 🙂

    @
    Pengusung akal (jika dia beriman) memakai wahyu untuk menggetarkan hati dan akalnya. Begitu juga pengusung wahyu. Tak terpisahkan dan semestinya bukan tidak perlu diperdebatkan, didiskusikan, dibahas. Kalau menempatkan di atas segala-galanya, kita akan kehilangan makna berakal, kita juga akan kehilangan cara pandang menilai sesuatu berbasiskan iman dan akal. Lebih jauh lagi… kalau menjadi “berfanatis” karena sebagian saja yang dipakai, maka kita kehilangan lebih banyak lagi…. 😦

    Suka

  2. alex said

    Aneh… padahal banyak pertanyaan dalam Al-Quran yang menunjukkan penggunaan akal. Misal saja, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?” seperti ayat yang berulang dalam Surah Ar-Rahman. Itu kan menyuruh kita berpikir juga sebenarnya, mengkaji diri sendiri, memperhatikan setiap detak jantung, deru darah, udara yang kita hirup…

    Bagi saya, akal-logika dan hati nurani itu pendukung utama keimanan. Islam tidak mengenal benar yang namanya dogma ala POKOKNYA. Syarat beragama dalam Islam sendiri, sejauh kebodohan saya, ada dua syarat utama: yaitu Baligh dan Berakal…

    Jika memang agama dan Quran itu dari Allah Yang Maha Benar, kenapa mesti takut dengan akal? Bukankah semua berasal dari Dia juga?

    Ah… postingan bagus, Kang. 😉

    @
    Mas Alex… saya juga tiba-tiba merasa aneh… dalam pikiran saya, semua urusan itu tidak pernah keluar dari urusan akal, karena hanya akallah yang akan menjustifikasi, bahkan soal kebaikan dan keburukan, termasuk soal keimanan sekalipun….

    Suka

  3. almirza said

    Akhi, jangan mendewakan akal
    Cukup gunakan saja :mrgreen:

    @
    Saya sangat mendewakan akal… aduh gimana atuh… tapi saya masih mencari-cari juga… dewa itu tinggalnya dimana…. 🙂

    Suka

  4. Akhi, jangan bicara kalau tidak tahu ilmunya :mrgreen:

    @
    Aduh ana jadi malu, ya ustadzna ya maulana…
    saya hanya mencari rujukan dari satu proses belajar… mohon petunjuknya.
    al insanu mahalul khata wa nisya
    😀

    Suka

  5. Makasih. Sambutanmu atas tulisanku itu sungguh membuatku tersenyum senang. 🙂

    Perlukah logika? ini pertanyaan yang luar biasa anehnya (dalam otak berpikir saya).

    Ya, memang amat sangat aneh bahwa sang bloger “misterius” itu menentang keberadaan logika. Mungkin karena menolak logika itulah, pemikirannya sering keliru (fallacy). Salah satu contoh kekeliruannya ini telah aku ungkap di Ekspresi cinta yang syar’i

    @
    Betul Mas, agak sulit sebenarnya kita pahami mengapa konsepsi seperti ini bisa muncul dalam arena ummat Islam yang nota bene memiliki kita olah dan penghargaan tinggi untuk “kesadaran dan kemampuan untuk memberikan penilaian atas sebab akibat, umpan balik, dari setiap pengamatan dan kejadian, termasuk tentunya dalam urusan berkenalan, saling memahami, pertunangan, sampai ke jenjang final.

    Suka

  6. hahaha, mas agor, komen saya itu cuma gojekan buat Almrza, kok…hehehehehe! jgn dimasukin hati 😉

    @
    ha..ha…ha… Bang Almirza emang gojekannya asyik.. saya juga tersenyum-senyum dibuatnya.
    Tentu saja dimasukkan ke hati dan membuat hati menjadi riang karenanya…… 😀

    Suka

  7. Herianto said

    Kalo ada kalimat : “akal saja tidak cukup…”
    Apakah berarti akal menjadi tidak berguna untuk memahami din-NYA… 😆

    @Shelling Ford
    Kayaknya itu memang asli suara hatimu Joe… :mrgreen:

    #Sorry mas Agor, saya OOT buat nyentil si Joe yg suka nyetrik, tapi antik, eh unik… 😀

    Sorry Joe… Mohon ma’af lahir batin :mrgreen:
    Eh sudah ya…

    @
    Kalo ada kalimat : “akal saja tidak cukup…”
    Apakah berarti akal menjadi tidak berguna untuk memahami din-NYA…

    —>
    Pertanyaan tanpa butuh jawaban ini adalah pertanyaan yang terlalu berat untuk saya pahami.
    Namun, saya sendiri inginnya menjawab : pada sebagian jawaban akal mampu untuk mengenalnya. Namun untuk memahamiNya, sampai batas akal saja…. akal yang di kurung dalam badan ini 😀

    Suka

  8. El Za said

    Assalamualaikum Wr Wb.

    segala yang berlebihan tidak baik.

    Kambing dan batu jelas tidak diberi amanat agama karena tiada berakal atau tidak dapat menggunakan akalnya untuk memahami perintah agama.
    tetapi orang yang menolak kebenaran karena kesombongannya sebagai mahluk yang merasa berakal juga mengundang Murka-Nya, ini posisinya jauh lebih hina dari kambing, karena kambing tidak secara sengaja menolak kebenaran, kambing tidak mampu memahami kebenaran.

    Orang yang beriman ada diposisi paling baik, sebagai mahluk berakal, tetapi bersedia tunduk kepada kebenaran yang diturunkan Allah SWT. melalui para Rasulnya, karena mempergunakan akalnya untuk memahami perintah dan larangan agama.

    kalau tidak mau memakai akalnya untuk memahami kebenaran, apa bedanya dengan kambing? bahkan jika berlangsung lebih lanjut bisa menjadi lebih rendah dari hewan ternak. Itulah tujuan syetan yang sebenarnya, agar manusia lebih menuruti hawa nafsunya daripada menggunakan akal budi untuk membaca dan memahami kebenaran.

    hmm…
    kata-kata saya selalu sederhana ya, nggak pernah pakai istilah rumit, atau mungkin terlalu sederhana? entahlah, yang penting mudah dipahami sesama mahluk berakal.

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Wass.wr.wb. Memang begitu Mas El. Sejak lama saya kurang memahami apa artinya riya. Ada hadis yang menyatakan :”tidak akan masuk surga seseorang bila masih ada setitik riya dalam hatinya”. Kalau direnungkan, betapa berlepas diri dari kesombongan itu “sepertinya” nyaris tidak mungkin bagi manusia yang hidup dalam dunia yang penuh saling bersaing, bahkan juga dalam kalangan ummat beragama yang ada dalam kumpulan mereka yang shaleh. Lama-lama, sedikit lebih terpahami, riya memang suatu kondisi yang memang tidak layak berada pada dada manusia…..Wass.

    Suka

  9. gama said

    Nice blog………….

    Mohon maaf bila informasi ini mengganggu dan tidak berhubungan dengan tema sobat…..

    Saya hanya ingin berbagi sedidikit tentang …..Cara tepat menyulap BLOG WORDPRESS menjadi sumber dollar.

    Sobat bisa jadikan wordpress menjadi blog bisnis. Setiap klik di blok sobat akan mendapatkan sekitar Rp.1,- sampai Rp.2,-. selama ini wordpress melarang penggunaan javascript sehingga untuk memasukkan iklan insentif tidak bisa. Untuk itu sobat bisa memilih alternatif lain untuk dapat tetap memberikan dollar gratis.

    informasi dan petunjuk silahkan klik di :
    gallery-c5lxeuuycpfssic.usercash.com

    @
    trims infonya Mas…pengunjung blog saya sedikit kok… sehari paling 600-1500 klik saja, jauh lebih tinggi biaya akses yang dikeluarkan sehingga Rp 1 – 2 tidak menarik. Tapi pernah saya terima survey… dan di dalam satu survey itu, ada uang 2U$… nah kalau bisa mencapai angka begitu… menarik lho apalagi kalau tiap jam….

    Namun, begitu terimakasih atas infonya. Saya tetap akan mempertimbangkannya.

    Suka

  10. Perempuan said

    Akal? lah ya perlu
    “….Hanyalah orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran” (Q.S Ar-rad 13:19)

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih berganti terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (Q.S 3:190 dan 2:164)

    @
    Betul Mba “perempuanNya”. Kemudian marilah kita renungkan/pikirkan kembali. Seberapa besar seeh kita telah menggunakan (baca : mengoptimumkan) akal kita untuk mendekatkan diri kepadaNya atau untuk memperoleh gaji atau hasil perdagangan atau melakukan penelitian, atau untuk mengimani sesuatu dengan akal kita.!

    Berapa besar sentuhan yang terjadi ketika kita melihat seekor kecoa berlalu dan kita mengagumi ciptaan Allah yang mengontrol “ukuran kebersihan” rumah kita?. Seberapa besar kemampuan kita mencegah tikus masuk rumah sambil berpikir bahwa betapa cerdasnya tikus-tikus itu memilih jalannya. Seberapa besar getaran batin kita ketika melihat cahaya bulan yang menyinari malam, seberapa besar akal kita gunakan ketika kita menghiasi jilbab yang dipakai agar setiap laki laki mengagumi jilbab kita (atau seberapa sederhana dan simpelnya), seberapa “rasa” kita ketika wewangian yang dipakai membuat kaum laki-laki berdesir hatinya atau sebaliknya, seberapa besar Axe yang dipakai pemuda macho menguggah selera gadis….

    Itu hal-hal yang mungkin disampaikan Allah lebih kecil dari pada khasanah penciptaan langit dan bumi. Apalagi kita memikirkan lebih jauh tentang penciptaan langit dan bumi …..

    Dimanakah akal itu kita pakai….

    Suka

  11. El Za said

    Assalamualaikum wr. wb.

    puncak kesombongan adalah keingkaran akal terhadap kebenaran Allah SWT.
    inilah yang menjadi musuh Allah SWT, vonisnya azab yg kekal di neraka, Naudzubillah.
    saya rasa tidak perlu lagi ditanyakan kekal tidaknya vonis itu bagi org kafir, satu detik saja di neraka itu sudah naudzubillah, sangat mengerikan.
    Jika Allah mengatakan azab kekal bagi org kafir, maka saya meng_imani itu, karena yang menjamin adalah Allah Yang Maha Kekal (maka hal itu pasti terjadi), begitu pula dgn sorga yang kekal disisi_Nya, bagi org-org beriman yang diridhoi_Nya.
    Tentu beda, jika yang berjanji adalah manusia, manusia hidupnya tidak kekal, walaupun sesorang berusaha menepati janji seumur hidup mungkin tidak akan lebih 100 tahun saja.
    mungkin Maz perlu posting khusus bab panasnya neraka ini, nanti mungkin saya bisa ikut nyumbang sumber.
    diatas level itu, (maaf)masih setara binatang ternak, yaitu org-org yg berbuat zalim karena kelemahan dirinya, mungkin khilaf, lalai, atau tidak sengaja.

    Saya sendiri tidak yakin bakal masuk surga, telah begitu banyak dosa yg saya lakukan, sengaja ataupun tidak, mungkin memenuhi langit dan bumi, jangankan dosa dengan hati, yg secara fisikpun masih begitu banyak. Tetapi yang saya yakini, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih Penyayang, karena itu saya selalu berdoa, semoga Allah Ridho kepada saya dan keluarga saya kaum muslimin muslimat mukminin mukminat untuk mencapai Husnul Khatimah, dan berharap dengan segenap kerendahan hati semoga Allah Berkenan mengampuni seluruh dosa-dosa (binatang seperti) saya ini.

    Wassalmualaikum wr wb.

    @
    Wass. Wr.Wb.
    Mas Elz… saya mengomentari balik pada postingan ya…isinya layak diketengahkan 😀

    Suka

  12. […] Terbaru El Za on Dunia dan Syariat Tidak Butuh …BINA on Menulis Buku dan Menulis di Me…Arifcha MW on Selamat Datang Para Nabi Baru&…Who am I on […]

    Suka

  13. pacaranislamikenapa said

    Yang perlu dibedakan dalam hal ini adalah antara “akal” dan “ilmu mantiq”. Apakah yang dimaksud dengan “logika” itu pasti “ilmu mantiq”??. Dan apakah “akal” itu sudah pasti berarti “logika”??

    Perkara menggunakan akal dalam memahami wahyu itu pasti dan tidak mungkin tidak. Karena manusia secara “fisik” tidak jauh berbeda dengan hewan sejenis kera. Maka tidaklah mengherankan jika ‘muncul’ teori darwin yang berusaha “menghubungkan kemiripan” biologis kera atas kehadiran manusia, karena ketidak percayaannya kepada wahyu.

    Tetapi yang membedakan kita dengan hewan itu adalah anugrah akal dan anugrah wahyu melalui para nabi dari Allah SWT.

    Berbicara perkara syariat, maka kita berbicara dalil. Dalil yang didasarkan pada Al Quran dan Sunnah serta ijtihad para ulama yang berpegang kepada keduanya. Dan interaksi antara dalil dan wahyu itu telah menghasilkan disiplin ilmu yang tidak ada satupun tandingannya didunia ini. Kita mengenal ilmu fiqh, musthalah hadits, ilmu ushul fiqh dsbnya.

    Yang menjadi (salah satu) “pokok” perbedaan saya dengan pak Shodiq adalah ketika “ilmu mantiq” dianggap sebagai sebuah “standar” dalam memahami dalil. Karena Metode berfikir semacam “ilmu mantiq” itu sendiri tegak atas premis-premis yang sebenarnya tidak selalu konsisten dengan nilai kebenaran itu sendiri dan ia dihasilkan dan dikembangkan oleh para filusuf yang notabene tidak ‘beragama’. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul pemikiran-pemikiran “kebenaran” yang relatif terhadap dalil2 dalam keber-agama-an kita.

    Sedangkan dalam perkara syariat, kita tidak mengenal “kebenaran” relatif. Meski sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam melihat suatu dalil. Bahkan “perbedaan” hasil ijtihad yang dilakukan oleh para ulama yang memang berkompeten dibidangnya dijamin dan diakui oleh syariat. Yang benar mendapatkan 2 pahala, dan yang salah mendapatkan 1 pahala. Dan tidak ada penafikan atas ijtihad yang satu dengan ijtihad yang lainnya.

    Kembali ke pertanyaan saya diawal, jika “logika” yang dimaksud itu adalah akal, maka tidak mungkin tidak akal kita mesti digunakan. Tetapi jika “logika” yang dimaksud adalah “ilmu mantiq” sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Pak Shodiq, maka hal inilah yang kami maksudkan sangat tidak diperlukan dalam memahami syariat. Bolehkah digunakan?? boleh2 saja, tetapi jika ada metode berfikir yang lebih pas, yang betul2 lahir dari interaksi keimanan yang kokoh antara akal dan wahyu, semacam pendekatan ilmu fiqh, ilmu musthalah hadits, ilmu ushul fiqh, dsbnya tentu hal itu mesti kita utamakan, wallahu’alam.

    wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

    @
    Komentar yang bernas 🙂 dan tajam. Agak sulit juga agor mengerti, namun bersyukur malah mendapatkan tambahan pemahaman. Kalau boleh sedikit menambahkan, ya kurang lebihnya begini deh :
    ilmu logika, atau kerap juga disebut sebagai mantiq adalah salah satu model pemahaman yang menjadikan kita mengerti. Awalnya logika Aristoteles sederhananya bilang A=B dan B=C maka A=C. Logika ini dipahami karena keberadaan akal yang dianugerahi kemampuan untuk memilih dalam skala rasional yang menyebabkan kita dapat berpikir dan merumuskan. Singkatnya, logika menjadikan kita memiliki kemampuan untuk menetapkan dan menguji satu kejadian, peristiwa, atau rangkaian peristiwa ke dalam satu tatanan yang kemudian kita pahami sebagai logis. Kelogisan yang otomatis dari beragam pemahaman dengan atau “tanpa proses berpikir” menghasilkan tindakan-tindakan rasional pada manusia.
    Saya beri tanda kutip pada “tanpa proses berpikir” karena sebenarnya dapat dipahami bahwa segala sesuatu berjalan dari satu logika ke logika yang lain. Kecepatan proses mengolah, bisa lebih cepat dari proses berpikir ketika satu stimulus masuk pada diri kita. Namun, bit informasi selalu datang pada logika 1 dan nol dan mengarahkan pada tindakan akal pada satu kondisi. Fisik kita bereaksi terhadap sesuatu merupakan kondisi logis yang datang kepadanya. Misal, disengat kalajengking, maka kita menyebutnya refleks. Akal kita bekerja tanpa perintah rasional, namun akal kemudian memahami tindakan itu jeda kemudian. Akal menjadi komponen berpikir untuk menjelaskan logika. Tentu saja ini berarti akal tidak sama dengan logika. Logika adalah salah satu model berpikir dan akal adalah alat untuk ini.

    Dalam pemahaman agor, ilmu mantiq tidak dibangun dari premis-premis sekuler, tapi lebih sebagai kemampuan akal untuk memahami. Tidak ada dalil (perjanjian yang disepakati) bagi orang yang tidak bisa menggunakan akalnya (akal manusia tentunya), tidak ada dalil bagi mereka yang tidak bisa memahami logika. Begitu juga syariat, tidak bisa dipahami dan dijalankan tanpa memiliki akal, tanpa juga memiliki kelogisan dan keluwesan berpikir….
    Wass.wr.wb.

    Suka

  14. Saya kok malah ga kenal mereka ya? Kurang ilmu neh saya…
    Atau malah mereka yang kurang terkenal? Tau lah, saya lebih cenderung ke opsi yang pertama saja..

    Mengenai logika, penggunaan akal, atau ilmu mantiq ini, saya lebih cenderung pada kesimpulan; tidak mungkin Allah memberikan otak luar biasa ini jika malah melarang manusia untuk menggunakannya.

    Sama seperti Allah menciptakan tangan, lidah, mata bahkan alat kelamin, rasanya tidak mungkin kita dilarang menggunakannya kan?

    Mungkin jalan tengahnya seperti ini, sama seperti alat kelamin, kita boleh menggunakannya, namun dengan ketentuan yang jelas. Ada aturan yang diberikan, misalnya kalo mau PIPIS harus di tempat tertutup, harus dicuci, ga boleh sambil beribadah vertikal, dan semacamnya.

    Atau jika mau berhubungan badan, harus dengan predikat suami istri, sudah disahkan dalam hukum Tuhan, di tempat tertutup, dan persyaratan lainnya.

    Sama MUNGKIN dengan akal, gunakan saja, dengan niatan meningkatkan kehambaan kita pada Allah.

    Bagaimana bos??

    (pertanyaannya adalah, kenapa pake contoh alat kelamin seh?? :mrgreen: )

    Note: Koment yang sama saya tuliskan juga di

    Perlukah logika untuk memahami Syariat Islam?

    @
    Ass. Mansup… saya sampai bosan deh setelah postingan ngecek para blogger yang “membunuh diri”. Padahal selalu ada hal-hal menarik yang datang dari generasi yang kini sedang membuka babak baru, ada wawasan baru, ada cara pandang yang lucu dan tegar tapi kadang penuh gelisah dan bisa juga meratapi atau penuh energi untuk mengubah dunia…. Mudah-mudah mas Fadil berkarya lagi setelah mati (suri) 😀

    Saya memang cenderung prihatin sama “usaha” atau lebih menanggap meningkatkan mutu akal sebagai kekeliruan. Aneh, tidak masuk akal, bahwa manusia “berakal” menutup diri terhadap karunia akal. Begitu sederhananya, seperti kata Mas, ini anugerah Allah, mengapa disia-siakan. Al Qur’an itu pelajaran untuk orang-orang berakal,… tidakkah kamu berpikir…. dan berbagai kata yang menyifati akal. Kalau tidak punya akal, tidak ada kewajiban ibadah, memujinya. Bahkan isi alam semesta itu juga “berakal”, mereka bertasbih….

    Jadi kalau begitu… tanya kenapa? (Sampurna Mild?) 😀

    Suka

  15. Tri End said

    Sy gak ngerti knp mereka anti akal..
    Padahal ada ayat ini….:

    Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (QS Yunus :100)

    @
    kadang saya bertanya dengan ayat ini :
    QS 7. Al A’raaf 179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. 180. Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

    Dan memahami, tentulah dengan akalnya, namun hati begitu kuat mewarnai akal….

    Suka

  16. nursandhi said

    Terima kasih tanggapannya pak Agor..sangat hati2 dan penuh pemikiran, saya sendiri belajar banyak dari tulisan2 (baca:wacana) anda, beberapa nya (menurut saya) benar dan beberapanya (menurut saya) syubhat, dan salah.

    Pak Agor berkata “..ilmu mantiq tidak dibangun dari premis-premis sekuler, tapi lebih sebagai kemampuan akal untuk memahami..” itulah kenapa diawal2 saya menanyakan “akal”,”logika”, dan “ilmu mantiq” itu sebenarnya apa sih? jangan2 kita mengartikan ke-3 hal diatas sebagai sesuatu yang sama(baca: akal ya logika, logika ya ilmu mantiq)..atau beda ‘tipis’ atau kita “menisbatkan” pemahaman baru atas ke-3 hal di atas. Yang ironisnya, jika ke-3 hal pemahaman yang kita duga itu, bertentangan dengan keumuman penggunaannya, tentu sebuah wacana menjadi tidak ‘ilmiah dan tidak ‘berimbang’. Sebagaimana pak Agor memberikan makna ‘lain’ dalam rangka memahami ilmu mantiq itu sendiri.

    Apakah salah?? tidak..jika dalam setiap wacana yang ingin kita angkat itu, kita jelaskan diawal “makna” istilah2 yang akan kita gunakan. Tetapi kenyataannya hanya sedikit yang berlaku seperti itu. Ketika kita bersemangat dengan sebuah wacana ‘semacam pacaran islami’, kemudian untuk mendukung itu kita kenalkan istilah “ilmu mantiq”, tetapi ternyata makna dari istilah itu(ilmu mantiq) kita ganti dengan makna yang lain diluar keumuman penggunaannya. Mungkin saja perbedaannya cukup “tipis”, tetapi yang “tipis” itu justru adalah esensi dalam memahami istilah tsb. Tujuannya tentu agar bagi mereka yang awam mengiyakan wacana yang diberikan.

    Tapi tentunya bapak memiliki sebuah keyakinan akan kebenaran seperti apa yang mestinya bapak miliki. Sehingga dalam konteks ke-individual-an (maaf agak maksa 🙂 ) bapak, tentu bapak ingin diri bapak dan keluarga bapak mengikuti keyakinan akan kebenaran yang bapak miliki. Lantas apakah bapak rela jika kemudian banyak di antara kita yang awam2 ini, menjadi “terjatuh” kedalam lembah pemikiran yang “abu-abu” tanpa kemudian pernah mengenali kebenaran sejati agamanya seperti apa.

    Katakanlah kita terima ‘ilmu mantiq’ guna mengukur apakah ilmu mantiq diperlukan dalam memahami syariat. Dimana “syariat” sebagai produk, Al Quran dan hadits rasulullah SAW sebagai ‘bahan mentah’, maka ilmu2 semacam ilmu fiqh, ushul fiqh, musthalah hadits, bahasa arab, shirah, dsbnya adalah tools yang memang ‘direkomendasikan’ oleh satu2nya orang yang “certified by Allah SWT” sebagai utusanNya yakni Rasulullah SAW. Kemudian ada “tools” lain diluar itu(semacam ilmu mantiq yang dikembangkan para filusuf, yang kemudian “gagal total” menemukan “premis” yang meyakinkan bahwa Tuhan itu memang ada dan berkuasa) yang juga terkadang fungsinya mirip seperti ilmu2 yang saya sebutkan diatas, tetapi tak jarang jika digunakan oleh mereka yang “tidak memiliki keimanan”(sebagai syarat utama sebelum menginteraksikan akal dengan wahyu) maka kebanyakan dari mereka akan tersesat. Pertanyaannya,”produk syariah” manakah (atau yang paling rendah, pendapat manakah) yang kemudian kita pilih dengan akal sehat kita, apakah “produk syariat” yang dihasilkan dari “tools2” yang telah ‘certified’, ataukah dari “tools” yang tidak jelas keberadaannya seperti ilmu mantiq. wallahu’alam.

    Terima kasih atas pembelajarannya pak Agor, mohon maaf jika ada kata2 yang tidak berkenan.

    Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

    @
    Wass. Wr.Wb.
    Mas Nursandhi, terimakasih atas komentarnya yang menurut saya menarik. Saya malah ingin mengangkat lagi komentar seperti ini ke postingan.
    Sebelum saya lanjutkan. Pertama, jangan ragu mengomentari dan menyalahkan kalau keliru. Tulisan disini adalah mewacanakan, satu proses berpikir, bukan untuk hakim menghakimi. Setiap tulisan/pemikiran selalu ada benarnya dan ada kelirunya. Kita manusia, tempatnya salah dan lupa.
    Mengenai logika dan mantiq paling awal di”sepakati” dibangun oleh logika aristoteles. Dalam postingan, beberapa definisi mengenai logika dan silogisme saya link saja, jadi tidak saya uraikan (kepanjangan seeh 😀 ) lagi pula saya anggap sudah umum. Namun demikian, saya menilai logika dalam definisi tersebut yang ada dan dikenal itu adalah penyederhanaan saja. Dalam pemahaman saya, setiap aksi dan reaksi adalah proses logis dari setiap kejadian unsur-unsur. Tidak dipatok pada kelas-kelas wilayah tafsir atau lainnya. Ini boleh saja sekedar untuk sistematika saja. Ilmu Logika, kita sebut ilmu tentunya setelah dikenali dan diteorikan. Ketika kepada lebah diwahyukan agar bersarang…. maka lebah membuat sarang di tempat-tempat yang dibangun manusia. Logika kerjanya mengikuti wahyu Allah, menjadi bit bit informasi, dan seterusnya. Jadi logika komputasi adalah logika ilmu manthiq yang menurut saya “indah” dalam perumusannya. Dari cara berpikir ini, maka saya tidak menempatkan logika pada basis filsafat sekuler atau juga sebagai basis penafsiran (ilmu tafsir). Logika adalah anugerah Allah yang membuat mahluknya bisa bereaksi.
    Berbeda dengan akal. Akal adalah alat yang membuat kita memahami. Kata dasarnya al-aql. Kata ini tidak dijumpai di Al Qur’an dalam bentuk kata dasar, tapi dijumpai bentuknya dalam ragam derivasi seperti ya’qilu, na’qilu, la ‘qiluna, aqillu. Gambaran umum pengertiannya menjadi berpikir (taffakur), merenung (tadabbur), ‘ilm (ilmu), nazhr (pandangan), idrak (persepsi), fikr (pikiran) dan tabashshur (pencermatan yang mendalam) (dikutip dari Sufisme dan Akal, Pustaka Hidayah, hlm 55).
    Jadi memang berbeda dengan pemahaman yang dianggap umum. Jadi, akal adalah segalanya dalam proses berpikir, sedangkan ilmu logika adalah produk yang dihasilkan akal. Logika menjadi basis segala hal yang kita definisikan sebagai ilmu (Misalnya merah maka ilmu merah adalah pemahaman tentang panjang gelombang merah), ilmu pengetahuan (memahami warna merah), dan pengetahuan (pokoknya itu merah, sambil orang buta warna tidak bisa membedakan antara merah dan bukan merah).

    Namun,
    lebih penting lagi neeh 😀 , postingan pendek ini tentu tidak untuk mencontohkan pada ushul al tafsir yang pemahamannya juga pada dasarnya (menurut agor) mengikuti kaidah-kaidah logis yang kemudian disebut ilmu mantiq. Namun, kalau dikatakan bahwa pengetahuan logis itu gagal mencapai pemahaman keberadaan Tuhan itu ada dan berkuasa, agor kira tidak. Sains dan logika mencapai tataran pemahaman bahwa Dzat transenden yang menguasai segalanya itu ada. Filsafat dibangun atas pertanyaan dan bertanya. Jadi tidak pernah selesai. Namun, persoalan pengakuan adanya Tuhan yang berkuasa dan transenden adalah jawaban keimanan, bukan jawaban akal.

    Kalau merujuk pada pemahaman ushul al tafsir dalam segala bahasannya, berarti akan membahas pada wilayah yang terlalu berat deh… membahas ontologi, epistomologi, aksioma dari ulum Al Qur’an… wah… wah… ini bukan kelasnya agor deh. Buat agor seeh… itu juga … semua pendekatan mufassir itu, tentulah menggunakan logika, menggunakan ilmu manthiq juga… Karena itu, agor tidak mau (keberatan) memposisikan sebagai premis sekuler. Itu hanya pendapat lho… bukan untuk yakin-yakinan..

    Nah, ini kemudian yang menjadi sangat penting (menurut agor) :”…apakah bapak rela jika kemudian banyak di antara kita yang awam2 ini, menjadi “terjatuh” kedalam lembah pemikiran yang “abu-abu” tanpa kemudian pernah mengenali kebenaran sejati agamanya seperti apa…?”
    Pengalaman selama ini, saya membaca beberapa buku filsafat Yunani, bagaimana Pikiran Nitsche, Aristoteles, atau tukang gulat Plato, meskipun dangkal dan hanya sedikit mengerti, jujur saja, rasanya pandangan-pandangan itu membukakan berbagai pintu juga. Itu wilayah abu-abu dan wilayah tidak abu-abu adalah Al Qur’an. Itu juga sifat khas manusia, mengetahui panas setelah kulit tersentuh, memahami gelap setelah ada terang, mengalami hapus maka mengerti segar dan nikmatnya air minum. Wilayah itu kita kenali abu-abu, karena kita memegang certified tools. 😀

    Suka

  17. nursandhi said

    Wah..kok namanya anonym..
    btw komen di atas dari saya pak :D, salam kenal.
    wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

    @
    Wass. Wr. Wb.
    Salam kenal kembali. Terimakasih sudi memberikan catatan berharga di blog ini.

    Suka

  18. hendro said

    La diina liman laa aqlalah. Tidak ada agama buat yang tidak berakal. Kita justru disuruh pakai akal kalau mau beragama. Cuma, memang banyak juga yang kebablasan pakai akalnya, sampai-sampai ada yang sholat pakai bahasa Indonesia 🙂 (opo tumon?).

    @
    Iya Mas Hendro, namun menurut yang agor tahu, akal tidak akan pernah kebablasan lho. Tapi, nafsunya yang kebablasan terhadap pemikiran agama. Sholat berbahasa bukan bahasa Arab bukanlah perkara baru. Sebenarnya (kalau tak salah) ini sudah pernah menjadi polemik dari suatu massa. Saya agak lupa, tapi kalau nggak salah salah satu ulama terkenal pun (di masa lalu sudah membolehkan — tapi kemudian meralatnya). Saya belum pernah membaca ada keharusan sholat dengan bahasa arab. Namun, kalau dipahami bahwa contoh Nabi yang memang orang Arab dan struktur bahasa al Qur’an yang unggul, maka pemeliharaan dalam bahasa aslinya merupakan keniscayaan yang diperlukan. Dan Allah melakukan hal ini. Begitu banyak hafiz di antara kita….

    Suka

  19. ganedio said

    Alqur’an penuh dengan logika dalam menyangkal dan membenarkan suatu masalah.

    @
    Dan logika yang kita mungkin tak akan pernah dapat memahaminya…..

    Suka

  20. Elfizon Anwar said

    Mukjizat Allah, orang yang hidup di lingkungan non-Muslim, pada umumnya ketika ia memilih masuk menjadi Muslim, lebih banyak didasarkan atas pertimbangan akal dan ilmu. Berarti, dia menemukan iman dengan dukungan ilmu. Sebaliknya, kita yang lahir di lingkungan Muslim, lebih banyak mengabaikan akal dan ilmu dalam meyakini iman, wajar jika kita tidak bersifat istiqamah dalam menempuh hidup dan kehidupan ini. Oleh karena itu, syahadat itu adalah wujud nyata dari ketinggian ilmu orang yang meyakini kebenaran Islam.

    @
    Ass. Terimakasih untuk catatan pendeknya Mas Elfizon Anwar. Terimakasih juga sudi berkunjung ke blog sederhana ini. Saya sebagian sependapat, memang begitu (mengabaikan ilmu dalam meyakini iman) tapi kadang juga tidak. Ada terdapat pada diri saya untuk selalu menjustifikasi kebenaran Islam dengan mengabaikan pengetahuan logis yang dimiliki. Padahal ketika didalami dan dipahami sedikit demi sedikit, yang kita jumpai dalam pertimbangan akal dan ilmu malah mendukung (membenarkan). Namun, kadang saya terjerumus untuk memberikan konklusi kebenaran, tanpa mau mempertimbangkan akal dan ilmu sehingga menjadi fanatisme tanpa fundamental yang kokoh. Wass, agor

    Suka

Tinggalkan komentar