Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Relatifitas Akhlak

Posted by agorsiloku pada Juli 23, 2008

Kebaikan dan keburukan itu relatif lho.  Di sono tuh, telanjang itu sudah biasa.  Saya sempat senang terkaget-kaget melihat foto ribuan orang berlari-lari bersama, tidak beda dengan sekumpulan monyet, kambing, itik lebih tepat yang digebah oleh penggembalanya.  Beberapa hukum perkawinan diperebutkan untuk mengijinkan kaum sesama jenis entah co atau ce saling jatuh cinta.  Di sono begitu deh… kalau diikuti ya asyik cape deh….

Yah… tergantung dimana tempat dan peradaban (kalau memang beradab) berlaku.  Relatifitas akhlak bisa mengatasnamakan apa saja.  Ada juga artis yang sudah terkenal sedunia (lupa namanya) berkata, “Saya mempertontonkan keindahan tubuh saya sebagai tanda bersyukur kepada anugrah tuhan.  tuhan itu indah dan menyukai keindahan”.

Bagi seorang muslimah, maka batas kesopanan adalah tertutupnya aurat.  Aurat didefinisikan dalam beragam versi.  Namun esensinya pada “terperciknya” hawa nafsu.

Mr. Robin Hood  menggabungkan kebaikan dengan kejahatan.  Toh dia pahlawan di mata masyarakat yang dibantu, dan penjahat di mata kaum borjuis yang hartanya diambil untuk dibagi-bagikan.

Teks-teks suci dielaborasi dan disesuaikan dengan kebutuhan nafsu kekuasaan, politik, dan kepentingan golongan perubahan.  Perubahan  harus diikuti dan teks-teks suci harus disesuaikan dengan kedalaman alam berpikir para pemerhatinya.

Artinya, sebagian dari manusia bertahan dengan pandangan akhlak sebagai bench mark absolut, dan sebagian lagi harus mampu berkesesuaian dengan perubahan zaman.  Yang mempertahankan akhlak sebagai alat penyejuk jiwa memiliki juga kecenderungan keberagamaan yang puritan dan kitab suci menjadi jaminan petunjuk yang mengontrol perilaku ahlaknya.

Dengan kata lain, perilaku moral tergantung lingkungan budaya dan pandangan dari para pelakunya terhadap komunitas dalam berbuat baik dan buruk.  Termasuk mencampuradukkan yang baik dan yang buruk.  Banyak contoh dimana relatifitas akhlak bekerja seperti Mr. Zorro.  Mencuri demi memberi makan anak, menjual cinta untuk segepok uang, dan sebagainya dan sejenisnya.

Dari masa ke masa perubahan terus terjadi, dari puritan menjadi modernis.  Apa yang dulu sakral sekarang menjadi sakril  atau sakrul atau apalah?.  Yang mempertahankan ketradisonalannya, dianggap ketinggalan jaman dan tidak mampu beradaptasi pada perubahan.  Perubahan adalah satu-satunya yang tetap.

Lalu pada batas mana relatifitas akhlak melewati batas-batas dan seberapa mampu akal melihat melalui sudut pandang moral (atau hukum yang disepakati – normatif)?.

Kalau saya seeh, lebih suka bilang, relatifisme akhlak dinilai oleh akal.  Akal berkontribusi terhadap penilaian baik dan buruk, adil dan curang, terpuji atau tercela.

Kadang ada contoh yang agak sulit :  “Ini sup dagingnya dari bahan yang diharamkan.  Siapa yang mau?.” Semua menjawab tidak (maksudnya semua yang mengikuti pesan dari agamanya).  “Sekarang, ini sayur lodeh, tanpa daging.  Enak juga rasanya.”.  Semua yang lapar menjawab : “Mau !”.  Kalau yang ini mau nggak : “Sop daging halal yang dibeli dari uang curian, yang dihidangkan  kepada tamu-tamu yang datang !”.

Kalau pilihannya begini bagaimana :”Diundang sama direktur atau pejabat pemerintah yang dulunya kere, sekarang sudah jadi pejabat tinggi lalu, sebagai tanda syukur, mengundang makan di hotel mewah bintang lima”.  Disinyalir uang yang diperolehnya adalah hasil korupsi (tapi kita nggak tahu — atau pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu).

hmmm…mmm seberapa kita kerap merelatifisir akhlak….?

2 Tanggapan to “Relatifitas Akhlak”

  1. @Kalau pilihannya begini bagaimana :”Diundang sama direktur atau pejabat pemerintah yang dulunya kere, sekarang sudah jadi pejabat tinggi lalu, sebagai tanda syukur, mengundang makan di hotel mewah bintang lima”. Disinyalir uang yang diperolehnya adalah hasil korupsi (tapi kita nggak tahu — atau pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu).

    hmmm…mmm seberapa kita kerap merelatifisir akhlak….?

    Pertanyaan anda kok sulit banget ya ? Sampai bingung mau jawab apa ? Saya kalo makan bahkan nggak pernah mikir kalau makanan itu asalnya dari mana. Ada makanan ya tak makan gitu. Mikir sih pernah tapi tidak saat makan. Mungkin saat termenung-menung apa gitu, atau saat membaca tulisan anda mungkin.

    Tapi topik anda ini menarik : Menurut anda bagaimana cara kita untuk menghindari hal-hal semacam itu ?

    Masalah lain lagi : Bagaimana cara kita membatasi diri sendiri untuk tidak berburuk sangka kepada pihak lain sekaligus menjaga diri kita terhadap hal-hal yang anda posting di atas.

    Kalau kita tidak yakin betul kalau dia korupsi – dengan tidak memakan makanan yang dihidangkan atau protes batin dengan alternatif lain – tidakkah itu artinya kita telah menghakimi pihak lain tanpa bukti. (setidaknya di batin kita)

    SALAM YA

    @
    Inilah pertanyaan yang saya juga sama sulitnya untuk menarik/menyimpulkan. Apakah tidak usah kita makan, makan saja dan mohon ampun dan mengucapkan bismillah, emang gue pikirken !, ataukah karena kita tidak ingin berburuk sangka (atau indikator memang ada) maka berbaik sangka, santap saja !.
    Di sinilah memang ahlak direlatifisir, di sini kita merasakan mencari pembenaran, pada sisi-sisi pembenaran mana yang kita ambil maka kita mendapatkan keuntungan dari pembenaran yang kita lakukan. Minimum, pembenaran di alam dunia…
    Jadi, aku juga bingung.. kok nanya ke sendiri aneh-aneh begitu… 😦

    Suka

  2. madopolo said

    @Agor
    Saya rasa baik dan buruk bukan relatif. Bagi kita Umat Islam baik dan buruk nyata. Buruk adalah perbuatan Syaithan. Dan Firman Allah mengatakan Syaithan itu nyata. Buruk itu menjadi tdk nyata karena akal membedakan memakai nafsu/Ego. Cth yg diambil anda tadi:Kalau pilihannya begini bagaimana :”Diundang sama direktur atau pejabat pemerintah yang dulunya kere, sekarang sudah jadi pejabat tinggi lalu, sebagai tanda syukur, mengundang makan di hotel mewah bintang lima”. Disinyalir uang yang diperolehnya adalah hasil korupsi (tapi kita nggak tahu — atau pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu).

    hmmm…mmm seberapa kita kerap merelatifisir akhlak….?
    Itukan SUBHAT. Maka tinggalkan
    Banyak cth2 anda sodorkan diatas akhirnya akhlak menjadi relatif dgn hukum2 normatif. Mengapa anda tdk mempergunakan hukum2 Allah yg.jelas. Klu kita pergunakan hukum2 dunia utk mencari kebenaran atau akhlak yg baik pasti itu Relatif apakah itu berdasarkan AKAL sehat atau sdh dipengaruhi nafsu. Wasalam

    @
    Perlu contoh lebih banyak, agar relatifitas yang terjadi tidak melampaui sumbu-sumbu absolut yang menimbulkan semakin keragu-raguan dan pengaruh nafsu.
    Mas Madopolo bisa memberikan contoh-contoh lainnya.
    Jadi, pada contoh di atas, maka tidak usahlah kita datang memenuhi undangan karena ada unsur dugaan (dan sepertinya nyata) bahwa hartanya hasil korupsi, jadi tergolong haram. Jadi kita tinggalkanlah…. skenario begitukah yang akan terjadi, apakah seorang ustad atau ulama akan menolak undangan untuk berceramah di sana?.
    Apakah yang menasehati mampu mengamalkannya?. Namun, terlepas dari hal-hal begitu, saya setuju, yang subhat dalam akal berpikir kita, memang tinggalkanlah… haditsnya juga bilang begitu, AQ juga tentu akan mengatakan begitu (musti dicari di ayat yang mana ya) … 😀

    😀

    Suka

Tinggalkan komentar