Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Siapakah Yang Berhak Mencap Seseorang/Golongan Sesat?

Posted by agorsiloku pada Juli 18, 2008

Pertanyaan ini kurang lebih sama saja dengan pertanyaan : Siapa yang berhak mencap seseorang adalah seorang yang shaleh?, siapa yang berhak mencap seseorang jujur?, siapa yang berhak mencap seseorang pencuri?, siapa yang berhak mencap seseorang berkelakuan seperti monyet… eh maaf manusia.  Siapa yang berhak mencap seseorang atau golongan sebagai teroris agama.

Namun ini lebih spesifik menyangkut kepada agama.  Arus utama agama adalah kitab sucinya.  Maka siapa yang berhak mengatasnamakan kitab sucinya untuk menyatakan seseorang atau sekelompok manusia yang berbeda sikap dan penafsiran terhadap kitab suci yang sama sebagai sesat, sebagai pendosa?.

Pertanyaan bisa dipersulit atau dibuat direlatifkan dengan pernyatan logikal, siapa yang paling berhak menafsirkan kebenaran ayat-ayat dari kitab suci?, khususnya setelah Nabi akhir yang wujud fisiknya telah tiada berabad silam?.

Sebelum dijawab pertanyaan mudah ini, kita bisa melihat (dan merasakan) kira-kira apa ya kesimpulan akhir dari pertanyaan-pertanyaan sejenis yang kerap dan sering diramaikan dalam diskusi-diskusi tak kunjung akhir itu.     😀

Kalau kesimpulan akhirnya pada sebuah posisi yang merelatifkan kebenaran sehingga tidak ada satupun yang berhak melindungi kelompoknya terhadap semua penafsiran dan mengasumsikan semua penafsiran menjadi benar, maka ummat akan menempatkan kitab sucinya di tataran bawah dan dikalahkan pikiran-pikiran logikal untuk menafikkan peran kitab suci sebagai tuntunan ahlak dan tauhid.  Kalau itu yang menjadi harapan jawaban dalam sebuah perdebatan panjang, maka jelas yang terjadi akan semakin mentidakdayagunakan kitab suci sebagai alat ukur kebenaran.  Membuat kitab sucinya tidak bisa melahirkan kebenaran moral dan tauhid dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat : jelas bukanlah pilihan ummat yang berusaha memegang teguh agamanya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Bagaimana kalau penafsiran-penafsiran yang terjadi menimbulkan pengelompokkan dan saling sesat menyesatkan.  Yang dinilai tersesat juga jelas melihat yang diluar kelompoknya adalah sesat.  Hanya karena jumlah dan kekuatan yang berbedalah yang menyebabkan “mereka” yang mayoritas lebih “berkuasa” untuk “bertindak”, bahkan dengan kekerasan yang ditimbulkan.  Demikian juga minoritas, mengatur strategi dan pilihan-pilihan logis untuk mempertahankan kelompoknya dan melakukan perekrutan untuk memelihara kelanggengan kelompoknya.

Jadi kongkritnya : Berhak nggak ummat mayoritas mencap sesat?.

Lha bukan soal mayoritas atau minoritas kok : emangnya yang minoritas tidak menganggap mayoritas sesat?.

Kalau opini saya sih jelas saja, saya akan mencap seseorang pencuri ketika dia mencuri, tapi saya tidak akan memukulinya beramai-ramai karena seseorang jelas-jelas mencuri.  Biarlah hukum yang bekerja.  Tapi jelas saya harus meningkatkan daya dan perlindungan terhadap sistem keamanan rumah atau kendaraan yang dimiliki agar terhindar dari kemungkinan pencurian berikutnya.  Karena itu, saya menaruh apresiasi atas pilihan MUI dan banyak organisasi negara Islam yang menjelaskan posisi terhadap tuntutan yang diyakini.  Alangkah lebih baiknya jika semuanya bisa dijalankan dengan santun, terorganisir dan terkendali.  Mudah-mudahan dengan begitu, dia ingat dan kembali.  Tapi bagaimana kalau tidak?.

Perlindungan.

Nah, bagaimana perlindungan itu dilakukan di negara yang tidak memberikan keputusan terhadap kerisauan sebagaian warga negaranya?  Tapi kan negara kita bukan negara hukum?.  Negara kita kan negara demokratis? tiap orang punya hak dan kebebasan untuk sesat atau tidak (Soal ini jelas Allah juga menegaskan kalau mo sesat yo sesat saja).  Apakah kita perlu menyelenggarakan pilkada atau pemilu untuk memutuskan bahwa satu aliran itu sesat !.

Susah juga neh beropini, tapi kalau saya merasa saya sangat membutuhkan penegasan dan penjelasan dari orang yang dihormati, dikagumi, atau otoritas manapun untuk menjelaskan sebuah posisi dalam menghadapi kasus-kasus aliran.    Siapapun dia, apapun jabatan dan pekerjaannya, apalagi kalau kredibilitasnya diakui maka “mencap” adalah sebuah petunjuk nyata terhadap ragam aliran yang muncul tak habis-habisnya.  Di sisi lain, jelas pula dibutuhkan kesadaran karakteristik Islam yang bebas dan membebaskan adalah bagian yang kerap menjadi perhatian.

Sepanjang yang saya pahami, menjadi Islam adalah hubungan pribadi seorang hamba dengan penciptaNya, tapi tidak juga berarti ini ada di ranah privat.  Hubungan yang terjadi adalah horisontal dan vertikal.  Kalau aliran-aliran yang muncul menimbulkan ketergantungan sebab akibat yang menyebabkan kebergantungan kepada Allah digantikan oleh pemimpin, aturan-aturan iuran yang ketat atau fasilitas-fasilitas dunia dengan pesan-pesan ketergantungan, maka saya akan mewaspadai sebagai bagian penyesatan.  Dan dalam logika ini, saya akan mencap sesat atau meyimpang dari tuntutan.  Tidak perduli apakah sudah ada fatwa atau belum.

Apakah saya berhak : Jelas saya berhak !.  Selesai.  Apakah saya benar?.  Jawabnya :  Sepengetahuan saya benar, mungkin tidak benar, tapi jelas Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban pada waktunya. Bukan saya, juga bukan Anda !.  Jadi, kalau tidak setuju bahwa saya telah mencap sesat, maka sampeyan juga kalau tidak setuju, jangan mencap saya sesat dunk……. 😀

8 Tanggapan to “Siapakah Yang Berhak Mencap Seseorang/Golongan Sesat?”

  1. truthseeker said

    Pertanyaan ini kurang lebih sama saja dengan pertanyaan : Siapa yang berhak mencap seseorang adalah seorang yang shaleh?, siapa yang berhak mencap seseorang jujur?, siapa yang berhak mencap seseorang pencuri?, siapa yang berhak mencap seseorang berkelakuan seperti monyet… eh maaf manusia. Siapa yang berhak mencap seseorang atau golongan sebagai teroris agama.

    Nice topic..!!
    Sebelum kita menjawab sebuah pertanyaan, seyogyanya kita harus mengenali pertanyaan itu sendiri dg akurat. Dalam hal ini, kita harus membedakan pertanyaan ttg hal2 yg bisa dibuktikan dan mana2 yg “tdk bisa dibuktikan” (oleh manusia).
    Sebelumnya saya ingin mereview perbedaan hukum yg dibuat manusia dg hukum yg dibuat oleh Allah (agama). Ada suatu perbedaan gamblang. Yaitu bhw kita tdk pernah menemukan dlm hukum manusia ttg hal2 yg berkaitan dg isi hati, niat, tujuan krn semua dianggap sbg suatu yg ghaib yg tdk bs disentuh oleh manusia. Misalnya:
    Hukum Manusia:
    1. Tdk ada hukumnya kikir.
    2. Tidak ada hukumnya memberi sesuatu dg ikhlas ataupun tdk.
    3. Tidak ada hukumnya munafik.
    4. Tidak ada hukumnya pengecut.
    5. Dll.
    Namun sangat terasa jelas bhw manusia membutuhkan adanya hukum tsb, shg kekurangan itu diisi dg adanya hukum sosial, spt: dikucilkan, tdk disukai dll.
    Berbeda dg hukum manusia mk hukum Agama mampu menyentuh semua aspek dg adanya Tuhan sbg Yang Maha Tahu.
    Dari penjelasan ini diharapkan bhw kt bs membedakan pertanyaan mana yg bs kita jawab dan ygmn yg hanya Allah yg tahu. Tentunya manusia selalu berusaha utk jg mampu menjawab siapa yg jujur dan tidak, siapa yg sholeh dan siapa yg tdk namun semua jawaban itu hanyalah spekulasi yg akhirnya hanya Allah yg menentukan. Berbeda dg pertanyaan ttg pencuri, pertanyaan ini bs masuk dlm kategori hukum manusia.

    Pertanyaan bisa dipersulit atau dibuat direlatifkan dengan pernyatan logikal, siapa yang paling berhak menafsirkan kebenaran ayat-ayat dari kitab suci?, khususnya setelah Nabi akhir yang wujud fisiknya telah tiada berabad silam?.

    Secara personal bagi saya sdh sangat jelas siapa yg bisa yg paling berhak menafsirkan ayat2 kitab suci. Sangat tdk mungkin Allah & Rasul-Nya membiarkan Al-Qur’an tdk didampingi oleh mrk2 yg ahli AQ (bukan ahli tafsir). Selain dasar aqli jg dasar Naqli (dr ayat AQ sendiri). Saya meyakini bbrp ayat AQ yg menyebut siapa2 yg berhak/ahli AQ, namun bedanya saya dg yg lain adalah dlm penafsirannya.

    Kalau kesimpulan akhirnya pada sebuah posisi yang merelatifkan kebenaran sehingga tidak ada satupun yang berhak melindungi kelompoknya terhadap semua penafsiran dan mengasumsikan semua penafsiran menjadi benar, maka ummat akan menempatkan kitab sucinya di tataran bawah dan dikalahkan pikiran-pikiran logikal untuk menafikkan peran kitab suci sebagai tuntunan ahlak dan tauhid. Kalau itu yang menjadi harapan jawaban dalam sebuah perdebatan panjang, maka jelas yang terjadi akan semakin mentidakdayagunakan kitab suci sebagai alat ukur kebenaran.

    Sebelum kita maju lebih lanjut, maka perlu diklarifikasi dulu yg dimaksud dg kebenaran relatif. Saya beranggapan bhw sering kt salah dlm menepatkan/menggunakan relatif. Yg terjadi lebih bhw yg dimaksud adalah subjektivitas kebenaran.
    Apakah bedanya?. Kebenaran subjektif adalah kebenaran yg hadir krn berbeda person/golongan/kepentingan. Sedangkan kebenaran relatif adalah kebenaran yg bertingkat, sebagaimana jika mengatakan bhw :”Indonesia panas”, ini artinya Indonesia relatif lebih panas. Tapi jk ada 2 orang indonesia yg satu mengatakan udara hari ini panas, dan yg satu lg mengatakan udara hari ini sejuk, mk kedua pernyataan tsb adalah subjektif benarnya.
    Kalau dalam agama mungkin relativitas ini sering digunakan dalam membedakan derajat seseorang. Misalnya derajat kehusu’an dalam sholat, derajat keimanan dll. Sehingga menjadi jelas bhw semua kebenaran yg relatif ini tdk boleh dikelompokan sbg kebenaran subjektif. Kita tdk bisa/boleh menghakimi kebenaran relatif. Saya tdk boleh dikatakan sesat jika saya sholat tdk bisa sekhusu’ anda.
    Dengan penjelasan ini semoga jelas bhw kebenaran relatif tdklah membuat tdk berdaya Kitab Suci, kebenaran relatif melindungi Kitab Suci dr klaim2 sepihak. Yg hrs diminimalkan adalah kebenaran subjektif.

    Susah juga neh beropini, tapi kalau saya merasa saya sangat membutuhkan penegasan dan penjelasan dari orang yang dihormati, dikagumi, atau otoritas manapun untuk menjelaskan sebuah posisi dalam menghadapi kasus-kasus aliran. Siapapun dia, apapun jabatan dan pekerjaannya, apalagi kalau kredibilitasnya diakui maka “mencap” adalah sebuah petunjuk nyata terhadap ragam aliran yang muncul tak habis-habisnya.

    QS:2:213: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
    Kalimat yg mas Agor sampaikan ini (sebelum ayat yg saya kutip) adalah kalimat fitrah. Artinya semua manusia sebetulnya menginginkan seorg figur yg bisa diyakini kebenarannya. Allah telah memberikan kt kebutuhan atas figur ini namun di sisi lain Allah jg memberikan kt nafsu (sombong, dengki dll), shg sangat tdk mungkin Allah menurunkan Kitab Suci tanpa figur pemberi penjelasan (QS:43:29, QS:14:4, QS:7:184, QS:32:24). Dan begitu Allah menyiapkan manusia2 yg sbg pemberi petunjuk:

    QS:13:7 Orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.

    Nah, bagaimana perlindungan itu dilakukan di negara yang tidak memberikan keputusan terhadap kerisauan sebagaian warga negaranya? Tapi kan negara kita bukan negara hukum?. Negara kita kan negara demokratis? tiap orang punya hak dan kebebasan untuk sesat atau tidak (Soal ini jelas Allah juga menegaskan kalau mo sesat yo sesat saja). Apakah kita perlu menyelenggarakan pilkada atau pemilu untuk memutuskan bahwa satu aliran itu sesat !.

    Saya pikir negara kita adalah negara hukum… 😛
    Menurut pendapat saya tdk ada suatu agamapun yg menghukum seseorg yg sesat. Sebagaimana tdk boleh ada suatu institusi islam yg menghukum umatnya yg tidak sholat. Yg jadi masalah adalah bukan jika seseorg menjadi sesat, namun yg menjadi topik adalah menyebarkan ajaran yg “sesat”.
    Nahh jika kt bicara ttg penyebaran agama yg sesat (mengaku sbg agama tertentu namun bertentangan dg dasar2 agama tsb). Dalam menghadapi masalah ini mk saya berpendapat ada 2 cara penyelesaian:
    1. Jika tdk punya Sang Pedoman maka harus dilakukan dialog yg tdk ada habis2nya dan biarkan semua umat tsb mendapatkan informasi secara netral dan menyeluruh.
    2. Jika kita meyakini adanya Sang Pedoman dlm setiap masa, mk akan mudah, yaitu dg menyerahkan permasalahan tsb kpd fatwa Sang Pedoman.

    Wassalam

    Suka

  2. haniifa said

    hua.ha.ha. 😀
    berpendapat ada 2 cara penyelesaian:

    1. Jika tdk punya Sang Pedoman maka harus dilakukan dialog yg tdk ada habis2nya dan biarkan semua umat tsb mendapatkan informasi secara netral dan menyeluruh.

    Baru diberi komentar pedes sedikit….
    wahhh “PETUNG”… “MENTUNG”.. emang nyah “PATUNG” 😀
    —————————————————-

    2. Jika kita meyakini adanya Sang Pedoman dlm setiap masa, mk akan mudah, yaitu dg menyerahkan permasalahan tsb kpd fatwa Sang Pedoman.

    Pedoman sudah jelas pedoman itu adalah Sunatullah (baca: Al Qur’an) yang dibawa oleh Rasulullah Nabi Muhammad s.a.w

    Wahhh…. oey kriteria-kriteria dunk… Sang Pedoman adalah kriteria gue dunk… emang nyah dang-ding-dunk 😀

    Kayak anak teka…. minta preman… eh sale… permen 😛

    Suka

  3. haniifa said

    Mau diskusi or dialog KRITERIA… he.he.he.
    Siap-siap sayah… dengan nyang ini neehhhh 😀
    Ulama adalah pewaris Nabi. Siapa yaaa yg menobatkan Yusuf Qardawi dan “ulama2″ lainnya jadi ulama? Kriteria ulama apa aja? dan siapa yg buat kriteria tsb? pusiiinnng….

    Repeat
    1. Siapa yang menobatkan Sang Pedoman ?!
    2. Kriteria apa yang menjadi Sang Pedoman ?!
    Until… pusiiinnng….

    (sampean khan yang pusing sendiri 😀 )

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  4. haniifa said

    @Mba-mba and or Mas-mas CENGENG

    Repeat
    dan siapa yg buat kriteria tsb?
    Until… Kiamat

    (silahken sampeyan menunggu sang pedoman)

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  5. madopolo said

    @Haniifa
    Saya setuju dg truthseeker. Bahwa pd setiap jaman ada pembimbing/rujukan/Ulil Amri. Anda bertanya siapa yg menentukan KRITERIA mereka tsb. Saya jawab Allah yg memwahyukan melalui RasulNya yg Mulia Nabi Yg Pertama dan Terakhir. Tapi banyak yg menutup mata atas kenyataan ini.Krn rasa kedengkian dan Egonya seperti yg tercantum dlm QS 2:213. Kreteria ini bukan manusia yg menentukan, krn manusia tdk berhak menentukan Pemimpin dlm Agama (Amri). Anda mengatakan Ulama pewaris Nabi. Ulama yg MANA?. Tanpa berpegang pd mereka yg Allah sampaikan melalui Rasulnya kita akan tersesat. Anda mengatakan Sunah Rasul. Sunah yg mana? Sunah yg disampaikan oleh perawih2 dan dimasukan dlm buku2 Hadis mereka? Yg ternyata msh diperdebatkan keshahihannya. Disamping ada perdebatan mengenai kesahihannya ada yg bertentangan. Lalu yg mana hrs kita yakini? Wasalam

    Suka

  6. haniifa said

    @Madopolo
    Saya juga setuju dengan anda “Bahwa pada setiap jaman ada pembimbing/rujukan/Ulil Amri”

    Jaman saya bujangan…. dibibing sama orang tua dan orang yang saya tuakan… baik guru, teman… bahkan diri sendiri.

    Jaman saya nikah…. membimbing keluarga sendiri

    Insya Allah, suatu ketika jaman saya kedepan bisa jad “Wali”… atau biasa disebut “Walimah” dalam acara penikahan putri sayah.

    Wahh… banyak sekali jamannya 😀

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  7. madopolo said

    @Haniifa
    Alhamdulillah. Mudah2an, Kami doakan pd waktu menjadi Wali nanti sampai akhir hayat tetap bahagia. Jgn sampai terjadi seperti banyak yg terjadi. Klu sedang makan enak mertua lewat nda dikenal. Wasalam

    Suka

  8. haniifa said

    @Madopolo
    Insya Allah…
    Kalau soal orang tua dan mertua sayah 😦 … silahkan mas Madopolo Baca ini —::Click::

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

Tinggalkan komentar