Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Diskusi via Email antara Koordinator JIL

Posted by agorsiloku pada Juni 29, 2006

Catatan : saya –copy paste-kan diskusi ini yang dipublikasikan oleh yang bernama “yusuf anshar”, apa adanya. Mengikuti milis islam_liberal di awal kehadirannya, saya anggap cukup menarik. Saya beruntung “bahwa” bahwa di milis itu ada tokoh yang bernama HMNA, yang sangat membantu dalam melakukan komparasi antara permasalahan logika dan keberagamaan.
Diskusi Yusuf anshar dengan Ulil ini agak panjang, namun saya tidak berani memotongnya, mengingat esensi dan otensitasnya harus dihargai.

Ulil Abshar Abdalla) dengan Orang Awam
Date: Sun, 12 Dec 2004 18:59:35 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” (yusufanshar@yahoo.com)
Subject: ingin tahu
To: ulil99@yahoo.com

Salam sejahtera untuk Anda dan rekan2 semua. Saya ingin mengetahui lebih mendalam tentang pemikiran Islam Liberal. Sejujurnya, saya adalah orang yang awam, yang tidak pernah mengecam pendidikan formal yang tinggi, baik dalam ilmu agama maupun umum. Saya hanya lulus SMA, pernah sempat kuliah di PT dan D3 tapi semuanya putus di tengah jalan. Saya lebih senang belajar mandiri (autodidak) terutama lewat membaca buku-buku, baik buku umum, terutama buku agama (Islam). Oleh karena saya orang awam, saya mengharap uraian Anda tidak dengan bahasa yang sukar (njlimet). Sesuai dengan pesan Rasulullah saw: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka!” Saya rasa Anda menerima Hadits di atas, karena Hadits tsb agaknya tidak bertentangan dengan ilmu psikologi komunikasi modern. Dan setahu saya JIL menerima hal yg demikian. Mudah2an Anda bersedia membagi pengetahuan dengan saya yg awam ini dan terimakasih sebelumnya.

Wassalam,
Yusuf
Date: Mon, 13 Dec 2004 10:45:36 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: ingin tahu
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com

Salam,
Silahkan mengunjungi situs JIL http://www.islamlib.com. Semua bahan-bahan yang anda butuhkan tentang JIL ada di sana.

Selamat membaca!

Ulil
Date: Tue, 14 Dec 2004 17:03:34 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: tentang kalian
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Setelah saya membuka-buka dan menelaah beberapa link dalam situs islamlib (utamanya link “Tentang Kami”), saya akhirnya mengambil kesimpulan mengenai Islam Liberal sbb:

Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran terhadap Islam secara bebas dengan mengabaikan aqidah dan qaidah yang ada dalam Islam itu sendiri. Sistim pemikiran seperti ini jelas bathil dan sesat. Kenapa demikian? Begini logikanya:

a. Semua upaya penafsiran (pemikiran) sebebas apapun dia, tentu menggunakan metode, kaidah atau proses berpikir tertentu; kalau tidak demikian, itu bukan tafsir sebagai buah pikir melainkan lebih pantas disebut ngawur, nglantur atau nglindur. Kesimpulannya, tidak ada pemikiran yang bebas nilai, dia harus menggunakan kaidah berpikir tertentu agar diakui sebagai buah dari suatu proses berpikir.

b. Islam memiliki sejumlah nilai-nilai (aqidah dan qaidah) itu pasti (dan itu diakui oleh JIL sendiri), terlepas dari adanya sejumlah perbedaan pendapat terhadap beberapa materi dalam aqidah/qaidah tersebut. Nilai-nilai itulah yang harus digunakan agar buah pemikiran (penafsiran) kita terhadap Islam mendapat pengakuan sebagai bagian dari Islam. Sebagaimana halnya sebuah karya ilmiah dalam bidang ilmu tertentu, tidak akan mendapat pengakuan apa-apa bila tidak menggunakan metode ilmiah yang sesuai dengan bidang pembahasan karya tersebut, apakah itu fisika, sosiologi dan lainnya.

c. Nah, karena JIL tidak menggunakan aqidah dan qaidah Islam secara disiplin dan konsisten (kecuali yang sesuai dengan selera berpikirnya) dalam melakukan penafsiran bagaimana mungkin layak untuk diterima sebagai bagian dari Islam. Bahkan sudah sepantasnya kalau menurut Islam – sekali lagi menurut Islam – JIL adalah sesat dan keluar dari Islam; meskipun menurut pemikiran liberal sah-sah saja. Jadi, bertaubatlah!

“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Dan peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri…” (QS 6:70)

“Orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mendebat ayat-ayat Kami.” (QS 7:51)

Wassalam,
Yusuf
Date: Sun, 19 Dec 2004 22:40:10 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: tentang kalian
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com

Salam,
Sebaiknya anda belajar dan membaca lebih banyak agar tidak mudah menganggap bathil suatu ide.

Islam tidak membutuhkan orang-orang yang picik-pikiran dan suka menyesatkan sesama Muslim.

Baca lagi dan baca lebih banyak lagi.

Ulil
Date: Mon, 20 Dec 2004 17:58:17 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: picik
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Saya sangat setuju dengan anjuran anda utk banyak membaca (itu hobi saya). Tapi tolong jawab pertanyaan saya:

Apakah menerima semua pendapat atau tidak menolak satupun pendapat adalah syarat utk terhindar dari picik-pikiran?

Apakah tidak ingin dikatakan sesat bukan salah satu bentuk picik-pikiran?

Lebih jauh lagi (saya ingin tahu aqidah kaum liberal); apakah menurut anda tidak ada dikhotomi antara haq dan bathil, benar dan salah, lurus dan sesat?

Wassalam,
Yusuf
Date: Mon, 20 Dec 2004 19:26:11 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: picik
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com

Salam,
Anda boleh menerima atau menolak pikiran atau ide. Tetapi tidak berhak menyesatkan suatu ide. Itu bukan cara yang baik untuk berdiskusi. Apalagi anda hanya membaca sekelumit pikiran, dan dengan gampang menuduh suatu pikiran yang sekelumit itu sebagai sesat. Ini adalah model Islam a la Hartono Ahmad Jaiz (anda kenal, pengarang buku “Paham Sesat dalam Islam” itu?). Paham Hartonoisme ini yang membuat situasi diskusi dalam Islam menjadi tidak kondusif, karena dengan mudah sesorang disesatkan, dikafirkan, disyirikkan, dst.

Akidah kaum Muslim liberal adalah bahwa setiap pemahaman kita atas Islam adalah relatif, karena tidak ada yang tahu kebenaran mutlak selain Allah dan rasul-Nya. Kita adalah manusia relatif yang mencoba untuk memahami kebenaran. Wahyu telah berhenti. Setiap orang bisa mengutip ayat atau hadis, tetapi pada akhirnya apa yang ia katakan adalah pendapatnya sendiri, belum tentu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Oleh karena itu, sesat-menyesatkan seperti yang anda lakukan adalah bertentangan dengan semangat dasar Islam sebagaimana dipahami oleh kaum liberal. Kamu mengikuti semangat yang dikembangkan oleh para mujtahid dahulu, “Ra’yuna shawabun yahtamilul khatha’, wa ra’yu khashmina khtha’un yahtamilush shawab.”

Anda boleh mengkritik paham Islib. Kami juga mengkritik pemahaman kelompok-kelompok Islam lain. Tetapi kami tidak setuju dengan sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan. Sebab, kami menganggap bahwa jalan kebenaran menuju kebenaran adalah banyak. Bukan hanya satu. Islam satu, yes. Tetapi dipahami secara beda-beda. Tuhan satu, yes. Tetapi cara manusia mendekati dan memahami Tuhan berbeda-beda. Qur’an satu, yes. Tetapi tafsirnya beda-beda. Saya menolak anggapan bahwa satu jenis tafsir atau pemahaman adalah paling benar, dan yang lain dianggap sesat.

Islam liberal tidak pernah mendaku, sebagaimana kaum Islam fundamentalis, bahwa dirinya paling benar.

Kita semua adalah “salik”, dalam istilah tasawwuf, pejalan-kaki yang sedang mencari kebenaran. sementara jalan menuju kepada kebenaran itu banyak ragamnya.

Terakhir, apakah ada dikotomi antara “haq” dan “bathil”? Jelas ada. Tetapi bagaimana kita mendefenisikan tentang dua istilah tersebut, itulah masalah dasarnya. Orang-orang dengan semangat Hartonoisme akan dengan mudah menuduh bahwa pendapat-pendapat yang berlawanan dengan dirinya adalah bathil. Inilah yang terjadi dalam Islam selama ini: semua kelompok menganggap dirinya yang paling haq, yang lain bathil. Orang Sunni menganggap orang Syiah bathil, begitu juga sebaliknya. Di dalam Sunni sendiri, masing-masing kelompok membathilkan kelompok yang lain. Bagi saya, Islam menjadi buruk citranya karena hal-hal semacam ini.

Islam liberal menghendaki bentuk pemahaman Islam yang lain, yakni pemahaman yang menempatkan semua perbedaan firqah, mazhab, isme, pandangan, ideologi, aliran dan lain-lainnya sebagai sebuah kekayaan Islam, dan tidak boleh disesatkan atau dikafirkan. Hanya dengan begitu Islam menjadi suatu peradaban yang kaya. Islam akan menyempit menjadi agama yang kerdil jika orang-orang yang berpandangan picik bahwa pemahamannya sendiri adalah paling benar (seperti anda?) marak di mana-mana, jika Hartonoisme berkecambah dan bertambah-tambah.

Semoga penjelasan ini mencukupi.

Ulil
Date: Tue, 21 Dec 2004 18:27:55 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: baru awal
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Terima kasih, karena pemahaman saya ttg pemahaman kaum liberal semakin bertambah.

Namun penjelasan anda bukannya mencukupi justru baru merupakan awal dari diskusi kita yg mungkin akan memanjang dan melebar. Saya harap anda tetap bersabar meladeni.

Ungkapan2 yg anda kemukakan memang sepintas cukup indah dan menyejukkan, namun sesungguhnya sangat lemah dan menggelikan. Satu contoh saja: imbauan anda agar tidak ada yg disesatkan atau dikafirkan karena Tuhan satu tapi cara mendekati dan memahami Tuhan berbeda-beda; kita adalah pencari kebenaran dan jalan utk menuju kebenaran itu banyak ragamnya. OK!

Taruhlah, jalan menuju Tuhan dan Kebenaran itu beragam dan berbeda-beda, tapi apakah diantara sekian banyak jalan itu tidak ada yang sesat? Apakah aliran “seks bebas” dan “bunuh diri massal” dengan alasan ritual penyembahan kpd Tuhan, tidak bisa dikatakan sesat?

Bisa saja anda dengan kemampuan berolah-kata sedemikian rupa dapat mengelak penggunaan cap “sesat” terhadap aliran seperti itu; dengan mengatakan itu adalah bentuk “pencarian Tuhan yg belum selesai” atau “kebebasan berekspresi di hadapan Tuhan yg kebablasan” atau “puncak kegilaan manusia dalam ber-Tuhan” dan seabrek jungkir-balik dansa bahasa yg lainnya; namun saya kira kita dan ummat manusia sedunia tetap saja lebih mudah menerima penggunaan kata “sesat” thd mereka.

Nah, kalau kita (atau kebanyakan kita) bisa menerima cap “sesat” thd golongan2 “kebablasan” semacam itu, mengapa kita harus menolak penggunaan kata “sesat” thd sejumlah golongan2 tertentu meski dg kadar dan tingkat kesesatan yg berbeda-beda? Spt ungkapan Tuhan dlm al-Quran ttg “kecondongan yg sedikit” dengan kalimat “… laqad kidta tarkanu ilaihim syaian qalilan” [QS 17:74] dan “kesesatan yg jauh” dengan kalimat “… faqad dhalla dhalalan ba’idan” [QS 4:116].

Itu hanya satu contoh komentar saya thd uraian anda. Komentar2 yg lainnya saya simpan dulu agar diskusi kita tidak terlalu memanjang dan melebar.

Di atas saya katakan ini baru awal dari diskusi kita karena saya melihat titik pangkal pembicaraan yg mudah2an bisa mengurai benang atau jaring kusut dari pemikiran “Jaringan Ummat Liberal” (usul saya JIL berganti nama dulu menjadi JUL). Titik awal diskusi kita adalah ucapan anda: “…. apakah ada dikotomi antara haq dan bathil? Jelas ada. Tetapi bagaimana kita mendefenisikan tentang dua istilah tersebut, itulah masalah dasarnya.” Yah, itulah masalah dasarnya. Kalau begitu, apa defenisi kaum liberal sendiri ttg al-haq dan al-bathil?

Wassalam,
Yusuf
Date: Tue, 21 Dec 2004 19:39:49 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: baru awal
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Salam,
Setahu saya, yang suka bermain silat lidah, dan bermain dengan retorika bahasa yang seolah-olah meyakinkan adalah kaum fundamentalis. Ayat dan hadis kerap dihambur-hamburkan. Satu dua kalimat langsung penuh sesak dengan kutipan-kutipan dari Kitab Suci. Seolah-olah suatu pembicaraan yang penuh dengan ayat suci akan benar dengan sendirinya.

Saya belajar di pesantren. Pengalaman yang saya perolah dari pesantren adalah: kiai-kiai saya jarang mengutip ayat dan hadis, karena mereka khawatir keliru menafsirkan. Paling jauh mereka mengutip pendapat ulama atau kiai yang lain. Kalau pun keliru, tak apa-apa, toh mereka manusia. Itulah pengalaman yang membekas pada diri saya hingga sekarang. Dan itulah yang membuat saya agak “muak” melihat kaum fundamentalis di kampus-kampus yang setiap bicara selalu memercikkan ayat dan hadis di mana-mana.

Ayat dan hadis bisa mengalami inflasi jika diobral dengan cara demikian.

Kembali ke pokok soal yang anda (saya tak mau pakai kata “antum” a la kaum fundamentalis di Jakarta) persoalkan. Soal kebebasan menafsir.

Kebebasan menafsir sudah menjadi kenyataan dan fakta dalam sejarah pemikiran Islam. Itu terjadi dari sejak zaman sahabat dan makin berkembang pada generasi-generasi ulama yang datang belakangan. Ribuan tafsir dari pelbagai sudut pendekatan ditulis oleh ulama. Ada tafsir yang liberal atau yang literal. Ada tafsir dengan pendekatan sufi yang sangat “bebas” dan ada tafsir “bil ma’tsur” a la “al-Durr al-Mantsur” yang sangat taat dengan pemahaman harfiah.

Ribuan tafsir itu tak mungkin ditulis jika tak ada kebebasan berpendapat dan berpikir dalam Islam.

Yang saya kaget, umat Islam sekarang, yang umumnya tak belajar tradisi pemikiran Islam yang kaya, tiba-tiba membenci kebebasan berpikir. Ada-ada saja alasannya. Salah satu alasannya: kebebasan berpikir itulah yang menyebabkan Iblis terjatuh dan sesat. Sebab Iblis memakai pikirannya sendiri dan menolak perintah Tuhan. Ketauhilah saudaraku, argumen ini sudah pernah dipakai oleh para ulama dahulu yang menentang penggunaan qiyas atau silogisme, tetapi toh ulama lain tak terpengaruh dengan pendapat ini, dan tetap menganggap qiyas sebagai salah satu asas penting dalam istinbath hukum.

Alasan lain yang paling populer, dan tampaknya di sinilah anda (sekali lagi bukan “antum”) terjatuh, adalah bahwa jika kebebasan berpikir dibiarkan, maka orang akan cenderung kebablasan. Apakah demi kebebasan berpikir “seks bebas” dihalalkan? Apakah demi kebebasan, cara-cara ibadah dengan bunuh diri massal diperbolehkan? Kalau semua pendekatan kepaa Tuhan adalah sah, apakah cara “gila” yang ditempuh oleh sekte seperti “Ranting Daud” itu absah?

Dan seterusnya.

Saya sungguh heran dengan tanggapan semacam ini. Orang-orang yang berjuang untuk tagaknya kebebasan pikiran, baik di Barat atau di Timur, tidak pernah berpikir bahwa hal itu untuk menghalalkan “seks bebas”. Yang patut dicurigai adalah, kenapa soal seks begitu mengganggu pikiran umat Islam. Apakah mereka begitu “ngeres” pikirannya, sehingga dipenuhi dengan seks melulu?

Kenapa hal yang pertama terlintas di pikiran anda begitu mendengar soal “kebebasan berpikir” adalah soal seks? Apakah anda mempunyai masalah dalam hal ini (maaf)?

Semua agama, bukan hanya Islam, mengharamkan zina. Semua agama mengharamkan pembunuhan, pencurian, berbohong, menipu, bersikap tak hormat pada orang tua, dst. Apa yang dalam tradisi Yahudi disebut sebagai “Sepuluh Perjanjian” (Ten Commandement) adalah merupakan ajaran-ajaran yang universal, bukan saja dalam agama Yahudi tetapi juga Islam dan agama-agama lain. Praktek-praktek penyembahan agama yang melanggar prinsip itu, akan dengan sendirinya ditolak oleh agama-agama besar.

Di negeri-negeri yang menjunjung tinggi pemikiran yang bebas, pencurian dan pembunuhan tidak dengan sendirinya halal demi kebebasan berpikir.

Di sinilah saya percaya, bahwa akal manusia dan wahyu Tuhan sebetulnya bertemu dalam satu titik. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taymiyah sebagai “Muwafaqat Sharihil Ma’qul li Shahihil Manqul”.

Bagaimana jika wahyu dan akal bertentangan?

Saya mengikuti pendapat Ibn Rushd, seorang filosof dan ahli fikih dari abad 13 M, dalam “Fashl al Maqal Fi Ma Baina al Hikmati was Syariati min al Ittishal”. Menurut dia, jika ada pertentangan antara keduanya, maka wahyu harus ditakwil. Tetapi, hal ini harus dilihat dengan cermat. Tidak semua pendapat akal manusia dengan sendirinya sah. Hanya pendapat yang dalam istilah Ibn Taymiyah disebut “sharih”, pendapat yang dilandasi dengan argumen yang kokoh, dan bukan sekedar memperturutkan hawa nafsu belaka, yang dapat dipertimbangkan.

Apa pendapat yang “sharih” itu? Ibn Rushd sendiri tidak menetapkan suatu ancar-ancar. Bagi saya, ancar-ancar itu tidak ketat, kaku, sebab pada akhirnya yang menentukan sebuah pendapat masuk akal dan tidak adalah kalangan cerdik pandai sendiri. Ibn Rushd sendiri sudah mengatakan dalam “Bidayat al Mujtahid” bahwa “al nushush mutanahiyah wa al waqai’ ghairu mutanahiyah”, teks-teks agama dan wahyu terbatas jumlahnya, sementara situasi sosial terus berubah. Bagaimana mungkin, kata Ibn Rusdh, sesuatu yang terbatas akan mengatasi yang tak terbatas. Di situlah akal manusia dan kebebasan berpikir diperlukan.

Tentang masalah “haq” dan “bathil”, jelas hal itu ada. Yang menjadi soal adalah orang-orang yang sejenis dengan anda yang mudah “membathilkan” pandangan orang-orang yang berbeda. Anda menyebut JIL bathil? Atas dasar apa? Atas dasar kutipan ayat dan hadis yang berhamburan dengan seenaknya itu? Apakah kalau sudah mengutip ayat lalu selesai? Bukankah ayat bisa ditafsirkan macam-macam.

Ambil contoh ayat berikut ini. Ada ayat yang berbunyi, “La tudrikuhul abshar wa huwa yudrikul abshar wa huwal lathiful khabir”. Ayat itu, kira-kira, isinya adalah bahwa Tuhan itu begitu lembut sehingga tak bisa dilihat oleh mata. Oleh karena itu, manusia tak akan bisa melihat Tuhan, meskipun di sorga. Atas dasar ayat inilah kaum Mu’tazilah menolak kemungkinan manusia melihat Tuhan di sorga.

Tetapi ada ayat lain, “Wujuhun yauma-idzin nadhirah, ila rabbiha nadlirah”. Ayat itu kira-kira isinya adalah bahwa orang-orang yang beriman, di sorga nanti, akan melihat Tuhan. Atas dasar inilah kaum Asyariyyah berpendapat bahwa manusia mungkin melihat Tuhan di sorga.

Bagaimana anda mendamaikan antara kedua ayat itu. Kaum Mu’tazilah pakai ayat. Kaum Asyariyah pakai ayat. Mana yang benar.

Intinya, belum tentu kalau anda memakai ayat dan hadis dengan sendirinya anda sudah bisa menyudahi diskusi dan menuduh yang lain salah, sesat, bathil, murtad, kafir, dst.

Saya mengakui adanya yang “haq” dan yang “bathil”. Tetapi saya, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan saya tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat lain. Yang saya lakukan hanyalah mengkritik, tetapi saya tidak akan pernah sampai pada kesimpulan bahwa pendapat lawan saya bathil, kecuali jika pendapat itu jelas-jelas melawan akal sehat. Kalau ada orang berpendapat bahwa membunuh adalah halal, jelas itu batal, dari sudut pandang apapun. Tetapi saya tidak akan mengatakan bahwa cara beribadah orang Kristen dan Hindu adalah batal.

Dalam menghukumi sesutau “bathal” atau “haq”, kita harus memakai dua instrumen: wahyu dan akal. Tidak bisa hanya dengan wahyu. Oleh karena itu, saya keberatan sekali dengan tindakan ceroboh para kaum fundamentalis yang mengobral ayat dan hadis, tetapi mengabaikan penalaran akal sehat.

Ala kulli hal, apa yang saya tulis ini belum tentu benar. Sebab hanya Allah lah yang tahu mana yang benar mana yang salah. Kita hanya berusaha untuk benar.

Ulil
Date: Wed, 22 Dec 2004 17:47:45 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: akal-sehat
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Membaca email anda yg lalu, kesan yg saya tangkap adalah uraian anda lebih banyak merupakan curahan perasaan dan emosi yg campur-aduk (kesal-muak-sinis-kaget-bingung jadi satu). Saya mengerti perasaan anda dan saya turut prihatin dg kekesalan dan kebingungan anda. Namun upaya saya utk sedikit menjernihkan dan menenangkan arus pemikiran kita agak terhambat dg curahan pemikiran (dan emosi) anda yg cukup deras. Barangkali memang begitu cara berpikir dan model diskusi anda dan komunitas anda di utan kayu. Hanya saja saya tak ingin ber-su’u zhann dengan mengatakan bahwa itu salah satu cara anda mengacaukan konsentrasi orang yg ingin berpikir lurus-lurus saja.

Tapi tak apalah, mari kita kembali mengurai benang kusut ketimbang berlarut-larut dlm emosi dan ratapan thd ummat Islam yg memang (saat ini) sedang centang-prenang. Benang-merah uraian kita masih seputar “kebebasan berpikir” dlm kaitannya dg haq & bathil, benar & salah, lurus & sesat.

Ada sedikit kemajuan, karena sepertinya anda sudah mengakui adanya jalan beragama yg sesat dan bathil dg pernyataan anda: “…. praktek-praktek penyembahan agama yang melanggar prinsip itu, akan dengan sendirinya ditolak oleh agama-agama besar”. Meskipun anda belum berani (atau masih malu) menggunakan kata “sesat” di situ, tapi maksudnya kurang lebih sama; karena jika semua agama-agama besar adalah “jalan yg benar” (menurut anda) berarti apa yg “ditolak” oleh mereka adalah “jalan yg salah”. Salah jalan = sesat. Alaisa kadzalik?

Nah, satu jalinan benang kusut telah berhasil kita tarik simpulnya yaitu memang ada jalan yg benar dan ada jalan yang sesat atau “salah jalan” (bila anda tidak tega menggunakan kata “sesat”). Sayangnya, kriteria benar dan sesatnya suatu jalan beragama anda serahkan begitu saja (tanpa jelas dalil dan argumennya) pada dua hal yaitu “akal-sehat” dan “nilai-nilai universal” yaitu nilai-nilai yg terdapat dlm semua agama. Di sini pemikiran kita saling kusut lagi. Mari kita coba uraikan jalinan benang kusut ini dengan menarik suatu titik-temu yg kita sepakati bersama.

Dalam beberapa bagian tulisan anda dalam email-email yg terdahulu anda telah memberikan suatu kesimpulan yg sangat berharga ttg “aqidah” kaum liberal yaitu bahwa “produk akal adalah relatif sedang kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan”. Kalau memang demikian pengakuan dan keyakinan anda, bagaimana kalau kita katakan saja (karena di titik ini pikiran kita sepakat) bahwa:

“Tidak ada ukuran dan kriteria yg terbaik dan tersehat (bagi akal-sehat) utk menentukan benar-tidaknya suatu jalan beragama selain ukuran dan kriteria yg ditetapkan oleh Tuhan.”

Anda setuju dengan pernyataan di atas?

Wassalam,
Yusuf
Date: Thu, 23 Dec 2004 09:26:54 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: akal-sehat
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com

Salam,
Dari mana anda menyimpulkan sejak awal bahwa dalam perspektif Islam liberal tidak ada yang “salah” dan “benar”? Tidak ada “haq” dan “batil”?

Sudah tentu hal itu ada. Yang membedakan anda dengan kaum Muslim liberal seperti saya adalah batasan mengenai dua istilah itu.

Aqidah kami adalah: Islam bukan satu-satunya agama yang benar, dan bukan pula paling benar. Maksud saya “Islam” sebagai nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Kami memandang bahwa kebenaran tersebar dalam semua agama. Oleh karena itu, kami tidak akan memandang agama lain sebagai bathil.

Ada standar universal tentang kebathilan. Hal itu tampak dalam hal-hal yang baik secara wahyu atau akal sehat dianggap batal, seperti tindakan kejahatan yang terkandung dalam “Sepuluh Perjanjian” (Ten Commandement).

Belum tentu hal-hal yang berlawanan dengan ketentuan yang secara harafiah tertera dalam Quran adalah batil. Misalnya, hukuman penjara bagi pencurian yang menurut fiqh sudah memenuhi syarat untuk dikenai hukum potong tangan.

Kenapa demikian? Sebab, dalam kerangka bepikir kami, tidak semua hal yang secara harafiah tercantum dalam Qur’an mesti kita ikuti secara harafiah pula. Kenapa demikian, kita diskusi di lain kesempatan (kalau saya ada waktu).

Sekarang saya akan menanggapi pernyataan anda di bawah ini:

“Tidak ada ukuran dan kriteria yg terbaik dan tersehat (bagi akal-sehat) utk menentukan benar-tidaknya suatu jalan beragama selain ukuran dan kriteria yg ditetapkan oleh Tuhan.”

Apa yang anda maksudkan dengan “jalan agama”? Apakah jalan itu menyangkut ibadah, mu’amalah, akhlaq, adab, atau apa? Sebab agama memiliki dimensi yang kompleks. Di level mana anda mau berbicara?

Apa yang anda maksudkan dengan “kriteria yang ditetapkan oleh Tuhan”? Bisakah anda menggunakan istilah yang jauh lebih standar dalam keilmuan Islam? Sebab istilah “kriteria Tuhan” sama sekali tidak jelas.

Saya tak akan menjawab pertanyaan anda ini kalau anda tidak menjelaskan masalah itu dulu.

Ulil
Date: Thu, 23 Dec 2004 19:42:39 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: kriteria agama
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Saya cukup surprise mendengar pernyataan anda bahwa agama memiliki dimensi yang sangat kompleks. Tadinya saya menganggap kaum liberal mempersempit makna agama pada tataran moral saja. Syukurlah kalau begitu! Bila anda meminta saya memperjelas di level mana kata “agama” yang saya maksud dalam kalimat:

“Tidak ada ukuran dan kriteria yg terbaik dan tersehat (bagi akal-sehat) utk menentukan benar-tidaknya suatu jalan beragama selain ukuran dan kriteria yg ditetapkan oleh Tuhan.”

Maka saya katakan bahwa sebenarnya yg saya maksud adalah “agama” dlm arti yg seluas-luasnya (di semua lini kehidupan). Tapi agar diskusi kita tidak terlalu melebar sehingga bertele-tele (apalagi anda sedang sibuk, mungkin ikut seminar natal dsb) maka dalam diskusi kali ini saya membatasi pada level “aqidah” atau “kepercayaan” saja dulu.

Adapun yg saya maksud dengan “kriteria yang ditetapkan oleh Tuhan” tidaklah terlalu muluk-muluk, anda tidak usah bingung. Persis seperti pengertian kriteria yg terdapat dalam kamus-kamus (kriteria = standar, ukuran, patokan, norma). Dalam kaitannya dengan Tuhan dan Agama berarti kepercayaan dan amalan apa saja dalam beragama yg harus dimiliki oleh seseorang untuk mendapatkan ridha Tuhan. Kalau anda meminta istilah yg lebih islami (ehm…) ya Rukun Iman dan Rukun Islam itu. Tapi saya kira seorang liberalis sejati macam anda lebih senang menggunakan istilah yg universal.

Nah, kalau kedua pengertian di atas kita gabung maka pernyataan tadi bisa diperjelas sebagai berikut:

“Tidak ada standar, ukuran, patokan dan norma yang terbaik dan tersehat (bagi akal-sehat) utk menentukan benar-tidaknya suatu kepercayaan (aqidah) dalam agama selain standar, ukuran, patokan dan norma yang ditetapkan oleh Tuhan.”

Sekali lagi: apakah anda setuju dengan pernyataan di atas? Kalau anda memang sedang super sibuk, cukup dijawab dengan dua huruf “YA” atau “NO”.

Wassalam,
Yusuf
Date: Fri, 24 Dec 2004 06:23:30 -0800 (PST)
From: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com
Subject: Re: kriteria agama
To: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com

Salam,
Jelaskan dulu, apa yang anda maksud dengan kriteria Tuhan dalam masalah akidah.

Urusan akidah dalam Islam tidak sesimpel yang anda bayangkan. Pertengkaran pendapat luar biasa hebatnya. Banyak sekte timbul di sana. Masing-masing mendaku sebagai paling benar, paling sesuai dengan kriteria Tuhan.

Apa yang anda maksud dengan kriteria Tuhan dalam akidah? Apa saja isinya?

Ulil
Date: Sun, 26 Dec 2004 18:37:04 -0800 (PST)
From: “yusuf anshar” yusufanshar@yahoo.com
Subject: kesimpulan dan saran
To: “Ulil Abshar-Abdalla” ulil99@yahoo.com

Meskipun anda tidak menjawab dengan “ya” atau “no” tapi dari tema baru yg anda angkat dapat disimpulkan bahwa anda setuju dan memang tidak bisa tidak, anda mesti setuju dg pernyataan tsb. Karena pernyataan tsb adalah konsekuensi logis dari prinsip kaum liberal sendiri bahwa: “produk akal adalah relatif sedang kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan”. Saya bertanya “setuju atau tidak” hanyalah utk mengingatkan dan menegaskan kembali aqidah dan aksioma tsb. Karena siapapun yg ditanya – asalkan dia tidak atheis – tentang siapa yg paling tahu (segala hal, apalagi ttg agama) apakah Tuhan atau manusia; pasti akan menjawab “Tuhan” tanpa perlu berpikir panjang lagi; meskipun diantara mereka sendiri masih sibuk berdebat ttg “Tuhan”. Yah, di situlah anehnya manusia dan di situlah hebatnya Tuhan yg menciptakan manusia.

Di bawah ini saya urutkan dulu kemajuan dan kesimpulan yg telah kita capai dari diskusi ini:
1. Adanya jalan yg haq, benar, lurus dalam beragama dan adanya jalan yg bathil, salah, sesat dalam beragama.
2. Tidak ada yang paling tahu ttg jalan yg haq, benar, lurus dalam beragama serta jalan yg bathil, salah, sesat dalam beragama selain Tuhan.

Bagaimana cara manusia mendapat ilmu Tuhan itu? Jawabannya ialah lewat Wahyu. Orang yang mendapat wahyu dari Allah disebut Nabi atau Rasul. Berhubung komunitas anda masih mengaku beragama Islam (paling tidak berlabel Islam), maka Wahyu yg dimaksud dlm pembicaraan kita ini tidak lain adalah wahyu terakhir (yakni al-Quran) yg diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (yakni Muhammad saw).

Kalau demikian, berarti kesimpulan di atas kita tambah dengan kesimpulan ketiga sbb:

3. Untuk mengetahui jalan yg haq, benar, lurus dalam beragama serta jalan yg bathil, salah, sesat dalam beragama kita harus merujuk pada firman Allah dalam al-Quran dan sabda Rasul dalam al-Hadits.

Sekarang barulah kita memasuki medan pertarungan sesungguhnya antara semua golongan, sekte dan aliran yg mengaku diri Islam (termasuk JIL). Medan pertarungan itu adalah:

“Mana jalan beragama yg haq, benar, lurus dan mana jalan beragama yg bathil, salah, sesat menurut Allah dan Rasul-Nya (menurut al-Quran dan as-Sunnah)?”

Hal ini sesuai dengan – dan sudah mencakup – pertanyaan anda: bagaimana kriteria dan materi aqidah dalam Islam? Menurut anda, aqidah Islam tidak simpel, sengit dipertengkarkan hingga menimbulkan banyak sekte. Bagaimana ini?

Sebelumnya, ada dua prinsip dan fakta yg harus kita ingat:
1. Aqidah Islam (demikian pula aspek-aspek lain dlm Islam) adalah apa yg dikatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah, bukan apa yg dikatakan oleh sekte-sekte ummat Islam.
2. Sekte-sekte tsb baru muncul jauh sepeninggal Nabi saw dan tidak kita dapati di zaman Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Mengapa di zaman Nabi belum muncul sekte-sekte? Penyebabnya ada dua:
1) Ketika itu wahyu masih turun dan penerima wahyu (yg punya otoritas utk menjelaskannya) yaitu Nabi masih hidup. Sehingga semua pertanyaan yg timbul seputar Islam akan dijawab langsung oleh “nara sumber kebenaran” yakni Allah lewat lisan Nabi-Nya.
2) Sikap para sahabat yg “sami’na wa atha’na” dan tidak suka bertanya yg tidak perlu. Hal-hal yg berkaitan dengan aqidah yg disampaikan oleh al-Quran dan al-Hadits langsung mereka imani dan yg berkaitan dengan amaliyah langsung mereka amalkan.

Perselisihan pendapat yg menjurus ke perpecahan mulai terjadi setelah lenyapnya faktor pertama di atas (Nabi wafat). Kemudian dari zaman ke zaman, perpecahan semakin menjadi-jadi hingga menimbulkan sekte-sekte, seiring dengan makin lunturnya “watak sahabat” (faktor kedua) di kalangan ummat Islam. Lemahnya iman, rendahnya ketaatan serta banyak bertanya dan berdebat merupakan pintu gerbang terbesar (dari sisi internal) bagi timbulnya sekte-sekte dlm Islam.

Adapun dari sisi eksternal, masuknya filsafat dlm tubuh ummat Islam (disamping faktor politik) merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi maraknya sekte-sekte itu. Mengapa demikian? Pekerjaan filsafat hanya dua, bertanya dan berdebat, berdebat dan bertanya, tak putus-putusnya bagaikan “lingkaran setan” (karena bila berhenti berarti tamatlah riwayat filsafat). Seandainya seluruh filsuf yg ada di dunia dibebankan utk menuntaskan satu permasalahan saja sebelum berpindah ke permasalahan selanjutnya, niscaya habis umur mereka dan habis umur dunia, sedang mereka masih sibuk berpikir ttg “apa itu berpikir?”. (Rene Descartes yg sempat diduga mati bunuh-diri, terkenal dg ucapan hampanya cogito ergo sum = aku berpikir maka aku ada. Kalau benar ia bunuh-diri, mungkin saja ia ingin membuktikan kesimpulannya dan tidak ingin kesimpulannya itu dipertanyakan lagi). Apalagi utk memikirkan ttg “akal”, alih-alih utk memikirkan ttg Sang Pencipta akal dan apa yg dimaui Tuhan. Manakala cara filsafat dipakai dlm beragama niscaya kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa selain kekufuran. Kenapa? Karena agama diturunkan bukan utk itu (dipertanyakan dan diperdebatkan). Agama diturunkan utk diimani dan diamalkan. (NB: filsafat dan turunannya sebetulnya berguna untuk membahas sains, bukan agama).

Bercermin dari kedua fakta dan faktor penyebabnya di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa utk mengetahui ajaran Allah dan Rasul-Nya yg benar, kita harus kembali ke masa awal Islam, melihat bagaimana para sahabat pada umumnya (utamanya as-sabiqun al-awwalun, khususnya al-khulafa’ ar-rasyidun) mengimani dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah. Itulah Islam yg masih bersih dari distorsi dan kontaminasi sekte-sekte dan penafsiran-penafsiran yg menyimpang. Bukankah anda sendiri pernah berkata:

“Akidah kaum Muslim liberal adalah bahwa setiap pemahaman kita atas Islam adalah relatif, karena tidak ada yang tahu kebenaran mutlak selain Allah dan rasul-Nya. Kita adalah manusia relatif yang mencoba untuk memahami kebenaran. Wahyu telah berhenti. Setiap orang bisa mengutip ayat atau hadis, tetapi pada akhirnya apa yang ia katakan adalah pendapatnya sendiri, belum tentu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.”
(Saya kutip tanpa perubahan, dari email anda tanggal 20 Desember 2004).

Memang para sahabat termasuk dlm perkataan anda “kita adalah manusia relatif”. Tapi seperti yg saya kemukakan di atas, sikap para sahabat terhadap al-Quran dan al-Hadits tidak seperti kita. Para sahabat tidak suka bertanya dan berdebat, demikian pula tidak suka menakwil dan menafsirkan. Apa yg mereka terima dari Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan as-Sunnah) mereka sikapi dengan iman dan amal. Sehingga apa-apa yg mereka sepakati (ijma’ para sahabat) bukanlah hasil penafsiran dan pemahaman pribadi mereka melainkan hasil dari sikap mengimani dan mengamalkan apa-apa yg disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ijtihad baru mereka lakukan manakala menemukan hal-hal baru yg tidak mereka dapati (secara eksplisit) dalam al-Quran dan as-Sunnah, itupun dengan cara yg sangat hati-hati dan tetap berlandaskan aqidah dan kaidah yg mereka dapati dlm al-Quran dan as-Sunnah.

Dari uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan keempat yg merupakan hasil akhir dari diskusi kita yaitu:
4. Jalan beragama yg haq, benar, lurus menurut Allah dan Rasul-Nya adalah jalan beragama sebagaimana yg telah disepakati (ijma’) oleh para sahabat Rasulullah saw sedang jalan beragama yg bathil, salah, sesat adalah jalan beragama yg bertentangan dengan kesepakatan (ijma’) para sahabat Rasulullah saw.

Keempat kesimpulan di atas – kalau anda menelaah baik2 diskusi kita dari awal hingga kini – pada dasarnya disarikan dari prinsip2 atau pernyataan2 anda sendiri. Jadi saya hanya mencoba memetakan kembali prinsip2 anda dalam bingkai Islam yg terlepas, sementara anda sendiri tidak mau melepaskan label “islam” dari nama jaringan anda (entah karena pertimbangan strategis duniawi ataukah ukhrawi; Allahu A’lamu).

Sekarang mari kita introspeksi. Adakah diantara para sahabat yg tidak menganggap kafir orang yg mempertuhankan Yesus Kristus? Adakah diantara al-khulafa’ ar-rasyidun yg mengkafirkan sesama mereka sebagaimana Syi’ah yg mengkafirkan Abubakar dan Umar? Adakah diantara para sahabat yg menghalalkan wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim? Bagaimana dengan komunitas anda?

Benang dan jaring kusut JIL telah saya uraikan sehingga terpisahlah tali Islam dari tali liberal dengan empat simpul di atas. Kini terpulang kepada anda, mau memegang tali yang mana. “Al-haqqu min rabbika faman sya-a falyu’min wa man sya-a falyakfur”. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memberikan saran dan imbauan berikut:

1. Bila anda mau berpegang dengan keempat asas di atas, berarti anda harus menanggalkan pemikiran liberal anda yg bertentangan dengan ijma’ atau kesepakatan kaum muslimin. Andaikata itu terjadi, saya menyarankan agar anda mengganti nama JIL menjadi JMP (Jaringan Muslim Progresif) misalnya. Seorang muslim yg progresif (berpikiran maju) tidak mesti menanggalkan aqidah dan qaidah keislaman mereka. Anda bisa membahas berbagai isu-isu aktual seputar ummat Islam dengan jujur, terbuka dan kritis tanpa perlu melanggar ajaran Islam.
2. Bila anda tidak mau melepaskan pemikiran liberal anda, maka anda harus melepaskan label “Islam” dari nama komunitas anda; misalnya menjadi JUL (Jaringan Ummat Liberal).
3. Bila anda tidak mengindahkan salah satu dari kedua saran di atas, berarti anda tetap berpegang dengan tali liberal yg kufur dan melilitkannya dengan tali Islam sehingga menghasilkan pemikiran yg kusut dan sesat lagi menyesatkan banyak kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Wassalam,
Yusuf
Diskusi berakhir sampai di sini; ditandai dengan tidak dibalasnya email yang terakhir ini. Sebelum memuat (mempublikasikan) diskusi ini di website, Yusuf Anshar terlebih dahulu mengirim email “pemberitahuan” kepada Ulil Abshar Abdalla tentang akan dipublikasikannya diskusi ini. Namun ternyata email “pemberitahuan” itu tidak kunjung dibalas pula.

19 Tanggapan to “Diskusi via Email antara Koordinator JIL”

  1. riyono said

    dari sini bisa terlihat-tentu dengan akal sehat, bahwa sdr Yusuf memang tidak selevel pemikirannya dengan mas ulil, beberapa kali pertanyaan mas ulil tidak dijawab, bahkan cenderung apologetis dan menghamburkan kalimat2 yang bukan substansi, benar2 khas kaum fundamentalis-ndeso, bisa mengumbar ayat tapi ga bisa mengolah akal, benar-benar ga intelek, makanya peradaban islam mandeg karena konstruk pemikiran ala sdr Yusuf dan hartono. a. jaiz ini, senangnya mentakfirkan, seolah pendepatnya adalah kebenaran itu sendiri. ha…ha..buat kaum muslimin yang akalnya kepake pasti tau kedalaman argumentasi sdr Yusuf dengan mas ulil, pantas saja mas ulil ga mau meladeni….bukan karena takut tapi karena buang-buang waktu….

    Suka

  2. El Zach said

    adalah kewajiban kita untuk menjaga toleransi umat beragama,
    tetapi janganlah kita mengorbankan aqidah kita demi toleransi,
    karena agama lain selain Islam menyembah tuhan lain selain Allah
    barangsiapa yang menyembah atau mengakui ada tuhan lain selain Allah, maka dia termasuk orang kafir.

    berikut hukumnya:

    “Barangsiapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah, maka ia masuk ke dalam neraka.” (HR al-Bukhari)

    Atau ayat-ayat ini:

    Artinya: Sesungguhnya kalian dan sesembahan kalian selain Allah, adalah umpan Jahannam. Kalian pasti masuk ke dalamnya. Andaikata berhala-berhala itu Tuhan, tentulah mereka tidak masuk neraka. Mereka semua kekal di dalamnya. QS. Al-Anbiya’ : 98–99.]

    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) syirik dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapapun yang Dia kehendaki.” (QS. al-Nisa [4]: 48)

    Artinya: Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong.(QS. Al-Ahzab : 64-65.)

    “Dan seandainya mereka berbuat syirik, pastilah gugur amal perbuatan yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’am [6]: 88)

    Artinya: Sesungguhnya bagi orang-orang kafir, baik harta maupun anak-anak mereka tidak akan dapat menolak azab Allah dari mereka sedikit pun. Mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Ali Imran : 116.)

    Artinya: …Jika seseorang di antara kalian keluar dari agamanya lalu ia mati dalam kekafiran maka sia-sialah amal perbuatan mereka di dunia dan di akhirat. Merekalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya (QS. Al-Baqarah : 217.)

    Artinya: Bagaimana Allah akan memberi hidayah kepada orang-orang yang kafir setelah sebelumnya mereka beriman serta telah mengakui kebenaran risalah Muhammad dan telah datang kepada mereka keterangan tentang kebenaran. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Balasan yang akan mereka terima adalah bahwa mereka mendapat kutukan Allah, kutukan para malaikat, serta kutukan manusia seluruhnya. Mereka kekal dalam kutukan tersebut. Mereka tidak akan mendapatkan keringanan siksaan dan tidak pula mereka diberi tangguh (kesempatan).(QS. Ali Imram : 86–88.)

    Artinya: Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka. Allah melaknat mereka dan bagi mereka azab kekal. (QS. At-Taubah: 68.)

    Artinya: Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah : 39.)

    Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka yng mati dalam keadaan kafir akan mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat tersebut. Mereka tidak akan mendapatkan keringanan siksa dan mereka tidak akan dilihat dengan pandangan rahmat(QS. Al-Baqarah : 161–161.)

    Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah makhluk yang terburuk.(QS. Al-Bayyinah : 6.)

    Artinya: Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya dan itulah tempat kembali yang terburuk.(QS. At-Taghabun : 10.)

    Artinya: Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berkelompok-kelompok. Apabila mereka sampai ke neraka itu, dibukakanlah pintu-pintunya dan berkata kepada mereka penjaga-penjaganya, “Apakah rasul-rasul dari golongan kalian sendiri belum pernah datang dan membacakan ayat-ayat Tuhan kepada kalian serta memperingatkan kalian akan pertemuan hari ini?” Mereka menjawab,“Benar (telah datang).” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan kepada orang-orang yang kafir. Dikatakan kepada mereka, “Masuklah ke pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kalian kekal di dalamnya.” Maka, neraka Jahannam itulah tempat terburuk bagi orang-orang yang menyombongkan diri.(QS. Al-Zumar : 71–72.)

    Artinya: Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu meramaikan masjid-masjid, padahal mereka mengakui bahwa mereka adalah kafir. Mereka adalah orang-orang yang amal perbuatannya sia-sia dan mereka kekal di dalam api neraka (QS. At-Taubah : 17.)

    Suka

  3. riyono said

    Ini persis seperti yang disinyalir sdr Ulil, bahwa kesukaan kaum fundamentalis-memang seperti comment terakhir ini, menghamburkan ayat-ayat Alloh, seolah semua permasalah selesai dengan justifikasi al qur-an dimana-mana. please bung!! toleransi adalah nilai universal yang juga diserukan oleh islam, ‘tak ada paksaan dalam beragama’.aqidah tak akan luntur jika kita mau taaruf dan belajar dari kelompok, golongan, masyarakat, agama lain. ini kekurangan umat islam, ga mau belajar. peradaban barat maju juga karena mereka belajar dari islam dulu. ini penyakit intelektual, menganggap semua beres diatasi dengan resep syariah ala kaum fundamentalis, setiap yang berasal dari ‘luar (baca: barat) dianggap sistem kufur, thagut dan kafir….pantas umat islam mundur..bisanya cuma menvonis, menghakimi, tanpa mau belajar dan belajar….

    Suka

  4. agorsiloku said

    Saya waktu pertama kali “mendengar” islam liberal. Pikiran berkata, ini mungkin yang saya cari. Karenanya saya mempelajari lagi, apa itu liberal, apa itu kurzman, apa itu hermeunetika, siapa itu Ulil. Meskipun semuanya dari literatur atau sumber lain. Saya baru tahu istilah kaffah itu dan mencoba memahaminya. Saya juga pernah mendengar Ulil berceramah. So interesting, populis. Sebagai konsep, saya berusaha memahaminya. Saya kemudian memahami betapa pentingnya menjadi fundentalis yang mengerti arti toleransi. Dan dalam kesemuanya, saya ingin menjadi fundamentalis saja, tidak ingin liberal. Setiap orang bisa melakukan pilihannya, termasuk pilihan untuk menjadi sesat lengkap dengan segala atributnya dan lengkap dengan segala konsekuensinya, di dunia dan akhirat. Hanya, sebuah komentar, akan lebih indah kalau mempertajam konsepnya dengan kearifan. Tentunya.

    Suka

  5. El Zach said

    Adalah kewajiban kita untuk menuntut ilmu, entah dari timur atau dari barat, utara atau selatan selama ilmu itu berguna dan tidak melanggar batas-batas yang sudah ditentukan Allah SWT,
    karena tidak semua ide dari bangsa lain itu bisa kita terima,
    untuk apa belajar dan menerapkan ilmu yang hanya menyengsarakan kehidupan kita di akhirat, itu bukan karunia tapi malah bencana.

    yang ingin saya pelajari adalh ilmu Rahmatan lil Alamin, yaitu bagaimana dengan hidup kita yang sangat singkat ini, kita menjadi sebesar-besar manfaat bagi lingkungan kita, kesempatan emas ini sungguh sangat singkat, artinya, kita perlu melihat bagaimana nasib diri kita, saudara-saudara kita, orang tua kita, keluarga kita di akhirat nanti? di neraka abadi atau di surga abadi seperti yang dijanjikan Allah SWT.

    Saya merasa sangat bersyukur, meskipun setiap hari saya bergaul dengan orang asing dan berkutat dengan high teknology karena profesi, saya masih selalu ingat dengan nasihat yang dipesankan ibunda saya, “anakku, hidup dunia ini tak akan lebih dari 100 tahun, dan tak ada sekeping hartamu yang kau bawa mati, karena itu jangan lupa shalat, jangan lupa beramal, krn kelak itulah yang akan abadi menemanimu di akhirat yang abadi, jangan sekali-kali berbuat aniaya kepada orang lain, dirimu sendiri atau siapapun, krn kelak itu akan menyengsarakanmu di akhirat nanti”
    demikian juga dengan ayah saya, “anakku, jangan sekali-kali menjadi syirik, krn itu adalah dosa yang tak terampunkan, selalulah bertaubat sebelum datang kematian, perbuatanmu yang keji bisa menyeret orang tuamu ke neraka, dan perbuatanmu yang sholeh juga bisa menjadi benteng bagi orang tua dari neraka”, saya selalu terisak tangis setiap ingat nasihat itu, puji syukur pada-Mu ya Allah, telah memberi hamba karunia yang tak ternilai ini.

    Suka

  6. sembrani said

    Saya setuju dengan sebagian pendapat Mas Ulil yang mengatakan agar kita tidak terlalu gampang memberi cap sesat kepada saudara sesama muslim apaun maznab dan alirannya. Namun untuk yang non muslim, tentu saja kita harus menganggap mereka sesat sebagaimana merekapun menganggap orang diluar kepercayaan mereka sesat. Dan itu sangat logis. Mengatakan mereka sesat (non muslim) sesat, bukan berarti harus memerangi mereka atau bermusuhan dengan mereka tapi tentu saja kita mesti hidup damai dan saling toleransi dengan mereka. Tidak ada paksaan kepada mereka untuk mengikuti kita, begitu pula kita tidak boleh dipaksa mengikuti mereka

    Suka

  7. agorsiloku said

    Mas Sembrani ysh, saya juga sependapat. Jangan kita gampang sesatkan mereka yang tidak sama dengan kita. Bahkan, menurut saya, juga termasuk yang nonmuslim. Definisikan sesat = mengingkari Tuhan yang mahaesa. Adalah kewajiban pula untuk menyampaikan kebenaran kan. Menyampaikan bahwa itu sesat atau tidak juga penting juga untuk ummat, karena para pewaris nabi itu (ulama) berkewajiban mengabarkan kepada ummatnya agar bisa terarah pada hal yang diharapkan dari keberagamaannya. Ada penyimpangan yang memang harus juga dievaluasi oleh pemuka agama, agar ummat tahu persis jalan kebenaran yang dikehendaki oleh totalitas agama. Tentu, toleransi dan tidak ada paksaan dalam beragama itu adalah pilihan yang harus dihormati.

    Suka

  8. kudhatama said

    ulil sendiri mengkritik dipesantrennya dia kyiai gak mau pake hadis dan quran tp mengutip pikiran2 ulama terdahulu..(ada diemail kebrapa gitu…)

    laah kalo saya liat dia ngomong selalu pake kitab ini, kitab itu, menurut ini, menurut itu….
    sama aja tho…

    mbok ya ulil kembali ke quran dan hadist
    (kalo gak salah dia mau merevisi quran segala tu…)

    Suka

  9. agorsiloku said

    Mas Ulil justru menyampaikan :”Saya belajar di pesantren. Pengalaman yang saya perolah dari pesantren adalah: kiai-kiai saya jarang mengutip ayat dan hadis, karena mereka khawatir keliru menafsirkan. Paling jauh mereka mengutip pendapat ulama atau kiai yang lain. Kalau pun keliru,”.
    Tulisan-tulisan beliau menurut saya sih bernas dan cerdas, pada beberapa sisi malah saya nilai membumi. Namun, cara beliau menarik kesimpulan pada faktor-faktor yang terkait dengan keterbukaan, ruang privat dan publik, toleransi, penilaian pada toleransi, menurut saya “nyleneh”. Meskipun sangat boleh jadi, ini sesuai dengan missi dan visinya terhadap kebebasan dan kepopuleran.
    Kalau saya membaca tulisannya, saya merasa menjadi orang yang benar-benar bodoh. Saya sih lebih suka mengutip saja hadits dan terutama ayat untuk memahami sesuatu, melakukan perbandingan, dan mengumpulkan bagian-bagian yang menggelitik pikiran. Selain karena memang bacaan saya sangat terbatas, saya lebih meyakini bahwa membaca dan menafsirkan langsung pada mainstreamnya lebih bisa saya yakini.
    Sedangkan tulisan para ulama, cerdik pandai lalu atau kontemporer merupakan jalan saja. Mengapa, ya itulah… karena dinasehati junjunganku : “Kutinggalkan dua pusaka (warisan) yang kalian tidak akan tersesat, yaitu Al Qur’an dan Sunnahku”.

    Suka

  10. Duh Gusti Allah,
    Apakah mencari kebenaran Islam itu harus serumit pencariaannya mas Ulil, bagaimana dengan hambamu yang tidak secerdas mereka dan tak bisa berolah kata-kata indah seperti mereka, apakah Engkau akan mempersulit jalannya.???

    Tunjukkan ya Allah, agamamu itu mudah, dan rahmatan lil alamiin.
    Jika tidak, tentu pak Tani di kampung, tukang asongan, pekerja bangunan, penarik becak dan banyak lagi orang-orang kelas bawah yang tak mengerti bahasa-bahasa intelek, tentu akan jauh dari kebenaran. Karena mereka tentu akan berpikir dengan sangat sederhana apa itu kebenaran.

    Jika pencarian sedemikian rumitnya, umur kita tentu tak akan cukup untuk menemukannya. Mungkin yang bisa mendekati sorga hanyalah mas Ulil dan kawan-kawan, karena selain dia hanya bisa berpikir pendek dan picik.

    Marilah kita tak menjadi seperti birokrat. Kalo bisa dipersulit kenapa dipermudah. Wahai mas-mas yang pintar-pintar dan cerdas, sederhana itu indah, demikian juga dalam bertutur kata.

    wassalam.

    hp

    Suka

  11. agorsiloku said

    Perjalanan panjang dan bisa pendek juga Mas heri, angan dan akal dipanjangkan dan berpanjang-panjgan. Yang memiliki kemampuan lebih, dituntut tanggung jawab lebih juga kan. Ditinggikan satu derajat.Derajat sukses beragama adalah sesuatu yang tampaknya sederhana tapi paling sulit. Yaitu yang bisa berpakaian yang sebagus-bagusnya.

    Suka

  12. Dono said

    Ass.wr.wb,
    Klo untk saya sendiri jelaslah bahwa hak saya hanya sehelai kain untk menutupi aurat saya.krna hak2 yg lain belum tentu diterima oleh Allah s.w.t.Berikan hak Allah,hakNya, insyaAllah, Dia mengabulkan hak kita.
    Wassalam.

    Suka

  13. Saya mencoba menelaah diskusi antara mas Ulil (yang lagi belajar di Amrik) dan Mas Yusuf. Dialog-dialognya cerdas. Kalimat-kalimatnya bagaikan burung elang sedang bertempur di udara… saling menukik, mematuk dan menyambar… dahsyat. Dalam istilah militer udara, ini dinamakan dog fight (*halah ga nyambung, hehe*)

    Saya tidak bisa berkata, bahwa mas Ulil lebih benar daripada mas Yusuf, begitupun sebaliknya. Namun memang terlihat jelas, ada beberapa kalimat/pertanyaan yang tidak bisa diklarifikasi mas Yusuf. ahh, ndak apa-apa. Namanya juga diskusi.

    namun diantara sekian banyak komentar, komentar Heri Purnomo yang paling indah (*menurut saya, yang amat subjektif ini*). Semoga semua perbedaan pendapat, semua komentar, semua ide/wacana/ajaran/pendapat… melahirkan bentuk saling mengasihi dan perdamaian. Amiinnn.

    Suka

  14. agorsiloku said

    @ Mas Soegana Gandakoesoema, sepertinya benar, memang buang waktu. Mudah-mudahan yang terolah adalah saling memahami, atau meningkatkan pemahaman.
    @ Mas Dono, memang begitu… saya angguk-angguk…
    @ Mas Arif, iya setuju juga. Melahirkan bentuk saling mengasihi dan perdamaian dalam perbedaan.

    Ketika saya muat diskusi ini dalam blog, yang menarik buat saya, proses berpikirnya (dan emosi yang tertuang di dalamnya). Selebihnya tentang penilaian, biar tersimpan di hati masing-masing. Toh semuanya hanya awal perjalanan, bukan akhirnya….

    Suka

  15. Yang mulia Ulil Abshar Abdalla, Yusuf Anshar, Hartono Ahmad Jaiz, Agorsiloku,
    Pembicaan yang panjang semua itu masih diluar dari ketentuan konteks fokus yang tunggal yang kami telah temukan secara otodidak.
    Kalau mereka semua berpendapat bahwa wahyu tidak turun lagi sesudah Nabi Suci adalah bertentangnya dengan
    1. Ar Ra’d (13) ayat 39: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kita (Lauf Mahfuzh)
    2. Siapa-siapa yang berkeyakinan wahyu tidak turun lagi setelah Nabi Suci, mereka adalah Tuhan-Tuhan (arbaban-arbaban, berhala-berhala) disamping Allah sesuai Ali Imran (3) ayat 80, At Taubah (9) ayat 31.
    Jawablah dahulu acuan ayat ini dengan benar, menurut dalil kitab suci baru akan kami lanjutkan pembahasabn Kitab Suci Nabi Suci yang isi didalamnya terdapat yang dinamakan Al Quran tetapi belum diketahui orang seperti apa wujudnya Al Quran itu sesuai Al Waqi’ah (56) ayat 77-79.
    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

    Suka

  16. Ahmadi ahmad said

    lha kok mas soegana mulai ndeso lagi??
    hambur2kan ayat..

    @
    Pada komentar ini, beliau tidak banyak sih sebenarnya menyampaikan. Hanya mungkin kita ada sedikit ganjalan dalam memahami pesan beliau.

    Suka

  17. Anonim said

    Assalamu’alaikum,
    Berbicara mengenai Islam Liberal sebenarnya cukup asyik juga.
    Ada pendapat mereka yang mengatakan bahwa “semua agama sama”.
    Kalau “semua agama sama”, maka kasus sesat menyesatkan pasti tidak ada. Kenapa begitu?. Lha, kan sama. Sama sesatnya atau sama nggak sesatnya. jadi kan nggak ada bedanya.
    “Sesat” adalah suatu pendapat yang dikemukakan sesuai atau berdasarkan sudut pandang masing-masing orang, menurut kepercayaan, anutan atau agama masing-masing.
    Kalau kita mengatakan Kristen “sesat”, karena kita bertolak dari sudut pandang kita sebagai umat Islam. Begitu juga sebaliknya.
    Kalau kita katakan bahwa IsLib “sesat”. Itupun berdasarkan sudut pandang pemahaman kita terhadap Islam yang kita yakini. Begitu juga Ulil. Nggak mau dikatakan “sesat”, karena dia memandang Islam berdasarkan pemahamannya. Kita juga tidak mau disalahkan oleh Ulil, sebagaimana dia tidak mau disalahkan oleh kita atas pemahamannya terhadap Islam.
    Jadi, pendapat mereka bahwa “semua agama sama” susah dipahami, karena memang tidak sama.
    Kalau memang “sama”, kenapa harus repot-repot menawarkan pahamnya.
    “Katakanlah, hai orang-orang IsLib, aku tidak akan pernah mengikuti pahammu dan engkau juga tidak akan pernah mengikuti pahamku. Pahammu ya pahammu, dan pahamku untukku.

    Wassalam,

    @
    Wass. Wr. Wb…
    Wah kalimat terakhir menjelaskan sebuah reposisi juga…. 😀

    Suka

    • dodianggito said

      wah…!kalimat trakhirnya itu sangat menyejukkan suasana perdebatan ini! maaf kalau boleh kutipan hadis atau ayatnya dalam bahasa arab bisa dimuat?

      Suka

  18. Bacalah, telitilah sampai kepada keyakinan buku panduan terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama:

    “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    Penulis: Soegana Gandakoesoema
    Penerbit: GOD-A CENTRE
    Bonus: “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”

    Tersedia ditoko-toko buku distributor tunggal
    P.T. BUKU KITA
    Telp. 021.78881850
    Fax. 021.78881860

    Salamun ‘alaikum daiman fi yaumiddin, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

    Suka

Tinggalkan komentar