Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Islam Yang (tidak) Saya Kenali !

Posted by agorsiloku pada Agustus 4, 2010

Salah satu dari rekan nyata di dunia maya adalah Oom Shodiq, juga Oom Haniifa, dan tentu saja sejumlah rekan lainnya yang kerap memberikan nasehat kepada saya.  Keduanya unik, dalam arti berada pada varian keislaman yang kentara.  Tentu banyak yang lainnya pula, baik yang “segaris”, maupun yang berbeda.  Namun dalam konteks ini, tulisan ini lebih diperuntukan untuk Oom Shodiq saja dulu.  Mengapa?.  Karena gagasannya yang nyleneh tentang Islam.  Di sisi lain, produktivitasnya dalam menulis tak mudah ditandingi.  Sama seperti Oom Webersis yang tak pernah berhenti berkarya.  Menulis, dalam arti mengemukakan gagasan dalam bentuk tulisan yang sistematis telah menjadi nafas keseharian Beliau.

Blog yang dibuatnya itu lho, maumurtad.wordpress.com membadaikan otak berpikir dalam arena keluasan persoalan kehidupan beragamaan. Karena saya tidak memiliki kemampuan membaca hati manusia, maka jelas pula saya tidak punya kapasitas untuk menjustifikasi pernyataan ini sebagai sebuah ungkapan hati.  Boleh jadi hanya sekedar retorika untuk mengajak tausyiah saja, sekedar popularitas atau sebuah tesa berpikir bahwa agama itu memang untuk orang berakal, menggunakan potensi pikiran dan logika serta nuraninya untuk mencapai sebuah kesimpulan tentang makna kehidupan.

Kalau lari ke belakang sejenak, saya sepenuhnya abangan dan tidak memiliki latar belakang keagamaan yang cukup.  Saya membaca sedikit filsafat, beberapa kitab agama lain, dan terbata-bata membaca Al Qur’an sebagai warisan.  Warisan untuk ummat manusia, sedikit mempelajari konsepsi-konsepsi, aturannya dan bla…bla lainnya. Selebihnya, sebagaimana warisan lainnya, saya mencoba memelihara di antara kesibukan sebagai manusia yang disibukkan urusan keduniawian.  Tak lebih. Di antara sela-sela waktu,  karena fasilitas dari Oom WordPress, maka sebagian yang saya kutip dan kumpulkan atau lihat, dituliskan dalam bentuk blog, sesuai selera pula.

Saya sadari sensitifitas berpolemik dalam ranah ini.  Karenanya, saya cenderung menghindari untuk perdebatan antar agama dan berharap rekan yang berkomentar tidak mengurusi agama non Islam dalam blog ini.  Begitu juga, saya menghindari untuk memperdebatkan antara aliran dan perbedaan-perbedaan yang buat saya tidak menambah kekayaan spiritual yang tipis ini.  Kalau mempertebal, oke, kalau memperbaiki ya.  Syukur-syukur kemudian malaikat mencatatkan sebagai amal.  Kira-kira begitulah konsepsinya.

Berpikir Islam dan Berpikir Agama.

Oom Shodiq sedang membadaikan pikiran logisnya untuk mengajak pembaca mengulas, Islam yang rahmatil ‘alamin itu apa, penganutnya bagaimana, Islam itu sendiri apa.  Ada usulan ke beliau : Kalau mau murtad atau mau sempurna beragama, pelajari Al Qur’an dan Hadis.  Dua nasehat dari “kubu yang berbeda”.  Sebuah pernyataan yang boleh jadi aneh, namun tidaklah aneh.  Al Qur’an menyampaikan 2:26  Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?.” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Terj. Depag).

Tentu kita harus menelaah seksama pula mengenai kata “sesat”, “menyesatkan”, “disesatkan”, “tersesat” yang tersebar dalam banyak ayat.  Termasuk juga yang melatarbelakangi kejadian sesat, menyesatkan, disesatkan, tersesat tersebut. Akan tampak bahwa menjadi tersesat (dalam ranah petunjuk Allah Swt) adalah keputusan yang dibuat manusia itu sendiri.  Sebagai sebuah keputusan yang harus dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri.  Tidak ada atau tidak dapat melepaskan diri atau menyerahkan pertanggungjawaban kepada pihak manapun.  Itu komitmen yang disampaikan Allah kepada mahluk ciptaanNya.

Membatasi diri.

Membatasi diri dalam pengertian “saya tidak mau ragu sedikitpun” kepada Al Qur’an sebagai petunjuk Allah SWT adalah bagian penting dalam prosesi keberimanan.  Dengan kata lain, kalau meragukan sebagian, maka menjadi bagian dari pintu masuk untuk keluar dari jalan yang lurus.  Ketika menarik kesimpulan yang berbeda, saya harus mempelajari lagi lebih mendalam, mencari referensi-referensi yang cukup sehingga saya tidak terjerumus untuk meragukan isi petunjukNya. Kalau “ragu” juga, saya asumsikan saja saya belum mengerti atau tidak akan cukup mengerti.  Yah… kurang lebih seperti menerjemahkan Alif Lam Mim, Ya Sin, Ha Mim… tidak akan paham.  Namun, mengambil keputusan untuk murtad dari agama yang dianut oleh seorang wanita dari lingkungan Islam Amerika yang moderat karena alasan ini :

….tetapi yang paling membuat saya terpukul adalah temuan bahwa Al-Qur’an itu baru dihimpun menjadi satu pada beberapa tahun selepas wafatnya Rasul. Saya belajar bagaimana tradisi Rasul dihimpun–dan kini ada lebih banyak keraguan mengenai kesempurnaannya.

adalah sebuah pilihan yang menurut saya amat terburu-buru dan terlalu sederhana dan nyaris dangkal. Sedangkan, sang penulis tidak merasa harus keluar dari Islam karena perilaku kontra produktif dari penganutnya.  Jadi, kalau mengamati wanita yang dari lingkungan Islam Amerika moderat ini keluar dari agamanya, itu  adalah pilihan dari orang yang memang meragukan petunjuk Allah yang disusun menjadi kitab bernama Al Qur’an.  Yang lainnya, menjadi bumbu penyedap keputusannya saja.  Di sinilah peran bahwa manusia juga harus menyadari keterbatasannya.  Bukannya malah meninggalkan dengan alasan yang begitu sumirnya.

Saya terus terang tidak perduli dengan urusan bagaimana Al Qur’an dihimpun di masa Ustmani dan kodifikasinya. Saya berusaha mempercayai bukan sebagai kondisi yang diciptakan sejarah perjalanan terbentuknya Al Qur’an sebagai sebuah buku petunjuk, tapi percaya pada pesan isinya, penjelasannya, dan memenuhi dahaga sejumlah pertanyaan yang berkecamuk dalam kehidupan ini.  Saya ingin semakin mendalaminya, apalagi dengan penemuan angka kelipatan 19, keseimbangannya dalam penyajian, yang sebagian saya kumpulkan di blog ini dari berbagai sumber.  Keindahan yang membuat saya terpesona dan memilih blog ini dengan pilihan sains inreligion.   Belajar untuk memahami, apa yang dimaksud perniagaan dengan Allah, siapa yang menggerakkan bahtera agar manusia bisa berlayar, langit ditegakkan tanpa tiang, gunung yang sesungguhnya bergerak, gunung sebagai pasak,  pemuda al kahfi, pengertian cahaya di atas cahaya dan lain-lain yang menegasi semakin kokohnya Al Qur’an sebagai petunjuk dari Allah Yang Mahakuasa. QS 38:88 Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi.

Kadang saya membaca ulasan dan rujukan yang menyalahkan al Qur’an yang muncul dari berbagai site.  Biasanya, saya cari lagi rujukan dan analisis pakar dan berbagai pembahasan.  Kesimpulan saya, pembahasan terlalu penuh prasangka dan tidak didukung analisis memadai dan bukan mencari keridlaan Allah SWT sebagai tujuan hidup.  Jadi, untuk apa diikuti.  Namun, sepanjang yang saya tahu, semakin meyakinkan saya akan kebenaran petunjukNya yang disampaikan melalui Al Qur’an.

Buat saya tidak menarik untuk menguraikan atau melakukan penarikan kesimpulan atas dasar perjalanan sejarah dan uraian dari para ahli sejarah yang menolak dengan cara mereview dan kemudian menjadi alat untuk melakukan penolakan atau membuat versi pandangan yang tidak sama dengan isi Al Qur’an.   Alasannya sederhana saja, Sejarah itu, seperti kata para ahlinya adalah pandangan manusia kini terhadap peristiwa masa lalu.  Jadi bukan peristiwa itu sendiri.  Sedangkan khasanah Al Qur’an, dirancang oleh Sang Pencipta yang ilmunya tak terbayangkan.  Jadi, alasan yang disampaikan penulis yang keluar dari agamanya itu, menurut saya adalah sebuah pilihan yang akan merugikan dirinya sendiri di kemudian hari.

Universal Tauhid.

Wah… ini saya tidak mengerti juga, namun tampaknya sebuah pilihan yang diambil untuk beragama tanpa syariat ya?.  Seperti Eling (kepercayaan salah satu aliran kepercayaan) atau seperti apalah.  Namun, itu adalah agama dalam persepsi, dan berubah sesuai tuntutan keinginan manusia dalam jamannya.  Atau yang penting berbuat kebaikan dan tidak merugikan orang lain.

Rasanya kok kurang pas (mungkin buat sebagian lain adalah pilihan pas).  Mengapa, alasannya ya  Nabi membawa syariat yang diminta untuk diikuti dengan ikhlas.  Jadi, berusaha saja ikhlas menerima ketetapan.  Buat saya ini adalah pilihan sederhana saja kok, nggak usah rumit-rumit amat.  Allah Subhanahu wata’ala itu Mahamengetahui, Mahapengampun, Mahapemaaf.  Jangan ingkari apa yang menjadi petunjukNya.  Jadi, jangan mendu’akan perintahNya, sebisa mungkin.  Tetap berislam.

Agama di sisi Allah hanyalah Islam.

Sesungguhnya, agama di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih …. (QS 3:19).  Saya sih, terus terang memahaminya sebagai agama, bukan pengertian lain.  Alasannya, kalimat berikutnya menjelaskan ke arah agama sebagai satu gagasan ideologi.  Ayat berikutnya lebih menjelaskan.  Perbedaan pendapat atau penafsiran mungkin-mungkin saja.  Namun, apapun pandangan yang ditimbulkan, menimbulkan implikasi  bahwa mereka yang bukan Islam tidak akan masuk surga?.  Urusan keputusan seseorang masuk surga dan neraka bukan manusia yang memutuskannya, bukan juga organisasi.  Kita tentu sepakat itu. Jadi, kita akan tahu belakangan.  Tidak perlu sekarang. Jadi, saya tidak merasa perlu menjustifikasi. Karena memang Al Qur’an juga menjelaskan begitu.  Kita mungkin bisa memberikan pemahaman tanda-tanda berdasarkan pemahaman dan petunjuk yang kita terima.  Namun, Allah Mahatahu.    “Hidayah” adalah hak perogatif  dari Sang Pencipta.   Di sisi lain, tentu pula ada kebutuhan logik untuk tidak mendorong pengertian :”Oh… kalau begitu, maka semua agama apapun tentulah diridhaiNya”.  Ya nggak juga, karena ada pesan juga, … bagimu agamamu…, terutama dalam konteks ketika … kamu tidak menyembah apa yang saya sembah.

Dalam pemahaman saya, kata “Sesungguhnya” di awal ayat menjelaskan sebuah posisi yang secara logis juga mudah dipahami karena Al Qur’an adalah kitab petunjuk yang terpelihara.

Maumurtad.wordpress.com

Menamai blog ini lho, membuat saya senyum sambil mengernyitkan dahi.  Namun, setidaknya kita bisa merenungi satu demi satu alasannya.  Namun jelas disampaikan Beliau, jangan biasakan menelan mentah-mentah.  Agama memang buat orang yang berakal.  Tidak memanfaatkan akal tidak ada gunanya beragama.  Tidak berakal, tidak juga dimintai pertanggungjawaban.

Tidak mudah memang menjadi mukmin, menjadi muttaqin, menjadi muslim.  BerKTP Islam lebih mudah. Dari sudut-sudut pandang lain, kita memahami pula bahwa ummat Islam adalah ummat yang terpenjara dalam blantika dunia, jumlahnya kian sedikit (QS 2:88), karena memang sedikit pula yang mengambil pelajaran (69:41).

Semua dialektika itu, dalam kejujuran berpikir tentu memberikan makna.  Lebih sulit berhadapan dengan kaum munafik, yaitu yang menggunakan ilmu baik, untuk beramal buruk.  Memunculkan dialektika ini, menurut saya termasuk pilihan yang berani, berani dengan segala dialektika, tesa dan antitesa yang tajam.  Mudah-mudahan jadi sarana pembelajaran berpikir, sebagai ajakan berpikir bukan dipahami sebaliknya…..

38 Tanggapan to “Islam Yang (tidak) Saya Kenali !”

  1. 🙂 Di sini saya ingin melakukan klarifikasi:

    1) Ya, tulisan saya tentang murtad adalah “sebuah tesa berpikir bahwa agama itu memang untuk orang berakal, menggunakan potensi pikiran dan logika serta nuraninya untuk mencapai sebuah kesimpulan tentang makna kehidupan”.

    2) Ya, ada ayat Qur’an yang mendorong kita untuk “tidak mau ragu sedikitpun”. Tapi saya jumpai pula ayat-ayat lain yang mendorong kita untuk suka bertanya-tanya.

    3) TIDAK! Mohon dikokreksi. Kata-kata “tetapi yang paling membuat saya terpukul adalah temuan bahwa Al-Qur’an itu baru dihimpun menjadi satu pada beberapa tahun selepas wafatnya Rasul. Saya belajar bagaimana tradisi Rasul dihimpun–dan kini ada lebih banyak keraguan mengenai kesempurnaannya” itu BUKAN kata-kata saya, melainkan kutipan dari orang lain yang murtad.

    4) TIDAK! Mohon dikoreksi. Saya melihat, Anda memahami istilah “Tauhid Universal” secara lepas dari konteksnya. Silakan simak kembali artikel saya. Di situ saya nyatakan bahwa Islam adalah diin saya. dengan nama Tauhid Universal (atau nama lain apa pun), saya TIDAK hendak “beragama tanpa syariat …”

    …. itu dulu. Mungkin nanti ada lagi, mungkin pula tidak. Terima kasih.

    Suka

    • agorsiloku said

      3. Itu sih kutipan dan di bagian bawahnya ditulis :Jadi, kalau mengamati wanita yang dari lingkungan Islam Amerika moderat ini keluar dari agamanya, itu adalah pilihan untuk meragukan petunjuk Allah yang disusun menjadi kitab bernama Al Qur’an. Jadi jelas bukan merujuk pada Mas Shodiq, meski memang linknya dari blog Mas.

      4. Betul, saya pahami UT dari konteks penjelasan : … Menjadi pemeluk agama UT tidak memecahkan masalah-masalah saya, tetapi memungkinkan saya untuk menjalani hidup dengan harapan. Universalisme Tauhid adalah agama yang dapat berubah. Masa lalunya bukanlah pencetak masa depannya. Ajarannya dapat berkembang. Bila saya merasa ganjil dalam komunitas [UT] yang saya ikuti, saya dapat berbicara dengan terus terang. Kemungkinan-kemungkinan selalu terbuka; masa depan terbuka bagi kita. Itulah keimanan yang dapat saya peluk. (mengapa-hafidha-acuay-murtad-dari-islam).
      Namun, kemudian saya juga membaca : “Uniknya agama Universalitas”, karena itu memang saya tidak mengerti. Kalau konsep kerja bareng tanpa memandang latar belakang sebagai arena keimanan, tidak ada masalah di sini kok.
      Dan kemudian yang saya ingin mendapat komentar dari Mas Shodiq, persis seperti yang saya harapkan, begitu clear : Saya TIDAK hendak “beragama tanpa syariat”.
      Mas Shodiq langsung pada esensinya. Nice !
      Salam hangat ! 😀

      Suka

      • Alhamdulillaah…

        3) Kalau begitu, mohon dipertegas (misalnya pada bagian sebelum kutipan), supaya pembaca tidak salah paham.

        4) Terima kasih atas pengertiannya. Saya hanya hendak menambahkan bahwa dalam pandangan saya, sesuai dengan definisi saya mengenai “agama”, agama itu “bersifat pribadi”. Artinya, ada “islam ala asorsiloku”, “islam ala muhshodiq”, dll. Secara demikian pula, ada “UT ala saya”, “UT ala si A”, dst.

        🙂 🙂

        Suka

      • @Mas Muhsodiq
        Wahh… untung tidak ada islam ala jawa, suatu saat orang jawa bilang “Allahu akbar” dalam hatinya bukan menterjemaahkan menjadi “Allah Yang Maha Besar” tapi Allah sing guedeeeeeeeeeeee banget. .. hehehe….
        Mohon maaf sanget lho, Islam nggak pake ala…alaan 😀

        Suka

      • @ haniifaa
        Saya maklum mengapa akhi berpandangan demikian. Dalam tataran ideal, islam itu hanya satu, yaitu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Namun dalam realitanya, apakah islam yang dipahami oleh setiap individu muslim itu sama persis, yaitu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi? … Karena itulah saya menggunakan istilah “islam ala …”

        Suka

      • @Mas M Shodiq Mustika
        apakah islam yang dipahami oleh setiap individu muslim itu sama persis, yaitu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi?
        Sepanjang pengetahuan sayah lho,… Nabi Muhammad s.a.w juga mengikuti nabi sebelumnyah yaitu Imamnya seluruh manusia (Nabi Ibrahim a.s), pertanyaan tentu akan dibalik Apakah Nabi Muhammad s.a.w sama persis dengan yang dimaksud oleh Nabi Ibrahim a.s ?! jawabannya: Allah hanya menjamin tiada perbedaan pada diri mereka (QS 2:136), lalu bagaimana sifat individual kita, setidaknya cuma satu ala yaitu ‘ala Nabi Muhammad s.a.w’…. seberapa jauh ?! semakin dekat tentu lebih baik.
        Oh ya, btw rasanya sifat dan karakteristik khulafaur rasyidin berbeda-beda 😀 , tapi mereka dikatakan begitu dekat dengan Nabi, apanya yang sama yah ?! menurut sayah sehhhhhhh “ala…” yang sama yaitu ala Nabi Muhammad s.a.w.

        Salam hangat @Mas, Haniifa.

        Suka

      • Jawaban saya lain.

        Apanya yang sama di kalangan sahabat Nabi dan umat Muhammad? Islamnya!
        Apanya yang berbeda di kalangan ini? Individualitasnya!
        Bagaimana kita bisa menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan mereka dalam beragama? “islam ala individu” (Saya belum menemukan istilah lain yang lebih cocok.)

        Saya tidak merasa perlu menyebut “islam ala Nabi” karena islam itu sendiri sudah identik dengan “ala Nabi”.

        salam ukhuwah,
        shodiq

        Suka

      • @Mas M Shodiq Mustika
        islam itu sendiri sudah identik dengan “ala Nabi”.… Clear dong 😀
        Karena semua ala nyah sama jadi nggak perlu ada “ala asorsusilo”, “ala M. Shodiq” atau “ala haniifa”
        Artinya
        Islam adalah Islam.

        Suka

      • @ Haniifa
        Belum clear dong! 😀
        Mengatakan islam adalah islam tanpa menyebut “ala individu” bukanlah jawaban terhadap pertanyaan yang saya garisbawahi, eh, saya tebalkan:
        Bagaimana kita bisa menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan individu muslim dalam beragama?
        Dengan mengingat bahwa islam = ala Nabi, aku merasa lebih nyaman menyebut “islam ala si A” daripada “ala Nabi ala si A” atau “ala Nabi dan si A”.
        Jadi, penyebutan “islam ala individu” itu perlu untuk menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan individu muslim dalam beragama

        Suka

      • Wahh… belum clear yah 😀
        Sayah analogiken bejinih @Mas.
        Bubur ala menado pastinya pakai sayuran dan sedikit pedas.
        Nah kalau buburnya asam manis pastinya bukan bubur ala menado dung… hehehe….

        “Islam ala jawa” Allahu Akbar diucapken, dan dalam hatinya Allah sing gguuuuueeddeeeeeeeee banget..hehehe

        “Islam ala Yusman Roy” = Shalat pakai bahasa indonesia… duwa tahun lho mas, di hotel prodeo 😀 😆

        Suka

      • @Mas M. Shodiq Mustika
        Bagaimana kita bisa menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan mereka dalam beragama?
        —————–
        Misalnya bab Shalat:
        Kebersamaan:
        Sangat jelas sekali bahwa Bacaan Shalat harus menggunakan arabiyun dan dibaca tidak terlampau keras dan tidak terlampau perlahan, berbisik..kira2

        (Al Qur’an Surat Maryam :97)
        Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.

        Perbedaan:
        Terjemaahkan dalam hati masing-masing, sekurang-kurangnya dalam bentuk tafsiran Al Qur’an yang mumpuni dalam hal ini tentu Bahasa Indonesia bagi orang Indonesia dan Bahasa Inggris bagi orang Inggris…dsb.

        Salam hangat selalu, Haniifa.

        Suka

      • @ haniifa

        1) “islam ala individu” berbeda dengan “islam (ala Nabi)”. Islam ala individu tidak dijamin 100% benar karena individu tidak maksum. Penyebutan “islam ala individu” justru lebih memudahkan kita dalam mengidentifikasi mana yang lebih dekat dengan yang ala Nabi (misal: islam ala sahabat) dan mana yang menyimpang (misal: islam ala si R). Selain itu, ukhuwah islamiyah akan lebih mudah terjaga karena lebih cenderung untuk sama-sama menyadari tidak maksum. Lain halnya dengan keadaan selama ini. Mungkin karena sama-sama menggunakan istilah “Islam” saja tanpa embel-embel, ada banyak kelompok dalam Islam yang sama-sama mengklaim bahwa pemahamannyalah yang paling benar, lalu saling bertikai, bahkan sampai berperang.

        2) Kalau dalam sudut pandang saya, perbedaan dalam contoh tersebut kurang signifikan. Sebab, masih sama-sama “dengan bahasamu”. Seandainya perbedaan individu hanyalah yang berjenis ini, saya pun berpandangan tidak perlu ada sebutan “… ala individu”. Namun, kita bisa melihat perbedaan yang tampak signifikan bila kita memperhitungkan banyaknya hasil ijtihad. Setiap individu bisa mengikuti berbagai hasil ijtihad yang berlainan.

        Karena itulah penyebutan “islam ala individu” itu perlu untuk menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan individu muslim dalam beragama.

        salam ukhuwah selalu, akhi

        Suka

      • @Mas M Shodiq Mustika
        Karena itulah penyebutan “islam ala individu” itu perlu untuk menyebut kesamaan dan sekaligus perbedaan individu muslim dalam beragama.
        😀
        Wahh… bijimana tuh @Mas, wong individunya juga beda ?!

        PERTAMA:
        A. “Islam ala M. Shodiq Mustika”
        Bahkan bila petunjuk-Nya itu mengarahkan diriku untuk murtad keluar dari Islam, aku pun akan menerimanya. Ini bukan karena aku meragukan kebenaran Islam, melainkan karena aku mau berserah-diri setotal-totalnya kepada Sang Mahatahu.

        B. “Islam ala Islam”
        (QS Ali Imran :102)
        Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

        KEDUA:
        Menurut sampean “petunjuk-Nya“, apakah sampean lupa kalau “petunjukNya” itu ada 2. :
        maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS 91:8)

        Kalau bijituh biyar “petunjukNya” base on Al Qur’an, maka kita pakai ISLAM ala ISLAM… Clear 😀

        Suka

      • @ haniifa
        Sudut pandang kita berbeda. Akhi memahami teks secara tekstual, saya lebih cenderung secara kontekstual.
        Diskusi kita ini hanya akan jadi debat kusir bila diteruskan. Kita sudahi saja, ya!

        Wassalam..

        Suka

      • @Mas Shodiq Mustika
        Wahhhh… sayah malah baru tahu lho, soal sudut pandang tekstual.

        Apa @Mas Shodiq sudah baca “Islam ala Kristen” ?!

        Dimana Pria-pria Muslim itu ?

        Note:
        Dari Asalnya “Islam ala Islam” berubah menjadi “Islam ala Nashrani” dan terakhir berubah menjadi “Islam ala Kristen”… sayah kira bukan tekstual tuhhh.

        Wassalam, Haniifa.

        Suka

      • @ haniifa
        Ya, itu bukan tekstual, tapi bukan pula kontekstual.
        Kalau dari sudut pandang logika, pengambilan kesimpulannya tergolong sesat.

        Suka

      • 😀

        Suka

  2. … (sambungan nomor 4)

    Perlu dipahami bahwa jumlah agama saya adalah SATU, tetapi dengan banyak nama. Sedangkan jumlah diin saya satu juga, dengan nama yang satu pula, yaitu islaam.

    5) Mas agor menerjemahkan diin = agama. Bagi saya, makna diin itu jauh lebih luas daripada agama. Mohon perbedaan ini dimengerti. Kalau tidak, saya khawatir diskusi kita mengarah pada debat kusir.

    7) Ya, ad-diin di sisi Allah adalah al-islaam. Namun, ini bukan berarti bahwa yang akan masuk surga hanyalah yang muslim. Ada pengecualiannya sebagaimana sudah dijelaskan oleh Yunahar Ilyas.

    Kalau saya ditanya mengapa saya memunculkan wacana ini, padahal saya yakin (sebagaimana mas agor) bahwa “urusan keputusan seseorang masuk surga dan neraka bukan manusia yang memutuskannya”, maka jawaban saya: Salah satu alasan saya adalah bahwa saya merasa khawatir jangan-jangan kita yang mengaku muslim (terutama saya sendiri) menjadi takabur dan memandang rendah orang-orang nonmuslim lantaran “eksklusivitas” tersebut.

    wassalaam..

    Suka

    • agorsiloku said

      No. 5, no 6 (masih disembunyikan ya), dan No. 7 rasanya kalau kita perdalam juga tidak akan jauh-jauh amat dan tetap saja akan clear. Rasa-rasanya rangkaian postingan kita sudah menjelaskan hal ini. Karena betapa keluasan pengertian agama, pengertian islaam, pengertian berserah diri (muslim). Kita, insya Allah, tidak tergelincir pada pengertian sempit yang akan diamini sebagai absolutime pemikiran dan tindakan.

      Saya percaya yang masuk ke rahmat Allah, yang masuk surganya adalah yang berjalan di jalan lurus lagi berserah diri. (Semoga kita masuk dan menjadi golongan orang-orang terdahulu yang masuk golongan ini ya). Seorang yang mencapai tahap muslim, tentulah akan mencapai surgaNya, apapun latar belakangnya.

      Saya hampir tidak berani menyebut muslim dalam artian sebenarnya, karena saya ragu apakah saya punya kemampuan berserah diri. Sama seperti Mas juga, menjadi takabur dan memandang rendah lantaran inklusifitas agama Islam dipahami dengan cara ekslusif.

      Wassalam,

      Suka

  3. Subhanallah,…
    Ini ciri khas artikel @Kang Agor yang… 😉

    Suka

  4. Olads said

    Menarik diskusinya, minimal dengan makalah ini umat islam bisa memahami agamanya, bagi yang sering menggunakan aqal fikiran nya, karena memang Alqurán diperuntukan bagi orang-orang yang ber aqal fikiran, banyak ayat-ayat Alqurán yang menjadi peringatan dan menegor pola pikir manusia. Tetapi islam pada jaman Rasulullah saw dalam pengajarannya cukup hanya diyakini saja(pen). Pada saat itu tidak ada Kitab atau hadits pedoman, yang diajarkan periode Makiyah masyoritas penanaman aqidah(ketauhidan). Dimana keimanan aadalah urusan hati yang tidak melibatkan aqal fikiran secara totalitas.

    Islam ada yang menyebut bukan agama atau bukan sekedar agama(aturan), yang kadang aturan itu dibuat oleh manusia, tapi islam adalah Dien Allah yang artinya ketaqwaan(ketunduk patuhan kepada Allah), tanpa syarat, tunduk patuh tanpa bertanya. “Maliki Yaumiddin”( yang merajai hari agama-agama), atau disebut hari penghisaban terhadap diri manusia atas penegakan ketaqwaan nya, atau pula bisa disebut Allah yang akan mengadili seadil-adil nya pada hari itu apa saja yang diperselisihkan antara umat manusia dengan manusia, ataupun yang diperselisihkan oleh pikiran dan hati.

    Karena pada akhirnya agama yang seharusnya menjadi urusan hati(cukup meyakini saja), namun menjadi urusan pikiran, sehingga pikiran manusia banyak bermain dan menentukan atas keyakianan hatinya, sehingga islam menjadi bercorak dalam aliran kelompok dan golongan karena beragam dalam pola pikir manusia untuk mensikapi agama nya.

    Ada yang mengatakan berfikir dengan otak jauh berbeda dibandingkan berfikir dengan hati. Berfikir dengan otak benyak dipengaruhi oleh pola pikir dan kecenderungan sifat manusia atas keterpihakan pada sesuatu dengan pengetahuannya. Sedang berfikir dengan hati akan menuju kepada satu titik arah pusat haqikat kebenaran Tuhan. Karena Tuhan hanya akan sampaikan kebenaran haqiki melalui hati(Qolbu), sedang pikiran manusia di ilhami oleh ketaqwaan dan kefasiqkan(Qs)

    Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (Qs.29:49)

    Alqurán adalah mukjizat sampai akhir jaman, sehingga kandungan Alquran masih akan terus melimpah sampai akhir jaman dimana kita sudah tak berada pada jaman tsb. jadi apa yang kita dapatkan dalam pemahaman sekarang masih sebatas kemampuan dan bukti yang ada selama kita hidup saja. Jadi pasti akan selalu terdapat perbedaan selama agama dicerna oleh pikiran saja.

    Mohon maaf Mas Agor, apakah komen saya ini mengena atau tidak pada pokok permasalahan dalam artikel tsb diatas, sekali lagi mohon maaf, ini hanyalah salah satu pendapat pikiran saya saja.

    Wassalam,….& Terimakasih

    Suka

    • agorsiloku said

      Terimakasih Mas Olads yang telah memperkaya diskusi kita dengan catatan yang memperkaya.
      Mengenai patuh, tunduk, dan yakin memang sebuah diskusi menarik. Keyakinan terhadap ucapan orang tua, ketika masih kecil dan ketika kita sudah besar berbeda. Kita tidak bertanya, dan akan menganalis dengan keterbatasan kita. Saya menujukkan gambar mobil ke beberapa orang, sambil berkata : Ini mobil kan?. Orang yang tidak pernah melihat mobil, teknisi mobil, sampai pembuatnya, menjawab ya betul, itu mobil. Yang membedakan kadar pengertian mobil itu yang berbeda-beda. Tapi semua jawaban menggunakan pikiran dan akal secara bersama-sama. Jadi, tidak akan ada orang yang bisa menjawab tanpa menggunakan akal dan pikirannya.

      Demikian juga dengan tunduk dan patuh telah dicontohkan dalam AQ kisah mengenai Nabi yang bertanya dan mencari (Nabi Ibrahim), Nabi yang sepenuhnya pasrah (Nabi Daud), banyak bertanya (Nabi Musa), itu adalah pelajaran bagi kita bahwa bertanya dan patuh juga adalah fitrah, kadar pemahaman ketika menyatakan taat dan patuh, yakin juga berbeda-beda. Namun, kondisi-kondisi itu bukanlah pembenaran atau penolakan untuk menyimpan akal dan pikiran di belakang sebuah jawaban….
      apalagi mengkategorikan berpikir sebagai alat untuk sesat… :D, itu pandangan saya lho Mas Olads

      Suka

  5. Sebenarnya Islam itu bak mata air, jika anda minum didekat mata air maka semakin segar dan jernih air yang diminum. Jika anda minum di muara sungai, maka anda butuh tenaga ekstra untuk ber-Islam. Karena anda harus menyaringnya dulu sampai Jernih 🙂

    Suka

  6. saya bingung (belum biasa dengan bahasa yang seperti ini)…
    T_T
    mohon bimbingannya

    Suka

  7. […] Entah apa yang berkecamuk di pihkiran sahabat ini, tapi acapkali saya suka merenungkan kembali kata-kata bijak dari artikel-artikel @Oom Agorsiloku. […]

    Suka

  8. nol ganol said

    gak pa2 mas… cuman diskusi saja dijamin nggak bakalan tersesat…
    lagian kalau tersesat paling cuman akal dan fikirannya saja. Yang bakal kembali padNYA kan bukan akal fikiran.
    Beliau sudah benar, BERSERAH DIRI pada Allah itulah satu2nya jalan menemukan kebenaran mutlak dan itulah esensi & puncak islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

    salam

    Suka

Tinggalkan komentar