Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sikap Seorang Muslim di Hadapan As-Sunnah

Posted by agorsiloku pada November 8, 2010

Judul tulisan ini saya kutip dari sini.  Tertarik karena diskusi hangat sejumlah postingan dari Usup mengenai Nabi Isa yang turun di akhir zaman menjelang kiamat, Azab Kubur, dan Arsy Allah.  Juga Mas Filar Biru yang menolak pemahaman bahwa Nabi Isa akan turun lagi ke bumi.    Catatan dan komentar Mas Haniifa pada berbagai sisi dan kerap dengan nada tinggi rendah, amat mewarnai diskusi yang terjadi.

Sebagai orang yang tidak memiliki cukup latar belakang pemahaman kitab hadis yang tebal-tebal dan begitu panjang lebarnya penjelasan, jelas saya pusing untuk memahami karya-karya yang mengemas semua tata perilaku dan ucapan Nabi yang kemudian dibukukan.  Namun, tidak sedikit pula yang menarik, begitu banyak manfaat dan hikmahnya yang diambil.  Selama beberapa tahun, setiap hari, ustad kampung kami membahas satu hadis dan menjelaskannya.  Semua berada pada kriteria : lupa-lupa ingat.

Namun, memang persoalan agak sedikit serius kalau beberapa pemahaman belum sampai.  Yang paling banyak menyentuh hati adalah sikap hidup dan cara pandang Junjungan.  Kalau pembahasan sudah menyangkut hal-hal yang saya anggap  serius, seperti siksa kubur, turunnya Nabi Isa di penghujung waktu dunia, Arsy, saya kemudian lebih suka menyimpannya saja di dalam hati.  Pengalaman menunjukkan pertentangan pemahaman bisa-bisa menjurus pada tumpahnya minuman yang dihidangkan.

Pernah saya “keseleo” lidah… :”terus terang deh… saya ragu alias tidak yakin, soalnya di AQ tidak dijelaskan dan saya “merasa” tidak matching dengan AQ yang saya pahami.

“Elo sih, pemahaman pakai akal.  Yo pakai iman dong…. dan bla…bla…bla…..”.

Tentu saja, saya dengan halus mengangguk-angguk. (lha dari pada dikeprukin … 😀 )

Namun, memang tidak semudah itu pula mengikuti perintah (atau saran) ini dengan menghilangkan kemampuan akal (baca : hawa nafsu) dalam mempercayai hadis.  Kalau saya anggap tidak sesuai dengan apa yang diuraikan Al Qur’an ya saya harus jujur juga kepada diri sendiri, saya meragukan kebenaran hadis itu.  Biarpun pada saat yang sama hadis itu digolongkan oleh sebagian sejarah masa lalu dan kini sebagai  mutawatir.   Adakah hadis dhaif disebutkan sebagai shahih?.  Ini juga pertanyaan berikutnya?.

Kalau begitu, selayaknya kita lebih cenderung mempercayai hadis yang tidak bertentangan atau berbeda dengan Al Qur’an.

Namun ada contoh pula yang tidak menimbulkan “polemik” seperti contoh yang dirujuk tentang lalat yang hinggap di minuman..

Jadi sampeyan lebih percaya akal sampeyan yang pendek itu, ketimbang uraian dari para ahli. Memang dan bla..bla…

Pusing memang.  Di satu sisi, kadang saya heran : kok yang sudah jelas-jelas dinyatakan dalam AQ begitu jernih dan jelas sehingga “rasa”nya tidak perlu lagi diperdebatkan, namun kenyataannya bisa dipahami dengan cara masing-masing.  Bahkan dalam sejarah keberagamaan, ini tampak dengan hadirnya berbagai-bagai yang kemudian kita menyebutnya sebagai golongan atau aliran.  Sedangkan kepada AQ saja bisa ditafsirkan (baca dipahami) dengan cara tertentu (contoh pemahaman Nabi terakhir), apalagi pada hadis, karena ada politik kepentingan di dalamnya.

Teliti.

Bagaimaana cara ulama mengamati, mengevaluasi, meneliti segala asal-usul dan sumber sejarah jelas menunjukkan kehati-hatian yang tinggi dalam memilah dan memilih.  Kita bisa belajar banyak dari semua pendekatan sumber-sumber hukum Islam yang diramu.   Bagaimana sikap penuturnya, latar belakang, sikap hidup dan seterusnya menjadi perhatian sejarah.

Kalau begitu, mengapa timbul perselisihan pandangan (dan kepentingan ?).

Namun, saya tidak “merasa” begitu rumit ketika berhadapan dengan Al Qur’an.  Selain cukup banyak penjelasan tambahan, juga terasa kekuatan menjelaskan dengan terinci tentang banyak polemik yang menyentuh pikiran.  Merasa lebih damai dengan uraian-uraiannya yang dipahami atau tidak dipahami atau yang dipahami kemudian.

Apakah Mengabaikan Hadis tidak beriman?.

Lha !, kalau tidak sesuai dengan Al Qur’an atau bertentangan dengan kitab petunjuk utama, ya tinggalkanlah.  Begitu sebuah hadis menjelaskan. Jadi, saya juga tidak merasa harus meyakini kebenaran hadis kalau kemudian akal (lebih enak dikatakan hati/nurani) memberikan penilaian bahwa uraian pada hadis tidak matching.  Boleh jadi itu hadis tidak shahih alias palsu atau penerjemahnnya tidak pas, atau salinan dari salinannya tidak pas atau apalah.  Bagaimana saya harus meyakini sebagai kebenaran kalau ada hadis palsu !.  Sedangkan Al Qur’an tidak palsu.  Al Qur’an dijaga dengan kunci matematis yang canggih, yang membuat jin dan manusia bersama-sama, tak akan mampu membuatnya.  Namun, tentu saja kita juga memperhatikan sebagian lain yang berkesesuaian dan menambah khasanah sudut pandang moral atau pengetahuan tentang cara kita beribadah kepada yang Maha Kuasa serta cara kita berhubungan dengan sesama dan lingkungan.

Saya ingat kembali dari penerjemahan khutbah terakhir Nabi : “…Semua yang mendengarku harus menyampaikan kata-kataku kepada yang lain, dan  orang-orang tersebut kepada yang lainnya lagi; dan semoga orang terakhir yang mendengarnya memahami kata-kataku lebih baik daripada yang mendengar dariku secara langsung. Ya ALLAH, jadilah saksiku bahwa aku telah menyampaikan pesanMU kepada hambaMU.”

Kata : “… yang mendengar dariku secara langsung… “, terngiang dalam telinga sebagai informasi penting, tentang kejadian yang diramalkan terjadi, bukti jasad Fir’aun ditemukan, pemahaman tentang informasi sains di Al Qur’an, dan angka matematis AQ ….

Namun, dari keseluruhannya, bagaimanapun, pada akhirnya akal yang memikirkan dan hati yang memutuskan disertai kesadaran bahwa keputusan untuk menerima dan menolak, pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Jadi saya harus punya alasan untuk tidak menerima Nabi Isa turun ke bumi sebagai khasanah yang keliru dan keputusan itu didasarkan alasan yang kelak akan dipertanggungjawabkan.   Begitu juga yang menerima pemahaman ini juga sama-sama diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan rahmat akal dan pikiran sebagai potensi untuk mengambil keputusan.

Astagfirullah, kami memohon ampunanMu atas segala kekeliruan berpikir ini.  Luruskan dan berikan pemahaman ke dalam dada kami hikmah petunjukMu…..

52 Tanggapan to “Sikap Seorang Muslim di Hadapan As-Sunnah”

  1. ijin pertamax’s disinih 😆

    Suka

  2. Olads said

    Saya kira selama nilai-nilai ayat hadits masih muter dan berpolemik dalam fikiran maka jawabannya hanya merupakan keputusan pendapat dalam prakiraan saja atas kecenderungan. Bukan kebenaran yang sebenar-benarnya dari Tuhan. Jawaban pasti akan di dapat apabila pengetahuan atas fikiran hanya dijadikan sumber referensi saja, bukan merupakan keputusan akhir. Karena keputusan akhir ada dalam keyakinan hati atas petunjuk Tuhan, sesuai firman Nya : Bahwa Alqurán adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang diberi ilmu”.

    Selama fikiran masih dijadikan sandaran dalam keputusan hasil akhir, maka keimanan hanya bedasarkan oleh fikiran, demikian pula keyakinan pada Qolbu akan di dikte oleh hasil berfikir, padahal aqal fikiran hanya sarana pengolahan bekerjanya otak yang hasilnya bisa beragam tergantung sesuai kecenderunagn dan kepentingan. Padahal yang seharus nya hasil akhir adalah keyakinan yang pasti dalam kebenaran petunjuk Tuhan setelah kita berfikir,yang mnerupakan nilai ijtihad kepada Tuhan.

    Proses ini sesuai tatanan urutan turun nya wahyu Alqurán, yakni wahyu Allah dari lauh mahfudz yang dibawa oleh jibril masuk kedalam dada Qolbu Rasulullah dengan nilai kekuatan keyakinan 40/40(100%), kemudian disampaikan dalam bahasa fikiran sesuai bahasa yg berkembang saat itu dalam bahasa sastra Arab.

    Suka

    • agorsiloku said

      Ketika kita diwajibkan mengimani (rukun iman), kita memahami dengan pikiran kira, dengan akal kita, mengapa kita mengimaninya dan harus mengimaninya.
      Sandarannya adalah akal (pikiran dan hati). Secara fakta, hanya urusan mekanis saja, maka kita memahami dengan pikiran (pengetahuan, logika, pemahaman aturan-aturan dan hukum-hukum). Sehingga ketika kita dipukul, maka konsekuensinya sakit fisik kita. Tapi, begitu urusannya berkait aspek-aspek seperti pada postingan, maka landasan manusia dalam berpikir tidak bisa hanya bersandarkan pada pikiran. Dengan begitu, tidak bisa pula didikte oleh hasil pikiran, tapi hasil pikiran mensimulasikan kompleksitas apa dan mengapa. Konsekuensi logisnya itulah diberikan penilaian oleh hati.

      Diskusi mengenai sebab dan mengapa turun kembali nabi Isa dan perbantahannya berada dalam ritme berpikir ini dan menarik kesimpulan : kok tidak match ya dengan uraian dari AQ. Dari arah berbeda, yang meyakini juga sebaliknya pula : kok bisa ya ada orang mengaku Islam dan mengaku pula seorang muslim tidak mau mempercayai sunnah Nabi?. Kok bisa ya, yang begitu sederhana saja tidak mau memahami.
      Yang memiliki alasan untuk tidak mempercayai, juga dapat mengatakan yang sama : kok bisa ya, ada orang Islam dan mengaku pula muslim bisa mempercayai hadits yang perawinya berujung pada Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbin, padahal kan jelas di AQ tidak merujuk pada peristiwa ini.

      Tidakah dipahami bahwa konsekuensi dari turunnya Nabi Isa diakhir masa – diasumsikan benar — akan melanggar konsepsi tentang kematian, konsepsi tentang nabi terakhir, sehingga pemahaman kita kepada AQ sepertinya teracak-acak. Tapi, teracak-acak itu dari cara pandang orang yang menolak hadits yang berkenaan dengan ini. Yang sebaliknya tidak.

      Namun, sebagai catatan… iman adalah kombinasi akal, bukan berlandaskan pikiran.
      Itu yang saya pahami.

      Suka

      • Usup Supriyadi said

        begitu urusannya berkait aspek-aspek seperti pada postingan

        maksudnya perihal hal-hal ghaib. 😉

        kok bisa ya, ada orang Islam dan mengaku pula muslim bisa mempercayai hadits yang perawinya berujung pada Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbin

        Mas Agor, saya sudah coba tanggapi soal Ka’ab Al -Ahbar dan Wahab bin Munabbin di tempatnya Mas Filar Biru… 😉

        Tidakah dipahami bahwa konsekuensi dari turunnya Nabi Isa diakhir masa – diasumsikan benar — akan melanggar konsepsi tentang kematian, konsepsi tentang nabi terakhir, sehingga pemahaman kita kepada AQ sepertinya teracak-acak. Tapi, teracak-acak itu dari cara pandang orang yang menolak hadits yang berkenaan dengan ini. Yang sebaliknya tidak

        sebagian juga sudah saya tanggapi di tempatnya filar biru. akan coba saya bahas mengenai kematian, barangkali, Mas Agor ini termasuk yang percaya bahwa Nabi Isa ‘alaihis-salaam telah mati, lantas dikebumikan… (kalau boleh tahu, dikuburkannya di mana ya mas? dan matinya karena apa ya mas? sempat menikah nggak mas? rata-rata nabi yang ada dalam Al-Qur’an kan punya istri… dan bukankah para nabi itu harus dimakamkan ditempat ia meninggal dunia? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, meninggal di rumah A’isyah radliyallaahu anhaa akhirnya dikuburkan di situ)

        back to point, tentang “kematian”

        Perlu diketahui bahwasannya makna ”kematian” dalam bahasa Arab (Al-Qur’an itu berbahasa Arab) tidak selalu bermakna terambilnya ruh dari jasad. Selain dari makna tersebut, maka ada dua makna lain yang dapat dipahami yaitu :

        1. Tidur..

        Hal itu sebagaimana terdapat dalam ayat :

        وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

        ”Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan” [QS. Al-An’am : 60].

        اللَّهُ يَتَوَفَّى الأنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا

        ”Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya” [QS. Az-Zumar : 42].

        Juga doa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang selalu beliau ucapkan ketika bangun dari tidurnya :

        الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا….

        ”Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan (= menidurkan) kami…” [HR. Al-Bukhari no. 6312].

        Sebagian ulama mengambil makna ini sehingga makna kedua ayat yang diperbincangkan adalah bahwasannya Allah mengangkat ’Isa bin Maryam ’alaihis-salaam dalam keadaan tidur.

        2. Memegang atau mengambil.

        Makna ini terambil sebagaimana jika dikatakan : (وَفَيْتُ مَالِي عَلَى فُلانٍ) ”Aku mengambil hartaku yang menjadi tanggungan Fulan”. Juga sebagaimana disebutkan dalam QS. Az-Zumar : 42 sebelumnya :

        اللَّهُ يَتَوَفَّى الأنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا

        ”Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya” [QS. Az-Zumar : 42].

        Makna ini adalah makna paling kuat diantara semua kemungkinan makna yang didukung oleh banyak mufassirin. Ibnu Jarir Ath-Thabari berada di barisan terdepan dalam memegang pendapat ini dimana ia mengatakan :

        وأولـى هذه الأقوال بـالصحة عندنا قول من قال: معنى ذلك: إنـي قابضك من الأرض ورافعك إلـيّ, لتواتر الأخبـار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم …….

        ”Yang lebih benar di antara pendapat-pendapat tersebut menurutku adalah pendapat yang mengatakan : Makna ayat tersebut adalah : ”Sesungguhnya Aku memegangmu dari bumi dan mengangkatmu kepada-Ku”; karena didukung oleh hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam…….” [Tafsir Ath-Thabari 3/2-3-204].

        Makna ini adalah makna asli dalam bahasa Arab. Dalam kamus Taajul-Arus disebutkan : istaufaahu dan tawaffaahu artinya tidak meninggalkan sedikitpun. Kedua kata tersebut menunjukkan hasil atau akibat dari kata aufaahu [Taajul-Arus oleh Az-Zubaidi 1/394]. Kalimat mutawaffiika, yaitu pada kata tawaffaa pada asalnya bermakna ”memegang dan mengambil”. Dan dipakai secara majazi dengan arti “mematikan”, sebagaimana yang tertera dalam kitab Asasul-Balaghah karya Az-Zamakhsyari. Tentu saja, kaidah ushul yang menyatakan al-ashlu fil-kalaam al-haqiiqah (asal dari satu perkataan adalah makna hakikatnya) dalam pembicaraan ini masih berlaku. Dengan kata lain, mengalihkan makna hakekat (yaitu, makna : “memegang/mengambil”) kepada makna majaz (yaitu makna : “mati”), harus mendatangkan dalil (dan ini tidak mungkin, sebab dalil justru bertentangan dengan makna majaz).

        Wa Allaahu A’lam

        Suka

      • agorsiloku said

        Nah di sinilah kemudian kita akan bertemu dengan pembahasan-pembahasan yang seru dengan berbagai rujukan untuk memastikan rangkaian menjadi sesuai dengan apa yang kita yakini, seperti penafsiran yang kemudian berbeda-beda perihal ayat mengenai diwafatkan Nabi Isa dan diangkat.

        Namun, seperti komen Mas Filar Biru dan Kang Usup. kedua penafsiran tersebut disampaikan kedua-duanya oleh ulama yang dikenal ummat. Tinggal kita yang jadi ummat, “enaknya” ambil jurusan mana ya…. 😀

        Kita hargai saja kedua perbedaan itu sebagai memang fakta perbedaan. Bahwa pendekatan Kang Usup juga digunakan sebagai pembenaran Kaum Kristen adalah persoalan berikutnya.

        Saya memahami bahwa kematian bisa berarti tidur (Allah memegang jiwa) dan mati dicabut nyawanya. Namun, disini saya “merasa” tidak afdol kalau Nabi Isa itu tidur lalu diangkat ke langit, tapi “merasa” lebih pas ruh Nabi Isa diangkat ke sisiNya. Kalau saya memilih pengertian Nabi Isa tidak diwafatkan, maka saya bertanya lagi : “Jadi Nabi Isa tidur di sisiNya”. “Jadi tidurnya seperti tidur kita di dunia?”, “jadi ada dunia lain selain dunia fisik kita?”… dan seterusnya. Tidak ada konsepsi yang “terganggu”
        Kalau Nabi Isa diwafatkan dalam arti dicabut nyawanya. Maka selesai, tidak ada pertanyaan lanjutan tentang konsepsi alam semesta, konsepsi ruh, yang menjadi pertanyaan tambahan. Soal jasadnya ada dimana, cukup dengan : “Allah tidak memberitakan”.

        Namun kalau Nabi Isa tidur di langit di sisi Allah dengan jasad fisiknya. Lalu kita menjawab dengan cara yang sama, maka itu tidak cukup, ya karena ada konsepsi yang terganggu tadi. Oh ternyata selain alam fisis, alam barzah, alam surga/neraka, ada juga alam spesial. Kita bisa jawab : “Kan bisa saja Allah khusus menyediakan, mudah bagi Allah”. Wah, jawaban ini nggak sense deh.

        Hal yang sama ketika banyak sumber (tafsir atau hadits atau sumber lainnya) membahas siksa kubur, ghaib, takdir, arsy, khataman, matahari mengelilingi bumi. Keseluruhan konsepsi itu, menurut pemahaman agor, tentulah akan harmoni. Kalau harmoni itu “terasa” tidak pas, kita cari dari berbagai sumber untuk mengkomparasi Tidak akan sepotong-sepotong. Disitulah kemudian peran akal untuk memilah dan memilih.

        Wah repot ya Kang, boleh jadi karena tingkatan pemahaman saya masih dibasis akal, belum ma’rifat….. maklum saja hidup terlalu banyak untuk bertahan hidup demi sesuap nasi….

        Suka

  3. Filar Biru said

    @ Mas Agor

    Jangan takut dalam mencari kebenaran walaupun salah Allah kasih satu pahala kalau benar Allah kasih dua. Kalupun di akhir jaman nabi isa as toh turun dan kita diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak saya rasa jawaban yang mampu kita berikan kepada Allah : Al Quran sendirilah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammada Adalah Nabi dan Rasul yang terakhir dan kami beriman kepada kitab2 Engkau.

    Ah…saya yakin… seyakin yakinnya Al Quran adalah benar, Tidak ada lagi nabi setalah Rasulullah SAW. Ajarannya sempurna sebagaimana ahklaknya. Bukankah Al Quran itu tidak ada kebengkokan di dalmnya.

    18:1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya

    Suka

    • agorsiloku said

      Satu pahala dan dua pahala ketika berijtihad mencari kebenaran (dan semata untuk kebenaran), kita amini. Masalahnya kemudian, jika kita salah dan kemudian kita menyadari itu adalah keliru sehinga “sesat dan menyesatkan”, apakah kita punya keberanian dan kemauan untuk mengakui dan mengoreksinya.
      Kerap saya juga terlalu angkuh untuk mau menerima kebenaran dan terjerumus untuk meyakini “something” yang kemudian disadari keliru….

      Suka

  4. Roy Rey said

    mmmm… semua berawal dari sayah… jadi mohon maap klo ada yang tersinggung… sekali lagi maap…

    Suka

  5. Filar Biru said

    Saya akan pastekan beberapa pendapat ulama dan tokoh islam terkenal mengenai hadits2 tentang Nabi Isa AS.

    Sebenarnya Al Qur’an sudah menjelaskan tentang persoalan ini, yaitu dalam surat Ali Imran/3:55:
    (Ingatlah) tatkala Allah berfirman: Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepadaKu, dan membersihkan engkau dari pada orang�orang kafir, dan akan menjadikan orang�orang yang mengikuti engkau lebih tinggi dari orang-orang kafir itu sampai hari kiamat. Maka kepada Akulah tempat kembali, maka akan Aku putuskan nanti di antara kamu dari hal yang telah kamu perselisihkan padanya itu.”

    Ada dua kelompok penafsiran yang berbeda terhadap ayat diatas, terutama disebabkan dalam mengartikan dua kata yaitu “mutawaffika” dan “rafi’uka ilayya”. Kelompok Pertama, mengartikan kata “mutawaffika” sebagai “menyempurnakanmu” atau “menggenggammu.” Sedangkan kata “rafiuka ilayya” diartikan sebagai mengangkatmu kepadaKu (mengangkat Isa Al Masih ke langit).

    Kelompok Kedua mengartikan kata “Mutawaffika” dengan “mewafatkan” dan “rafi’uka ilayva” dengan mengangkat (derajat Isa Al Masih).

    Pendapat yang terakhir ini di antaranya dikemukakan oleh beberapa ulama sebagai berikut:

    Prof. Dr. KH. Hasbullah Bakry, SH. dalam bukunya “Isa dalam Al Qur’an Muhamrrrad dalam Bibel,” (Jakarta, 1987) cet. Ke-8, hal. 19, 52 dan 53 menjelaskan:

    “Tuhan mematikan (Isa) sebagai kematian biasa (bukan dibunuh) dan Tuhan mengangkat derajat orang-orang yang mengikutinya lebih tinggi dari orang-orang yang menentangnya.”

    “Tradisi Kristen menurut Injil serta pendapat sebagian umat Islam menyatakan bahwa Nabi Isa setelah

    Khotbah perpisahannya di bukit Zaitun lalu berangkat terbang ke langit lalu duduk disamping Tuhan dan nanti akan turun lagi meng-islamkan umat Nasrani adalah sangat bertentangan dengan tradisi agama-agama Tuhan sendiri sejak Nabi Adam. Umat Islam menerima tradisi itu dari tradisi umat Kristen atau pendapat itu dibawa oleh orang-orang Nasrani yang amat banyak masuk Islam setelah Mesir dan Syria dibebaskan umat Islam dari jajahan Romawi.

    Prof. Dr. HAMKA, dalam tafsir Al Azhar (Jakarta, 1988) Juz ItI, hal. 181, menjelaskan:

    “Arti yang tepat dari ayat ini ialah bahwa maksud orang-orang kafir itu hendak menjadikan Isa Al Masih mati dihukum bunuh, sebagai yang dikenal yaitu dipalangkan dengan kayu, tidaklah akan berhasil. Tetapi Nabi Isa Al Masih akan wafat dengan sewajarnya dan sesudah beliau wafat, beliau akan diangkat Tuhan ke tempat yang mulia di sisiNya dan bersihkan diri beliau dari pada gangguan orang yang kafir-kafir itu.”

    “Maka dari itu arti pemahaman Dia (Isa) akan diangkat ke sisi Tuhan, ialah sebagai Nabi Idris yang diangkat derajatnya ke tempat yang tinggi, sebagaimana tersebut di dalam surat Maryam (surat 19 ayat 57). Begitu juga orang yang mati syahid di dalam surat Ali Imran ayat 169, dikatakan bahwa dia tetap hidup.”

    Al Alusi, dalam Tafsirnya yang terkenal Ruhul Ma’ani (Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1994), jilid III, ha1.179 memberikan pendapat tentang Mutawaffika, yang artinya telah mematikan engkau, yaitu menyempurnakan ajal engkau (mustaufi ajalaka) dan mematikan engkau menurut jalan biasa, tidak sampai dapat dikuasai oleh musuh yang hendak membunuh engkau.

    Beliau menjelaskan lagi bahwa arti warafi’uka ilayya (dan mengangkat engkau kepadaKu), telah mengangkat derajat beliau, memuliakan beliau, mendudukkan beliau ditempat yang tinggi, yaitu ruh beliau sesudah mati. Bukan mengangkat badannya. Lalu Al Alusi mengemukakan beberapa kata rafa’a yang berarti “mengangkat” dari beberapa ayat Al Qur’an yang tiada lain artinya adalah mengangkat kemuliaan ruhani sesudah meninggal.

    Syaikh Muhammad Abduh, dalam Tafsir Al Manar jilid II, hal 316, menjelaskan:

    “Ulama dalam menafsirkan ayat ini menempuh dua jalan. Yang pertama bahwa dia diangkat Allah dengan tubuhnya dalam keadaan hidup. Dan nanti dia akan turun kembali di akhir zaman dan menghukum diantara manusia dengan syariat kita. Penafsiran yang kedua ialah memahamkan ayat menurut asli yang tertulis, mengambil arti tawaffa dengan maknanya yang nyata, yaitu mati seperti biasa, dan rafa’a (angkat), ialah ruhnya diangkat sesudah beliau mati…”

    Kata beliau pula:

    “Golongan ini, terhadap golongan pertama yang menyatakan Nabi Isa telah naik ke langit dan akan turun kembali, mereka mengeluarkan kesimpulan hadits-hadits itu ialah hadits-hadits ahad yang bersangkut paut dengan kepercayaan yang tidaklah dapat diambil kalau tidak qoth’i (tegas). Padahal perkara ini tidak ada sama sekali hadits yang mutawatir.”

    Sayid Rasyid Ridha dalam Majalah Al Manar, juz 10 hal 28, seperti dikutip Hamka dalam Tafsir Al Azhar (Pustaka Panjimas, 1988) Juz III, hal. 183, pernah menjawab pertanyaan dari Tunisia.

    “Bagaimana keadaan Nabi Isa sekarang? Dimana tubuh dan nyawanya? Bagaimana pendapat tuan tentang ayat inni mutawaffika wa rafi’uka? Kalau memang dia sekarang masih hidup, sebagaimana di dunia, dari mana dia mendapat makanan yang amat diperlukan bagi tubuh jasmani itu? Sebagaimana yang telah menjadi sunnatullah atas makhluknya?”

    Atas pertanyaan itu, Sayid Rasyid Ridha menguraikan jawabannya:

    “Tidak ada nash yang sharih (tegas) di dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Isa telah diangkat dengan tubuh dan nyawa ke langit dan hidup disana seperti di dunia ini, sehingga perlu menurut sunnatullah tentang makan dan minum, sehingga menimhulkan pertanyaan tentang makanan beliau sehari-hari. Dan tidak pula ada nash yang sharih menyatakan beliau akan turun dari langit. Itu hanyalah aqidah dari kebanyakan orang Nasrani, sedang mereka itu telah berusaha sejak lahirnya Islam menyebarkan kepercayaan ini di dalam kalangan muslimin.

    Beliau menegaskan:

    “Ini adalah masalah khilafiyah.”

    Ahmad Mustofa Al Maraghi, dalam Tafsir Al Maroghi (Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mustafa Albabi Alhalabi, 1946), jilid I, juz ke-3 ha1.165 menjelaskan:

    “Tidak ada dalam Al-Qur’an suatu nash yang sharih dan putus tentang Isa a.s diangkat ke langit dengan tubuh dan nyawanya. Adapun sabda Tuhan mengatakan bahwa: Aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau daripada orang-orang kafir itu, jelaslah bahwa Allah mewafatkannya dan mengangkatnya, zahiriah (nyata) dengan diangkatnya sesudah wafat itu, yaitu diangkat derajatnya di sisi Allah. Sebagaimana Idris a.s dikatakan Tuhan: “Dan kami angkatkan dia ke tempat yang tinggi.”

    “Hadits-hadits yang menyatakan bahwa Nabi Isa masih hidup (jasmani dan ruhani) dan akan turun dari langit, tidaklah sampai kepada derajat hadits�hadits yang mutawatir. Oleh karena itu maka tidaklah wajib seorang mulim beri’tikad bahwa Isa Al Masih sekarang hidup dengan tubuh dan nyawanya, dan orang yang menjalani aqidah ini tidaklah kafir dari syariat Islam.”

    Syaikh Mahmoud Shaltout, Syaikh Jami’ Al Azhar (meninggal tahun 1963) seperti yang disiarkan mingguan Ar Risalah, yang terbit di Mesir, No 452 jilid 10 hal 515, seperti dikutip Hamka (Tafsir Al Azhar, 1988) cet. Ke-3 hal 317, memberikan pendapat tentang hadits-hadits yang menyatakan bahwa Nabi Isa akan turun:

    “Riwayat-riwayat itu adalah kacau balau, berlain-lain saja lafadnya dan maknanya yang tidak dapat dipertemukan. Kekacau balauan ini dijelaskan benar-benar oleh ulama hadits. Dan diatas dari itu semua, yang membawa riwayat ini ialah Wahab bin Munabbih dan Kaab Al Ahkbar, keduanya itu ialah ahlul kitab yang kemudian memeluk Islam.”

    “Adapula hadits yang dirawikan Abu Hurairah tentang Nabi Isa akan turun, apabila hadits itu shahih, namun dia adala.h hadits ahad. Dan ulama telah ijma’ bahwa hadits ahad tidak berfaedah untuk dijadikan dasar aqidah dan tidak sah dipegang dalam urusan yang ghaib.”

    Syaikh Abdul Karim Amrullah, Ulama besar Indonesia dalam bukunya Al Qoulus Shahih, 1924.

    “Nabi Isa meninggal dunia menurut ajalnya dan diangkat derajat beliau di sisi Allah, jadi bukan tubuhnya diangkat ke langit.”

    Dr. Quraish Shihab, dalam harian Republika, hal 10 tanggal 18 Nopember 1994:

    “Bahwa Isa a.s kini masih hidup di langit, bukanlah satu kewajiban untuk mempercayainya, serta beberapa hadits yang berkaitan dengan kenaikan Isa Al Masih dan akan turunnya kelak menjelang kiamat. Hadits-hadits tersebut walaupun banyak kesemuanya bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al Akhbar dan Wahab bin Munabbih. Tidak sedikit ulama yang menilai bahwa informasi mereka pada hakekatnya bersandar dari sisa kepercayaan kedua perowi hadits�hadits itu.”

    Dari beberapa pendapat ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa: [1]. Isa Al Masih telah diwafatkan oleh Allah. Seperti manusia lain, beliau pun, akan terkena sunnatullah kematian “Setiap nafs (yang berjiwa), akan menghadapi kematian” (Ali Imran/3:185).

    [2]. Bahwa Isa Al Masih akan diangkat Allah bukan dalam arti diangkat secara fisik, melainkan derajatnya. Penggunaan kata rafa’a seperti ini bisa juga kita temui dalam surat Al Mujadilah/58:11 “….Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” Makna pengangkatan yang sama juga diberikan kepada Nabi Idris (Maryam/19:57).

    [3]. Bahwa hadits-hadits Nabi saw yang melukiskan akan tibanya suatu periode dimana Isa akan mengoreksi keislaman bani Israil yang menyeleweng dari syariat Nabi Musa, atau menyebut Isa Al Masih berada di langit atau masih hidup hingga kini, tidak bisa dijadikan pedoman yang kokoh. Kesimpulan tersebut diambil dari beberapa fakta dibawah ini: Pertama, Hadits-hadits tersebut termasuk hadits ahad, sehingga tidak bisa dijadikan pedoman dalam soal aqidah. Kedua, walaupun menurut Bukhari sanadnya shahih tetapi karena matannya mungkin bersinggung balik dengan Al-Qur’an yang dengan tegas mengatakan bahwa Isa Al Masih telah wafat maka untuk menghindari kesalahpahaman seperti yang terjadi ada jama’ah Ahmadiyah Qodian, hadits tersebut lebih baik ditinggalkan saja. Ketiga, hadits-hadits tersebut, bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al Akhbar dan Wahab bin Munabbih (yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan lamanya).

    Dari logika saja, bagaimana Isa Al Masih hidup dilangit itu? Apakah Tuhan ada di langit? Langit itu walau bagaimanapun juga luasnya berarti dalam lingkungan ruang dan waktu, sedang Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu, laitsa kamitslihi syaiun.

    Bagaimana Isa Al Masih dengan tubuh jasmaninya hidup di langit yang udaranya diluar kesanggupan paru-paru insani? Atau apakah Isa Al Masih di sana dalam keadaan alam ruhani saja? Kalau demikian maka kondisi tersebut sama dengan manusia lainnya yang telah mati, mereka hidup dalam alam ruhani di luar ukuran dunia fana ini. Sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi.

    Boleh jadi juga orang-orang Kristen dan sebagian orang-orang Islam yang menyandarkan bahwa Isa Al Masih duduk di kanan Allah itu karena ayat Al-Qur’an berbunyi: “… dan adalah Isa salah seorang yang dekat pada Allah (minal maqarrabin) .”

    Dekat disini bukan berarti dekat dalam ukuran ruang dan waktu tatapi dekat dalam arti ruhani, maksudnya beliau sangat mulia di sisi Allah karena iman dan taqwanya pada Allah. Dan kita jangan keliru bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Isa Al Masih hanyalah salah seorang saja dari antara orang-orang yang dekat pada Allah. Jadi kaum “muqarrabin” itu jumlahnya banyak sekali, dan yang sudah tergolong “muqarrabin” itu ialah para nabi dan para wali, orang-orang yang saleh dan taqwa pada Allah. Jadi tidak seharusnya hanya Isa Al Masih saja yang dianggap dekat pada Allah.

    Sedangkan pendapat sehagian ulama bahwa Isa Al Masih masih hidup di surga justru dipakai oleh kalangan Kristen untuk menyatakan bahwa orang Islam pun mengakui kalau Yesus hidup di surga dengan Tuhan. Maka siapa yang bisa berdampingan dengan Tuhan kalau bukan Tuhan?

    Jika pemahaman itu merasuk pada umat Islam, maka dua doktrin umat Kristen Kebangkitan, Kenaikan dan Ketuhanan Yesus dengan mudah juga diterima umat Islam.

    Sumber:
    http://islamic.xtgem.com/isa_almasih/kebangkitan9_11.htm

    Suka

  6. Assalamu’alaikum @All
    😀
    Mas Agorsiloku, sungguh lho saya baca komentar @Mas berulang-ulang bahkan sampai terbawa-bawa kerumah… hehehe.

    agorsiloku said 21 hours ago:

    …. tampaknya memang, ada ‘kerepotan” konsekuensi dari pemahaman Nabi Isa akan turun ke bumi menjelang kiamat. Meskipun menurut pemahaman agor, Nabi Isa tidak akan turun lagi, namun ahlul sunnah meyakini (dan tentu mereka punya alasan) untuk meyakini.
    Dalam diskusi, pertanyaannya kemudian, bagaimana ya perbedaan itu kemudian dapat ditangkap dengan jernih logika-nya, sehingga kontemplasi yang dihadirkan memberikan manfaat pada penguatan syiar Islam…..
    _____________________________
    @Haniifa:
    Subhanallah, sayah ingin sekali tapi kok sulit yah..

    _____________________________
    Karena hanya dengan logika (termasuk logika yang tidak masuk akal) dipahami oleh area akal…..

    bus on the way…
    Saya copas ajah biyar jelast.

    _________________________________________
    Sikap Seorang Muslim di Hadapan As-Sunnah

    Penulis: Buletin Dakwah As-Sunnah, Surabaya.
    Edisi: Perdana/Shafar/1426 H/Maret/2005

    As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, 😀 baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah).
    _____________________________
    @Haniifa say:
    Ahlul sunnah apaan tuh “SALLAM”, masa iqro nol aja nggak lulus… hehehe.
    إِلاَّ قِيلاً سَلَـماً سَلَـماً
    But only the saying of: “Salaman! Salaman!”… tafsir ibn Kathir
    “akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.”… tafsir Depag RI
    Ada lebih dari 10 ayat yang menulis kata “SALAM” di Al Qur’an
    _____________________________

    Lalu bagaimana sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah itu? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al-Qur’an di surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya sebagai berikut:

    وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

    “Dan apa saja yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kalian, maka ambillah (laksanakanlah). Dan apa saja yang dilarangnya, maka hentikanlah (tinggalkanlah).”

    Di dalam ayat yang mulia ini, secara jelas di tegaskan bahwa sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah adalah “Mengimani seluruh ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa di pilih-pilih, walaupun tidak sesuai dengan keinginan atau kemauan hawa nafsunya, atau mungkin belum bisa diterima akalnya.”
    _____________________________
    @Haniifa say:
    😀
    Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS Al Hasyr:7)

    Peri kelir sekali, bahwa ayat tersebut menjelaskan pembagian HARTA bukan suatu “maklumat” atau “perintah”… hehehe
    _____________________________

    Seorang muslim harus yakin, bahwa semua ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dibimbing oleh wahyu yang mutlak kebenarannya, dan tidak bisa ditentang oleh pendapat siapapun.
    Ambillah contoh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya di Kitab Ath-Thib Nomor 5782. Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah ‘alaihi wa sallam 😆 bersabda:

    إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمَسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ لَيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جِنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي اْلآخَرِ دَاءً

    “Apabila ada lalat jatuh ke dalam sebuah bejana (untuk minuman) salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh (tubuh) lalat itu ke dalamnya kemudian buanglah lalat itu (lalu minumlah air yang ada dalam bejana itu, ed). Karena sesungguhnya di dalam salah satu sayap lalat itu terdapat obat penawarnya dan di sayap lainnya ada penyakit.”
    Setelah mendengar dan membaca hadits ini, seorang muslim sejati harus mempercayainya dan meyakini kebenarannya, haram baginya menantang dan melecehkan hadits tersebut, walaupun menurut kedangkalan akalnya hadits ini terkesan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan teori kesehatan.

    _____________________________
    @Haniifa say:
    😀 hua.ha.ha… Dasar Ahlul Lalat ijo.
    Coba bandingkan perintah Allah subhanahu wa’tala terhadap wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah dan umat Islam:

    Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS 3:7)

    Muhkamaat = jelas, gamblang dan mudah difahami dengan sedikit pengetahuan.
    mutasyabihat = tidak jelas bagi sebagian orang, tapi bisa jelas bagi sesorang, namun harus hati-hati mentakwilnya.
    Peri klear sekali Allah tidak meng-HARAM-kan muslim yang tidak mengerti pada ayat-ayat mutasyabihat
    _____________________________

    Namun yang perlu diingat, sebelum meyakini dan mengamalkan As-Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seorang muslim sejati harus melakukan dua tahapan ilmu sebagai berikut:
    _____________________________
    @Haniifa say:
    😀
    Lha yang menentuken muslim sejati apa ?!
    Lalu muslimah sejatinya bijimana ?!
    Belum lagi mukminin wal mukminat… de.el.el

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  7. agorsiloku said

    Komentar 5 dan 6 dari Oom Filar dan Oom Haniifa menegasi kerepotan ini.Mas Filar menegasi kerepotan yang menimbulkan pertanyaan berekelanjutan yang eksposurnya kemudian pada sebuah fakta untuk menghadirkan kehadiran Nabi Isa dalam pemahaman Kristiani. Dengan kata lain, pemahaman hadits ini juga menimbulkan konsekuensi atau diskusi berkepanjangan, bukan setahun dua tahun, tapi berabad-abad. Tidak keliru pula jika muncul hipotesis bahwa ummat Islam sibuk dengan urusan “beginian” sehingga lupa atau terlupa untuk mengembangkan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang menjadi yang menjunjung tinggi aspek tauhid sambil mengembangkan diri sebagaimana sejarah cemerlang Islam di masa lampau, karena asyik masyuk dengan issue-issue nonstrategis.

    Sudut-sudut taktikal dibahas atau lebih “zakelijk” oleh Kang Haniifa, dalam bahasa prokemnya : “Ente liat dong yang jernih, jangan dodol pada setiap isinya. Jangan turutin elo punya nafsu dalam membenarkan. Yang bener gituh, jangan diaduk-aduk dengan yang bener karena bla…bla…” Bukankah sudah peri klear….

    Saking peri klearnya… kita lupa yang ditanyakan, dan ribut dengan peri klearnya. (saya termasuk yang mencari esensinya dari Kang Haniifa, dan menghindari komentar tajamnya. Bukan apa-apa, karena buat saya, titik tajam yang diungkap buat saya adalah penekanan akan tema yang diusung. Tapi, dari situ, alhamdulillah, ada ilmu-ilmu bermanfaat yang bisa saya petik.

    Seperti juga Oom Roy yang memanasi (menghangatkan) dengan komen postingan.

    all of all, yang menurut saya penting adalah memahami strategisnya, menegasi kelurusan taktikalnya tanpa diusung rasa takut dan keharusan untuk “pokoe” harus nurut. Tapi sebagai sebuah pilihan memahami hidayahNya, memahami petunjukNya.

    Namun, seperti disitir oleh Kang Haniifa, memang nggak mudah ya Kang. Kadang saya juga merasa berat ngurusi pemahaman dan sumber-sumber yang dirujuk pada blog ini. Apakah saya menjadi bagian debu yang ikut berkontribusi (sekecil apapun) untuk ikut serta mencerahkan ataukah malah menjadi penyesat yang menyesatkan… atau menjadi pemancing yang malah tidak membawa manfaat…..

    Suka

    • Filar Biru said

      @ Mas Agor

      Sudah lah jangan bersifat skeptis begitu, jangan menyalahkan diri sendiri dan jangan hanyut dengan keadan ini, anggap saja ini sebuah penomena dalm mencari kebenaran.

      Bahkan Malaikat dilangitpun tertegun melihat kita ntuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Saya juga bertanya2 juga dalam hati tentang keadaan ini, entah kapan saya mendapt informasi ini (Turunnya Nabi Isa AS kedunia lagi), mungkin sepuluh tahun yang lalu atau lebih saya tidak ingat lagi. Yang jelas ketika mendapat cerita ini ada sesuatu yang menggajal di hati saya. Kok bisa begitu jadinya lalu firman Allah dalam Aq mau di kemanakan?

      Hati manusia adalah tempat rebutan antara malaikat dan iblis, kitalah komandonya ketika kebenaran itu jelas tanpak seakan kabur di karenakan hati yang terlanjur buram. Saya pribadi hanya mengandalkan logika semata dalam mencari kebenaran dan berhaluan kepda AQ dan hadits.

      Ketika kebenaran itu muncul kepermukaan seakan ada bisikan dari dalam hati kita, benarkah atau salahkah. Saya melihat kenyataan sekaligus kebenaran yang datang untuk pertama kali walaupun waktu itu masih kecil adalah ketika melihat orang yang sedang sholat. Saya menangkap suatu perbuatan hina yakitu sujud dilantai. Yang saya ambil dari perbuatan orang itu adalah gerekan-gerakan hebat dalam sholat. Karena aku masih kecil maka aku pun bertanya dalam hati “apa yang dilakukan orang ini?” aku tidak berani bertanya langsung kepadanya.

      Entah kakaku entah ibuku yang menjelaskan bahwa orang itu sedang sholat. lalu aku tanya pada mereka Sholat itu apa? mereka menjawab entah ibuku entah kakakku “orang itu sedang menyembah Tuhan” aku pun protes “Mana Tuhannya?”

      Kakaku tersenyum karena dia tahu aku masih kecil dan belum bersunat. Hatiku berkecamuk antara percaya dan tidak, masa menyembah Tuhan, Tuhannya nggak ada. Perbuatan dalam sholat yang paling membuat aku takjub adalah sujud, kening hidung bersentuhan dengan lantai. Aku berfikir inilah cara menyembah yang benar.

      Setelah aku beranjak remaja tidak aku temui satupun agama dimuka bumi ini yang mempunyai gerakan hebat dalam menyembah Tuhan selain islam, walaupun aku belum juga sholat ketika itu. Aku membenarkan bahwa cara menyembah Tuhan dalam islam inilah yang betul walaupun aku dibesarkan dalam keluarga islam, aku jarang melihat mereka sholat.

      Walaupun aku bukanlah pemuda yang sholeh namun hatiku tidak bisa di dustai, aku membenarkan bahwa satu-satunya agama dalam menyembah Tuhan penuh dengan kehinaan adalah islam, jidatnya menyatu dengan lantai, tempat yang selalu diinjak oleh manusia. sekaligus tempat sujud. inilah agama yang lurus, agama yang membuat pemeluknya sangat rendah dimata Allah. Tidak lebih nilainya dari sebuah lantai.

      Setalah aku mengetahui bahwa keturunan adam berasal dari air mani, dikatakan oleh Allah air yang hina, maka kita sebenarnya adalah makhluk yang hina dina dengan cara sembahyang juga penuh dengan kehinaan maka tidak ada tempat di muka bumi untuk berlaku sombong.

      Pantaskah mahkluk yang berasal dari air mani dan menyembah Tuhannya mencium lantai terniat di hatinya untuk membanggakan diri?

      Inilah kebenaran yang saya tangkap dari agama islam yang mengajarkan pemeluknya untuk selalu tahu diri, sadar di untung, yang suatu hari nanti kita akan kembali kepada tanah hitam berlumpur dan berbauh.

      Suka

      • agorsiloku said

        Subhanallah… ini komentar begitu tajam menusuk hati :”Pantaskah mahkluk yang berasal dari air mani dan menyembah Tuhannya mencium lantai terniat di hatinya untuk membanggakan diri?”
        Rasanya … betapa terbiasanya saya sombong dalam berbagai arena kehidupan….
        Ini pelajaran berharga yang kerap agor lupakan…

        Suka

      • Filar Biru said

        Iya ya kok aku komennya kek gitu ya kayak nggak pernah sombong aja?!
        Ah…itukan bisikan hatiku katika masih sekolah setelah bekeluarga barulah aku sholat dan barulah aku mengerti betapa diriku ini adalah setetes air yang hina. Ah… kalu di fikir2 malu juga aku kepada Allah.
        betapa rendahnya diriku ini.

        salam Mas Agor.

        Suka

    • @Mas Agorsiloku
      😀
      Dogmatisme yang harus dibuwang jauh-jauh dari Agama Islam….

      Suka

      • agorsiloku said

        Dan dogmatis dari AQ dipegang erat-erat… 😀

        Suka

      • Usup Supriyadi said

        @Agrosiloku

        Dari Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

        وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال رجل إن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا يا رسول الله قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ

        “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh dengan satu nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami bercucuran dan hati kami bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya nasihat ini seperti nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham”.

        Hadits di atas diriwayatkan melalui enam jalur periwayatan dari Al-‘Irbaadl bin Saariyyah radliyallaahu ‘anhu

        Hadits ini shahih dengan semua jalannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Walhamdulillaah 😀

        Suka

      • agorsiloku said

        Kang Ucup trims lagi komentarnya… hadits ini memang populer termasuk sunnah 4 tokoh Islam di awal, setelah berakhirnya masa kenabian. Namun, ya itulah… memang saya juga nggak kenal baik karya-karya Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin.. Hadits ini sepertinya mengunci untuk hal-hal baru, karena semua itu adalah kesesatan….

        Suka

      • @Kang Agorsiloku
        Soal penulisan s.a.w, saww dll… serta penulisan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau akang khawatir atas komentar sayah diatas, tolong direfer kesinih.

        Hatur tengkiu..

        Suka

      • agorsiloku said

        Kang Haniifa, saya nggak terlalu risau mengenai cara penulisan, maklumlah bukan ahli bahasa. Salah ketik atau cari cepatnya saja atau yang sejenisnya, gapapa. Menjadi serius dan hati-hati, ketika mengubah pngtian/pengertian/pegertian (semuanya sama, karena manusia membaca konteksnya, bukan huruf-per huruf).
        Ini berbeda dengan ayat dari Al Qur’an, karena di sana ada pengetahuan yang tak terbatas dari khasanah ilmu yang diberikan Sang Pencipta, yang kandungannya. Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah (QS 11.14), sangat berbeda dengan cara manusia menulis atau mengungkapkan pendapat. AQ sangat definitif dari setiap hurufnya, sedang kita… he…he…he…sudah terbiasa amburadul….

        Suka

      • @Kang Agorsiloku
        Sungguh lho, saya acapkali mengenyikan kening dalam-dalam bila kebetulan sayah baca “Flaying book 0e2-Al Faatihah” dari @Oom Prof. Fahmi Basya.

        Biyar sayah ketik ulang :

        PEMBUKA
        Belajar memabaca Al-Qur’an itu harus dari yang mudah.Tidak banyak “tajwid”nya. Ternyata, di Surat Al-Faatihah (surat pertama Al-Qur’an) tidak banyak tajwidnya, Coba baca ini:
        Al-ham-dul lil-laa-hhi rab-bil ‘aa-la-miiin
        Ar-rah-ma nir-ra-hiiim.
        ..
        ..
        Ternyata “tajwid” baru muncul diakhir kalimat. Phenomena ini menunjukan bahwa Al-Qur’an sudah dimudahkan untuk manusia

        Tampaknya sederhana, tetapi akan menjadi polemik tersendiri bagi para “muallaf” tentang jumlah ayat pada surah Al Faatihah, ENAM atau TUJUH ?!

        AQ sangat definitif dari setiap hurufnya, sedang kita… he…he…he…sudah terbiasa amburadul….
        ___________________________
        Pantasan “dagangan” @Oom Prof. Kyai… kurang laku disegment pasar non muslim. 😀

        Suka

      • agorsiloku said

        Itulah memang Kang Haniifa, itu yang membuat saya selalu berulang-ulang membaca kembali postingan Akang sampai huruf Lam Alif dari Al Faatihah yang diwarnai merah itu. Sambil mengerutkan kening, adakah kesimpulan baru, wawasan baru yang menambah informasi dan pengetahuan.
        Sejumlah “kebenaran” dan kekeliruan menunjukkan jalan untuk terbukanya satu hijab, membutuhkan usaha.
        Salam selalu, adji

        Suka

      • agorsiloku said

        Itulah memang Kang Haniifa, itu yang membuat saya selalu berulang-ulang membaca kembali postingan Akang sampai huruf Lam Alif dari Al Faatihah yang diwarnai merah itu. Sambil mengerutkan kening, adakah kesimpulan baru, wawasan baru yang menambah informasi dan pengetahuan.
        Sejumlah “kebenaran” dan kekeliruan menunjukkan jalan untuk terbukanya satu hijab, membutuhkan usaha.
        Salam selalu, agor

        Suka

      • @Kang Agorsiloku
        Untuk dunia matematika, insya Allah, saya dapat kesimpulan baru, bahkan “mungkin” tidak terpikirkan sebelumnya.
        Ingin rasanya saya tuangkan berupa artikel atau jurnal ilmiah, acapkali timbul juga keragu-raguan singkatnya saya khawatir dunia “barat” mengklaim bahwa ide/gagasan saya sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, atau lebih fatal lagi rekan-rekan dari ahli matematika malah mencemoohkan seperti dalam kasus 0/0=1.
        Jauh dilubuk hati ini, saya ingin sekali kaum muslimin wal muslimat terlebih dahulu mengetahuinya sebelum “orang lain” karena bukan hal yang mustahil jika hidayah tersebut menjadikan puncak gunung es bagi dunia pendidikan di Indonesia yang semakin amburadul… 😦

        Suka

      • Demikian juga dibidang ilmu kimia, sedikit demi sedikit saya “mengarahkan” pembaca artikel ini menuju dasar-dasar Susunan Berkala Unsur-unsur (Periodic Table) yang sebenarnya terinspirasi dari Kitab Suci. (Jika tidak ingin disebut Al Qur’an)

        Teriring salam hormat selalu, Haniifa.

        Suka

      • agorsiloku said

        Kang Haniifa, Nol (zero) memang sebuah bilangan yang bukan kosong (null). Persamaan yang akang buat tentang Nol memang akan dirasakan aneh karena kita mendefinisikan limit tak berhingga menuju kekosongan dan sekaligus berpasangan dengan tak berhingga besarnya yang juga tidak bisa kita definisikan. Selama bilangannya adalah nol bukan null permainan logika masih akan menjelaskan, tapi ya itu… memang batasan matematika untuk bermain di lingkup ini terasa terbatasnya.
        Saya juga termasuk yang kerap pusing melihat anggota bilangan nol ini, disebut punya anggota bilangan, tapi nol. 😀
        Namun, penarikan kesimpulannya antara absolut dan relatif lebih mudah dicerna logika.
        Namun, asyik-asyik saja kita mencernanya. Faktanya, kita sulit membedakan antara null dan zero….(seperti komentar postingan yang luar biasa ramainya itu).

        Boleh jadi AQ menjelaskan hal ini ?

        Suka

      • agorsiloku said

        Susunan Berkala Unsur-unsur juga menarik, apakah (lebih tepat) seberapa tahu kah kita sudah dapat menafsirkan pemahaman penemuan unsur-unsur kimia yang sekarang sudah mencapai bilangan 118 itu (pada tabel resmi waktu kita sma masih 103 ya). Apakah AQ menjelaskan formulasi sampai bilangan ke berapa nanti akan ditemukan unsur-unsur di alam semesta ini?, adakah bilangan yang dilewatkan oleh Susunan Berkala Unsur-unsur yang belum terjelaskan. Apakah pembuatan bom atom itu yang berasal dari Uranium atau juga masih ada isotop lain yang sebenarnya ada dalam hijab AQ. Ini juga wacana yang kadang agor bayangkan bahwa perumusan tentang teknologi alam semesta dan rumusan ledakan bintang jauh yang meluluhlantakan sebuah galaksi, terumuskan pada ayat-ayat AQ?. Saya berharap, ada ilmuwan suatu ketika menjelaskan dahaga pertanyaan ini.
        Apa yang kerap akang uraian, toh belum 0,0000000001% dari ilmuNya yang disajikan dalam AQ. Akang tentu ingat ayat QS 13:31. Dan sekiranya ada satu bacaan yang dengan bacaan itu gunung bergerak/digoncangkan atau bumi jadi terbelah….. Ayat ini bukankah sedang berbicara tentang “formula” sebuah ilmu dan jelas yang dirujuk adalah ilmu yang ada pada AQ. Mungkinkah ummat Islam dikemudian, akan memahaminya dan “menggunakan”nya sebagai alat peradaban dan teknologi?.
        Oleh karena itu, setiap titik pembahasan, buat agor terasa betapa luas dan dalam ilmuNya dan betapa beruntungnya orang-orang yang dibukakan pemahaman AQ untuk membacanya dalam arena yang berbeda dengan para pendahulu…..

        Teriring salam selalu, agor.

        Suka

  8. Usup Supriyadi said

    السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

    الحمد لله رب العالمين

    Jazakallaahu khairan katsiran kepada empunya Agrosiloku. Semoga الله merahmati upaya bapak. Amin

    Yang paling banyak menyentuh hati adalah sikap hidup dan cara pandang Junjungan

    mohon penjelasannya, maksudnya apa ya?

    Pengalaman menunjukkan pertentangan pemahaman bisa-bisa menjurus pada tumpahnya minuman yang dihidangkan

    maka dari itu, alangkah baiknya kita berkaca kepada para salafus shaleh… yang mana tidak ditemui “riuh rendah” atau “tumpahnya makanan dan minuman” seorang yang ‘alim pasti tidak akan melakukan hal itu, karena itu tindakan tercela lagi tidak mensyukuri nikmat الله

    Kalau saya anggap tidak sesuai dengan apa yang diuraikan Al Qur’an ya saya harus jujur juga kepada diri sendiri, saya meragukan kebenaran hadis itu

    subhanallaah, ternyata saya sedang berhadapan dengan seorang ahli hadits. kalau saya sih, karena tak ada kapasita dan otoritas untuk menganggap, apalagi sebagian anggapan selalu meleset, maka saya serahkan kepada para ahlinya saja, buat apa ada ahli hadits, kalau ternyata ketika sudah shahih menurut pakar hadits, eh, saya ini malah bilang, tidak, tidak sesuai! siapalah saya? Al-Qur’an saja belum hafal 30 Juz, dan hadits saja cuma hafal beberapa saja. saya menghargai keilmuan mereka… toh, mereka bukan tanpa kaidah… ada yang disebut Ilmu Hadits atau Tafsir Hadits….

    Kalau begitu, selayaknya kita lebih cenderung mempercayai hadis yang tidak bertentangan atau berbeda dengan Al Qur’an

    ya sudah, silahkan di pilah pilih. Kalau saya sih, jika sudah shahih suatu hadits, maka itulah mahzab saya. tentunya tidak mau asal nrimo juga, harus ditelusuri benar shahih atau tidak. ada kok kaidah mudahnya untuk mengetahui hadits itu shahih atau lemah, atau bahkan palsu, tidak serta-merta berdasarkan perasaaan “ah, kok nggak sesuai ya… palsu nih…”

    Satu hal prinsip yang harus kita yakini adalah bahwa hadits shahih selamanya tidak akan pernah bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebab, pada hakikatnya dua-duanya adalah sama dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang datang dari Allah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :

    أَلا إِنِّيْ أُوْتِيْتُ اْلكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

    ”Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang semisalnya (yaitu As-Sunnah) bersamanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4604; shahih].

    Allah berfirman :

    أَفَلاَ يَتَدَبّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

    ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi الله, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” [QS. An-Nisaa’ : 82]

    Apabila ditemukan nash-nash yang terkesan bertentangan, maka langkah pertama kita adalah tidak ”menyalahkan” nash. Tapi kembalikanlah pada diri kita. Mungkin saja akibat kurangnya ilmu dan pemahaman, atau dangkalnya penelitian dan pembahasan. Kita harus ber-husnudhdhan (berbaik sangka) pada nash, dan ber-su’udhdhan (berburuk sangka) pada diri sendiri. Dalam salah satu cabang ilmu Al-Qur’an dan ilmu hadits pun diketemukan cabang pembahasan tentang hal itu, yaitu dalam pembahasan Ta’arudl Al-Qur’an dan Mukhtalaful-Hadits/Musykilul-Hadits. Para ulama ketika membahas ilmu tersebut dibingkai semangat untuk menggabungkan makna ayat/hadits sehingga bisa dipahami tanpa mempertentangkan antara satu dengan yang lainnya. Adapun metode mempertentangkan antara satu nash dengan nash lainnya adalah metode yang umum dipakai para pengikut hawa nafsu

    AQ saja bisa ditafsirkan (baca dipahami) dengan cara tertentu (contoh pemahaman Nabi terakhir), apalagi pada hadis, karena ada politik kepentingan di dalamnya

    Dan pemahaman Nabi Terakhir itu termaktub dalam As Sunnah/Hadits Shahih. Politik kepentingan? Sejauh yang saya ketahui dari biografi-biografi pakar hadits, mereka sangat wara dan bara, lagi zuhud, dan misalnya Imam Ahmad saja sampai dipenjara oleh pemerintah saat itu! ia pakar hadits, tidak kong kalikong dengan perpolitikan… pertanyaanya, pakar hadits yang mana dulu, pak? kok digeneralisasi begitu? jadi di mata bapak ini, tidak ada seorang pun perawi yang adil dan terpercaya?

    kalau tidak sesuai dengan Al Qur’an atau bertentangan dengan kitab petunjuk utama, ya tinggalkanlah. Begitu sebuah hadis menjelaskan

    sebaiknya di tulis haditsnya, pak, kalau perlu dengan sanad dan matannya… 😉 tentu saja, saya setuju, tapi kembali lagi, saya ini bukanlah seorang ulama, maka saya akan “mengikuti” ulama yang kompeten dan memiliki kapasitas, dalam hal tafsir mentafsir…

    Boleh jadi itu hadis tidak shahih alias palsu atau penerjemahnnya tidak pas, atau salinan dari salinannya tidak pas atau apalah

    maka dari itu, lebih baik dicek ya pak ke sumbernya, jangan juga memutuskan pakai perasaan, tanya kepada pakar hadits, sungguh, tidak akan pernah bersatu antara kebenaran dan perasaan, hati itu mudah bergejolak… sedangkan kebenaran itu tetap mutlak…

    Sedangkan Al Qur’an tidak palsu. Al Qur’an dijaga dengan kunci matematis yang canggih, yang membuat jin dan manusia bersama-sama, tak akan mampu membuatnya

    kalau saya sih tidak perlu harus sampai itung-itungan matematis, pak. Al-Qur’an yang sudah jelas, kok harus dinjelimetin dengan rentetan matematis… saya mengikuti ulama bukan saintis Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada الله bukanlah seorang ulama.”

    Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada الله hanyalah ulama .” (Fathir: 29)

    Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab الله dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat [atsar]. Dialah yang berhak berijtihad [Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155]

    Jadi saya harus punya alasan untuk tidak menerima Nabi Isa turun ke bumi sebagai khasanah yang keliru dan keputusan itu didasarkan alasan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Begitu juga yang menerima pemahaman ini juga sama-sama diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan rahmat akal dan pikiran sebagai potensi untuk mengambil keputusan

    Baiklah. 😉

    Jazakallaahu Khairan Katsiran…

    Wa Allaahu A’lam

    Suka

    • agorsiloku said

      Wassalamu’alaikum Kang Usup.
      Terimakasih sudi berkunjung dan memberikan catatan dan memerincikan postingan sederhana ini. Juga komentarnya yang bernas. Mengenai sebab tulisan ini, emang sih.. gara-gara akang menulis tentang Nabi Isa lho dan perdebatannya yang seru. Saya sengaja mempostingkan “pancingan” untuk ala kadarnya bersilaturahmi….
      Alhamdulillah yang ditopikkan mengenai Nabi Isa, dibahas Kang Usup, Oom Filar, dan komennya di sini juga menjelaskan cukup jernih. Sejumlah ulama kini dan terdahulu juga dijadikan rujukan pandangan. Jadi, tinggal menilai dan memilah dari seluruh cara pandang dan pengetahuan para pakar yang berargumentasi serta menunjukkan rujukan-rujukannya, insya Allah kita dapat mengenali kualitas kebenarannya. Saya percaya pada dua pandangan dialogis yang berbeda, secercah cahaya kebenaran justru akan tampil. Tinggal keberanian kita untuk menengoknya dengan pandangan netral, jernih, dan tanpa prasangka andaikan apa yang kita yakini kemudian harus diluruskan kembali.
      Menjawab pertanyaan sederhana : Yang paling banyak menyentuh hati adalah sikap hidup dan cara pandang Junjungan, mohon penjelasannya, maksudnya apa ya?
      Maksudnya : agor sih kalau menerima pembahasan hadis mengenai banyak hal, mencoba mengambil esensinya saja. Kalau sesuai dengan hati nurani diterima, kalau tidak sesuai tidak lagi diperhatikan alias diabaikan atau paling tidak dicuekin gitu.Kalau lagi kesel atau apa gitu, lalu ingat cerita yang dikisahkan hadis, menjadi pelipur lara. Kalau logis, diterima, kalau dianggap tidak logis, ya wis, mungkin esensi yang dimaksud bukan begitu. Kejap lain mungkin lebih dipahami dan berharap menambah derajat keimanan. Begitu Kang.

      Saya sependapat dengan Kang Usup : Hadits shahih tidak akan bertentangan. Kalau bertentangan dengan AQ artinya tidak shahih, dan kerap yang tidak shahih itu kurang sense terhadap hati nurani. Jadi penggunaan rasa buat agor sih penting.

      Saya juga sependapat juga : berkaca pada salafus shaleh dan tentu saja dari mana saja yang bisa “merasa” dapat mengambil hikmah dan manfaat. Bahkan tersandung batu ketika berjalan juga sudah menjadi peringatan untuk kita. Saya tidak mau membatasi diri untuk pendekatan ini. Kadang saya bergidik sendiri membaca sejarah berdarah-darah sepeninggal Nabi.

      Komentar dari komentar :
      sebaiknya di tulis haditsnya, pak, kalau perlu dengan sanad dan matannya… –> ha..ha..ha.. bisa tebel benar seperti kitab tafsir ke tafsir hadis ke hadis. Saya punya beberapa kitab tebal-tebal itu dan ringkasannya juga. Ternyata ringkasannya saja masih terlalu panjang dan “males” deh membacanya. Namun, saya kira, pembaca blog ini sudah pasti kenal dengan yang disampaikan….

      Apabila ditemukan nash-nash yang terkesan bertentangan, maka langkah pertama kita adalah tidak ”menyalahkan” nash –> Pertama sekali : SAYA SALAHKAN NASH ITU. Lho kok ngawur dan tidak masuk akal. Kedua, saya tanya referensi lain atau pandangan dari mana saja. Ketiga : Saya memilih : Saya yang ngawur atau Nash itu yang ngawur. Tapi kalau masih bisa saya cerna, saya masih bisa memahami sudut pandang moralnya, namun tidak konteksnya.

      maka dari itu, lebih baik dicek ya pak ke sumbernya, jangan juga memutuskan pakai perasaan, –> Perasaan lah yang menjadi pengendali pikiran.

      pakar hadits yang mana dulu, pak? kok digeneralisasi begitu? jadi di mata bapak ini, tidak ada seorang pun perawi yang adil dan terpercaya? –>
      Jadi ada pakar hadits yang tidak pakar?, ada tentu yang adil dan terpercaya, saya percaya hati manusia dibimbing menuju jalanNya.

      …serta ucapan para shahabat [atsar]. Dialah yang berhak berijtihad –> Wah masa sih yang berhak berijtihad cuma mereka-mereka saja. Kang Usup ini ada-ada saja. Apakah Al Qur’an itu ditujukan untuk ummat manusia seluruhnya kan. Allah kan tidak membatasi, lalu mengapa kita membatasi…

      Hitungan Matematis yang njlimetin…
      iya betul, njlimetin… namun disitulah terasa keindahannya. Saya kadang bergetar membaca ulasan-ulasan kesempurnaan matematis yang diberikan oleh Allah untuk sebagian yang bisa dipahamkan. Basah mata ini ketika kesempurnaan uraiannya ditunjukkan oleh sejumlah pakar bagaimana bilangan-bilangan ayat dan kata itu merujuk pada satu tatanan yang begitu luar biasanya. Saya kemudian merenungkan, tidak ada fungsi sosial dalam AQ yang tidak dirumuskan secara matematis. Begitu jernih dan begitu sedikit yang bisa dipahamkan dari uraian-uraian yang membuka horison baru yang sulit diindra dengan pikiran.

      Wassalam, agor.

      Suka

      • Usup Supriyadi said

        Wassalamu’alaikum Kang Usup.
        Terimakasih sudi berkunjung dan memberikan catatan dan memerincikan postingan sederhana ini. Juga komentarnya yang bernas. Mengenai sebab tulisan ini, emang sih.. gara-gara akang menulis tentang Nabi Isa lho dan perdebatannya yang seru. Saya sengaja mempostingkan “pancingan” untuk ala kadarnya bersilaturahmi….

        Subhanallaah, jazakallaah atas pancingannya ya. *berasa ikan deh:mrgreen:

        Alhamdulillah yang ditopikkan mengenai Nabi Isa, dibahas Kang Usup, Oom Filar, dan komennya di sini juga menjelaskan cukup jernih. Sejumlah ulama kini dan terdahulu juga dijadikan rujukan pandangan. Jadi, tinggal menilai dan memilah dari seluruh cara pandang dan pengetahuan para pakar yang berargumentasi serta menunjukkan rujukan-rujukannya, insya Allah kita dapat mengenali kualitas kebenarannya. Saya percaya pada dua pandangan dialogis yang berbeda, secercah cahaya kebenaran justru akan tampil. Tinggal keberanian kita untuk menengoknya dengan pandangan netral, jernih, dan tanpa prasangka andaikan apa yang kita yakini kemudian harus diluruskan kembali.

        Ya, Walhamdulillaah…

        Menjawab pertanyaan sederhana : Yang paling banyak menyentuh hati adalah sikap hidup dan cara pandang Junjungan, mohon penjelasannya, maksudnya apa ya?
        Maksudnya : agor sih kalau menerima pembahasan hadis mengenai banyak hal, mencoba mengambil esensinya saja. Kalau sesuai dengan hati nurani diterima, kalau tidak sesuai tidak lagi diperhatikan alias diabaikan atau paling tidak dicuekin gitu.Kalau lagi kesel atau apa gitu, lalu ingat cerita yang dikisahkan hadis, menjadi pelipur lara. Kalau logis, diterima, kalau dianggap tidak logis, ya wis, mungkin esensi yang dimaksud bukan begitu. Kejap lain mungkin lebih dipahami dan berharap menambah derajat keimanan. Begitu Kang.

        Hm… begitu ya cara memahaminya…

        Saya sependapat dengan Kang Usup : Hadits shahih tidak akan bertentangan. Kalau bertentangan dengan AQ artinya tidak shahih, dan kerap yang tidak shahih itu kurang sense terhadap hati nurani. Jadi penggunaan rasa buat agor sih penting.

        Duh, saya lupa nih, kalau tidak salah Prof. S.M.N al Attas juga pernah membahas tentang intusisi dan sebagainya gitu. Tapi, sekali lagi beliau juga mengatakan bahwa kebenaran fakta menjadi tidak benar jika berlawanan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, kalau tidak salah pemahasan beliau di Jurnal Islamia… Ya sudah, itu kan haknya Pak Agor (saya baiknya sapa apa ya, pak, mas atau apa ya?)

        Saya juga sependapat juga : berkaca pada salafus shaleh dan tentu saja dari mana saja yang bisa “merasa” dapat mengambil hikmah dan manfaat. Bahkan tersandung batu ketika berjalan juga sudah menjadi peringatan untuk kita. Saya tidak mau membatasi diri untuk pendekatan ini. Kadang saya bergidik sendiri membaca sejarah berdarah-darah sepeninggal Nabi.

        Inilah yang sering juga orang Syi’ah salah tafsirkan, mereka dengan pendapat seperti tersebut yakin berdasarkan sejarah berdarah di era peralihan antara Ali radliyallaahu anhuu dengan Mu’awiyyah radliyallaahu anhuu, menyatakan bahwa tidak semua sahabat memiliki keutamaan, dan lantas mengkafirkan salah satu sahabat. Na’uzubillaah

        Komentar dari komentar :
        sebaiknya di tulis haditsnya, pak, kalau perlu dengan sanad dan matannya… –> ha..ha..ha.. bisa tebel benar seperti kitab tafsir ke tafsir hadis ke hadis. Saya punya beberapa kitab tebal-tebal itu dan ringkasannya juga. Ternyata ringkasannya saja masih terlalu panjang dan “males” deh membacanya. Namun, saya kira, pembaca blog ini sudah pasti kenal dengan yang disampaikan….

        Ya sudah, semoga kita dihindarkan dari budaya males membaca

        Apabila ditemukan nash-nash yang terkesan bertentangan, maka langkah pertama kita adalah tidak ”menyalahkan” nash –> Pertama sekali : SAYA SALAHKAN NASH ITU. Lho kok ngawur dan tidak masuk akal. Kedua, saya tanya referensi lain atau pandangan dari mana saja. Ketiga : Saya memilih : Saya yang ngawur atau Nash itu yang ngawur. Tapi kalau masih bisa saya cerna, saya masih bisa memahami sudut pandang moralnya, namun tidak konteksnya.

        Subhanallaah,

        maka dari itu, lebih baik dicek ya pak ke sumbernya, jangan juga memutuskan pakai perasaan, –> Perasaan lah yang menjadi pengendali pikiran.

        Allahumma inna nas’alukal huda wat tuqa wal ‘afaafa wal ghina.

        Ya Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik, Ya Musharrifal qulub sharrif qalbi ila thaa’atik.

        Allahumma ‘allimna ma yanfa’una, wanfa’na bima ‘allamtana, wa zidna ‘ilma.

        Allahuma inni a’udzubika min ‘ilmin la yanfa’ wa min qalbin la yakhsya’ wa min nafsin la tasyba’ wa min da’watin la yustajabu laha.

        Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid dien. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin

        pakar hadits yang mana dulu, pak? kok digeneralisasi begitu? jadi di mata bapak ini, tidak ada seorang pun perawi yang adil dan terpercaya? –>
        Jadi ada pakar hadits yang tidak pakar?, ada tentu yang adil dan terpercaya, saya percaya hati manusia dibimbing menuju jalanNya.

        ada, Syi’ah sendiri punya ahli hadits, cuma ahli hadits yang dibuat untuk mendukung aqidah mereka. Dan lainnya…

        …serta ucapan para shahabat [atsar]. Dialah yang berhak berijtihad –> Wah masa sih yang berhak berijtihad cuma mereka-mereka saja. Kang Usup ini ada-ada saja. Apakah Al Qur’an itu ditujukan untuk ummat manusia seluruhnya kan. Allah kan tidak membatasi, lalu mengapa kita membatasi…

        bedakanlah antara Ijtihad dengan Taddaburri Al-Qur’an. Silahkan Taddaburri Al-Qur’an, tapi ijtihad di sini ialah dalam hal memecahkan permasalahan umat berkaitan dengan masalah usul. (Saya sapa Mas saja deh) Mas Agor, betapa sekarang banyak mereka yang berijtihad dengan nafsu, misalnya Prof. Siti Musda Mulia, yang berijtihad bahwa homoseksual itu bukan tindakan keji, dan katanya Allaah tidak melihat orientasi… Malah ia setuju dengan perkawinan sesama jenis… Na’uzubillah, atau mereka yang ada di Jaringan Islam Liberal… merek adalah orang-orang yang tidak pantas berijtihad, hanya memaksakan diri, dan karena ada yang mendanai… akhirnya lahirlah ijtihad sesat mereka…

        Hitungan Matematis yang njlimetin…
        iya betul, njlimetin… namun disitulah terasa keindahannya. Saya kadang bergetar membaca ulasan-ulasan kesempurnaan matematis yang diberikan oleh Allah untuk sebagian yang bisa dipahamkan. Basah mata ini ketika kesempurnaan uraiannya ditunjukkan oleh sejumlah pakar bagaimana bilangan-bilangan ayat dan kata itu merujuk pada satu tatanan yang begitu luar biasanya. Saya kemudian merenungkan, tidak ada fungsi sosial dalam AQ yang tidak dirumuskan secara matematis. Begitu jernih dan begitu sedikit yang bisa dipahamkan dari uraian-uraian yang membuka horison baru yang sulit diindra dengan pikiran.

        Iya, saya juga bertasbih akan hal itu, namun sekali lagi Al-Qur’an lebih kepada petunjuk agar bahagia di dunia, terlebih selamat di akhirat. saya menghargai para pakar tersebut, karena ia juga sedang berdakwah, barangkali dengan sains, mereka yang masih ingkar itu bisa lebih tertarik…

        Wassalam, agor.

        Wa’alaikumussalaam warahmatullaah….

        Wa Allaahu A’lam, maaf bila ada salah-salah kata, dan salaam kenal Mas Agor, dari mana asal? saya di bogor, mampirlah kalau main ke bogor 😀

        Suka

  9. […] khairan, kepada Al Akh Filar Biru, karena komentar beliau dalam sebuah kesempatan [di sini], akhirnya lahirlah postingan ini. […]

    Suka

  10. kawula alit said

    no komen,ada yg harus dipercayai tanpa akal tapi cukup dengan iman, ada juga yg bisa dengan nafsu, setiap orang yg jalan cari ilmunya lurus dan ada pula dapat ilmunya dengan dengan jalan bengkok,memang butuh waktu, tapi kalo yg sudah berilmu membagi ilmunya dengan “menakutkan” apa ga aneh? hehehehe musuhku banyak juga jadinya, sutralah, indonesia yg aneh dan makin aneh aja,

    Suka

    • Cekixkix said

      @Om Kawula “TT” Alit
      Kheknya emang elo pengecut… Cekixkix…kix…kix…
      Elo mah kagak punya musuh, juga mati sendiri 😆

      Suka

    • agorsiloku said

      Lihat saja esensinya. Ambil yang baiknya, sisihkan yang nggak. Kan, itu cuma gambar atau tulisan. Setidaknya, kita bisa belajar bagaimana kita bisa “mengamankan” emosi kita, paling tidak di dunia maya ini.

      Suka

  11. Dono said

    salam,
    jika makanan yg nyata dapat turun dari langit mengapa tubuh yg nyata tak bisa naik kelangit?

    hanya berfikir sejenak.

    salam,
    Dono.

    Suka

    • agorsiloku said

      Salam Kang Dono, pertanyaan yang sangat menarik. Saya kurang bisa menjawab dengan tepat. Namun, kurang lebih logikanya begini : Kejadian mengikuti yang disifatinya. Malaikat menemui Nabi dalam wujud fisik, mengikuti aturan dari hukum alam fisis, masuk melalui mimpi, mengikuti aturan “permimpian”, makanan diturunkan dari langit untuk Maryam juga mengikuti aturan alam penerimanya. Manusia mati masuk alam barzah, maka mengikuti aturan alam barzah pula. Begitu pula, silogisme akan mengatakan, Nabi Isa wafat dan diangkat kepadaNya, mengikuti aturan-aturan dari alam penerimanya. Logika ini dijelaskan dalam berbagai pemahaman yang disampaikan kitabNya.
      Hal ini juga bukan sifat-sifat khusus, namun umum. Sebuah program komputer akan bekerja pada sistem operasi yang sesuai dengan program aplikasinya. Karena jika tidak, maka program aplikasinya tidak akan bekerja.
      Tamu datang juga harus menyesuaikan dengan pemilik rumahnya.
      Oleh karena itu, makanan turun dari langit ke bumi mengikuti sunatullah bumi. Ruh diangkat ke langit, mengikuti sunatullah langit…..
      Ini yang dalam beberapa komentar dan pembahasan, keseluruhan komposisi petunjukNya akan “terasa” harmoni…
      Wallahu’alam.
      Wass, agor.

      Suka

  12. abu hanan said

    assalamu alaikum,,,,
    @all…
    di blog hanifah,wedul,degoblog dan di blog ini saya jarang menemukan ucapan salam atau bahkan tidak ada sebagaimana kalo kita bertamu,,,aneh!!! padahal tema yang dibahas adalah agama.yaaaah,semua pembicaraan/diskusi adalah maqom hati,bagaimana seseorang bersikap/berkata dapat diukur apakah orang tersebut sudah mengamalkan akhlak sesuai quran dan sunnah atau belum…berteori tanpa pemahaman yang mampu menjiwai hati hingga keluar tutur kata yang santun.bukankah setiap komen/tulisan di internet dinilai sama dengan ucapan/tulisan di dunia nyata?atau anda semua berpendapat lain?atau anda semua akan bertanya saya ayat atau hadits mana yang menyatakan tulisan di internet sama dengan tulisan di dunia nyata?
    maaf jika OOT tetapi sungguh mengherankan!! berdiskusi dengan tema islam tetapi jauh dari akhlak islam…….
    selamat berbenah akhlak…

    Suka

    • abu hanan said

      asa yang lupa….
      wassalam

      Suka

    • agorsiloku said

      Wassalammu’alaikum Pak Abu Hasan…

      Betul Pak Abu, ada dengan salam ada yang tidak pakai salam, ada yang datang berkunjung dan memberikan komentar dengan salam ada yang tidak. Seperti juga orang menulis, ada yang dimulai dengan kata-kata pembuka dan salam serta basmalah, ada yang langsung saja pada pokok persoalan. Ada yang tercukupi pada kata pengantar, ada yang melakukan di setiap postingan. Ada yang memulai makan dengan basmalah, tapi tidak setiap menyuap nasi ke dalam mulut berucap bismillahirrahmanirrahim.

      Agor tidak berani mengambil kesimpulan, siapa yang menulis artikel tidak dimulai dengan menyebut namaNya, maka orang itu harus berbenah ahlak. Begitu juga dengan yang berkomentar, apalagi jika sudah “berlalu lalang” saling bertegur sapa.

      Selebihnya, memang manusia membawa selalu khilaf dan lupa…

      Teriring terimakasih dan telah sudi untuk mengingatkan.
      Wassalam, agor.

      Suka

  13. abu hanan said

    assalamu alaikum..
    @agor,,,
    benar yang anda katakan tetapi dengan menyemarakkan salam maka ,insya allah,segala sesuatu akan dilalui dengan indah terlebih diawali dgn bismillah dsb…
    dan akan lebih menunjukkan bahwa islam adalah agama damai,,,(sbg contoh pada blog hindu dan nashrani,mereka selalu mengawali dgn OSA dan salam kasih ==dan sejenisnya== termasuk komen yang membangkitkan semangat mereka dalam menggiatkan kehidupan beragama),,,
    jadi bagaimana usaha kita dalam mewujudkan firman Allah pada Al maidah yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna?
    salam ukhuwah

    Suka

    • agorsiloku said

      Wassalamu’alaikum Kang…
      Terimakasih untuk pengingatnya. Islam adalah agama yang sempurna.
      Memang, agor dalam memposting dan mengomentari membatasi tidak penuh mencerminkan warna keagamaan yang ketat dan kental. Berusaha menyederhanakan dalam sejumlah aspek, lebih mengarah bertausyiah secara “abangan”, membahas dalam logika kulit-kulit dan jika ke arah dalam, saya rujuk site-site yang relevan. Sangat mengedepankan akal sebagai model postingan.
      Berada di tengah-tengah dalam area yang relatif punya misi akhir yang sama. Mengapa ini dipilih. Jawabnya, ini adalah positioningnya.
      Boleh jadi ini kurang tepat bagi sebagian, boleh juga mudah dimengerti oleh sebagian yang lain….
      Namun, bagaimanapun, catatan Mas Abu, tetap agor perhatikan.
      Salam ukhuwah ….
      agor.

      Suka

  14. qarrobin said

    iya kang, saya juga nanti akan mempertanggungjawabkan pemahaman saya disini di akhirat kelak

    o ya Kang saya lebih suka memakai Al Hikmah daripada As Sunnah, sebagaimana Kang Filar Biru memakai Al Hikmah sesuai yang tertera di Al Quran

    Di Al Quran, Sunnah cuma satu yakni Sunnatullah
    Kalo Sunnah sering diartikan tingkah laku atau siyar (perjalanan) Nabi sehari-hari, apakah Sunnatullah artinya tingkah laku Allah sehari-hari?

    Jika diartikan sebagai ucapan Nabi (Al Hikmah), menurut saya ucapan Nabi Muhammad saw tidak akan bertentangan dengan Al Quran

    Jika sekarang kita menemui terdapat Hadits palsu, bukankah Allah sendiri di Al Quran menyatakan bahwa AL Quran itu bukanlah hadits yang disusun

    dan juga disebutkan bahwa Al Quran mengoreksi apa yang ada di hadapannya?

    maaf Kang saya lupa letak ayat dan nama surahnya yang membicarakan tentang hadits yang memecah belah umat Islam dalam mazhab

    Suka

Tinggalkan komentar