Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Stop Memberi Recehan Untuk Pengemis !

Posted by agorsiloku pada September 6, 2009

pengemisSedikit saya bukakan pintu jendela mobil, di perempatan jalan.  Mereka tampaknya mahasiswa yang sedang melakukan aksi solidaritas untuk mendukung korban gempa Tasikmalaya beberapa hari yang lalu.  Isteriku juga tak segan segera mengeluarkan uangnya untuk berbagi, begitu juga aku ikut mengeluarkan beberapa lembar.  Jumlah yang sangat jauh tak berarti dibanding ketibaan gempa itu.  Tuhan tentu memiliki maksud, memiliki alasan mengapa sebuah sentilan kecil, hanya beberapa detik di permukaan bumi Jawa Barat yang menimbulkan kepiluan dan peringatan untuk yang tidak dikenai peringatanNya.

“Tapi jangan ngasih sama pengemis lho !, bisa-bisa nanti kita didenda ratusan ribu !”  Jakarta yang Berwibawa memang tidak mengijinkan pengendara yang kebanyakan orang kaya itu berbagi, setidaknya pemberian yang juga memberikan dampak kotornya kota dan perempatan jalan oleh berkeliarannya para pengemis jalanan.  Capek memang, capek mata ini melihat pengemis di banyak perempatan perkotaan.  Kota Bandung, juga termasuk yang banyak pengemisnya berkeliaranKemiskinan memang produk kota besar, produk persaingan antar manusia yang kian individualistis.  Kemiskinan juga berkontribusi pada kekotoran kota dan merebaknya kejahatan jalanan.  Mereka, kaum terlantar dan miskin ini juga akhirnya “dikelola” oleh organisasi sejenis LSM liar yang mengelola kemiskinan sebagai sumber pendapatan untuk pengelolanya.  Tentang ini, tentu sudah bukan lagi cerita baru, sudah banyak diulas.  Namun, rasa iba, keinginan beramal, ingin mendapatkan pahala dunia dan akhirat adalah bagian-bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Kriteria pengemis, diulas di sini, Tausyiah 275.  Data kaum terlantar yang jumlahnya jutaan ini, pada Tahun  2008 terdata di depsos, keluarga fakir miskin ada 3,3 juta; pengemis 35 ribu.

Tentu, kalau memang ada kesungguhan dari Pemerintah negeri ini untuk mengentaskan kemiskinan, setidaknya setengah talangan untuk Bank Century yang jumlahnya 6,7 Trilyun bisa dikucurkan untuk memenuhi tanggung jawab bangsa dan negara ini untuk mengentaskan kemiskinan atau mengusir secara layak pengemis yang terdata hanya 35 ribu (tapi cukup mengotori berbagai kota).  Kebijakan untuk menghilangkan kaum miskin dan mendenda pemberian pada pengemis harus disertai dengan usaha serius memberdayakan kaum terpinggirkan itu.  Kalau tidak, kita pantas khawatir bahwa rasa etika dan kemanusiaan dikikis habis juga oleh peraturan, kehilangan empati kemiskinan dan tidak memiliki sedikitpun waktu untuk berbuat.  Harus ada institusi pengganti yang lebih membumi, perlu dukungan sungguh-sungguh dari pemerintah lebih dari sekedar peraturan untuk memberantas dan mengusir orang miskin, tapi tidak memberatas kemiskinan…..

PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

PP No. 31 Tahun 1980, LN. 1980-51

Mengingat :

1.  Pasal 5 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;

2.  Ketetapan Madjelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978; tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

3.  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039).

BAB 1. KETENTUAN UMUM

Pas. 1. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.  Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum;

2.  Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain;

3.  Menteri adalah Menteri Sosial;

4.  Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

a.  pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b.  meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

c.  pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

5.  Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

6.  Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

BAB II. TUJUAN, WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB

Pasal 2.

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Pasal 3.

(1) Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah.

(2) Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 4.

(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri.

BAB III. USAHA PREVENTIF

Pasal 5.

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

Pasal 6.

Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 5, dilakukan antara lain dengan:

a.  Penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. Pembinaan sosial;

c. Bantuan sosial;

d. Perluasan kesempatan kerja;

e.  Pemukiman lokal;

f. Peningkatan derajat kesehatan.

Pasal 7.

Pelaksanaan usaha-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

BAB IV. USAHA REPRESIF

Pasal 8.

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Pasal 9.

Usaha represif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi:

a.  razia;

b.  penampungan sementara untuk diseleksi;

c.  pelimpahan.

Pasal 10.

(1) Razia dapat dilakukan sewaktu-waktu baik oleh pejabat yang berwenang untuk itu maupun oleh pejabat yang atas perintah Menteri diberi wewenang untuk itu secara terbatas.

(2) Razia yang dilakukan oleh pejabat yang diberi wewenang kepolisian terbatas dilaksanakan bersama-sama dengan Kepolisian.

Pasal 11.

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi.

Pasal 12.

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dimaksudkan untuk menetapkan kwalifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:

a.  dilepaskan dengan syarat;

b.  dimasukkan dalam Panti Sosial;

c.  dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;

d.  diserahkan ke Pengadilan;

e.  diberikan pelayanan kesehatan.

Pasal 13.

Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

BAB V. USAHA REHABILITATIF

Pasal 14.

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usahausaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat,

Pasal 15.

(1) Usaha rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan melalui Panti Sosial.

(2) Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16.

Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menseleksi gelandangan dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial.

Pasal 17.

Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 bertujuan untuk menen-tukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.

Pasal 18.

Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandang-an dan pengemis dari keadaan yang nonproduktif menjadi keadaan yang produktif.

Pasal 19.

Dalam melaksanakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pasal 20.

Tatacara pelaksanaan penyantunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diatur lebih lanjut oleh menteri.

Pasal 21.

(1) Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis telah mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan ketrampilan kerja dalam rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui jalur-jalur transmigrasi, swakarya, dan pemukiman lokal.

(2) Tatacara pelaksanaan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Pasal 22.

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan-dan pengemis.

Pasal 23.

Usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 antara lain dilakukan dengan;

a.  meningkatkan kesadaran berswadaya;

b.  memelihara, memantapkan dan mertingkatkan kemampuan sosial ekonomi;

c.  menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

Pasal 24.

Pelaksanaan usaha tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI. PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 25.

Organisasi Sosial masyarakat dapat menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis dengan mendirikan Panti Sosial.

Pasal 26.

Organisasi Sosial yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 25, wajib mendaftarkan dan memberikan laporan berkala kepada Menteri melalui Instansi dalam lingkungan Departemen Sosial setempat.

Pasal 27.

Menteri dapat memberikan bantuan/subsidi kepada Organisasi Sosial Masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 28.

Menteri atau pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi sosial masyarakat yang menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Pasal 29.

Pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam bab ini diatur oleh Menteri.

BAB VII. KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 30.

Segala peraturan perundang-undangan tentang gelandangan dan pengemis yang sudah ada tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 31.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1980.

11 Tanggapan to “Stop Memberi Recehan Untuk Pengemis !”

  1. lovepassword said

    Kebijakan untuk menghilangkan kaum miskin dan mendenda pemberian pada pengemis harus disertai dengan usaha serius memberdayakan kaum terpinggirkan itu. =====> Yah itu memang harus dipikirkan. itu juga adalah amanat UUD 45. Kalo kewajiban negara. Negara tidak melaksanakan sangsinya apa ? Sedangkan negara kan membatasi peran rakyat harus gini-gini. Lha negara harus lebih aktif karenanya.

    Suka

  2. Amd said

    Anu, kan UUD 1945 pasal 34 ayat 1 mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

    Saya sampai sekarang masih heran, kenapa nggak diamandemen ya kata yang satu itu?

    Suka

  3. wah kalau dipelihara terus fakir miskin dan anak terlantar akan semakin banyak kalau gak di beri bimbingan tuk masa yang akan datang

    Suka

  4. Assalamu’alaikum, @Kang Agor
    Subhanallah
    Menarik sekali artikel ini, tapi sayah kok nggak mudeng yach ?! 😦


    Kriteria pengemis, diulas di sini, Tausyiah 275. Data kaum terlantar yang jumlahnya jutaan ini, pada Tahun 2008 terdata di depsos, keluarga fakir miskin ada 3,3 juta; pengemis 35 ribu.

    __________________________
    Katanyah :

    Data dari BPS terakhir yang beredar di Koran dan surata kabar penduduk Indonesia berjumlah hampir 240 juta jiwa atau naik sekitar 12 persen.
    ___________________________
    1. Jika masih mengaku 90 persen maka jumlah muslim di Indonesia adalah sekitar 216 juta.

    2. Jika yang membayar zakat fitrah itu katakanlah sebanyak 50%nya saja atau 100 juta orang.

    3. Jika ditetapken kesetaraan zakat itu dengan rp. 15.000 sajah/orang.

    Maka :
    Zakat tahun ini sebebar = 15.000 x 100.000.000 = 150.000.000.000 😀

    Masak uang segede biginuh nggak sanggup membayar hanya 3.3 juta + 35 ribu saja ?! duhh… pie iki 😦

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  5. 12puby said

    sebenarnya mereka menjadi pengemis bukan mau mereka, namun keadaan yang memaksa mereka. ini mungkin karena kebijakan pemerintah, makin mahalnya sembako, mahalnya biaya pendidikan sehingga tak ada pilihan mereka mengemis di jalan.

    seharusnya kita peka dengan fenomena ini, tidak peduli tentang aturan perundang-undangan yan menyatakan stop memberi kepada pengemis!!!

    manusia adalah makluk sosial, kita harus saling membantu dan menolong tanpa pamrih. di semua ajaran agama mengajarkan seperti itu.
    kita jangan terlalu sombong dan angkuh dengan mereka, karena mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. mereka miskin jangan di salahkan…

    kita coba melihat fenomena anggota dewan sekarang, mereka selalu menuntut kenaikan gaji, fasilitas yang mumpuni dan serba mewah dll. namun hasil kerja mereka NOL BESAR.. malas dan tidur2an saat sidang..

    gaji mereka yang puluhan juta itu dari rakyat, mereka semakin kaya perut semakin buncit, bergelimpangan harta…

    NAMUN RAKYAT SEMAKIN MISKIN, KELAPARAN, PUTUS SEKOLAH, GELANDANGAN DAN PENGEMIS SEMAKIN BANYAK…..

    jadi apa salahnya kita memberi sedikit buat mereka (PENGEMIS),, ,

    Suka

Tinggalkan komentar