Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pengalaman Menghargai Profesi dan Ketika Tak Punya Uang

Posted by agorsiloku pada April 2, 2009

Ini hanya sebuah pengalaman kecil, waktu mahasiswa dulu.  Saya dapat order dari sebuah instansi Pemerintah untuk mencetak buku wisata (West Java Travel Guide).  Naskah sudah tersedia, tapi anggaran untuk mencetak nggak cukup.  Kacian deh Pemerintah Jabar saat itu Terus, karena saya punya pengalaman mencari iklan, saya tawarkan gimana kalau buku itu saya cetak (sebagai mahasiswa, saya udah kerja dipercetakan saat itu, hampir 25 tahun yl). Lalu mereka setuju, jadilah saya buat proposal iklan ke perusahaan untuk mencetak buku itu.  Untuk membuat proposal iklan yang bonafide, saya cari orang pintar, tapi bukan kelas Ponari.  Yang saya kebetulan bertemu adalah seorang copy writer dan disainer yang kemudian membuat proposal iklan dengan segala tetek bengeknya.

Karena nggak punya uang, saya bilang sama si copy writer ini.  Bayarnya belakangan, kalau usaha ini berhasil.  Targetnya segini, dan proposal iklan harus menghasilkan iklan segini.  Kita juga harus rekrut tenaga yang begini, begitu.  Dana yang tersedia hanya cukup untuk gaji karyawan saja.  Pekerjaan copy writer yang pernah kerja di Matari advertising itu, saya janjikan dibayar sebesar Rp 6 juta (saat itu UMR masih Rp 30 ribu).  Si Copy Writer juga harus bersedia untuk memanajemi tenaga pencari iklan dan mendidik mereka agar mengerti negosiasi kepada korban perusahaan calon pemasang iklan.

Memang dulu tidak segampang ini bikin disain, iklan, dlsb.

Enam bulan kemudian, janji bisa dipenuhi.  Tim kami bisa membayar si copy writer mahal tadi.  Saya juga sadar, butuh kolaborasi dan keterampilan serta kesungguhan dan hasil profesionalismenya.  Jadi Mas Esensi, kalau seoerang profesional dihargai sebagaimana mestinya, tentulah karya dan manfaatnya juga bisa dinikmati lebih benar.

Apakah mahal si Copy Writer tadi?.  Ya, tetapi dari tangan dia juga berkontribusi menghasilkan pendapatan yang lumayan saat itu.

Kalau saya hanya mau bayar sebesar UMR saat itu, tentulah melirikpun dia tidak mau.

Deal yang penting saat itu adalah : target bersama, resiko bersama, dan hasil harus jelas.  Kegagalan profesi akan menjadi resiko juga (kalau cari iklan gagal untuk buku itu).  Ini sekedar sharing pengalaman saja Mas.

Begitu juga sekarang, kami sedang mempersiapkan berbagai-bagai.  Salah satunya mempersiapkan sejumlah seminar dan pembicara untuk program yang sedang kami siapkan. Berapa harga per jam untuk pemandu seminar yang mengajarkan sistem.

Yah.. saya bilang, minimum di atas UMR DKI untuk satu kali kedatangan tidak termasuk biaya transport dan makan.  Kalau namanya lebih terkenal, per jam seharga UMR pun oke.  Tapi kalau masih biasa saja, baru dan nol pengalaman, tapi memenuhi syarat, ya kita mulailah dengan 2-4 kali UMR gitu.

Lha mahal amat atau murah amat seeh?.

Lha persoalannya bukan mahal atau murah.  Persoalannya berapa harga pokok produksi dan berapa nilai penjualan yang ditargetkan atau dihasilkan.

Selain itu,

He..he..he.. kalau mau nangkep Paus, ya jangan pake teri. Itu logikanya.

Jadi.. duh kawan-kawan IT, jangan memurahkan diri kita, mencari bajakan karena nggak mampu beli.  Kita juga akan takut menghasilkan produk yang baik, karena kerja keras kita cuma akan jadi bajakan oleh rekan sendiri.  Kita cari makan di sini, kita jujur di sini, kita berusaha di sini.  Jadi, kan lebih bagus kita bisa bayar SPT puluhan atau ratusan juta, ketimbang berpikir murah terus.

Tul nggak. (saya selalu optimis, kita bisa!).

7 Tanggapan to “Pengalaman Menghargai Profesi dan Ketika Tak Punya Uang”

  1. haniifa said

    Masalahnya bukan mampu atau tidak mampu beli, tapi kalau ternyata BUG-nya sama bagaimana ?!

    @
    BUG?, tentu.. mana ada program sesempurna program Sang Pencipta…
    Kalau Bug masih sama, kita beli… berarti pesan : Teliti sebelum membeli.
    Kalau dari sisi peluang, artinya tenaga ahli kita, keterampilan yang dimiliki para IT-wan, jelas memilki kemampuan dan daya saing untuk bermain di lingkungan yang lebih luas, lebih komersial. Mengapa Pemerintah tidak memperjuangkan hal ini. Banyaknya group-group pejuang IT, semakin banyak, namun daya dukung yang diharapkan masih belum secepat perkembangan di negeri maju.

    Suka

  2. alhamdulllah…haniifa dach muncul lagi..dach lama juga rindu akan suaramu…kemana aja nich akhi…sehat nggak…???

    @
    Mas Haniifa… tuh.. sudah banyak yang rindu… 😀

    Suka

  3. lovepassword said

    Lha kalo yang asli bugnya lebih banyak gimana??? :)Haloo Pak Guru apa kabarmu?

    @
    Nah Mas Ariweko.. saya kira bug yang masih lebih banyak tapi banyak yang membeli dan membajak dan laku, artinya di pasar software, produk itu masih dapat memenuhi suatu kriteria tertentu. Paling tidak, belum ada yang cukup terkenal dan dikenal, yang lebih baik (dari segi mutu dan harga) yang membuat, banyak bug tapi masih dipilih. Artinya juga, kalau Mas Ari punya yang lebih baik, kenapa tidak bisa dijual?, berarti para jago IT harus bersinergi dengan yang jago jual (marketing) agar pundi-pundi juga makin memadai sehingga menjadi produsen yang handal.
    Hal kedua, dan menurut saya penting. Bug dari suatu sistem software tidak bisa dilihat dari kacamata software, tapi beragam bug dalam keseluruhan proses. Contoh kecilnya, kita punya software hebat, tapi sistem operasi yang tersedia tidak mendukung. Akibatnya install yang terjadi kepotong-potong dan software yang dibuat jadi tidak optimum. Bug juga bukan hanya datang dari sistem software, bagaimana kalau bug itu juga muncul dari sistem manajemen eksternalnya, prosedur kerja yang keliru, user yang tidak terdidik, user yang salah mengoperasikan, user atau implementor yang gagal memahami sistem, dan lain-lain. Itu juga adalah bug-bug yang menganggu kemampuan sistem keseluruhan.
    Intinya, tidak ada satu alat untuk semua kebutuhan. Software juga harus berkolaborasi, bukan hanya dengan software lain, tetapi juga berkolaborasi dengan kinerja manajemen, operasi, dan perbaikan yang terus menerus.
    Dan kita tahu, bahkan bahasa pemograman juga mengandung bug pula, dan bolong-bolong yang terus menerus harus ditambal…
    Namun, tidak karena itu kan… maka bisnis tidak bergulir… 😀

    Suka

  4. lovepassword said

    Mencari bajakan, apalagi pembajaknya itu juga karena idealisme lho. Banyak lho pembajak yang nggak dapet apa-apa cuma dapet kepuasan batin.:). Tapi saya nggak termasuk lho ya

    @
    kepuasan batin… 😀
    kalau saya ingin kepuasan batin dan mengganti motor dengan mobil keluaran terbaru… 😀

    Suka

  5. marinki said

    CUma .. orang kita yang hebat IT bukannya di luar negeri mau menerima UMR lebih rendah ketimbang bangsa yang lain? bahkan yang jago dari India misalnya, mereka mau dibayar lebih rendah dari orang kita.. jadi kumaha bos? Trus yang “bug” itu kok makin banyak aja ya? harusnya apa dong tindakan kita?

    @
    IT Salary di India hampir sama dengan di Indonesia, namun lebih tinggi pada level manajer. Harus diakui, produk software IT dari India lebih mendunia ketimbang produk karya anak bangsa. Beberapa di antaranya sudah dipasarkan di Indonesia. Namun, maintenancenya emang masih sulit, maklum tidak sebanyak dari negara yang sudah lebih maju. Proses kontrol mereka juga kurang, tapi masih lebih baik dari produk di sini yang lebih banyak berjuang sendiri.
    Kalau soal kutu sih… memang begitu karakteristik software dan update. Hanya, update itu bukan hanya software, tetapi juga bisnis proses dan pengetahuan manajemennya. Di Indonesia, saya kira, orang kita kurang mampu menerjemahkan kemampuan sofware dan proses bisnis. Bug itu kombinasi antara sistem dan keahlian dari developernya.

    Suka

  6. Copyright@ Only ALLAH

    @
    Yang bugnya adalah bagian dari kesempurnaan alam semesta….

    Suka

  7. betol syekale kang, pake kain yang bersih, untuk nyaring air biar dapet yang bersih jugak…

    😉

    @
    iya jeng.. begitulah… kalo bisa ya….

    Suka

Tinggalkan komentar