Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penguasa Menurut Al Qur’an : Ujian – Amanat – Rahmat?

Posted by agorsiloku pada Agustus 6, 2008

Ya jelaslah amanat, Ya jelaslah ujian !. Ataukah warisan?    😀 

QS 6. Al An’aam 165. Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tapi, jelaslah, penguasa di muka bumi adalah penguasa “jadi-jadian”, bukan penguasa sebenarnya.  Penguasa sebenarnya, ya Raja Manusia.  Dalam keseluruhannya, manusia adalah khalifah di muka bumi, sejak proses penciptaan Adam.  Ini adalah kepemimpinan manusia seluas-luasnya. Memelihara bumi dan alam semesta.  Dengan kata lain, tidak untuk membakar hutan sembarangan, mengotori sungai, sampai kepada kepemimpinan khusus (kepemimpinan kaum/bangsa). Pemerintahan adalah pemberian Allah, seperti ditegasi pada QS 2:247.  Apakah karena kekuasaan/menjadi penguasa itu pemberian Allah maka kita wajib taat pada penguasa.  Taat kepada Pak dan Bu RT, Taat sama Bupati, Gubernur atau Presiden atau Sultan atau Raja atau Pemegang Otoritas Agama?.  Yap, tentu saja deh, sepanjang keputusannya adil tentu, terus nggak nyimpang.  Jadi jangan seperti Kaum Ad begitu.  Ya, kalau menyimpang, nggak ada tentu kewajiban kita untuk taat !. Kehati-hatian pada pemimpin adalah penting, karena pengaruh seorang pemimpin dalam urusan sesat menyesatkan memang besar.  Pemimpin punya potensi untuk berlaku aniaya dan tidak adil serta melalukan pembenaran atas hal ini. Pemimpin memang bukan untuk disembah, dan kebanyakan manusia, sesungguhnya menyembah Jin. Wah repot ya, kalau kebanyakan manusia menyembah Jin, lantas, apakah manusia berada dalam pemerintahan Jin?…  😀

Selamat berpemilu dan Pilkada para calon Jin wagub, gub, pres dan wapres juga para anggota dpr yang tidak korup dan masih ingin ikut berkuasa di periode berikutnya.   😀

73 Tanggapan to “Penguasa Menurut Al Qur’an : Ujian – Amanat – Rahmat?”

  1. Fenomena yang menarik. Daerah yang golputnya tinggi biasanya aman, tentram dan damai. Mengapa ? Yah mungkin karena rakyat nggak terlalu ngefans-ngefans banget. Lebih kritis gitu. Nggak kayak ABG lihat artis sinetron.

    Sinetron apa Mas Agor? Cinta….? Cinta Fitri ? Atau El Nino ? Hi hi hi….-

    Yang dipertuhankan bukan cuma Bu RT tapi juga artis sinetron. Hi Hi Hi. Gua sirik ya ????

    @
    cinta isteri dong, fitri mah nggak akan mau sama agor. Kalau El Nino, wah agor nggak mau diterjang badai.
    Daerah golputnya tinggi menunjukkan bahwa harga kaos dan nasi bungkus tidak lebih berharga dari sebuah pilihan untuk memilih calon pemimpin yang baik.
    Dengan begitu, golput menunjukkan satu penjelasan bahwa mereka tidak merasa puas dengan penampilan dan kriteria pemimpin. Ini adalah suara yang layak dipertimbangkan juga kan….

    Suka

  2. truthseeker said

    @Agor
    Allah menciptakan hukum bahwa manusia dan alam semesta membutuhkan pemimpin. Bukan berarti semua pemimpin (baca: penguasa) adalah ditunjuk oleh Allah (tidak semua penguasa Allah ridha).
    Ada pemimpin2 yg memang ditunjuk oleh Allah dan ada penguasa yg ditunjuk oleh manusia. Allah tidak bertanggung jawab atas yg ditunjuk oleh manusia dan Allah tidak mewajibkan kita utk taat pd mrk secara total.
    Sedang bagi pemimpin yg Allah tunjuk, mk Allah melengkapi (menjamin) mrk dengan kesucian (kebenaran) shg kita wajib taat pd mereka.

    Wassalam

    @Mas Truth, pada dasarnya semua adalah khalifah, yang membedakan adalah kekuatan dan area kekuasaannya. Baik itu hanya hidup sebagai seorang petani dan hidup sendirian, maka dia bertani (tanaman dipimpin) untuk mencapai hasil sampai penguasa manusia (raja/presiden). Karena itu, Allah hendak menciptakan khalifah di muka bumi relevan dengan fakta ini.
    Lebih berkuasa atau berperan adalah karena anugrah dan ujiannya. Allah juga menegasi hal ini (QS 2:247). Bahwa prosedur pilihan adalah melalui penunjukkan manusia (demokrasi) tidak menghilangkan hakikat “ketidakberdayaan manusia” dan pilihan yang ditunjuk Allah.
    Ini contoh kecil saja (sebagai pembanding), bahkan untuk memberi seorang pengemis pun, kalau Allah tidak ijinkan, kita tidak bisa melakukan. Pemaknaan “la haula wala quwatta illa billah”, agor kira salah satunya ada di sini.
    Sikap ini secara sempurna dijelaskan Allah pada salah satu dari putera Nabi Adam.
    Namun, jelas antara pemberian kekuasaan (sebagai penguasa manusia) dengan keridhaan Allah adalah dua hal yang berbeda.
    Itu hal pertama, yang memiliki pesan : Tiada satu pemimpinpun, ingkar atau beriman tidak ditunjuk Allah, walaupun Allah tidak ridha pada mereka.
    AQ 2:251 menjelaskan kepada Daud, diberikan pemerintahan (kekuasaan) dan hikmah. Kata hikmah adalah penting untuk dimaknai. AQ 2:258 juga berbicara tentang pemerintahan (kekuasaan), dan di sini dijelaskan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang fasik.
    Kesimpulan yang agor pahami : Kekuasaan adalah pemberian Allah, kekuasaan dapat disertai hikmah, tapi bisa juga tidak.
    Ada perbedaan tentu antara kekuasaan dan pemerintahan (khalifah). Khalifah lebih nyata sebagai dimensi kekuasaan pada masyarakat dengan unsur-unsur pelaksanaan hukum manusia di dalamnya, sedang pernyataan kekuasaan tidak selalu berarti pemerintahan. (Contoh kongkrit, isteri bisa lebih berkuasa dari suaminya yang jadi presiden. 🙂 )
    Dari sini, tentu tampak jelas bahwa Taat Allah, Rasul, dan ulil amri berada pada konteks ini.
    Kalau Nabi yang jelas manusia, ada jaminan keterpeliharaan dan kesuciannya, sedang ulil amri mengikuti kaidah-kaidah bisa fasik, bisa mendapatkan hikmah.
    Kalau ada hal khusus, bahwa pemimpin itu ditunjuk dan disucikan, maka manusia harus bisa mengetahui penanda-penanda yang dijelaskan bahwa memang yang bersangkutan disucikan (bebas dari kesalahan atau telah dibersihkan). Pertanyaan berikutnya, apakah penanda itu ?.
    Pertanyaan berikutnya yang bisa muncul ; apakah di dalam agama (termasuk Islam), kepemimpinan dalam masyarakat bersumber dari sistem masyarakat ataukah sebagai bagian perintah agama. (wah ini mulai lebih sensi ya). Mari kita rujuk hal-hal ini pada petunjuk Allah sebagai kitab yang Allah jelaskan telah dirincikan segala sesuatunya. Apakah kita percaya Allah telah merincikan, ataukah kita ragu?. Semoga tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Allah telah merincikan bagaimana manusia untuk memilih jalan lurus.
    Wassalam, agor

    Suka

  3. aburahat said

    @Agor
    Sebelum kita berbicara soal kepimpinan maka kita harus membedakan makna kata2 Alqur’an yg kita artikan pimppinan
    1.KHALIFAH, Banyak para mufasir mengartikan sebagai PENGGANTI
    2.MAALIK = PENGUASA
    3.MALIK, = RAJA
    Ketiga arti tersebut menunjukan kepemimpinan DUNIA
    Sedangkan ada juga istilah2 yg menunjukan kepimpinan tp lbh berfokus pada AKHIRAT
    1.WASY = PENDUKUNG
    2.WALY = PEMBELA
    3.WASHIYAH = PENGGANTI
    4.ULIL AMRI MINKUM = PENGUASA YG DITUNJUK OLEH ALLAH, sesuai
    ayat dlm Surah An Nisaa
    5.IMMAMAH = Meliputi semua. Sebagaimana sabda Rasul,oleh Al Hakim dari Jurrah ia berkata Rasul bersabda: ” Telah diwahyukan kepadaku tentang Ali tiga perkara. Sesungguhnya ia adalah Penghulu kaum muslimin, Imam kaum muttaqin, dan pemimpin kaum ghurul muhajjalan (orang2 baik yg datang di hari kiamat dgn muka ber-seri2)(Dirawayatkan juga 0leh Thabrani dlm Mu’jam Shagir;2/88; Ibnu al-Maghazili dlm Managibnya hal.65,104 dan banyak lagi dari periwayat ahli sunah).
    Maksud saya mengemukakan kepemimpinan versi Alqur’an agar mas Agor menentukan kepimpinan mana yg dimaksud dlm posting mas di atas. Dengan demikian diskusi kita terfokus dan mempunyai persepsi yg sama.Wasalam

    @
    Mas Abu, wah saya tidak bisa mengarahkan. Biarlah forum diskusi yang membawanya. Yang penting, kita belajar memahami persepsi dan pemahaman, menguji dan melihat (terlepas dari sepaham atau tidak). Yang penting, kita jaga kesantunan dan sebagai pembelajaran.

    Yang agor tahu, tidak terlalu menimbulkan polemik pada konsepsi pertama, mengenai khalifah sebagai pengganti (saya memahaminya sebagai pengganti/wakil Allah di muka bumi, seperti penjelasan pada ayat tentang penciptaan). Meskipun kemudian dipahami sebagai kepemimpinan dalam pemerintahan (khulafaur Rasyidin). Pemerintahan yang saya pahami adalah khilafah.
    Tema-tema kepemimpinan terbagi pada beberapa konsepsi :

    1. Kepemimpinan Agama (Pemberi Peringatan/Pewaris Nabi). Sebuah konsepsi yang tentu saja mengikuti karateristik agama.

    2. Kepemimpinan dalam kekuasaan (urusannya menyangkut sepenuhnya pengendalian masyarakat, pemimpin kaum, pemimpin demokratis, pemimpin pemerintahan, dan tujuan pemerintahan lainnya. Dalam ayat yang saya pahami, ini adalah ujian, amanat dari Allah. Jadi kepemimpinan adalah “penunjukkan Allah” — seperti pada postingan.

    3.Tempat kelahiran doktrin-doktrin agama dan kekuasaan adalah kombinasi dari kepemimpinan dalam syiar agama sekaligus sebagai doktrin kekuasaan (kepemimpinan dalam pemerintahan). Di sini ada yang jelas perbedaannya antara doktrin Suni dan Syiah dalam masalah kepemimpinan.

    Kalau merujuk pada sejarah sebelum Nabi Muhammad, yakni Nabi Daud, Nabi Sulaeman; mereka adalah pemimpin dalam pemerintahan, sekaligus juga Nabi dan juga Rasul. Tentu saja Nabi Muhammad adalah Nabi sekaligus Rasul. Sekaligus pula pemimpin dalam pemerintahan juga. Nabi Ibrahim menjadi contoh pemimpin dalam karateristik tauhid, maksudnya imam bagi orang-orang bertakwa. Nabi Ibrahim bukan pemimpin pemerintahan, tapi pemimpin bagi orang bertakwa. Ini yang saya pahami dari Al Qur’an.

    Mengenai ulil amri, seperti juga para Nabi dan Rasul, ini mengikuti karakteristik pilihan 1 (pemimpin dalam agama), bisa 2 (kepemimpinan pemerintahan), atau 3 tergantung kombinasinya. Type 2 bisa beriman bisa tidak, di negeri-negeri nonmuslim, kepemimpinan ini sepenuhnya dikendalikan oleh sistem yang boleh jadi tidak di dalam ridhaNya.

    Kurang lebih, konsepsi ini yang saya pahami. Kalau keliru atau perlu ditambah, perbaiki, jangan ragu.
    Wassalam, agor.

    Suka

  4. armand said

    @Agor
    Dalam komen mas thd mas truthseeker di atas, mas menyinggung mengenai Ulil Amri. Saya kira Ulil Amri ini yang selalu menjadi fokus pembicaraan untuk semua kelompok yang sepaham maupun yang berbeda jika kita berbicara masalah kepemimpinan umat (baca: pemerintah). Yang kerap menjadi perdebatan adalah;
    (1) Siapakah Ulil Amri itu?
    Sebagian kelompok mengklaim bahwa Ulil Amri adalah manusia-manusia pilihan Allah swt dan Rasul-Nya yang memiliki keutamaan-keutamaan dan kelebihan dari manusia umumnya, mampu menjawab segala permasalahan, serta memiliki kemampuan untuk memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan mereka didasarkan atas penunjukkan oleh pemimpin sebelumnya.
    Kelompok lain berpikiran bahwa Ulil Amri adalah orang-orang yang dianggap juga memiliki kelebihan-kelebihan dari manusia umumnya, berilmu, serta amanat untuk memegang tampuk kepemimpinan. Namun kelompok kedua ini mencukupkan diri bahwa pemimpin umat dapat dipilih tanpa melalui perantaraan Allah swt dan atau Rasul-Nya. Sehingga bagi mereka pilihan pemimpin dari orang-orang yang dianggap utama sudah bisa diterima.

    (2) Apakah keta’atan kepada Ulil Amri itu mutlak?
    Bagi kelompok pertama saya kira iya, karena mereka adalah manusia-manusia pilihan Allah swt dan RasulNya sementara ayat tsb juga menegaskannya seperti itu.
    Saya tulis kembali ayatnya (versi Depag RI):
    Annisa: 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
    Dengan menggunakan dalil Ulil Amri di surah Annisa: 59 dan keyakinan mengenai metode penetapan kepemimpinan umat dipilih oleh umat sendiri, maka jika kita menanyakan kembali makna isi surah Annisa: 59 yang menyatakan keta’atan thd Allah, Nabi dan Ulil Amri, kelompok kedua ini kadang tergagap bagaimana caranya menjawab kondisi-kondisi yang terjadi baik kisah sepak terjang pemimpin Islam pasca Nabi maupun saat sekarang, baik di Indonesia sendiri maupun negeri-negeri lain yg bahkan pemerintahannya berasaskan Islam?
    Mereka kesulitan untuk menjelaskan (dijelaskan sih, namun dgn justifikasi-justifikasi yg agak sesat) bagaimana mensikapi kepemimpinan Yazid bin Muawiyyah dan pemimpin-pemimpin sejenis yang dhalim dan banyak melakukan kemaksiatan dimana hal ini bertentangan dengan sunnah Nabi dan harus ditentang, namun di sisi lain ayat 59 di atas menyatakan keharusan untuk ta’at.
    Bahkan yang sangat kontra adalah pernyataan bahwa kita boleh untuk tidak ta’at pada pemimpin (pemerintah) yang tidak menjalankan sunnah Nabi saw. Tafsir yang luar biasa! Pernyataan ini mengandung pengertian:
    a) Bahwa Ulil Amri bisa melakukan kesalahan dan boleh untuk tidak dita’ati. Aneh, padahal mereka menafsirkan bahwa Ulil Amri adalah pemerintah. Sementara tidak ada isyarat di surah Annisa tsb yang membolehkan untuk tidak ta’at.
    b) Sunnah Nabi menurut mereka adalah seperti yang dicontohkan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin). Aneh, itu kan bukan sunnah Nabi, tapi sunnah Sahabat?
    Konsekuensinya adalah: Tidak akan pernah ada pemerintahan seperti yang mereka inginkan. Ia hanya menjadi angan-angan kosong. Karena apa? Karena mereka sudah memiliki gambaran dan persepsi yang keliru mengenai sikap terjang pemerintahan sahabat. Lagian, Nabi saw pasti telah memberikan arahan dan gambaran tentang kepemimpinan yg lebih lengkap, maka mengapa mesti dikecilkan?

    Apakah kita-kita ini sebagai “mereka”? 🙂 Wallahu a’lam.

    @ Mas Armand (saya suka lupa nambahin huruf d — maaf :D)
    Dalam pikiran saya, ulil amri memiliki 3 peluang posisi 1. Kepemimpinan Imam (agama), 2 Kepemimpinan pemerintahan (kekuasaan) dan 3) kombinasi 1 dan 2.
    Saya lihat pola penafsiran di sini kadang masih bercampur. Konsep utama dari agama adalah tauhid, Kitab adalah petunjuk, Allah memberikan kebebasan pilihan (untuk kafir atau beriman). Pada rentetan silogismenya maka ulil amri adalah kepemimpinan pada konsep ini. Allah (pemberi cahaya), Rasul (pemberi peringatan), ulil amri (pewaris pemberi peringatan).

    Konsepsi pemerintahan adalah taat yang memaksa, jika melanggar dikenai sangsi hukum dan tindakan. Kalau orang tidak sholat, bahkan tidak mau mengakui adanya tuhan, maka hukum manusia tidak bertindak. Konsep tauhid, hanya Allah yang bertindak atas kafir atau tidaknya manusia. Dan hukuman Allah bisa segera bisa nanti (setelah hari kebangkitan).

    Di sisi lain, ada unsur petunjuk pelaksanaan hukum juga di AQ yang berkenaan dengan hukum manusia (mencuri, membayar zakat, pernikahan, warisan, kesaksian). Jadi jelas pada pelaksanaan hukum Islam dalam konsepsi pemerintahan (pengelolaan negara dan masyarakat), AQ juga memberikan beberapa petunjuknya.

    Jadi, saya melihat pemahaman ulil amri untuk semua pilihan kombinasi itu adalah mungkin. Seperti juga Rasul, ada yang menjadi pemimpin masyarakat sekaligus menjadi raja, ada juga yang sebagai pemimpin spiritual.

    Walahu’alam bis showab.
    agor

    Suka

  5. aburahat said

    @Agor
    Baiklah klu untuk sementara saya menganggap bahwa yg mas maksud pemimpin adalah Ulil Amri. Sesuai dgn komentar mas :

    Kepemimpinan dalam kekuasaan (urusannya menyangkut sepenuhnya pengendalian masyarakat, pemimpin kaum, pemimpin demokratis, pemimpin pemerintahan, dan tujuan pemerintahan lainnya. Dalam ayat yang saya pahami, ini adalah ujian, amanat dari Allah. Jadi kepemimpinan adalah “penunjukkan Allah” — seperti pada postingan.
    Sebagai dasar pembahasan Ulil Amri Minkum berdasar Nash Alqur’an dan Hadits Rasul.
    Nash Alqur’an
    1.QS 4:83 berbunyi :
    Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

    2.QS 4:59
    Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

    Sebelum saya menyampaikan Hadits Rasul kita memahami dulu kriteria seorang Ulil Amri. Kalau Allah menentukan orang2 yg harus ditaati apalagi ketaatan berdampingan dgn ketaatan pd Allah dan Rasul maka yg ditunjuk itu hrs bebas dari kesalahan maupun dosa. Allah akan mempersiapkan orang tsb :
    1. PRIBADI ini langsung dari Allah
    2. Mempersiapkan untuk umat agar dapat diterima kelak oleh masyarakat sebagai pemimpin mereka
    ad.2 Allah telah isyaratkan melalui ayat2Nya yg begitu banyak seperti dlm QS 33:33; QS 5:55 dan banyak lagi firman Allah yg Allah isyaaratkan dgn wahyuNya dan dijelaskan oleh Rasul yg kita kenal dgn Hadits. Siapa yg Allah persiapkan itu yaitu mereka2 Ahlulbait yg diawali sesdh Rasul adalah Ali b. Abithalib sesuai dgn Hadits Rasul :

    1.Barang siapa yg ingin hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku serta masuk surga yg telah dijanjikan Tuhanku untukku, yaitu Jannatul Khuld hendaknya ia menjadikan Ali dan anak keturunannya sebagai pemimpin2 yg dicintai, sebab mereka itu tdk akan mengeluarkan kamu dari pintu hidayah, dan tdk akan memasukkan kamu ke dlm pintu kesesatan.(Kanzul Ummal;6/155 hadits ke 2578 dan Muntahab Kanzul Ummul catatan pinggir Musnad Ahmad 5/32}
    2.hadits ad-Dar Yaumal Indza2:
    Sesungguhnya dia ini Ali b. Abithalib adalah saudaraku,wahsiku dan khalifaku di-tengah2 kalian maka taatilah dia ( Hadits ini diriwayatkan dlm Tarikh at-Thabari hal. 63-64 juz 2 al Kami fi ath-Tarikh, Ibnu al-Atsir, an-Nasai dn banyak lagi perawi lain.)
    Jadi klu menurut mas Agor pemimpin yg ditunjuk Allah melalui Rasul, maka pemimpin2 sesudah Rasul adalah Imam Ali dgn keturunannya. Damai damai .Wasalam

    @Mas Abu Yang dirahmati Allah SWT,
    Dalam komentar saya ke Mas Abu dan juga ke Mas Armand, saya melihat ada 3 tipe ulil amri.
    Kalau merujuk pada Ali, atau semua paska Rasul SAW, maka yang jadi titik persoalan adalah tipe 3, yaitu kombinasi tipe 1 (pemberi peringatan) dan tipe 2 (pemimpin politik). Tipe ini memang terjadi bukan hanya pada Nabi terakhir, pada Nabi Daud dan Nabi Sulaeman, kombinasi ini terjadi. Tetapi tidak pada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim bukan pemimpin politik, tapi sebagai imam.

    Juga dalam pemahaman agor, kekuasaan itu (pemimpin politik) diberikan oleh Allah, bukan oleh manusia melalui proses demokrasi atau apapun, seperti yang disitir pada postingan. Jadi pemimpin politik ini bisa taat kepada Allah, bisa juga 1000% kafir.

    Mengenai kesucian manusia. Di sini agor jujur, agor belum mengerti benar pemaknaan ini. Agor memahaminya bahwa begitu Allah menutup pintu kenabian, maka tidak ada lagi manusia manapun yang akan menjadi pemberi peringatan sekualitas pribadi-pribadi yang dipersiapkan Allah pada kelas Nabi. Jadi penutup kenabian adalah posisi telah cukup petunjuk yang diberikan !. Tinggal prosesnya sampai masa kehidupan ini diakhiri.
    Jadi tidak ada lagi yang disucikan. Mendekati atau menjauh itu tergantung hidayah Allah dan kemampuan (baca : kesombongan/keikhlasan manusia) dan ridha Allah kepada manusia. Bagaimana mengukur keberadaan manusia jenis ini. Tidak tahu, tapi agor percaya orang-orang pada kelas tertentu dengan energi kesalehan yang besar akan memilikinya.

    AQ adalah sumber inspirasi bagi seluruh ummat manusia, baik yang beragama Islam maupun bukan, bahkan golongan Jin juga. Masalah kepemimpinan juga tentu dipahami keseluruhannya bagaimana (bagi seluruh bangsa), dan kemudian dalam hal khusus adalah kepemimpinan paska Rasul SAW.

    Hadis yang merujuk Ali sebagai pemimpin dan keturunannya, dalam pandangan agor tidak ada masalah juga. Kalau pemimpin zhalim, nggak masuk hitungan biarpun itu keturunan Nabi Nuh atau keturunan Nabi Ibrahim atau keturunan manapun. Hal yang sama dengan ahlul bayt atau imam yang 12 dan melakukan kombinasi tipe dari ulil amri adalah komitmen yang sah-sah saja. Toh semua dari mereka yang taat kepada Allah dan Rasulnya, memiliki kriteria yang sama dalam bertauhi, juga berlaku adil. Kalau tidak demikian, insya Allah, keburukan akan ditunjukkan Allah.

    Boleh jadi karena konsep berakal saya begini mas Abu, saya membaca buku-buku Syiah dan Suni sama enaknya saja. Kalau yang tidak sependapat (dari permasalahan keduanya) ya ada saja, termasuk tafsir sahabat atau bahkan terjemahan dari kedua pandangan tersebut. Dalam hal tidak sependapat (agor enggan ungkapkan), kadang hanya persoalan “sreg” dan tidak “sreg”. Bisa juga saat ini sreg, esok berubah pikiran atau sebaliknya.
    Seperti keimanan, kita tahu itu turun naik juga.
    damai, wasalam, agor.

    Suka

  6. truthseeker said

    @Agor

    Mas Agor saya jadi tergelitik untuk bertanya:
    Mengapa Allah memerintahkan kita untuk ta’at kepada Allah & Rasulullah & Ulil Amri?
    Jika untuk jawaban ini saja kita semua berbeda2 tentu saja utk mengenali siapa Ulil Amri (dgn mengabaikan yg sdh dijelaskan Rasulullah) maka akan berbeda pula.
    Terima kasih.

    Wassalam

    @
    Mas Truth Seeker,
    pandangan saya setelah membaca ayat yang berkenaan dengan pengertian ulil amri (dalam 3 tipe) dan taatilah dalam konsep pemberi peringatan seperti yang jawab untuk Mas Abu itu. Mohon Mas kritisi, apakah logika ini keliru atau ada yang musti diluruskan atau tidak !. Karena secara prinsip saya membedakan fungsi imam sebagai pemberi peringatan (fungsi/tugas rasul) dan fungsi pemerintahan sebagai pengendali masyarakat (tertib hukum). Meskipun ulil amri bisa dua-duanya (tipe ke 3). Atau dalam bahasa populer : agama dan ideologi disatukah. Khilafah adalah negara berideologi Islam.
    Taat Allah, Rasul, dan Ulil amri, sepanjang dalam pengertian pemberi peringatan dan tidak ada paksaan dalam agama, tidak memiliki dampak sebesar pengaruh negara berideologi Islam (yang secara otomatis melaksanakan hukum Islam).
    Sekali lagi, perbedaan tidak ada masalah.
    Kalau sudah jelas di AQ, baru kita bergerak ke hadis. Sinkronkah hadis dan Aq, adakah pemahaman AQ yang harus disingkirkan. Tipe mana yang lebih “layak” disingkirkan, yang satu, dua, atau tiga, atau malah ada lagi ke empat dan kelima. ?.
    Salam, agor.

    Suka

  7. truthseeker said

    @Agor
    Pertanyaan saya sebetulnya ingin membawa kita kepada Maha Suci Allah dr memerintahkan sesuatu yg akan membawa pada keburukan/kebatilan dll yg merupakan sifat mustahil Allah.
    Jadi, bagi saya setiap perintah Allah utk kita taat kpd yg Allah perintahkan kita utk taat pastilah akan membawa kita kepada kebenaran yg Allah ajarkan. AQ tdk menggunakan kata aziz (penguasa) ataupun yg lainnya. Allah pasti akan memerintahkan kita utk taat kepada mereka2 yg dijamin Allah bisa membawa kebenaran (impossible/mustahil bagi saya Allah memerintahkan kita kpd atasan, pemerintah dan manusia lainnya yg tdk terjamin kebenarannya). Bahkan mas Agor silakan mas Agor cari adakah perintah utk kita taat kepada orang tua kita ?.
    Sangat disayangkan jika kt masih berfikir bhw tidak ada manusia suci selain Nabi/Rasul. Sangat banyak di AQ dan Hadits yg menyatakan adanya orang2 suci selain Nabi/Rasul.
    1. HR: “Aku & Ali semisal Musa & Harun tapi tdk ada Nabi setelah aku.”
    2. Para Waliullah adalah manusia suci yg menjadi wakil Allah (sayangnya jarang kita mencari mereka, padahal Allah dg tegas menyatakan mereka sebagai wakil Allah di muka bumi.
    3. HR: “Para ulamaku seperti Nabi2 Bani Israil.”
    dll.
    Kemudian apakah kita dg congkaknya mengatakan bhw kita bisa menyelesaikan penempurnaan diri kita tanpa perlu mrk. Kalau begitu dimana salahnya jika ada yg mengatakan bhw cukup AQ bagiku. Untuk apa Allah mengirim para Rasul-Nya, mengapa tdk cukup diturunkan Kitab2 Suci saja?. Mas Agor jika para Nabi dikatakan sbg Pemberi Peringatan, Pemberi Penjelasan, & Pembawa Berita Gembira, maka di setiap jaman ada orang2 yg Allah persiapkan sebagai Pemberi Petunjuk (memberi solusi2).

    Juga dalam pemahaman agor, kekuasaan itu (pemimpin politik) diberikan oleh Allah, bukan oleh manusia melalui proses demokrasi atau apapun, seperti yang disitir pada postingan. Jadi pemimpin politik ini bisa taat kepada Allah, bisa juga 1000% kafir.

    Saya kurang mengerti maksud mas Agor, apakah pemimpin yg 1000% kafir itu juga Allah yg berikan kpd kita dan kita harus taat kpdnya? Ataukah mas Agor msh terjebak dlm pengertian kehendak bebas?. Semua yg baik dinisbahkan kpd Allah semua yg buruk dinisbahkan kpd manusia itu sendiri. Mas Agor jgn terbingungkan dg hal2 yg mn Allah berikan kpd semua manusia tanpa terkecuali, dan ygmn Allah khususkan kpd manusia2 tertentu yg dipilih-Nya. Semua manusia mendapatkan rezeki, kehidupan, kesenangan dll tanpa kecuali, begitu jg dg kesempatan utk berkuasa. Tapi kesempatan utk wajib ditaati tidaklah diberikan kpd sembarang orang.
    Mas Agor, pakah pernah terbetik pertanyaan di diri mas:
    1. Apakah yg dimaksud dengan Islam adalah agama yg sempurna, apakah bisa dikatakan sempurna suatu institusi yg tdk mempunyai sistem kepemimpinan?
    2. Dengan cara bagaimanakah AQ itu dijaga?
    3. QS:10:62 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Untuk apa Allah menciptakan mereka?, knp mereka disebut wali Allah? Mewakili dlm hal apakah mereka?>/b>
    Apakah krn kita ingin stick kpd persangkaan kita shg kita abaikan semua ini?
    4. Apakah mungkin Allah memerintahkan taat kepada orang yg kita tdk kenal? Siapakah ulil amri? Taat kpd Allah (Allah SWT) sangatlah jelas, kepada Rasulullah juga jelas (Muhammad SAW), Ulil Amri? Mungkinkah Allah (melalui Rasul-Nya) tdk pernah menjelaskan siapa yg harus kita taati? Jika meyakini spt itu mk sama saja kita meyakini ayat tsb hanya main2 (Astagfirullah).
    Pengertian tauhid saya memustahilkan hal2 yg buruk dinisbahkan kpd Allah.

    Wassalam

    @ Mas Truth yang dirahmati Allah, terimakasih atas kebernasan komentarnya dan ketegasan dalam memberikan peringatan. Agor berbahagia mendapatkan catatan seperti ini.

    Yang penting di”luruskan” adalah kalimat terakhir dulu ya. Karena yang lainnya berujung ke sana :
    “Pengertian tauhid saya memustahilkan hal2 yg buruk dinisbahkan kpd Allah.”

    Dalam pemahaman saya, Fir’aun sekalipun, kekuasaannya adalah pemberian Allah. Ini dijelaskan dalam 10:88 Namun, kekuasaan itu disalahgunakan, melampaui batas dan sewenang-wenang.
    Jadi kalau saya mengatakan semua kekuasaan itu anugerah, ada dasarnya. Bahwa disalahgunakan, itu adalah tanggungjawab pemegang amanat.
    Nabi dan Rasul dalam pengawasan Allah, sehingga kondisi hianat itu tidak akan pernah terjadi. Begitu juga dengan khalifah di muka bumi, adalah seluruh manusia. Soal ingkar atau beriman adalah tanggung jawab pemegang amanat.

    Mudah-mudahan pemahaman ini segaris. Agak sedikit kaget juga deh, Mas Truth memberikan catatan ini. Rasanya di postingan agor, tidak satupun mengarah ke sana. Namun, terimakasih telah diingatkan. Kemampuan berbahasa dan keterburu-buruan mempostingkan bisa pahami berbeda. 😀

    Mengenai wali Allah, 10:62 –> siapakah mereka?. Ya jelaslah yang beriman dan bertakwa. Tidak perduli asalnya dari mana kan?. (10:63). Ini penjelasan AQ, apakah kita akan menolak penjelasan ini karena ada mufassir berbeda pendapat?

    Mengenai ulil amri, karena saya mengaitkan dalam 3 tipe yaitu 1. pemberi peringatan, 2 pemimpin ideologi dan kombinasi 1 dan 2. Apakah ada tipe lain?

    Dalam logika saya, seorang ulil amri, bisa penguasa negara, bisa ulama, bisa tukang sayur kelontongan yang tiap pagi lewat rumah. Yang bisa ditiru dan diteladani… ya bisa mana saja…. (salah ya logika ini) 😀

    Suka

  8. haniifa said

    @Truthseeker
    Imam Sofyan (kami biasa memanggil Pak Ustadz Sofyan…)tadi mengimami saya pada shalat jum’at tadi, kebetulan saya jalan bareng mantan IMAM Ali (baca: @Mas Haji Ali Hasan… rumahnya satu RT dengan saya).

    Duhh… jadi teringat “Sampaikanlah walau satu ayat”,

    Imam Ust. Sofyan, melantunkan surah Al Qur’an Ibrahim ayat 7:
    [QS 14:7] Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.

    Kesimpulan beliau adalah…
    Hadirin rahimakumullah, sesungguhanya kita sangat beruntung tidak diwajibkan menghitung nikmat Allah… tetapi kita semua hanya diwajibkan mensyukurinya
    —————————————————————-
    Subhanallah…
    Saya jadi tergelitik dengan pertanyaan mas no:2
    Dengan cara bagaimanakah AQ itu dijaga?
    Namun mohon maaf karenasaya kurang pandai “asbabun nuzul” [QS 33:33] padahal cuma satu AYAT.

    [QS 2:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 3:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 29:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 30:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 31:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 32:1] := Alif-Lam-Mim
    Bunyinya sama A-L-M namun Nama Surah dalam Kitab Al Qur’an berbedan, Nah… yang ingin saya bantu dari pertanyaan mas tersebut adalah tolong beritahu saya yang bodoh ini soal “asbabun nuzul” dari ayat tersebut dan ingat pastinya berbedakan… soalnya turun surahnya berbeda ?!

    Oh..yac satu lagi…. 😀

    Dalam Al Qur’an surah Arrahman [QS 55] ada pengulangan ayat sbb:
    “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    Ada 31 ayat yang sama persis isi dan bunyinya…. namun terbagi didalam 4 ‘ain… sudah barang tentu turunya “tidak bersamaan” khan…

    Sekali lagi mohon bantuan kepada yang Ahli Asbabun nuzul”

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  9. Dono. said

    Ass.wr.wb, pak Truthseeker.

    Ada firman Allah yg mengatakan demikian ,surat An-Nahl, ayat 94.

    94. Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu
    di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah
    kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena
    kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab
    yang besar.

    Jika pemimpin-pemimpin itu bersumpah dengan benar dan melaksanakannya dengan benar,maka makmurlah rakyatnya.

    Suka

  10. haniifa said

    Ohh.. lupa..
    Mantan IMAM ALI (beliau bukan tukang dagang “ali agrem”… tapi usaha percetakan) saya sebut mantan karena bisanya @Mas H. Ali Hasan meng-imam-i kami shalat subuh.
    Usianya di atas mas Agor.. lebih dari lima puluhan kira-kira 😀

    Suka

  11. truthseeker said

    @Agor

    @ Mas Truth yang dirahmati Allah, terimakasih atas kebernasan komentarnya dan ketegasan dalam memberikan peringatan. Agor berbahagia mendapatkan catatan seperti ini.

    Terima kasih mas Agor utk do’anya yg luarbiasa. Semoga Allah juga melimpahkan Rahmat-Nya kepada mas Agor dan saudara2 lainnya yg dengan ikhlas mencari kebenaran dan berproses dalam menuju kesempurnaan diri.

    Dalam pemahaman saya, Fir’aun sekalipun, kekuasaannya adalah pemberian Allah.

    Seperti yg sdh saya sampaikan dikomentar saya sebelumnya, saya membedakan kekuasaan/penguasa dg kpd siapa kita wajib ta’at. Kekuasaan sebagaimana udara, air, rezeki dll yg diberikan Allah, sebagaimana jg jabatan adalah pemberian Allah yg dinisbahkan kpd semua manusia tanpa kecuali, utk masalah duniawi Allah memberikan kpd manusia tanpa pilih2, tp ketika berbicara ttg spiritualitas mk akan berbeda.
    Sekali lagi mas Agor mari kt bedakan kekuasaan dg kewajiban taat. Apakah manusia pd saat itu diwajibkan taat kpd Fir’aun?
    Kemudian mas Agor bicara ttg khalifah di muka bumi yg sebetulnya berkonotasi umum. Saya bertanya lagi mas Agor: Apakah ada perintah utk taat kpd khalifah tsb?

    Dalam logika saya, seorang ulil amri, bisa penguasa negara, bisa ulama, bisa tukang sayur kelontongan yang tiap pagi lewat rumah. Yang bisa ditiru dan diteladani… ya bisa mana saja…. (salah ya logika ini) 😀

    Mas Agor, jika bicara meniru/belajar maka kita hrs bisa belajar dr semua hal, saya bisa belajar dr semut, dr kelapa, dr batu dr air dll. Tapi sekali lagi mas Agor jgn tergelincir (harap fokus), kita sdg bicara perintah utk taat, apakah mas Agor mewajibkan diri utk taat kpd semua manusia yg mas Agor sebutkan tadi? tidak bukan? jadi lagi2 sedikit saja kita tergelincir mk salah semua kesimpulan kita.

    PS: Taat bukan masalah kecil, taat adalah hal terbesar yg manusia selalu bermasalah dengannya

    Wassalam

    @
    Alhamdulillah, diskusi dengan Mas mengajarkan saya beberapa hal yang kurang saya renungi. Saya kadang melihat sederhana saja dalam satu konsep berpikir kurang lebih begini :

    1. Sang Pencipta Segalanya –> Allah.
    2.Allah memberikan amanat kepada manusia –> Khalifah di muka bumi.
    3.Allah memberikan petunjuk kepada manusia jalan yang lurus –>ayat kualiah dan kauniah. Yang tertulis kitab suci dan AQ yang terakhir, terjelas, tersempurna, terpelihara, diwahyukan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan Rasul SAW menyampaikan kepada ummat manusia dan jin.
    4.Yang melanjutkan disebut pewaris Nabi. Siapapun yang ditunjuk adalah harus beriman dan bertakwa. Dalam hal ini turunan Nabi Ibrahim yang tidak zalim, waliyullah (yang sudah jelas definisinya di ayat 10:62, dan 63. Pemahaman banyak orang itu adalah ahlul bait, imam Ali, imam 12, yang maksum, yang disucikan, ulama, orang berilmu, dan lain sebagainya. Intinya harus satu : Beriman dan bertakwa. Beriman saja tidak cukup.

    Konsep agama adalah tidak ada paksaan. Jadi taatilah Allah, Rasul, Ulil amri adalah perintah kepada orang beriman dan bertakwa atau orang yang ingin menggapai iman dan takwa atau orang yang berharap makrifat. Kunci awal disampaikan pada awal-awal surat Al Baqarah, termasuk ciri orang bertakwa. Tidak ada paksaan adalah konsep penting dalam memberikan kebebasan manusia dalam ujian dari Allah. Konsep tidak ada paksaan itu dijelaskan begitu banyak dalam AQ.

    Kepada penolakan (tidak taat) : Tunggu keputusan, kami sama-sama menunggu. Segalanya kembali kepada Allah, Allah tidak menunjuki orang yang fasik. Resiko ketidaktaatan, azab disegerakan/ditunda, hari pembalasan, neraka dan kekal di dalamnya.

    Kepada yang taat : Janji Allah. Ini rasanya clear, tidak perlu kita bahas karena begitu jelas. Jelas pahalanya, jelas kemenangannya.

    Metoda Allah dalam memberikan pilihan untuk taat atau beriman :
    Kebebasan untuk memilih (jalan kebaikan dan kefasikan disampaikan kepada setiap hati manusia).
    Memberikan penjelasan arah jalan yang lurus, menjelaskan apa akibat dari yang menempuh jalan tidak lurus.

    Mengirimkan utusan manusia – Rasul, menjelaskan petunjuk AQ : Tidak ada keraguan, segalanya telah dirincikan (sejarah, petunjuk, kejadian masa depan, strategi musuh Allah dan pengamanannya). AQ juga diamankan melalui berbagai cara : Sistematika penulisan, kenikmatan membaca, pengulangan yang membuat manusia mudah ingat, hafalan, sampai sistematika dan pesan-pesan yang semakin digali semakin terbuka hijabnya.

    Menetapkan syarat/konsesi : Berakal, tidak riya, tidak angkuh, sombong. Karena kesombongan menjadi kunci yang mengunci hati (yang buta itu hati di dalam dada). Kesediaan bertaubat dan mengharap ampunanNya adalah konsepsi penting dalam penghambaan. Dari segi ayat kauniah ditetapkan dalam bentuk penjelasan : takdir, segala sesuatu terukur dan memiliki batas waktu (rentang waktu harus dipahami dari sisi dunia sampai ke hari kebangkitan).

    Menetapkan model berpikir dan mendorong motif : hanya orang berakal yang bisa mengambil pelajaran, melebihkan satu derajat untuk orang berilmu, bersyukur. Mengabulkan do’a, mengajak melakukan perniagaan yang beruntung, dan banyak lagi.

    Menetapkan visi akhir manusia : Beribadah kepada Allah. Seluruh makhluk bertasbih.

    Menetapkan misi manusia : Memakmurkan dunia.

    Nah, sekarang kita kembali pada pernyataan taatilah Allah, Rasul, dan Ulil amri adalah pernyataan yang memenuhi kriteria dalam konsep yang saya coba pahami dari AQ di atas.

    Pada sisi ini, saya tidak sedang mendiskusikan pada yang manusia lho. Jadi taatilah pada pesan ini merujuk pada konsepsi di atas. Jadi batu, semut, atau lintah belum masuk dalam area pembahasan.

    Konsep taatilah, tidak boleh melanggar konsep-konsep yang telah dijelaskan apa yang diwahyukan Jibril kepada Rasul Muhammad SAW. Dengan kata lain, konsep taat ada dalam konsep tidak ada paksaan dalam beragama. Konsep taat tidak keluar dari konsep visi akhir manusia. Konsep taat tidak keluar dari konsep memakmurkan dunia. Semua harus terintegrasi dalam satu tatanan agung petunjuk Allah.

    Dengan dasar ini, maka pertanyaan Mas mulai saya coba (sekali lagi coba) jawab.

    apakah mas Agor mewajibkan diri utk taat kpd semua manusia yg mas Agor sebutkan tadi? tidak bukan?
    Jawabnya Ya. Ya sepanjang terpenuhinya konsep di atas. Taatilah suara azan mengundang sholat. Taatilah imam sholat, taatilah rekan yang mengajak sholat, taatilah untuk tidak mencuri yang disampaikan orang tua, tetangga, atau pak er te. Kita taati ucapan dari waliyullah/ulil amri/ahlul bait/atau siapa saja yang memberikan berita gembira dan peringatan, sepanjang konsep agama (dalam hal ini Islam) terpenuhi. Mas Truth, ketika mengingatkan saya, ada dalam konsep ini. Jadi singkatnya taatilah orang yang menyeru kebaikan dan menetapi kesabaran. Jadi perintah untuk taat adalah perintah pada konsep ini. Pelanggaran atas petunjukNya, maka otomatis gugur perintah ini. Gugur terhadap siapa? Ya terhadap orang beriman.

    Perlukah kita taat kepada Fir’aun. Jelas tidak, Firaun tidak memenuhi konsep yang dijelaskan AQ. Fir’aun tidak memenuhi kriteria visi Allah kepada manusia. Jadi, sebaliknya. Allah telah memberinya kekuasaan dan nikmat kekuasaan serta kekayaan, tapi ingkar dan tidak amanat. Jadi Fir’aun (gaya lama atau pun Fir’aun abad ke 21) tidak memenuhi yang disyaratkan AQ.

    Lalu hal lain dalam penjelasan Mas :
    utk masalah duniawi Allah memberikan kpd manusia tanpa pilih2 –> Komentar saya : Tidak. Allah memberikan kepada manusia dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan. Dipilih-pilih siapa yang dikehendaki dan siapa yang diuji dan sebagai alat uji. Dengan kata lain, manusia ditetapkan rizkinya, kekuatannya, potensinya secara sempurna.

    Sekarang kita masuk ke arena belajar :
    Mas Agor, jika bicara meniru/belajar maka kita hrs bisa belajar dr semua hal, saya bisa belajar dr semut, dr kelapa, dr batu dr air dll. Ini adalah ayat kauniah. Maka pesannya adalah : tidakkah kamu mengambil pelajaran. Hanya orang berakal yang bisa mengambil pelajaran. Contoh pada ayat dijelaskan pada penjelasan tentang penciptaan.

    Sekarang persoalan akhir yang sebenarnya menjadi inti masalah : Kekuasaan. Taat pada penguasa (penguasa manusia), yang dimaksudkan bukan lagi pemberi peringatan, tapi kekuasaan politik. Sehingga taat kepada penguasa adalah taat mutlak kepada pemimpin politik. Ranah ini sebenarnya sangat berbeda. Karena taat kepada pemimpin (manusia) tidak dalam konsep pemberi peringatan. Taat kepada manusia mengandung aspek cara hidup bermasyarakat, taat hukum dan sangsi dan ancaman jika melanggar.

    Jika takut pada penguasa, maka jelas :
    Takut kepada Allah (sehingga) adalah takut pada ancamanNya (di dunia dan akhirat)
    Takut kepada penguasa (sehingga) adalah takut kepada keberlakuan hukum dunia.

    Penguasa dan pemberi peringatan adalah gabungan tipe ke 3 dari ulil amri. Ini sistem politik. Ini pembahasan kepemimpinan dalam negara/masyarakat.

    Mudah-mudahan uraian sepotong-sepotong dari agor ini bisa dipahami. Mas benar-benar menelisik pikiran agor jauh lebih dalam dari agor sendiri.
    Salam.

    Suka

  12. truthseeker said

    @Dono
    Alaykum salam wr wb
    Betul sekali mas Dono jika semuanya dilakukan dg benar maka tentunya hasilnya adalah kebenaran, tp ini kalimat simple yg implementasinya sangat2 jauh dr simple… 🙂

    Wassalam

    Suka

  13. truthseeker said

    @Agor
    Maaf ada yg terlupakan utk dibalas.

    Mengenai wali Allah, 10:62 –> siapakah mereka?. Ya jelaslah yang beriman dan bertakwa. Tidak perduli asalnya dari mana kan?. (10:63). Ini penjelasan AQ, apakah kita akan menolak penjelasan ini karena ada mufassir berbeda pendapat?

    Tentunya saya tdk menolak mas Agor saya mengimani itu, tp pd saat menanyakan siapa waliullah, mk yg sy mksd adalah contoh personnya, 1 saja gak usah banyak2.. :). Kalau mas Agor jawab tdk tahu itulah maka saya akan berkata apa makna dr ayat tsb jika kita tdk tahu (ingat beriman dan bertaqwa itu penilaian yg tdk mudah).

    Wassalam

    @
    Setelah uraian yang sebelumnya, maka pertanyaan ini sebenarnya begitu mudah dijawab.
    Mas adalah wali Allah ketika mengingatkan saya agar fokus, Mas mendorong saya untuk memperbaiki apa yang kurang. Saya adalah wali Allah untuk Beliau (yang belum tentu bisa saya tiru). Betul-betul contoh yang layak kita tiru. Orang tua saya ketika memberikan nasehat agar saya sholat, pengemis yang mendatangi saya adalah tamu Allah agar kesempatan bersedekah dijalankan. Karena itu pula, saya memahami ulil amri di antara kamu. Perhatikan kata “di antara kamu”. Mas Truth, Mas Hanifa, Mas Zal, Mas Abu, Mas Yudhi, Mas Ari dan banyak lagi adalah wali-wali ketika menyampaikan pengetahuan dan kesalehannya kepada kita.

    Allah mengatakan di antara kamu. Artinya jelas, saya tidak usah jauh-jauh melihat ulil amri itu. Kita bisa menemui dimana-mana, di antara kita. Ia juga bisa pemimpin organisasi, programmer komputer, atau pedagang kelontong. Contoh yang sudah saya sebutkan tadi 😀

    Berikutnya, beriman dan bertakwa itu penilaian yang tidak mudah.

    Saya setuju, namun perilaku keseharian, kesediaan berbagi, kesediaan membayar zakat, beramal sholeh adalah daya pengetahuan manusia untuk memberikan penilaian umum. Yang khusus, diingatkan Allah, kita tidak bisa membaca hati manusia.

    Sekali lagi Mas Truth, ini adalah pemahaman saya. Banyak pemahaman yang lain yang bersifat khusus. Ketaatan pada pemimpin organisasi, pemimpin sekte, majelis ulama, pemimpin negara. Bagi saya, ini tidak masalah dan tidak salah. Mereka juga ulil amri di antara kita.

    Wassalam, agor.

    Suka

  14. armand said

    @haniifa
    Bagaimana kabarnya mas? Sehat? 🙂
    Surah Al-Ahzab: 33 adalah berisi informasi mengenai keutamaan yang dimiliki oleh Ahlulbayt Nabi saw dimana Allah swt menegaskan kesucian mereka. Suci dari kesalahan dan dosa. Saya tidak tau lagi bagaimana kelompok yang menganggap biasa-biasa saja keutamaan yang dimiliki Ahlulbayt menterjemahkan ‘kesucian’ ini.
    Mengenai siapa-siapa Ahlulbayt dan asbabunnuzul ayat ini, mas bisa buka dan baca tulisan Secondprince yang saya kira cukup berimbang dan sangat komprehensif yang saya anggap mewakili keyakinan saya juga thd tafsiran surah Alahzab:33 ini.
    Yang perlu mas renungkan adalah bahwa tafsiran-tafsiran tsb adalah bersumber dari nash-nash yang qath’i dan bukan direka-reka atau sekedar mengikuti hawa nafsu. Premis-premis yang dikembangkan juga mengikuti hukum-hukum logika yang dapat dipertanggungjawabkan.
    Mas bisa klik di sini:

    Al Quran Dan Hadis Menyatakan Ahlul Bait Selalu Dalam Kebenaran


    Atau bisa juga kita diskusikan di link tsb.
    Semoga bermanfaat mas

    Suka

  15. truthseeker said

    @Haniifa
    Assalamualykum wr wb
    Apa kabar? Semoga sehat selalu.
    Mas Haniifa mau nanya nih, memang ada yg ahli asbabun nuzul yaa? Kasi tau donk biar kita bisa belajar dr beliau. Sepanjang yg saya tahu kita semua sama2 masih belajar sangat beruntung kita kalau ada yg ahli.

    Wassalam

    Suka

  16. haniifa said

    Assalamu’alaikum,
    Alhamdulillah…
    Saya baik-baik saja, ada sedikit pekerjaan yang urgen… terima kasih atas atensinya. Semoga mas-mas jauh lebih baik dari saya, Amin.

    Duhh… kaca mata mlorot, tolong maklumi yachh… udah udah ubanan seehh, saya tulis ulang plus koreksi dulu… nggak keberatan kan… 😀

    @Truthseeker mempunyai pertanyaan yang sangat menarik.
    Dengan cara bagaimanakah AQ itu dijaga?

    Seperti rekan-rekan yang budiman ketahui bahwa saya agak kesulitan mendahulukan “asbabun nuzul” [QS 33:33] PADAHAL HANYA SATU AYAT SAJA

    Disisi lain tentu sayan ingin informasi tambahan mengenai “asbabun nuzul” ayat-ayat berikut :
    [QS 2:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 3:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 29:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 30:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 31:1] := Alif-Lam-Mim
    [QS 32:1] := Alif-Lam-Mim
    ————————–
    Jumalah 6 (terbilang# enam ayat)

    Bunyinya sama Alif-Lam-Mim namun nama Surah dalam Kitab Al Qur’an berbeda, Nah… yang ingin saya bantu dari pertanyaan mas tersebut adalah tolong beritahu saya yang bodoh ini soal “asbabun nuzul” dari ayat tersebut dan ingat pastinya berbedakan… soalnya turun surahnya berbeda ?!

    Jelasnya asbabun nuzul-nya harus berbeda bukan ??
    (koreksi yach… kalau logika saya salah, trim’s)

    Dalam Al Qur’an surah Arrahman [QS 55] ada pengulangan ayat sbb:
    “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    Ada 31 ayat yang sama persis isi dan bunyinya…. namun terbagi didalam 4 ‘ain… sudah barang tentu turunya “tidak bersamaan” khan…
    Jumlah 31 (terbilang: tigapuluh satu ayat)
    Jelasnya asbabun nuzul-nya sama ?!
    Kalau sama berarti surah Arrahman diturunkan… Bleg sekaligus ?!
    (koreksi yach… kalau logika saya salah, trim’s)

    *** Jumlah total 37 ayat atau TIGAPULUH TUJUH AYAT ***

    @Mas Armand mohon maaf, berkaitan dengan pertanyaan yang tajam dari mas truth… maka saya lebih mempertimbangkan ababun nuzul 37 ayat dibanding asbabun nuzul 1 ayat saja.

    Mas Truth bertanya:= memang ada yg ahli asbabun nuzul yaa?

    Berkaitan dengan lontaran :
    Mohon bantuan kepada yang Ahli Asbabun nuzul

    Jelas saya tidak tahu/kurang faham… walaupun mencoba buka “kitab gundul” yang banyak saya lupa daripada ingatnya.

    Nb: Mohon maaf @Mas Truthseeker… bukannya membandingkan, namun melihat pertanyaan yang tajam. saya jadi teringat @mas John —::
    Yang saya kagumi dari beliau orangnya kritis dan pertanyaan tajam…

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  17. armand said

    @Agor/Truthseeker
    Terima kasih saya sdh berkesempatan membaca diskusi mas berdua yag elegan dan mencerahkan. Apa yg dimaksud mas truthseeker saya kira cukup gamblang dan lugas, yakni bahwa:
    (1) Ketaatan kepada Ulil Amri adalah memiliki bentuk dan pengertian yang sama dengan ketaatan pada pada Rasulullah saw, sementara ketaatan pada Rasul saw adalah menunjukkan ketaatan kepada Allah swt sesuai ayat dimaksud dimana sebutan untuk Ulil Amri disejajarkan dengan Rasul saw.
    Konsekuensinya apa? Yakni dari ketetapan ini adalah bahwa apa-apa yang diajarkan, disampaikan, dicontohkan oleh Ulil Amri, maka sejatinya semua itu adalah sama seperti apa-apa yang diajarkan, disampaikan dan dicontohkan oleh Nabi saw dimana kita wajib sami’na wa atha’na. Tidak ada reserve, tidak ada penolakan apa lagi pembangkangan.
    Hal ini memang sulit dimengerti bagaimana mungkin ada manusia selain Nabi saw yang ketaatan kepada mereka tidak berbeda dengan ketaatan pada Nabi sendiri. Sementara di sisi lain Allah swt menginstruksikan agar kita juga taat kepada ‘manusia lain ini’ selain dari Nabi saw. Terutama bagi kita yang selama ini terkooptasi dengan pemahaman bahwa hanya Nabi saw lah yang memiliki keutamaan dan kekhususan itu. Saya lihat mas Agor msh terperangkap dgn pandangan seperti itu. Bersumber dari nash-nash yang qath’i, bagaimana kalau saya katakan bahwa kemaksuman dan kesucian ternyata dinisbatkan juga pada ‘manusia lain’ ini? Adakah mas Agor keberatan?
    (2) Jika Allah swt ‘langsung turun tangan’ menentukan siapa-siapa selain Nabi saw yang wajib ditaati maka sudah dipastikan pilihan Allah swt tidak mungkin main-main, sepele, keliru, dan tidak patut saya kira mempertanyakan lagi bagaimana pribadi manusia-manusia itu, bagaimana keimanan dan ketaqwaannya, bagaimana akhlaknya, bagaimana keilmuannya, dsb – meskipun tentu saja pencaritahuan thd ciri-ciri, sifat, pribadi mereka sangat terbuka – karena SUDAH PASTI melingkupi semua syarat untuk dapat dijadikan contoh dan ditaati. Isyarat-isyarat serta petunjuk mengenai siapa mereka, keutamaan dan kelebihan sehingga ketaatan kepada mereka adalah suatu keniscayaan yang dapat kita temui di beberapa ayat dalam AQ serta di banyak hadits-hadits, meskipun memang akan terbuka berbagai tafsir tentangnya. Di sinilah perlunya menggunakan hati dan pikiran yang jernih melepaskan diri dari keterikatan dan kukungan golongan dan mazhab yang selalu menjadi kendala.
    Dengan demikian, jika Allah swt dan Nabi-Nya telah memberikan isyarat serta petunjuk siapa Ulil Amri itu dan bagaimana kesucian pribadi-pribadi mereka dan perintah taat kepada mereka, tentunya mereka bukanlah manusia biasa seperti kita yang memang bisa saling memberikan pencerahan dan bisa memberikan contoh yang baik namun di lain waktu dan tempat juga melakukan kebohongan, kemunafikan, kemungkaran, hingga pada taraf bersarang penyakit-penyakit hati yang umum hinggap di jiwa manusia biasa seperti dengki, hasad, ria, sum’ah, takabbur, dll. Dimana sikap-sikap, tindak-tanduk, hati dari para manusia pilihan Allah swt dan Nabi-Nya terlepas dari itu semua.
    Mudah-mudahan ga keliru mas truthseeker.
    Semoga Rahmat Allah swt dilimpahkan kepada kita semua.

    @
    Mas Armand, ass.ww.
    Apa yang saya ceritakan ke Mas Truth, hanya sekali lagi hanya dari terjemahan AQ yang saya pahami terutama dalam hal memahami konsep keberagamaan. Saya agak kurang mengerti mengapa dipahami bersumber dari nash-nash yang qathi sebagai sesuatu yang “terperangkap”. Semua dari AQ (memang saya tidak sebutkan, tapi tentu saja bisa di “search” ayatnya. 😀 Apakah sesuatu yang sudah jelas dari AQ (kalau memang uraian saya dimasukkan kelompok dari “:nash yang qathi” itu kurang bisa diterima). Kalau boleh, Mas Armand jelaskan, saya agak kurang bisa menangkap. Artinya, kalau yang saya jelaskan tidak bisa diterima, maka boleh jadi ada yang keliru.

    Semua dari AQ memang saya pilih karena keyakinan saya akan keterperincian Allah memberikan petunjuk seperti yang dijelaskan oleh AQ sendiri.

    Apakah tidak ada ulil amri di antara kita?. Tidak ada yang bisa dijadikan suri tauladan yang baik?, tidak ada ulil amri di antara kita yang pernah mengingatkan agor agar bersyukur kepadaNya, agar membayar zakat?. Atau dengan kata lain, apakah di dalam lingkungan agor hidup tidak ada wali Allah (orang beriman dan bertakwa) yang bisa saya taati?/teladani/ikuti?.
    Jadi buat agor, simpel saja kok…

    Nah selanjutnya,
    pertanyaan Mas Armand :
    Saya lihat mas Agor msh terperangkap dgn pandangan seperti itu. Bersumber dari nash-nash yang qath’i, bagaimana kalau saya katakan bahwa kemaksuman dan kesucian ternyata dinisbatkan juga pada ‘manusia lain’ ini? Adakah mas Agor keberatan?

    Pertanyaan ini juga buat saya kok tidak masalah ya. Kalaupun ada masalah, maka saya harus mencarinya dulu dari AQ, apakah AQ melarang pandangan adanya manusia yang disucikan Allah yang menjadi ulil amri.
    Lagi pula, saya tidak bisa tahu manusia itu suci atau tidak. Kalau Rasul jelas, dia membawa bukti-bukti nyata bagi kaumnya. Jadi tidak ada masalahnya, karena agor mengukur dan memberikan penilaian dengan akal berdasarkan pemahaman yang tadi itu lho. Yang diuraikan ke Mas Truth.

    Namun, khusus untuk komentar, tentang kemaksuman dan lain-lain, kita tidak perlu pertanyakan lagi. Namun, kalau kita bisa bertemu atau bisa mencontoh orang yang derajat kemaksumannya tinggi. Alhamdulillah, betul-betul ulil amri yang diimpikan manusia. 😀 . Kalau saya membaca tulisan Santri Buntet tentang gurunya, duh !. Layak benar diteladani. Dia salah satu ulil amri juga. Mengapa tidak !.

    Jadi saya tidak lebih melihat dan merasakan pada perannya sebagai pemberi peringatan. Taat adalah melaksanakan perintahnya dalam konsep AQ yang saya pahami.

    Apakah saya menjalani kesimpulan sebagai sebuah kekeliruan. Semoga Allah melindungi kita dari godaan.

    Jadi sekali lagi, personifikasi saya terhadap ulil amri adalah itu. Kalau ada cara pandang berbeda, ada orang suci dan maksum yang bebas dari dosa setelah berakhirnya masa kenabian, maka tetap saja alat ukurnya adalah AQ. Kalau ada orang itu, ya taat saja (kalau bisa). Kenapa tidak !.

    Kalau yang maksum itu ternyata memberikan peringatan yang salah menurut akal saya, ya tinggalkan saja. Berarti dia tidak maksum. Itu jalan berpikir saya lho.


    Untuk konsepsi mas yang nomor 2 :
    (2) Jika Allah swt ‘langsung turun tangan’ menentukan siapa-siapa selain Nabi saw… dst.
    ya gpp juga.
    Allah juga maha mengabulkan do’a dan mungkin saja memilih manusia yang bebas kesalahan dan suci.
    Kenapa tidak. Tapi, tentu saja saya akan bertanya kepada Allah jua :”Lalu mengapa Rab, engkau menutup Nabi dan Rasul?” –> pertanyaan ini saya harus cari di AQ.

    Kalau soal Allah tidak mungkin main-main dalam memilih. Masa sih kita mengasumsikan demikian. Wass, agor

    Suka

  18. armand said

    @Agor
    Sebelumnya saya koreksi dulu yang ini;
    “Saya lihat mas Agor msh terperangkap dgn pandangan seperti itu”, maksudnya mengacu pada pandangan bahwa hanya Nabi saw lah yang memiliki keutamaan dan kekhususan itu. Bukan pada: Bersumber dari nash-nash yang qath’i,…..
    Sorry kalo potongan kalimatnya bikin mas salah paham

    Suka

  19. truthseeker said

    @Agor
    Mas Agor, tentunya saya tdk akan memaksa pemahaman saya, saya hanya akan menilai pemahaman mas Agor. Saya yakin semua tahu yg dimksd waliullah itu tdk sesimple yg mas Agor katakan, tp itu menjadi jalan keluar (pelarian: maaf sy sok tahu) bagi mas Agor. Mungkin mas Agor tdk mau terjebak dlm sengketa mazhab (pdhal sengketa itu bkn hadir krn kita berbeda tp krn kita tdk siap utk berbeda).

    Mas Agor saya menangkap bhw kita berbeda dlm memahami arti kata taat, Agor bagi saya tdk punya konsep yg tegas ttg taat. Karena tdk mungkin mas Agor taat kpd saya… :). Kalau spt itu konsep mas, berarti begitu juga cara mas taat kpd Allah & Rasul? mas Agor pilih2 yg sesuai dg keinginan mas? mas pilah2 mana yg mencerahkan dan mana yg tdk? itu bukan taat mas (bagi saya) itu hanya belajar. Taat artinya tdk ada pilihan lain selain melakukan/melaksanakan perintah2 mrk yg kita taati (baca tulisan sy yg mengatakan bhw taat itu bukan masalah kecil, berrraaatttt.. shg banyak yg ingkar utk taat dg segala macam alasan). Krn pemahaman sy thd kata taat spt itu, tentunya mrk yg saya taati haruslah figur yg perfect (maksum, sy kuatir mas Agor lagi2 punya konsep sendiri ttg maksum..hehehe).
    Mas Agor, agama adalah suatu sistem, suatu sistem tentu punya aturan2. Ada ruang2 utk berimprovisasi dan ada yg dimana kt hrs taat, bhkn ruang berimprovisasipun sdh ditentukan.

    Mas Truth, Mas Hanifa, Mas Zal, Mas Abu, Mas Yudhi, Mas Ari dan banyak lagi adalah wali-wali ketika menyampaikan pengetahuan dan kesalehannya kepada kita.

    Begitu jelas konsep mas Agor, bhw semua berpulang kpd ego kita kapan seseorg menjadi wali, kapan seseorg dikatakan Nabi?. Bukankah Allah yg menentukan siapa wali dan bukan knp pakai kata ketika? Mas Agor laki, bukan berarti mas Agor laki2 pd saat main bola saja atau bukan hanya ketika mas Agor berlaku maskulin. Wali & Nabi adalah identitas/kesejatian diri bukan sesuatu yg akan berubah bergantung kondisi.

    Saya setuju, namun perilaku keseharian, kesediaan berbagi, kesediaan membayar zakat, beramal sholeh adalah daya pengetahuan manusia untuk memberikan penilaian umum. Yang khusus, diingatkan Allah, kita tidak bisa membaca hati manusia.

    🙂 totally berbeda dg konsep saya. Dan sangat kontradiksi dg kalimat terakhir bhw kt tdk tahu isi hati mrk? (otak saya jungkir balik.. :mrgreen: ). Bayangkan kl kalimat itu suy ubah spt ini:
    saya tahu siapa wali2 tsb dr keseharian mereka misal dlm berzakat, amal sholeh dll, tp saya tdk tahu isi hati mrk Lhoo emangnya ibadah seseorg tdk ada hub dg hatinya? apakah bknnya musnah semua amalan dg niat riya’? Bukankah kata2 bhw mas Agor tahu menjadi gugur krn mas Agor tdk tahu isi hati mrk?

    Wassalam

    @
    Mas Truth, ass.ww. Terimakasih lho atas catatannya. Saya memang mencoba menyederhanakan berpikir dalam banyak hal. Jadi kalau 10:62 terdapat kata wali-wali Allah dan tidak ada kekhawatiran pada mereka, 10:62 (yaitu) orang-orang beriman dan yang selalu bertakwa. Ya, itulah mereka. Tidak perduli apa latar belakang, jabatan, keturunannya.
    Untuk mengukur wali atau bukan, dari ego?. Jawaban ini bisa bias. Namun, saya kira tidak demikian, bukankah Al Qur’an menjadi petunjuk. Ego jelas ada, berkombinasi dengan petunjuk Allah. Ego itu ada berlaku pada segala jenis manusia. Nabi juga, namun Nabi memiliki perlindungan Allah dari kemungkinan berbuat salah dan memiliki kondisi diingatkan. Nabi, jelaslah yang karenanya disucikan. Itu berbeda dengan manusia biasa yang tidak diangkat Allah sebagai Nabi, apalagi Rasul. Jenis manusia dengan kualitas dan pembawa Risalah ini sudah ditutup oleh Allah.
    Kalau begitu, tidak ada lagi yang suci atau disucikan?. Jawab saya : Saya tidak tahu?.
    Saya juga tidak tahu isi hati mereka. Yang bisa saya tahu : akal dan hati saya akan “mengecek”, apakah perintahnya sesuai dengan petunjuk Allah atau tidak. Logis tidak. Saya akan merefer bahwa “dia” layak ditaati atau tidak. Lebih tegas lagi, pribadinya tidaklah penting sama sekali. Yang menjadi penting adalah isi dari ajakannya. Alat ukur kesesuaiannya adalah Al Qur’an. Dalam praktek, kemampuan saya melaksanakan perintah Allah, rasanya sepermil mil… sangat kecil. Semoga Allah ampuni saya dengan pengetahuan dan ketaatan yang amat rendah ini….
    Kurang lebih begitulah saya berpikir.
    Sengketa Mazhab?
    Kalau yang maksud itu kepemimpinan dalam organisasi, taat kepada pemimpin?.
    Tersirat dan tersurat, memang agor tidak ingin membicarakannya dalam blog ini. Bukan kapasitas dan kemampuan agor untuk memberikan penilaian. Yang agor bisa ingat dari AQ antara lain : Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi, ikutilah petunjuk AQ, tidak ada tanggung jawab Nabi dalam soal keingkaran manusia (artinya itu pilihan dari manusia itu sendiri), Rasul adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira.

    Mengenai sengketa Mazhab?. Sengketa yang terjadi adalah soal ideologi Islam, soal kepemimpinan, soal politik, soal khilafah dan khalifah?. Menurut agor, itu bukan persoalan agama, itu persoalan politik. Dan agor tidak punya pemahaman yang baik soal kekuasaan, jadi terus terang agor menghindar dari pandangan-pandangan yang berkaitan dalam politik/ideologi. Agor juga menghindari prasangkaan atau analisis-analisis kebenaran di wilayah “sengketa” itu. Agor sebenarnya lebih konsen pada minat sesuai dengan tema blog ini. Namun, agor juga menyadari, kadang bersentuhan juga. Tapi harus diakui, mau atau tidak mau, agama digunakan untuk sejumlah manusia sebagai alat kekuasaan.
    apakah ini salah?. Ya nggak juga, sepanjang keberlakuan adil dan kemampuan untuk memanfaatkan kepemimpinan bagi syiar agama…..

    Wassalam.

    Suka

  20. truthseeker said

    @Agor
    Saya jd ingin tahu konsep mas Agor ttg TAAT.
    Boleh tidak kita taat tanpa mencari tahu dan melaksanakan perintah2 mrk yg hrs kita taati?, artinya bisakah kita mengaku taat pd Allah tp tdk mencari tahu & melaksanakan perintah2 Allah? Apakah cukup kita menyatakan taat kpd Rasul namun tdk pernah mencari tahu apa yg diperintahkan dan setelah tdk melasanakannya?. Apakah spt itu? Maaf jika salah. Kita asumsikan saja, mas Agor taat kpd Allah dan mas Agor mencari tahu apa yg Allah perintahkan melalui AQ, apakah mas Agor juga taat kpd Rasulullah? apakah mas Agor sdh mencari perintah2 Rasulullah? Terlebih lagi ke ulil amri (siapa ulil amri saja kita tdk tahu (tdk mencari tahu, kmd bgm kita taat kpd mrk?)

    Mohon pencerahannya.

    Wassalam

    @
    Saya jd ingin tahu konsep mas Agor ttg TAAT.
    Wah pertanyaan yang aneh juga, tapi gpp deh.
    Saya memahami taat sederhananya adalah patuh/menurut (adakah pengertian lain). Namun, sebagai manusia, saya hanya mungkin separuh taat atau boleh jadi Allah melihat saya adalah hambanya yang tidak taat. Jadi lebih tepat saya berusaha untuk taat, menjauhi larangannya, meyakini janjinya, melaksanakan perintahNya. Yah, kurang lebih seperti itu. Tidak aneh rasanya.
    Saya mencoba belajar untuk memahami perintahNya, juga perintah Rasul (yang dibukukan oleh berbagai-bagai orang), juga ulil amri (dalam konsep seperti yang saya pahami dari AQ).
    Kemampuan melaksanakan adalah sisi yang berbeda.

    Pertanyaan yang sangat penting, bgmn kita taat kepada mereka?. Lagi-lagi saya melihat AQ dalam konsepsi sebagai pemberi peringatan. Kalau ditanya, apakah mampu melaksanakan perintah tanpa reserve (seperti Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail?). Wah, sepersejuta kesalehan seperti, agor tidak punya !.

    Suka

  21. armand said

    @Agor
    Mungkin sekalian jg ingin tahu konsep mas Agor tentang Suci (MAKSUM).
    (1) Menurut mas, apa yang dimaksud dengan Maksum? Sorry ya mas bukan maksud hati ini untuk ‘menodong’ atau mencari-cari kelemahan. Mau sharing saja. 🙂
    (2) Apakah identitas/derajat/predikat Maksum ini diberikan Allah swt akibat kemuliaan dan kelebihan pribadinya atau atas penilaian manusia?
    (3) Apakah predikat yang melekat ini sifatnya permanen atau temporary? Seperti yg dimisalkan oleh mas truthseeker sebelumnya, apakah seorang laki-laki itu diketahui pd saat main bola saja atau laki-laki karena ia beridentitas laki-laki, baik ia sedang main bola atau tidak?
    Pertanyaan ke-2 ini berkaitan erat dgn (1). Sejatinya jika predikat tsb diberikan oleh Allah swt, maka ia bersifat permanen, tidak mungkin bersifat temporary karena kesempurnaan Pengetahuan-Nya. Saya kira mas setuju bahwa derajat/predikat Maksum yang diberikan Allah swt kepada Nabi saw bersifat permanen, yang tidak akan kita temukan pada diri Beliau saw kekeliruan, kealpaan, kesalahan, apalagi sampai menodai dan menurunkan derajat kusuciannya/kemaksumannya.
    (4) Jika mas juga setuju bahwa predikat Maksum itu sifatnya permanen, maka apakah mungkin predikat ini juga dimiliki oleh manusia lain selain Nabi dan Rasul?
    Bagaimana pendapat mas dengan ayat-ayat AQ yang mengisyaratkan dan menunjukkan bahwa terdapat manusia-manusia, pribadi-pribadi selain Nabi saw yang juga memiliki derajat kesucian ini? Bagaimana pendapat mas dengan nash-nash lainnya dalam beberapa riwayat serta hadits-hadits yang masyhur bahwa terdapat manusia-manusia jenis ini?

    Mohon juga pencerahannya. Trim’s atas responnya.
    Semoga Rammat Allah swt dilimpahkan kepada kita semua. Amin.

    @
    Yang saya pahami, Nabi/Rasul itu disucikan dan dijaga Allah dari segala perilaku yang mungkin menyimpang dari kehendakNya. Penjagaan Nabi itu bersifat tetap. Namun, bukan berarti Nabi tidak bisa melakukan kesalahan, hanya reaksi Allah terhadap utusanNya memiliki karakteristik tindakan yang keliru/salah langsung dikoreksi, langsung diingatkan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Nabi/Rasul terjaga dari kesalahan/dosa.

    Bagaimana dengan manusia yang bukan Nabi, apalagi Rasul. Adakah yang disucikan?. Sekali lagi jawab saya tidak tahu, tapi bahwa sebagian kecil dari manusia mampu mencapai kualitas ketaatan yang tinggi atau sangat tinggi, ya mungkin saja. Saya tidak bisa bilang tidak, manusia itu punya potensi untuk salah.

    Kalau pertanyaannya adakah manusia yang suci (maksum) setelah Nabi Muhammad.
    Saya lebih berpikir bahwa TIDAK ADA. Namun, bahwa mereka berada pada kualitas kesalehan dan ketakwaan yang tinggi, tentu saja ada. Seberapa tinggi, ya tidak tahu.

    Berbeda dengan para Nabi dan Rasul, manusia biasa saja bisa saja mendekati derajat kesucian tinggi atau bahkan sangat tinggi.

    Apakah bersifat permanen?. Karena kesucian mereka (Paska Nabi terakhir), itu sangat tergantung dari kemampuan manusia itu sendiri dan hidayah Allah yang mampu diserapnya. Ada Nabi yang ditelan oleh ikan, ada Nabi yang banyak bertanya dan bertemu dengan Nabi Khidir, dan Rasul Muhammad juga ditanyakan kebijakannya dalam salah satu perang dimana ummat kucar-kacir, Ada keluar surat Abasa yang menunjukkan bahwa sisi kemanusiaan Nabi ditunjukkan. Ada hadis tentang penyerbukan untuk menghasilkan kurma yang unggul. Di sini jelas menjadi pelajaran bagi kita bahwa Seorang Nabi adalah manusia biasa yang memiliki kemungkinan berbuat keliru dan bertanya tentang kebijakan-kebijakan yang dibuat Allah.
    Wass, agor

    Suka

  22. armand said

    @Agor
    Terima kasih komennya mas, sangat berharga bagi saya. Semoga Allah swt selalu memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
    Ada pertanyaan lanjutan nih, mas. Ga bosen kan? 🙂
    (1)Terdapat kontradiksi yg cukup mengganggu dari pernyataan mas mengenai kemaksuman Nabi. Menurut mas Nabi/Rasul itu disucikan dan dijaga Allah dari segala perilaku yang mungkin menyimpang dari kehendakNya. Penjagaan Nabi itu bersifat tetap.
    Namun, di kalimat selanjutnya mas mengatakan yang bersebrangan:
    “Bukan berarti Nabi tidak bisa melakukan kesalahan, hanya reaksi Allah terhadap utusanNya memiliki karakteristik tindakan yang keliru/salah langsung dikoreksi, langsung diingatkan.”
    Kemudia mas berbalik lagi menegaskan kemaksuman Nabi:
    “Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Nabi/Rasul terjaga dari kesalahan/dosa.”
    Menurut alur logika saya, jika Allah swt Sang Maha Suci dan Maha Penjaga Kesucian sudah memberikan predikat kemaksuman serta menjaga dari segala kekeliruan/kesalahan, maka tidak ada peluang atau kemungkinan Nabi SEMPAT melakukan kekeliruan atau kesalahan/dosa. Wong sdh dijaga lebih dulu kan?
    Kalau kita pernah menyimak kisah-kisah para wali dan manusia-manusia pilihan, maka ada salah satu karakteristik mereka yg mengisyaratkan adanya penjagaan kekeliruan oleh Allah swt, yakni bahwa bagi mereka dosa itu bukan sekedar apa yang ditunjukkan oleh sikap, prilaku dan tindakan, tetapi sudah mengarah pada “isi hati”. Bagi mereka (mudah-mudahn saya ga keliru) bahkan terbersit bisikan hati yg mengarah pada kedurhakaan kepada Allah swt dan Nabi-Nya yang Suci sudah merupakan suatu dosa. Jadi apa yang kita saksikan dari para wali Allah atas ketakwaan mereka, kezuhudan, kelembutan mereka adalah akibat olah hati mereka yang menjaga mereka dari kekeliruan/ kesalahan/dosa.
    Jika manusia selain Nabi saja telah memiliki kelebihan seperti ini, apalagi Nabi Muhammad saw, seorang manusia pilihan yang terbaik dari segala manusia, semulia-mulianya makhluk dan terutama dari segala Nabi, dimana Allah telah memberikan julukan kepada Beliau “Khuluqil ‘adzim”, dimana Allah mengingatkan segenap manusia untuk berpedoman dan mengambil contoh dari Beliau? Adakah kemungkinan Allah swt merelakan Nabi-Nya melakukan kesalahan/kekeliruan dimana hal itu bisa menjadi justifikasi bagi orang-orang yang durhaka?
    Seringkali kita mendengar:
    “Wong Nabi saja bisa lupa, apalagi kita manusia yang bukan Nabi?”
    “Wong Nabi saja bisa bermuka masam, apalagi kita?”
    Bagaimana keberanian dan kelancangan kita selama ini baik secara sadar maupun tidak, sengaja atau pun tidak, telah menjerumuskan kedudukan Nabi saw kepada kedudukan yang bukan pada tempatnya?
    Sebenarnya mengenai “penjagaan” ini kita dapat menggunakan permisalan dan logika yang lebih mudah, yakni katakanlah Security di kantor kita telah memberikan jaminan bahwa mereka akan menjaga keamanan aset-aset perusahaan. Kita katakan bahwa dengan keilmuan mereka, usaha keras mereka, aset kita akan terjaga dari kehilangan. Kan ga lucu tanpa ada usaha pencegahan, Security membiarkan ada aset kita yang hilang dan kemudian serta-merta menegur kita bahwa seharusnya kita tidak boleh menghilangkan aset-aset kita?
    (2) Kalau saya tidak keliru memahami ayat di AQ, maka memang terdapat manusia-manusia tertentu (selain Nabi saw) yang telah ditinggikan langsung derajatnya oleh Allah swt melalui penegasan kesucian pribadi mereka. Mas tentu telah membaca (sering bahkan 🙂 ) kami sering mengajukan dalil di surah AlAhzab:33 untuk menunjukkan bahwa Allah swt telah memproklamirkan kepada segenap umat manusia bahwa ada sementara manusia yang dipilih Allah swt untuk disucikan pribadi mereka.
    Ayat tsb saya coba tuliskan kembali:
    “…..Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”
    Kita ga perlu sampai jauh membicarakan siapa yang dimaksud ahlulbayt ini karena tentu ada berbagai tafsir tentangnya (Insya Allah pada kesempatan berbeda). Namun yang ingin saya kemukakan adalah ternyata (kalau kita mau lebih kritis) bahwa ada jenis manusia seperti yang saya coba katakan yang memiliki predikat/identitas/derajat kesucian (kemaksuman)
    (3) Maaf mas, Nabi saw tentu saja BUKAN MANUSIA BIASA, Beliau adalah MANUSIA LUAR BIASA 🙂 Dengan segala keutamaan, kelebihan, kemuliaan, dengan pujian dari Allah swt dan gelaran-gelaran kemuliaan Beliau, yang kepada-Nya shalawat disampaikan, yang dijadikan contoh teladan oleh Allah swt, yang segala usaha, perjuangan dan pengorbanan Beliau menjadikan kita sebagai umat yang terbaik, masihkah kita mengatakan bahwa Beliau hanya manusia biasa?
    Jika mas mengatakan bahwa Beliau manusia seperti kita yang memiliki nafsu, makan, tidur, sedih tentu saja saya tidak berkeberatan 🙂

    Demikian mas. Semoga bermanfaat.

    @
    Mengenai Nabi, rasanya tidak ada masalah kok. Artinya memilki nafsu, makan tidur, dsb. Jadi Nabi bukan superman. 😀
    Beliau adalah manusia luar biasa dengn segala keutamaannya. Siapa berani menolak !. Allah menegasi dengan sangat jelas. 😀

    Kalau manusia biasa disucikan/dijaga sebagaimana Allah menjaga Nabi dan Rasulnya dengan juga membawa bukti-bukti kekuasaannya. Tapi kalau manusia biasa saja, berada pada kualitas Nabi/Rasul, seperti saya tegasi dari awal : Saya tidak tahu

    Kalau surat mengenai manusia disucikan. Apakah Mas Armand ingin menegasi (untuk dibahas) bahwa di Al Qur’an sangat jelas bahwa Allah menunjuk manusia-manusia yang suci (bersih/bebas dari kesalahan). Begitu maksud Mas. Manusia-manusia itu bukan Nabi, tapi di AQ itu masuk sebagai orang maksum, mursyid, ulil amri. Orang-orang itu ada?. Begitu kan maksud Mas Armand?

    Kalau itu yang dimaksud, ya buat saya tidak masalah kok. Apa masalahnya?.
    Yang jelas, kalau agor belajar dari mereka atau siapa saja ketika mungkin untuk dipahami. Saya akan merujuk pada akal dan Al Qur’an dan saya akan berusaha mengukur kelogisan “mereka” dalam berhujjah.
    Kalau saya anggap tidak cocok, ya tidak saya taati. Jadi, buat saya orang itu suci atau tidak bukanlah hal yang penting. Kenapa saya anggap tidak penting, ya karena saya juga tidak tahu seberapa kesuciannya, seberapa maksumnya, seberapa bersihnya, dsb. Alat ukur saya kan hanya akal dan pengetahuan agama (Al Qur’an dan sebagian hadis).

    Mas mungkin sedikit (atau banyak) kesal, bagaimana sih. Kok tidak perduli, padahal jelas Allah menegasi bahwa ada orang yang ditinggikan/disucikan (di luar Nabi/Rasul). Seseorang bisa menjadi maksum adalah karena hidayah dan usahanya untuk mensucikan diri. Sebagai sesuatu nilai usaha, maka dia itu memiliki derajat kesucian yang berbeda-beda. Apakah ada yang 100% suci (bebas dari kesalahan, 100% akidahnya, 100% mampu mengendalikan nafsunya, 100% tauhidnya, 100% bla…bla…). Jawaban saya, sama Mas Armand : “Tidak Tahu”. Tapi kecenderungan saya adalah orang itu tidak ada. Logika saya itu tidak ada karena Allah sudah menutup pintu kerasulan dan kenabian.
    Jadi tidak ada lagi manusia dilahirkan kemudian menjadi sekualitas Nabi. Selebihnya wallahu ‘alam deh.

    Oh ya soal Surat Abasa, tentu saja ya… muka masam Nabi berbeda dengan kita, “masam”nya Nabi sangat jauh berbeda dengan “masamnya” manusia macam kita-kita ini. Lagi yang dimasami juga jelas orang buta. Artinya tidak bisa melihat. Namun, indikator ini disampaikan Allah sebagai pelajaran buat kita tentunya.

    Oh ya, seandainya saya mengatakan kepada Mas,
    Sesungguhnya, Mas Truth Seeker adalah seorang periang dan selalu optimis.
    Kira-kira saat ini Mas Truth Seeker dimata saya ketika saya menyatakan ini, apakah Mas menunjukkan keriangan dan optimis atau tidak?
    Kalau saya katakan kepada Mas,
    Sesungguhnya, Mas Truth Seeker adalah seorang ambisius
    Maka apakah pada saat saya mengatakan Sesungguhnya, maka apa kondisi dari Mas Truth sehingga ada orang mengatakan “sesungguhnya”. Apakah kata ini punya makna. Atau kita hilangkan saja kata ini?.
    Wassalam.

    Suka

  23. yureka said

    pak toyota setelah “bosan” dengan dunia tenun berpindah ke dunia otomotip. tidak disangka apa yang dia rintis berbuah lebat, industri otomotipnya berkembang sangat pesat HINGGA KINI. sebagai seorang enterpreneur yang handal dia harus berpikir logis, karena begitu banyaknya cabang2 untuk industri otomotipnya, yang harus dia buka di seluruh negara di bumi ini, maka didirikanlah authoriz2 dealer dst….

    masing2nya di setiap cabang2 ada satu atau beberapa orang ahli yang bisa menjelaskan tentang program2 atau kebijakan dari owner,direksi serta manajemen PUSAT, tentunya dengan bahasa masing2 cabang. dan pastilah (100% mutlak) tidak ada “khilafiyah” dalam setiap “ahli/utusan” dalam mengurai setiap program dari pusatnya toyota sana. ini akan berlangsung sampai toyota itu sendiri ada di planet ini. dan hanya akan berhenti setelah toyota bangkrut.

    owner semesta ini tentu juga punya program2 thd manusia2 di bumi, terbukti dengan telah ditunjukNYA authoriz2 yang membawa “petunjuk”. sayangnya pada satu periode yang terakhir telah ditetapkan seorang “pembawa petunjuk terakhir”.

    dan untuk selanjutnya :
    “silahkan wahai para konsumenku, untuk memakai produk saya ini terjemahkan sendiri2 atau berkelompok. karena sesungguhnya yang tahu penjabarannya hanya Aku (3:7), dan bila kalian nanti salah dalam menganalisa walau kamu merasa dekat denganku, pastilah apiku nanti kamu rasakan dalam keabadian.

    pertanyaan : siapa yang lebih pintar antara owner toyota, atau owner semesta ??

    @
    Mas Yureka, posisi seorang owner Toyota tidak bisa diperbandingkan dengan owner alam semesta. Saya kira Mas Yureka akan memudah memahami tanpa perlu saya komentari lagi. Sure !. 😀

    Suka

  24. yureka said

    @ armand, @ agor n all

    surat 17 ayat 73
    “dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia”.

    Surat 17 ayat 74
    “dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu HAMPIR-HAMPIR CONDONG sedikit kepada mereka,

    surat 10 ayat 93
    .” …………. Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.

    surat 10 ayat 94
    “ Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam KERAGU-RAGUAN TENTANG APA YANG KAMI TURUNKAN KEPADAMU, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.

    Surat 12 ayat 23
    “dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.

    Surat 12 ayat24
    “ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan YUSUF PUN BERMAKSUD (MELAKUKAN PULA) DENGAN WANITA ITU andaikata Dia tidak melihat tanda Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

    Kesimpulan (saya) :
    Nabi adalah orang terpilih, namun mereka tetap manusia biasa yang bila Allah tidak “campur tangan” untuk menguatkan mereka niscaya mereka akan berbuat kesalahan. Justru saya mohon petunjuk mas agor atau mas armand tentang ayat yang menerangkan konsep maksum. (maksud saya, ayat dulu baru diuraikan)

    @
    Rasanya begitu klir unsur kemanusiaan dari Nabi.
    😀

    Suka

  25. armand said

    @Agor
    Terima kasih tanggapannya, mas
    Point (3) saya ungkap karna ada kata-kata mas sebelumnya yg menyatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa, seperti mas tulis ini:
    “….Di sini jelas menjadi pelajaran bagi kita bahwa Seorang Nabi adalah MANUSIA BIASA yang memiliki kemungkinan berbuat keliru dan bertanya tentang kebijakan-kebijakan yang dibuat Allah.”
    Benar mas? Hehehe…. 🙂

    Mengenai wacana manusia suci selain Nabi saw yang saya kembangkan ini bukanlah maksud saya untuk memaksakan kepada mas Agor atau siapa pun yg “kebetulan” membaca tulisan ini untuk berHOAX-HOAX dan “mengidam-idamkan kehadiran” mereka di tengah kita. Semua tentu saja berpulang kepada keyakinan masing-masing. Saya hanya mencoba untuk bersifat kritis dan mengingatkan (bagi yg lupa dan pura-pura lupa, tentu) kita semua, bahwa sesungguhnya sepeninggal Nabi saw tidaklah terputus garis kepemimpinan ilahiah.
    Apa makna dan hikmah Allah swt memproklamirkan kesucian Ahlulbayt Nabi saw, apa makna hadits Nabi saw mengenai kedudukan salah satu Ahlulbaytnya sama seperti seperti kedudukan Harun thd Musa, apa makna dan hikmah dari ayat Surah Alwaqiah:79 tentang kedudukan AQ dan kesucian manusia, apa makna dari Hadits Tsaqalain, apa makna penunjukkan salah satu ahlulbayt Nabi saw sebagai Maula di Ghadir Khum?
    Sejatinya itu semua menjadi renungan bagi kita bahwa kelanjutan kepemimpinan Islam pasca Nabi saw bukanlah tidak memiliki pedoman dan petunjuk.
    Menurut saya, dengan mengetahui bahwa terdapat manusia-manusia suci pengganti Nabi saw dan mengenal siapa-siapa mereka serta keimamahan mereka, maka seyogjanya kita mencari tahu apakah ada itrah mereka (sesuai Hadits Tsaqalain) di sekitar kita dan berdoa agar dapat dipertemukan salah satu darinya. Jika dipertemukan berusaha untuk mendengar nasehat dan petunjuk mereka serta mengikuti jejak mereka. Jika belum dipertemukan, mencari tahu apakah mereka pernah meninggalkan tulisan-tulisan dan kisah-kisah (dari hadits-hadits dan riwayat-riwayat saya kira) dimana darinya kita bisa beroleh petunjuk dan pencerahan.

    Saya tidak tahu apakah kita perlu menilai kembali (menurut mas Agor harus sesuai dengan akal dan pengetahuan agama, AQ & hadits) mengenai kesucian seseorang dimana sudah ada ketegasan dan jaminan dari Allah swt mengenai kesuciannya?

    Mengenai surah Abasa, bukankah Nabi saw bermuka masam itu tafsir? Bukan arti yg berbunyi demikian kan? Karena di AQ kata “Muhammad” untuk yang bermuka masam diletakkan dalam kurung.
    Dengan demikian bukankah terbuka kemungkinan tafsir tsb keliru?
    Mas bilang bermuka masam kepada orang buta. Saya tersenyum membacanya 🙂
    Mas Agor kan juga “sepakat” bahwa Nabi saw adalah manusia luar biasa dengan segala kemulian dan keutamaannya, maka adalah tidak mungkin bukan bahwa dengan hanya kedatangan seorang buta dan berhadapan dgn petinggi-petinggi Qurays, Nabi sdh menunjukkan kelemahannya dan menodai kemaksumannya? Bukankah hal ini berkebalikan dengan sifat Nabi yang bersikap lemah-lembut thd kamu mu’min dan bersikap keras thd kaum kafir?
    Jangankan Nabi, manusia biasa saja mampu kok untuk tidak menunjukkan sikap buruk seperti itu 🙄
    Kemudian, kalau misalnya saya katakan bahwa ternyata ada tafsir yang berlainan dari tafsir yang mas Agor (kita) terima selama ini yang mengatakan bahwa bukanlah Nabi saw yang bermuka masam, tetapi seorang lain yang bersama-sama Nabi saw. Bagaimana mas? Apakah kita masih bersikeras bahwa Nabilah yang bermuka masam?

    Sudah dulu, mas….Ntar bosen bacanya. Yang lain saya akan komen menyusul Insya Allah.

    Semoga Rahmat Allah swt dilimpahkan kepada kita semua. Amin.

    @
    Untuk komentar Mas yang ini :
    “….Di sini jelas menjadi pelajaran bagi kita bahwa Seorang Nabi adalah MANUSIA BIASA yang memiliki kemungkinan berbuat keliru dan bertanya tentang kebijakan-kebijakan yang dibuat Allah.”
    Benar mas? Hehehe…. 🙂
    Rasanya catatan dari Mas Yureka di atas sudah menjawab ya. Tinggal kita menyimpulkan sendiri saja 😀
    Namun sedikit ingin menambahkan.
    Nabi Adam terperosok karena godaan Iblis.
    Nabi Musa adalah salah satu Nabi yang paling banyak bertanya tentang “kebijakan Allah”. Banyak bertanya untuk meningkatkan keyakinan.
    Mengenai Abasa, kalau ada pendapat itu orang lain bersama Nabi, ya mungkin saja kok. Namun, kalau itu ayat ditujukan untuk orang sebelah Nabi, apakah makna ayat itu akan sama?. Jadi, di situ bisa diambil kesimpulan jua.

    Mengenai kepemimpinan ilahiyah?.
    Saya juga tidak tahu Mas Armand. Yang saya pahami, Rasul itu pemberi peringatan. Jadi saya kurang paham, kepemimpinan apa yang dimaksud?. Kepemimpinan dalam agama (imam)– sebagai pemberi peringatan ataukah dalam ideologi? Ini jadi kurang jelas.

    Mengenai seorang suci, turunan Nabi Muhammad. Saya tidak ingin mengomentari terus Mas, atau langsung langsung menjustifikasi. Tapi mari kita lihat kepada Al Qur’an dalam keseluruhan hal-hal yang menyangkut manusia dan kesucian, mensucikan diri, bersuci, disucikan. Saya yakin, dengan keluasan hati dan pikiran Mas, maka dapat diambil kesimpulan. Kalau kesimpulan itu berbeda, yah wajar saja.
    …Nabi manusia biasa yang mendapatkan wahyu …: Al Kahfi 110 . …Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar… (QS 25:7)… Bahwa aku manusia seperti kamu… (QS 41:6);

    Perlu juga direnungkan apakah kepemimpinan itu sesuai dengan konsep pemberi peringatan….

    Yah.. banyak hal dalam pikiran kita bermunculan.
    Namun, saya terus terang Mas, mendahulukan pemahaman AQ terlebih dahulu. Jika hadis mana saja yang menurut saya tidak sinkron, maka saya tidak jadikan pegangan, Kalau sinkron maka alhamdulillah.

    Wass, agor.

    Suka

  26. haniifa said

    Para Rasulullah dan Nabi Allah… adalah manusia biasa namun dalam hal ini mereka merupakan contoh buat seluruh manusia didunia ini.

    Bagimana cara Nabi Nuh a.s sebagai kepala rumah yang sempurna… terhadap pembangkangan anak beliau ?!

    Bagaimana cara Nabi Luth a.s sebagai suami yang sempurna… terhadap… pembangkangan istri beliau ?!

    Bagaimana juga dengan Istri Fir’aun ?!

    Bagaimana dengan Ayahanda Nabi Ibrahim a.s ?!

    Masihkah meragukan kejadian “Bermuka masam/memalingkan wajah” pada Nabi Muhammad s.a.w… ?! Coba bandingkan dengan yang saya sebut diatas

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  27. haniifa said

    @Mas Armand

    Bagaimana dengan kisah Nabi Yusuf a.s dengan saudara-saudaranya ?!

    Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
    ———————————
    [QS 2:285] Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya“, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  28. haniifa said

    He.he.he.
    Justru jika ada manusia tidak bisa “bermuka masam” berarti manusia tersebut Zombie atau “tidak sempurna”… Clear.

    Suka

  29. yureka said

    bahkan…..
    tahukah bagaimana zaid anak angkat muhammad yang harus dengan rasa pekewuh campur aduk dengan rasa lain menghadapi SISI KEMANUSIAAN ayah angkatnya yang tiba2 jatuh hati pada istrinya, (di terangkan dalam 33:4). dia harus rela menceraikan.

    untuk memahami ahlul bait, maaf, saya lebih condong pada pendapat haniifa : kumpulkan semua nama “john”
    memang tafsir ayat dengan ayat terasa lebih mendekati.
    bagaimana mungkin Dia yang mencetak semesta ini harus dibantu dengan penjelasan manusia !!

    Suka

  30. halwa said

    Mas Haniifa

    bisa terangkan saya kenapa anda begitu percaya diri banget bahwa nabi bermuka masam, dan anda begitu percaya bahwa semua Nabi bisa atau pernah melakukan kesalahan. apakah anda memang benar-benar mengetahui arti tafsirnya dari setiap surat di Alquran seperti Abasa.

    salam

    Suka

  31. truthseeker said

    @Yureka
    Sepertinya kita berputar2 hanya krn perbedaan pemahaman ttg apa itu maksum,maksum itu adalah jg berarti terjaga, terjaga berarti ada yg menjaga (krn adanya kecenderungan shg perlu dijaga). Maka:

    surat 17 ayat 73
    “dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia”.

    TERJAGA => MAKSUM

    Surat 17 ayat 74
    “dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu AMPIR-HAMPIR CONDONG sedikit kepada mereka,

    TERJAGA => MAKSUM

    surat 10 ayat 94
    Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam KERAGU-RAGUAN TENTANG APA YANG KAMI TURUNKAN KEPADAMU, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.

    Harap diapstikan faham tentang arti dr kata jika, kalau kita memahami kata jika dg cara seperti, akan babak belur donk kepribadian Junjungan kita Sayyidina Muhammad SAW, betapa banyak keburukan yg ada… astagfirullah .. Allahumashalli alaa Sayyidina Muhammad wa’ala aali Sayyidina Muhammad.

    Surat 12 ayat 23
    “dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.

    Dimana argumennya? Sangat2 terjaga. Apakah mas Yureka, kalau maksum kemudian tidak perlu berdo’a??. Harus lahh, wong maksumnya dr Allah yg jaga koq… cckk..ccckk.bingung saya.. :mrgreen:

    Surat 12 ayat24
    “ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan YUSUF PUN BERMAKSUD (MELAKUKAN PULA) DENGAN WANITA ITU andaikata Dia tidak melihat tanda Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

    TERJAGA => MAKSUM Malah semakin jelas bhw Allah menjaga mereka dr kesalahan dan keburukan. Apakah mas Yureka menfasirkan terjaga dr kesalahan itu bhkn sampai di kecenderungan?, wah salah besar mas, krn para Nabi bukan malaikat yg tidak dilengkapi dg nafs/keinginan. Disitulah kelebihan/kemuliaan manusia dr malaikat krn mrk harus berperang/jihad melawan hawa nafsu dan iblis. Bedanya mrk dg manusia biasa apa? Allah menjaga mrk sehingga akhlak mrk terjaga dr bhkn setetes saja keburukan.

    Kesimpulan (saya) :
    Nabi adalah orang terpilih, namun mereka tetap manusia biasa yang bila Allah tidak “campur tangan” untuk menguatkan mereka niscaya mereka akan berbuat kesalahan.

    SETUJU..!!!

    Justru saya mohon petunjuk mas agor atau mas armand tentang ayat yang menerangkan konsep maksum. (maksud saya, ayat dulu baru diuraikan)

    Ayat cukup banyak, pendapat ulama pun sudah jelas bhw Nabi maksum. Berpulang kpd kita ridh & ikhlas tdk menerima itu. Sekali lagi harap direform perspsi ttg maksum.
    “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur”. (S.68 Al-Qalam:4).
    “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
    ”(QS.An-Nur:63).

    “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS.Al-Ahzab:56).
    “Sesungguhnya doa itu berhenti antara langit dan bumi, tidak beranjak naik sedikitpun, hingga engkau bershalawat kepada Nabimu”. (HR.Tirmidzi).
    “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa-dosa kamu Ahlul Bayt dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersih.”QS:33:33
    Bagaimana mas Yureka mengartikan ini, saya serahkan kpd mas sendiri.
    Tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepada.QS:53:3-4
    “Dialah yang mengutuskan kepada kaum umiyyin seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatnya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.”QS:62:2
    “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”QS:68:4
    “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”QS:3:159

    Dear All:
    Perjalanan Rasulullah mi’raj ke sidrathul muntaha harap di kaji dg lebih dalam dr segala aspek. Perjumpaan Rasulullah dg Allah SWT bukan suatu perjumpaan biasa, banyak syarat2 yg harus dipenuhi.

    Wassalam

    @
    Mas Truth Seeker, kalau yang dimaksud “maksum” artinya terjaga, bukan suci atau manusia yang suci/disucikan. Tapi satu sifat yang menunjukkan bahwa manusia itu dijaga oleh Allah dari do’sa maka saya haturkan terimakasih. Selama ini langsung saja pemahaman saya adalah suci/dijaga, tapi lebih condong pada kata suci (bebas dosa). Sedang dalam penjelasan Mas, berarti dijaga dari kemungkinan dosa.

    Kalau saya sendiri, tidak terfokus pada Nabi/Rasul, karena memang jaminan Allah begitu klir.
    Wass, agor.

    Suka

  32. truthseeker said

    @yureka Berkata:
    Agustus 13, 2008 pada 8:30 am
    Mas Yureka, kenapa saya berkali2 menyarankan kita utk berhati2 dalam menafsirkan sesuatu. Kita harus tetap menjaga prasangka baik kepada Allah & Rasul-Nya. Saya agak terkejut dg penanfsiran mas Yureka, sedangkan masalah ini sdh ada penjelasan yg terang. Saya akan copas sedikit setil ttg comment mas, agar tdk terjadi kesalahpahaman kpd Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW.

    Yang Di Nikahkan Allah Dengan Rasulnya

    Dia adalah Ummul mukminin, Zainab binti Jahsy bin Rabab bin Ya’mar. Ibu beliau bernama Ummyah Binti Muthallib, Paman dari paman Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam . Pada mulanya nama beliau adalah Barra’, namun tatkala diperistri oleh Rasulullah, beliau diganti namanya dengan Zainab.

    Tatkala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melamarnya untuk budak beliau yakni Zaid bin Haritsah (kekasih Rasulullah dan anak angkatnya), maka Zainab dan juga keluarganya tidak berkenan. Rasulullah bersabda kepada Zainab, “Aku rela Zaid menjadi suamimu”. Maka Zainab berkata: “Wahai Rasulullah akan tetapi aku tidak berkenan jika dia menjadi suamiku, aku adalah wanita terpandang pada kaumku dan putri pamanmu, maka aku tidak mau melaksanakannya. Maka turunlah firman Allah (artinya):

    “Dan Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan–urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Al-Ahzab:36).

    Akhirnya Zainab mau menikah dengan Zaid karena ta’at kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, konsekuen dengan landasan Islam yaitu tidak ada kelebihan antara orang yang satu dengan orang yang lain melainkan dengan takwa.

    Akan tetapi kehidupan rumah tangga tersebut tidak harmonis, ketidakcocokan mewarnai rumah tangga yang terwujud karena perintah Allah yang bertujuan untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan dan hukum-hukum jahiliyah dalam perkawinan.

    Tatkala Zaid merasakan betapa sulitnya hidup berdampingan dengan Zainab, beliau mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengadukan problem yang dihadapi dengan memohon izin kepada Rasulullah untuk menceraikannya. Namun beliau bersabda: “Pertahankanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah”.

    Padahal beliau mengetahui betul bahwa perceraian pasti terjadi dan Allah kelak akan memerintahkan kepada beliau untuk menikahi Zainab untuk merombak kebiasaan jahiliyah yang mengharamkan menikahi istri Zaid sebagaimana anak kandung. Hanya saja Rasulullah tidak memberitahukan kepadanya ataupun kepada yang lain sebagaimana tuntunan Syar’i karena beliau khawatir, manusia lebih-lebih orang-orang musyrik, akan berkata bahwa Muhammad menikahi bekas istri anaknya. Maka Allah ‘Azza wajalla menurunkan ayat-Nya:

    “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:”Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih kamu takuti. Maka tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini ( istri-istri anak-anak angkat itu ) apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Al-Ahzab:37).

    Al-Wâqidiy dan yang lain menyebutkan bahwa ayat ini turun manakala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan ‘Aisyah tiba-tiba beliau pingsan. Setelah bangun, beliau tersenyum seraya bersabda:”Siapakah yang hendak memberikan kabar gembira kepada Zainab?”, Kemudian beliau membaca ayat tersebut. Maka berangkatlah seorang pemberi kabar gembira kepada Zainab untuk memberikan kabar kepadanya, ada yang mengatakan bahwa Salma pembantu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang membawa kabar gembira tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa yang membawa kabar gembira tersebut adalah Zaid sendiri. Ketika itu, beliau langsung membuang apa yang ada di tangannya kemudian sujud syukur kepada Allah.

    Begitulah, Allah Subhanahu menikahi Zainab radliallâhu ‘anha dengan Nabi-Nya melalui ayat-Nya tanpa wali dan tanpa saksi sehingga ini menjadi kebanggaan Zainab dihadapan Ummahatul Mukminin yang lain. Beliau berkata:”Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian akan tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya”. Dan dalam riwayat lain,”Allah telah menikahkanku di langit”. Dalam riwayat lain,”Allah menikahkan ku dari langit yang ketujuh”. Dan dalam sebagian riwayat lain,”Aku labih mulia dari kalian dalam hal wali dan yang paling mulia dalam hal wakil; kalian dinikahkan oleh orang tua kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit yang ketujuh”.

    Zainab radliallâhu ‘anha adalah seorang wanita shalihah, bertakwa dan tulus imannya, hal itu ditanyakan sendiri oleh sayyidah ‘Aisyah radliallâhu ‘anha tatkala berkata:”Aku tidak lihat seorangpun yang lebih baik diennya dari Zainab, lebih bertakwa kepada Allah dan paling jujur perkataannya, paling banyak menyambung silaturrahmi dan paling banyak shadaqah, paling bersungguh-sungguh dalam beramal dengan jalan shadaqah dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla”.

    Beliau radliallâhu ‘anha adalah seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau bekerja dengan kedua tangannya, beliau menyamak kulit dan menyedekahkannya di jalan Allah, yakni beliau bagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Tatkala ‘Aisyah mendengar berita wafatnya Zainab, beliau berkata:”Telah pergi wanita yang mulia dan rajin beribadah, menyantuni para yatim dan para janda”. Kemudian beliau berkata: “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para istrinya: ‘Orang yang paling cepat menyusulku diantara kalian adalah yang paling panjang tangannya…’ “.

    Maka apabila kami berkumpul sepeninggal beliau, kami mengukur tangan kami di dinding untuk mengetahui siapakah yang paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami lakukan terus hingga wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang paling panjang tangannya di antara kami. Maka ketika itu barulah kami mengetahui bahwa yang di maksud dengan panjang tangan adalah sedekah. Adapun Zainab bekerja dengan tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan di jalan Allah.

    Ajal menjemput beliau pada tahun 20 hijriyah pada saat berumur 53 tahun. Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab turut menyalatkan beliau. Penduduk Madinah turut mengantar jenazah Ummul Mukminin, Zainab binti Jahsy hingga ke Baqi’. Beliau adalah istri Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali wafat setelah wafatnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah merahmati wanita yang paling mulia dalam hal wali dan wakil, dan yang paling panjang tangannya.

    Wassalam

    @
    Kalau pembahasan di wilayah “dalam” seperti ini, terus terang saya sangat enggan membahasnya. Saya hindari, bahkan termasuk sangat hindari. Mengapa?. Sejarah dan kisah, campur aduk dengan semangat untuk mengevaluasi hanya dari narasi itu terasa “buat saya” tidak relevan. Tak mungkin buat saya untuk meragukan dari sisi manapun perilaku Nabi Muhammad SAW. Saya hanya ingin menjadi ummatnya saja, dengan seluruh kebisaan dan kebodohan saya. Nabi adalah suri tauladan yang baik. titik. Semangat ini saya yakin dimiliki kita semua yang berkontribusi di blog ini. 😀

    Suka

  33. armand said

    @Haniifa #28
    He.he.he.
    Justru jika ada manusia tidak bisa “bermuka masam” berarti manusia tersebut Zombie atau “tidak sempurna”… Clear.

    Ho.ho.ho
    Justeru Nabi saw sesempurnanya manusia dan bukan Zombie maka tidak bermuka masam….CLEAR

    Suka

  34. yureka said

    @ Truthseeker

    “Apakah mas Yureka menfasirkan terjaga dr kesalahan itu bhkn sampai di kecenderungan?, wah salah besar mas, krn para Nabi bukan malaikat yg tidak dilengkapi dg nafs/keinginan”.

    Surat 6 ayat 120
    “dan tinggalkanlah DOSA LAHIR dan DOSA BATHIN. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”.

    Mas truthseeker benar, bahwa contoh yang saya ambil antara Muhammad dan Yusuf pada factanya secara lahiriah belum terjadi, tapi bathin ke-2 Nabi itu sudah pada berkecenderungan. Hanya pada titik ini kita ada perbedaan, karena pada kecenderungan ini mereka sudah menabrak 6:120. Allah perlu “campur tangan” menguatkan hati mereka para Nabi dan Rasul agar tidak terjadi action lahir. Ini menjadi penting karena mereka Rasul sebagai suri tauladan. Bagi kita (saya) cukuplah situasi bathin yang tetap dosa bagi Allah mencerminkan sisi kemanusiaan para Nabi dan rasul itu.

    @ Truthseeker
    jangan terpaku pada kalimat “hampir atau maka jika” sebagai belum, karena ini akan sepadan dengan “Allah bermaksud hendak mensucikan….” di 33:33, ini akan menjadi lebih rumit karena pemahaman kita ttg ahlulbayt berbeda pula.

    Sedangkan bagi saya satu2nya junjungan hanyalah Allah. Kali ini kita beda lagi. Tapi gpp khan. Muhammad adalah utusan Allah, dia dimuliakan/diberi sholawat seperti halnya orang2 beriman dan sabar juga dimuliakan/diberi sholawat.

    Surat 2 ayat 157
    “mereka Itulah yang mendapat sholawat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

    Tentang perjumpaan Muhammad dengan Allah ?? saya kok belum pernah mendapat pencerahannya ya… dalam al isra:1 hanya dikatakan “diperlihatkan dengan sebagian tanda2 kebesaran Allah”

    wassalam

    Suka

  35. armand said

    @Yureka #14
    Mas truthseeker udah ngrespon….

    Suka

  36. yureka said

    @ truthseeker…
    saya sudah membaca tuntas #32.
    seperti biasanya dalam sebuah periwayatan selalu muncul dalam berbagai versi. terkadang disinilah yang menjadikan saya kesulitan untuk mampu menyerap dengan baik. untuk sementara shortcut saya ayat ditafsir ayat lebih dulu. selebihnya its ok.

    Hampir 10 generasi bila dihitung sejak wafatnya Muhammad 11 H s/d periode para penulis hadits tertua mulai berkiprah (Bukhari lahir 194 H). perjalanan sebuah informasi dengan kondisi system dokumentasi yang masih jauh dari canggih ditambah bumbu2 kepentingan pribadi atau kelompok yang berbaur dengan intrik2 politik kala itu bikin saya menciut membayangkannya.

    @
    Saya lupa neh, dari mana sumbernya. Kalau tak salah ada hadis, kalau sesuai atau sejalan dengan AQ ikutilah, kalau tidak : tinggalkanlah.
    Jadi pada AQ kita berpijak. Begitu yang agor pahami, hadis mengikuti.

    Suka

  37. yureka said

    @ agorsiloku
    mungkin saya nggak cermat…
    saya belum menemukan judul mas agor yang membahas isra miraj ?
    mungkin saya bisa mulai tanya ke mas agor :
    kenapa dalam surat al isra:1 Allah katakan ” yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke MASJIDIL AQSHA …….”

    bukankah dalam catatan sejarah Umar bin khatab yang membangun dan memberi nama masjid Aqsha yg sekarang ini ??

    Apa maksud Allah mengatakan ….masjid Aqsha…, padahal masjidnya belum ada ??

    @
    Mas betul, saya belum pernah membahas detil mengenai perjalanan Isra Mi’raj. Kalaupun disinggung dalam beberapa postingan itu berkaitan dengan jarak tempuh, mukjizat, dan kesempatan agung yang diberikan kepada Nabi mengenai sebagaian kekuasaan Allah yang ditunjukkan kepada Nabi.

    Kalau mesjid yang dibangun oleh Umar bin Khatab… duh apa ya… , bukankah itu masjid al shakrah?.
    Wah.. agor tidak hapal sejarah 😦

    Suka

  38. haniifa said

    Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

    [QS 66:3] Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa bermuka masam, maka gagal fungsi otaknya dan hati berikut jantungnya… Clear.

    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa memalingkan muka… maka saudara menganggap beliau PATUNG…. Clear.

    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa membuang hajat besar dan pipis…. maka saudara menganggap kotoran manusia (baca: beliau) termasuk minyak wangi… Clear.

    Cape dech… maksum := ema sum-sum

    Suka

  39. haniifa said

    Tidak ada “satu manusiapun” yang bersih raganya pada saat … buang hajat.. Clear 😀

    Jiwanya bersih… pada saat breakdown… raganya kotor.

    Kecuali saudara-saudara menganggap Para Rasulullah dan Para Nabi Allah itu adalah Malaikat…. Clear

    Suka

  40. haniifa said

    Tunjukan kepada saya satu ayat saja, bahwa Nabi Muhammad s.a.w bukan manusia yang suka makan/tidur/mandi/kepasar… dan ke”belakang” ?!

    Maaf kalau tidak bisa menunjukan, maka terimalah dengan lapang dada bahwa.

    Beliau pada saat pada saat breakdown… raganya kotor…. sehingga jika mau melaksanakan Shalat wajib berwudhu kembaliSuper Ultra Clear

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  41. armand said

    @Haniifa #38
    Kata mas,
    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa bermuka masam, maka gagal fungsi otaknya dan hati berikut jantungnya… Clear.

    Kata saya,
    Kalau Nabi Muhammad s.a.w bermuka masam, maka gagal fungsi contoh teladan, risalah, dan kenabian…CLEAREST

    Kata mas,
    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa memalingkan muka… maka saudara menganggap beliau PATUNG…. Clear.

    Kata saya,
    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak memalingkan muka maka saya menganggap beliau BERJIWA AGUNG…CLEAREST

    Kata mas,
    Kalau Nabi Muhammad s.a.w tidak bisa membuang hajat besar dan pipis…. maka saudara menganggap kotoran manusia (baca: beliau) termasuk minyak wangi… Clear.
    Belum Clear…karna saya ga pernah bilang begitu..CLEAR

    Cape dech… MAKSUM := MAKanya SUlit bermuka Masam

    Haniifa #39
    Belum Clear…karna saya tdk pernah menyebutkan bahwa Nabi spt yg mas tulis.

    Haniifa #40
    Woiii..bangun mas…!
    Emang kapan saya nyebutin kayak mas bilang itu? Jadinya sangat tidak Clear….!

    Suka

  42. halwa said

    mas Haniifa

    Aneh ya pernyataannya..ga ngerti aku…

    mo tanya nih sebenarnya Nabi Muhammad itu maksum dalam hal apa sih..Maksum utk keseluruhan atau hanya dalam suatu keadaan aja ya ? Mohon pencerahannya mas.

    salam

    Suka

  43. armand said

    @Haniifa
    Manusia BIASA = bodoh, malas, lupa, salah, salah, keliru, dosa

    Manusia LUAR BIASA = cerdas, tekun, ingat, lurus, benar, terjaga dari dosa

    Manusia NORMAL = makan, minum, tidur, pipis, buang hajat

    Manusia TIDAK NORMAL = tidak makan-makan, tidak minum-minum, tidak tidur-tidur, tidak pipis-pipis, tidak buang-buang hajat. 🙂

    Rasul saw = Manusia LUAR BIASA = Manusia NORMAL Manusia BIASA

    C L E A R
    :mrgreen:

    Suka

  44. armand said

    Koreksi dikit…
    Rasul saw = Manusia LUAR BIASA = Manusia NORMAL tidak sama dengan Manusia BIASA

    Suka

  45. agorsiloku said

    Ass.ww.
    Bagaimanapun juga, agor berharap, tidak usahlah kita meragukan atau mendiskusikan tentang keterjagaan Nabi Muhammad SAW dalam sudut-sudut pandang manusia seperti kita ini. Sungguh, kita ini tidak setitik dibanding kemuliaan perilaku Nabi.
    Hal ini agar kita terhindar dari langsung tak langsung, meragukan atau tanpa kita sadari yang menjadi suri tauladan ummat Manusia didiskusikan secara mungkin proposional bagi sebagian orang, tidak bagi sebagian yang lain.
    Kita semua tentu memahami atas makna sisi kemanusiaan seorang Nabi, sisi keterjagaan Nabi, dan sisi-sisi lainnya. Semoga kita tidak terpeleset pada hal-hal yang sudah begitu terang dan jelasnya dijelaskan AQ perihal RasulNya.
    Wass, agor

    Suka

  46. truthseeker said

    @Yureka

    Mas truthseeker benar, bahwa contoh yang saya ambil antara Muhammad dan Yusuf pada factanya secara lahiriah belum terjadi, tapi bathin ke-2 Nabi itu sudah pada berkecenderungan.

    Apa hubungannya dg QS:6:120 ?. Apakah mas yureka menafsirkan kecenderungan itu sbg dosa batin/tersembunyi? Kalau mmg spt itu, maka kita punya persepsi yg jauh berbeda ttg dosa batin. Bagi dosa batin itu semisal: Dengki, Munafik, Riya’, saksi palsu, dll.Kalau mas Yureka memasukkan ragu, dan keinginan sebagai dosa…wahhh..wahhh.., drmn tuhh?

    jangan terpaku pada kalimat “hampir atau maka jika” sebagai belum, karena ini akan sepadan dengan “Allah bermaksud hendak mensucikan….

    Maksudnya terpaku? Saya hanya mempersepsikannya sesuai keseluruhan kalimat, atau bisa saya katakan: mas Yureka jangan dipenggal2 kalimatnya”… :P. Kita secara proporsional saja mengartikan sebuah kalimat, tentunya beda donk makna hampir dan sudah, beda donk maka jika, dg tanpa maka jika. Contoh:
    Saya hampir jatuh, dg saya sudah jatuh. Pasti semua akan “terpaku” dg betapa pentingnya kata hampir.
    maka jika kamu tidak memenuhi persyaratan, kamu tidak akan lulus, bedakan kan mas? Penting gak kata2 tsb?

    di 33:33, ini akan menjadi lebih rumit karena pemahaman kita ttg ahlulbayt berbeda pula.

    Kita rasanya tdk sedang bicara siapa ahl bayt, tp kita sedang bicara ttg disucikan, terlepas ada perbedaan ttg siapa mereka. Sedangkan bagi saya satu2nya junjungan hanyalah Allah. Kali ini kita beda lagi. Tapi gpp khan.

    Gpp bangetttt… :P. Karena bagi saya junjungan adalah sesuatu yg kita letakkan di atas kita. Jadi kalau mas Yureka tdk ridha meletakkan beliau di atas mas Yureka, ya monggo2 aja itukan pilihan, saya jg tdk tertarik memperdebatkannya.

    Tentang perjumpaan Muhammad dengan Allah ?? saya kok belum pernah mendapat pencerahannya ya… dalam al isra:1 hanya dikatakan “diperlihatkan dengan sebagian tanda2 kebesaran Allah”

    Baca an-Najm mas.. :mrgreen:
    Btw, saya mau tanya, apakah mas Yureka juga berpegang kepada hadits (shahih), krn saya koq jadi ragu mengemukakan argumen hadits.. ;).

    Wassalam

    Suka

  47. haniifa said

    Koreksi dikit… SALAH GEDE = BODOH LUAR BIASA
    😀
    😀
    😀

    Suka

  48. haniifa said

    @Halwa
    Mungkin punya pernyataan Armand lebih baik dari saya, dan Insya Allah Halwa adalah manusia Normal.
    Manusia BIASA = bodoh, malas, lupa, salah, salah, keliru, dosa

    Armand := bodoh… 😀
    Armand := malas… 😀
    Armand := lupa… 😀
    Armand := salah
    Armand := salah … (salahnya dua kali jadi “super salah”… 😀 )
    Armand := keliru… 😀

    Super amat sangat ultra…. Clear.

    Suka

  49. haniifa said

    @Halwa
    bisa terangkan saya kenapa anda begitu percaya diri banget bahwa nabi bermuka masam

    Insya Allah, semua para Rasulullah dan Nabi adalah manusia NORMAL dan melakukan kegiatan keseharian sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. (mis: kalau musim dingin beliau menggunakan baju hangat)

    Ingat puasa
    Kondisi perut kosong, maka sinyal otak akan men-triger suatu enzim dalam lampung (asam lambung meningkat) sehingga terasa lapar dan ini bekerjannya secara tidak kita sadari. Demikian pula dengan mod… misalnya suasana riang itu karena ada kejadian yang menyenangkan dalam pemikiran otak kita, kemudian otak men-triger nuansa hati dan terpancar dalam raut muka… jika sangat menyenangkan maka akan tertawa terbahak-bahak.
    Sebaliknya dengan nuansa “kesal”… dalam hal ini kita jangan menyamakan raut kekesalan kita dengan Rasulullah… sebab beliau berperilaku halus dan lemah lembut, oleh karena itu raut muka “kesal” (baca: bermuka masam) hampir tidak ketara oleh para sahabat beliau… kesan ini yang tersirat dalam Al Qur’an surah ‘Abasa.
    Contoh nyata raut wajah “Ryan” tidak menunjukan pembunuh sadis/berdarah dingin.
    Atau banyak orang berparas “kecut”, tetapi setelah berkomunikasi ternyata tutur sapanya baik… ramah… bahasa lugas… mudah menolong orang… dsb.

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  50. haniifa said

    @Truthseeker
    Btw, saya mau tanya, apakah mas Yureka juga berpegang kepada hadits (shahih), krn saya koq jadi ragu mengemukakan argumen hadits.. ;).

    Kalau begitu saudara harus konsisten in Al Qur’an… Clear

    Suka

  51. yureka said

    @truthseeker.
    masalah hadits, saya hanya lebih berhati-hati, semampu saya akan saya kros dulu dengan furqon, kalau mantab baru saya pake.

    @
    Mas Yureka, saya kira kehati-hatian itu membantu kita. Saya juga bukan tidak percaya hadis, tapi kalau saya menggunakan hadis sebagai pokok pikiran utama tanpa kros dengan pemahaman atau kesejalanan dengan AQ, khawatir dari pahala menjadi pahili.
    Hadis adalah persepsi tauladan Nabi SAW yang dilihat, didengar, dirasakan, ditanyakan oleh sahabat-sahabat di sekeliling Nabi. Sumber cahayanya tetap AQ. Pencatatan kejadian saat wahyu turun adalah salah satu surya kanta untuk melihat keterhubungan (adakah) antara wahyu dengan kejadian.
    Kata kuncinya, “kalau mantab baru saya pake”, itupun kalau kita tahu dan mantap juga belum tentu buat orang lain mantap dan benar. Yang jelas, tentu kita mengetahui cukup banyak hadis yang handal dan juga lebih banyak yang dipalsukan dalam pabrik berpikir masyarakat dalam berbagai kepentingan.

    Suka

  52. yureka said

    @truthseeker.
    kalau menurut mas truthseeker kala Muhammad punya keraguan dalam hatinya itu belum disebut kesalahan, saya tidak berpendapat demikian. kalau menurut mas truthseeker saat Yusuf dalam hatinya juga punya keinginan berbuat”itu” dengan istri orang lain yg saat itu memeluknya bukan kesalahan, saya tidak pada pendapat itu. Disini pengertian kita terbelah, dan itu tdk masalah.

    Bagi saya tidak masalah memperbincangkan kesalahan yang pernah dibuat nabi sekalipun, bukan untuk membuat penilaian, bagaimanapun kita tetap tidak sebanding. Itu jelas. Saya punya kekuatiran tentang kultus. Dalam skala yang sangat kecil sekalipun orang bisa tanpa sadar mengkultuskan.

    Alhamdulillah artinya SEGALA PUJI HANYA UNTUK ALLAH. tidakkah di sekeliling kita sekarang sudah banyak muncul pujian2 untuk selain Allah. di kota saya bahkan di lingkungan yg modern ada (banyak) habib, kyai dan sejenisnya kutbah dengan disekelilingnya jamaah datang bawa botol aqua berisi air utk di bawa pulang guna diminum sekeluarga.

    kalau memang mas truthseeker mengartikan junjungan dengan menempatkan yang diatas anda, berapa banyak junjungan mas truth ?? bahkan Muhammad sekalipun kalau tidak dipilih Allah, bisa apa kita ?? kenapa juga Allah tidak memilih abu lahab ?? padahal dia menjalankan sunah rasul, buktinya (mestinya) dia berjenggot 😀

    tentang an najm, kita bisa diskusikan lebih lanjut kalau mas agor bikin topik ini. saya juga pernah membahasnya, dari depan sudah keliat beda lagi…:D

    @
    Keraguan tentu bukan kekeliruan, tapi lebih tepat disebut hipotesis sebelum tindakan. Karena itu, sebisa mungkin kita tidak memastikan keraguan sebagai kebenaran. Keraguan dalam bahasa lainnya prasangkaan. Prasangkaan bisa berdasarkan persepsi yang kita lihat dan rasakan, bisa berdasarkan penuh dugaan saja….

    Oh ya, tentang an najm, dari segi apa yang untuk ditopikkan. Nanti saya cari lagi, komen mas di surat ini deh.. 😀

    Suka

  53. yureka said

    @agorsiloku # 45
    “Hal ini agar kita terhindar dari langsung tak langsung, meragukan atau tanpa kita sadari yang menjadi suri tauladan ummat Manusia didiskusikan secara mungkin proposional bagi sebagian orang, tidak bagi sebagian yang lain.
    Kita semua tentu memahami atas makna sisi kemanusiaan seorang Nabi, sisi keterjagaan Nabi, dan sisi-sisi lainnya. Semoga kita tidak terpeleset pada hal-hal yang sudah begitu terang dan jelasnya dijelaskan AQ perihal RasulNya”.

    sekaligus menghindari langsung atau tidak langsung mengkultuskan beliau. maaf bahkan saya sengaja tidak menulis saw nya. kecuali ada sodara2 yang bisa menunjukkan gelar itu di salah satu ayat saja. tanpa mengurangi hormat saya pada beliau Muhammad.

    proporsional punya relativitas yang beragam utk setiap orang dalam mengupas masalah. bagi saya Muhammad tetap orang mulia bla..bla..walaupun bla..bla, tapi tidak untuk orang lain. Justru mas agor nyantai saja. Forum terkendali.:D

    @
    😀 nggak juga, agak tergetar hati ini ketika membahas suri tauladan kepada seluruh manusia disajikan dalam bahasa yang menurut saya bergabung antara gurauan dengan keseriusan. Namun, saya sepakat betul, kita harus hindari pula menempatkan pribadi agung dalam kedudukan yang membuat kita keliru kata dari pribadi agung menjadi “penguasa agung”. 😀

    Suka

  54. haniifa said

    @Mas Yureka
    masalah hadits, saya hanya lebih berhati-hati… Saya setuju 100% dan Super Clear 😀

    @Truthseeker
    Asal kata Ma’sum atau Maksum Apakah dari Hadits ?!

    @Halwa dan @Armand
    Kata Muhammad dalam Kitab Al Qur’an yang saya baca terdapat pada ayat-ayat sbb:
    1. [QS 3:144] := “Wa maa Muhammadun illaa Rasuulun…”
    2. [QS 33:40] := “Maa kaana Muhammadun abaa…”
    3. [QS 47:2] := “..wa aamanuu bi maa nuzzila ‘ala Muhammadiw…”
    4. [QS 48:29] := “Muhammadur Rusuulullahi…”
    (khusus diktum ke 4…. mirip yach dengat kalimat syahadatain)

    Kemudian Kitab Al Qur’an surah ke-47 judul “Muhammad”, pertanyaan saya jika kata ma’sum / maksum begitu penting sekali… lalu kenapa Allah subhnanahu wa ta’ala tidak mewahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w sepert begitu adanya ?!

    Jelasnya kata Muhammad pada [QS 3:144], [QS 33:40],[QS 47:2], [QS 48:29] diganti dengan Ma’sum atau Maksum ?!

    Bisa minta penjelasan dari Imam atau Ulil Albab saudara tentang judul Al Qur’an ke-47, Kenapa pakai MUHAMMAD ?!

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  55. yureka said

    “Kalau mesjid yang dibangun oleh Umar bin Khatab… duh apa ya… , bukankah itu masjid al shakrah?.
    Wah.. agor tidak hapal sejarah”

    saya juga tidak hapal kok mas…. cuma pernah saya baca solomon temple/kuil sulaiman pada masa khalifah umar direhab jadi masjid trus diberi nama masjid aqsho yang sekarang ini.

    jadi gak nyambung sama cerita isro’ khan ??

    @
    Ya itulah Mas, Mesjid aqsho yang dikisahkan diganti dengan Mesjid yang dibuat Umar bin Khatab. Ada orang iseng yang punya tujuan lain. Memang banyak usaha untuk menyamarkan, dan muncul kemudian pembahasan lain perihal sambungan Isra’ dan Miraj’. Kalau udah kesana, agor juga merasa ribet deh. Capek benar kita ikuti pembahasan di begitu sekaligus juga prihatin.

    Suka

  56. haniifa said

    @Yureka
    Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
    [Qs 33:40] Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

    maaf bahkan saya sengaja tidak menulis saw nya.
    Saya maafken karena sodara tidak tahu yang tersirat dan tersurat dalam ayat tersebut diatas…. 😀

    Kenapa saya maafken ?! karena see- saw -seen kata Bule Kebo… 😀

    Wassalam, Haniifa.

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  57. haniifa said

    @Yureka
    jadi gak nyambung sama cerita isro’ khan ??
    Yang nyambung adalah Rasulullah Nabi Muhammad s.a.w </b

    @Truthseeker dan @Yureka
    Asal kata Ma’sum atau Maksum Apakah dari Hadits ?!

    @Halwa dan @Armand
    Kata Muhammad dalam Kitab Al Qur’an yang saya baca terdapat pada ayat-ayat sbb:
    1. [QS 3:144] := “Wa maa Muhammadun illaa Rasuulun…”
    2. [QS 33:40] := “Maa kaana Muhammadun abaa…”
    3. [QS 47:2] := “..wa aamanuu bi maa nuzzila ‘ala Muhammadiw…”
    4. [QS 48:29] := “Muhammadur Rusuulullahi…”
    (khusus diktum ke 4…. mirip yach dengat kalimat syahadatain)

    Kemudian Kitab Al Qur’an surah ke-47 judul “Muhammad”, pertanyaan saya jika kata ma’sum / maksum begitu penting sekali… lalu kenapa Allah subhnanahu wa ta’ala tidak mewahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w sepert begitu adanya ?!

    Jelasnya kata Muhammad pada [QS 3:144], [QS 33:40],[QS 47:2], [QS 48:29] diganti dengan Ma’sum atau Maksum ?!

    Bisa minta penjelasan dari Imam atau Ulil Albab saudara tentang judul Al Qur’an ke-47, Kenapa pakai MUHAMMAD ?!

    nb:coba dunk… pakai ayat-ayat yang jelas… Clear 😀

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  58. armand said

    @Haniifa
    “……Demikian pula dengan mod… misalnya suasana riang itu karena ada kejadian yang menyenangkan dalam pemikiran otak kita, kemudian otak men-triger nuansa hati dan terpancar dalam raut muka… jika sangat menyenangkan maka akan tertawa terbahak-bahak.
    Sebaliknya dengan nuansa “kesal”… dalam hal ini kita jangan menyamakan raut kekesalan kita dengan Rasulullah… sebab beliau berperilaku halus dan lemah lembut, oleh karena itu raut muka “kesal” (baca: bermuka masam) hampir tidak ketara oleh para sahabat beliau… kesan ini yang tersirat dalam Al Qur’an surah ‘Abasa.
    Contoh nyata raut wajah “Ryan” tidak menunjukan pembunuh sadis/berdarah dingin.
    Atau banyak orang berparas “kecut”, tetapi setelah berkomunikasi ternyata tutur sapanya baik… ramah… bahasa lugas… mudah menolong orang… dsb.”

    Wah…ini komen mas ya? kok bukan tipikalnya Haniifa ya?
    Eniwei yg gini rasanya lbh mudeng and…clear 🙂

    @
    Surat Abasa, bermuka masam itu memang menarik untuk dibahas. Jelas, jangan bayangkan masamnya agor dengan seorang pribadi agung, bahkan dengan orang shaleh dan penyabar di antara kita saja sudah begitu jauh. Saya punya teman yang kelihatannya hatinya seluas lautan. Senyumnya selalu mengembang, kalau kesal atau marah; mampu mengendalikan diri sehingga tak nampak perubahan apapun pada wajahnya. Lha, apalagi Nabi yang begitu terpuji dan berperilaku begitu lemah lembut. Yang menarik justru, Allah melihat pada hati Nabi dan harapan Nabi untuk “mengislamkan” pembesar yang datang kepadanya dan Allah menjelaskan, jangan silau pada “jabatan” (yang secara logis tentu memiliki pengaruh terhadap pelebaran syiar Islam), tapi lihat orang buta itu dan apa tujuannya.

    Suka

  59. haniifa said

    @Armand
    Wah…ini komen mas ya? kok bukan tipikalnya Haniifa ya?
    Eniwei yg gini rasanya lbh mudeng and…clear 🙂

    Puji syukur, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin …
    Nggak masalah tipikal siapa, sing penting ente Mudenk… 😀

    Eniwei, no probelmo !!

    Suka

  60. armand said

    @Haniifa /mas Agor(?)
    He.he.he..Jangan GR dulu. Yang clear itu adalah saya sangat clear (paham) dengan apa yg dikomen, ditulis dan dimaksud sama mas. Relatif lebih jelas dan lugas. Berbeda tipenya dgn komen-komen sebelumnya.
    Kalo masalah Nabi yg bermuka masam…Belum Clear :mrgreen:

    Selanjutnya saya kira sih terserah i’tikad kita masing-masing saja mengenai kemaksuman Nabi saw.

    Damai…damai

    Suka

  61. haniifa said

    @Armand / mas Armani(!!)

    Yang jelas ada yang muka masam…
    Dan ada yang damai-damai tapi hati masam… 😀

    Suka

  62. haniifa said

    hua.ha.ha
    He.he.he..Jangan GR dulu
    Baca yang jelas, kepada siapa saya bersyukur Hati damai tapi Masam… 😀

    Puji syukur, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin …
    Puji syukur, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin …
    Puji syukur, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin …

    GR := Gede Rusak hatinya

    Suka

  63. armand said

    @Haniifa
    🙂
    Armand = Manusia BIASA = keliru, hati masam, muka masam, hati damai tapi masam…Clear
    Haniifa= Manusia BIASA = GR, ngeles, kesel…Clear

    @Agor/Haniifa
    Saya ga cukup mudeng nih mas, bahwa jangan membayangkan masamnya Nabi saw sama dengan masamnya kita. Saya coba-coba membayangkan gimana muka masamnya Nabi saw and gimana muka masamnya Haniifa 🙄
    Eniwei…menurut mas-mas sendiri bermuka masam itu menunjukkan keburukan sikap atau tidak? Atau buruknya bermuka masam Nabi saw tidak sama dgn buruknya bermuka masam kita ? 🙄

    Damai…damai, dari yang berhati dan bermuka masam

    @
    Duh, Mas Armand.. maksud agor, jangan bandingkan muka masam nabi dengan kita deh… gitu.. 😀
    kita sudah senyum saja, masih tidak akan sebanding dengan senyum dan ketulusan hati Nabi SAW. Jadi keberanian memikirkan atau membayangkan muka masam saja untuk diperbandingkan dengan pribadi agung udah nggak pantes.
    he..he..he… udah ah… kok jadi membahas ke sini tho. 😀

    Suka

  64. yureka said

    @agorsiloku
    Begitu pentingnya hal berkaitan dengan sholat,usul buat mas agor untuk bikin topik isra miraj.
    terima kasih
    wassalam

    @
    Bagaimana kalau Mas Yureka postingkan di bawah komen ini, nanti agor pindahkan ke postingan?
    Agor tunggu lho ! Kalau nanti agor yang buat, sangat tergantung mood dan inspirasi yang bersliweran. Selama ini agor menulis lebih spontan, yg terlintas saja. Mas tentu paham bagaimana orang menulis spontan. Kadang datang begitu saja, kadang udah merenung… nggak keluar-keluar… 🙂

    Suka

  65. halwa said

    @Haniifa
    “Insya Allah, semua para Rasulullah dan Nabi adalah manusia NORMAL dan melakukan kegiatan keseharian sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. (mis: kalau musim dingin beliau menggunakan baju hangat)”

    iya yah, ga mungkin kan, klo di bumi ini isinya Manusia tapi ALLAH mengutus Malaikat jadi Nabi atau Rasul atau mengirim Mahluk Krypton untuk jadi Nabi.

    “akhlaq nabi adalah al-Quran”.

    Apakah tidak terjadi pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya yang menjelaskan keutamaan akhlaq nabi?

    Mohon pencerahan mas.

    Suka

  66. haniifa said

    @Armand
    Menurut teori soda-“Ra” sendiri Truth Claims
    armand Berkata:
    Agustus 13, 2008 pada 5:24 pm
    Manusia BIASA = bodoh, malas, lupa, salah, salah, keliru, dosa

    ** Test religious True **
    haniifa Berkata:
    Agustus 14, 2008 pada 1:04 am

    Armand := bodoh…
    Armand := malas…
    Armand := lupa…
    Armand := salah
    Armand := salah …
    Armand := keliru…

    —————————-
    Menurut teori soda-“Ra” sendiri False Claims
    armand Berkata:
    Agustus 14, 2008 pada 9:33 am

    Wah…ini komen mas ya? kok bukan tipikalnya Haniifa ya?
    Eniwei yg gini rasanya lbh mudeng and…clear 🙂

    ** Test religious False **
    armand Berkata:
    Agustus 14, 2008 pada 10:20 am

    Kalo masalah Nabi yg bermuka masam…Belum Clear
    =========================================
    Result := Clear or not Clear ?!

    Here ay am Plintat-Plintut, Mr. Asam Chlorida

    —- End of Clear —- 😀

    @Halwa
    “akhlaq nabi adalah al-Quran”.
    Pencerahan…
    Kitab Al Qur’an adalah wahyu yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui Malaikat Jibril dan ditujunkan kepada Rasululllah Nabi Muhammad s.a.w… dimana kitab ini menjadi “SOP” khususnya umat Islam dan umumnya Umat Manusia.
    Jadi bukan saja akhlaq Rasulullah Nabi Muhammad s.a.w yang tercermin didalam Al Qur’an melainkan seluruh Akhlag para Rasulullah dan para Nabi bahkan manusia biasa dan jin. Dan kitab Al Qur’an ini adalah petunjuk yang paling lengkap dan sempurna yang merupakan janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwa diturunkannya petunjuk kepada keturunan Nabi Adam a.s sebagai Khalifah pertama di muka bumi secara setahap demi setahap yang berujung pada Kitab Al Qur’an.

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  67. haniifa said

    @Armand
    Sekarang kembali ke Al Qur’an… biar Adil Oceh… 😀

    Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
    ————————————————————————————————————
    [QS 5:45]Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.

    armand Berkata:
    Agustus 14, 2008 pada 11:09 am

    @Haniifa
    🙂
    Armand = Manusia BIASA = keliru, hati masam, muka masam, hati damai tapi masam…Clear
    Haniifa= Manusia BIASA = GR, ngeles, kesel…Clear

    Hatiku luka… Oom, obatnya adalah:
    Persamaan Haniifa bayar Persamaan Armand … Adil khan !!
    =========================================================
    Haniifa := Manusia Normal.
    Gambar Saudara Haniifa, 😀 := lucu imut-imut
    dan….
    Armand := Manusia AbNormal.
    Gambar Soda“Ra” Armand, :mrgreen: := loco amit-amit
    =========================================================

    Trima kasih, atas hiburannya… 😀

    Suka

  68. armand said

    @Haniifa
    :mrgreen:
    Terima kasih juga, atas gelar yg mas berikan
    “Ra” = Raden / Radliallahu anhu….clear

    @
    “Ra” = Dewa matahari, rada aneh…
    😀

    Suka

  69. hapitri said

    @ Truthseeker… you are impressive!! I like the way you think..

    religion is not forced and there is no saying that we need to submit to our leader… oh wait… as female (you consider us as human too, right?!) we need to submit to our parents and husband!

    *gender issue mode: ON*

    Suka

  70. yureka said

    @agorsiloku
    (isra miraj)…kadang udah merenung… nggak keluar-keluar…:D

    apalagi si yureka, yang tolol ini cuma bisa komentar 😀

    @
    apalagi si yureka, yang tolol memiliki daya analisis dan kritis yang tajam ini cuma bisa komentar sedang mempersiapkan karya untuk menerangi dunia 😀

    Suka

  71. anda seorang teologi..masih kurang paham setiap dengar mubalig di mimbar..pasti menggunakan ayat quran secara berpasangan misal nya surah 1 ayat keberapa ada lanjutan ayat disuruah 5 misal nya…mending debat/dialog terbuka …aja..klo gini gag ada selesai nya diberi jawaban…bisa dijelaskan sejelas-jelasnya..tentang bermuka masam yang dimaksud adalah orang2 akhir jaman yang masuk keneraka mereka bermuka masam..seperti anda akan bermuka masam..Ok sementara jawaban ini dulu nanti akan aku beri jawaban dengan dalil quran yang pas & jitu..dan akan aku beri pertanyaan tentang injil anda wahai calon orang yang bermuka masam..”ayat yang anda berikan itu ada terusanya..bukan sepotong-potong kaya makan Lontong”jawaban ini dulu ya..Ok, karena percuma juga klo gag ketemu langsung..klo gini mau dikasih jawaban pas aja masih belum terima..gag ada habis nya…

    Suka

  72. eh maap kirain kristolog…maap gag baca dari atas..keburu-buru mo pulang..

    @
    Andai bertemu kristolog yang shaleh… tentu tidak ada salahnya. Dia tentu beriman dan meyakini keesaan Allah. Seperti juga dikabarkan oleh AQ, karena di antara mereka juga ada rahib-rahib yang tidak menyombongkan diri… 😀

    Suka

  73. hamba Allah said

    Sukes untuk yg memilih DN terpilih

    Suka

Tinggalkan komentar