Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Safari Ke Alam Baka

Posted by agorsiloku pada Mei 23, 2008

Kematian pasti datang menjemputmu dengan segala keresahan, kegelisahan, dan ketakutan serta dengan sakratulmaut yang menyakitkan. Pada saat itu, seolah-olah maut telah menjemputmu dengan cepat dan tiba-tiba……

Bayangkanlah saat-saat menjelang kematianmu, ketika engkau bersiap-siap menghadap Tuhanmu. Bayangkanlah ketika kematian datang menjemputmu hingga dirimu diliputi perasaan resah, gelisah, cemas, ngeri, dan takut menghadapi sakratulmaut yang menyakitkan. Dan, malaikat mulai mencabut nyawa dari kakimu. Ketika nyawa mulai meregang badan, engkau merasakan sakit yang teramat sangat dari ujung kedua kakimu. Dengan perlahan-lahan malaikat menarik nyawamu. Akhirnya nyawamu terlepas dan terpisah dari badan hingga engkau merasakan puncak kepedihan yang amat mendalam.

Rasa sakit yang teramat sangat karena terlepasnya nyawa dari bada dirasakankan oleh seluruh anggota tubuhmu. Hatimu resah, gelisah, dan takut menanti berita dari Tuhanmu yang mengabarkan kemurkaan atau keridhaan-Nya. Engkau tahu bahwa tidak ada tempat bagimu sebelum datang salah satu berita, kemurkaan atau keridhaan Allah Swt yang disampaikan oleh malaikat yang telah diberi tugas untuk mencabut nyawamu.

Ketika engkau berada dalam keresahan, kegelisahan, ketakutan, dan merasakan pedihnya kematian dengan sakratulmaut yang sangat menyakitkan serta rasa takut karena menanti berita dari Tuhanmu, tiba-tiba engkau melihat malaikat pencabut nyawa, dengan wajah yang menyenangkan atau menakutkan. Engkau melihat malaikat pencabut nyawa mengulurkan tangannyakepadamu untuk melepaskan nyawamu dari tubuhmu. Engkau merasa rendah dan sangat kecil ketika melihat nyawamu dengan mata kepala sendiri dan melihat malaikat pencabut nyawa itu. Pada saat itu, hatimu diliputi penuh berharap pada berita gembira berupa keridhaan Allah Swt yang disampaikan malaikat pencabut nyawa.

Ketika engkau mendengar nada-nada suara malaikat pencabut nyawa yang berkata :”Wahai kekasih Allah, saya membawa kabar baik berupa keridhaan dan balasan Allah,” engkau merasa yakin akan keberhasilan dan keberuntunganmu, serta hatimu pun merasa tenang dan tentram. Namun, ketika malaikat berkata :”Wahai musuh Allah, saya membawa kabar buruk berupa kemurkaan dan siksaan Allah,” engkau merasa takut akan kebinasaan dan kehancuranmu, serta hatimu diliputi perasaan putus asa. Denagn terlepasnya nyawa dari raga dan dengan terdengarnya suara malaikat yang membawa kabar berita dari Tuhan, terhentilah seluruh hasrat, harapan, dan angan-anganmu di dunia. Pada saat itulah puncak seluruh rasa kesedihan atau kebahagiaan hatimu menjadi nyata : saat ketika kehidupanmu di dunia berakhir dan berpindah ke suatu tempat yang di dalamnya orang-orang sebelum kamu berkumpul.

==================

Dikutip dari buku : Menjelajah Alam Akhirat, Safari Ruhani Bersama Sang Sufi, Syaikh Al-Muhasibi – Guru dari Syaikh Junai Al-Baghdadi.

Al Muhasibi merupakan ulama paling cemerlang pada zamannya. Dia sangat mendalami ilmu zhahir maupun ilmu batin. Dia memiliki karya terkenal pada masanya (Abad ke 3 H).

Penerbit Arasy, Kelompok Mizan, Cet 2, 2003, halaman36-38.

Cara Al-Muhasibi menjelaskan menggunakan imajinasinya dalam menggambarkan perjalanan manusia ke alam akhirat, merupakan sautu karya sastra yang agung dan indah…..

20 Tanggapan to “Safari Ke Alam Baka”

  1. zal said

    ::Mas Agor, seandainya saat ini, diberi pengalaman mengenal apa itu kematian…, apakah masih melantunkan lagu seram…
    “seandainya difahamkan tentang “dihidupkan dari yang mati, dimatikan dari yang hidup”, maka “edaran dimasukkannya siang pada malam, dan malam pada siang” akan difahami mengapa ada…

    @
    Ketika saya membaca kembali buku ini untuk kesekian kalinya. Saya terus terang terkesima. Dunia yang fana dan samar ini kerap tidak disadari sebagai terminal Kampung Rambutan belaka. Kalau kematian dalam pengalaman tidur sih sudah sering 😀 , kalau dalam “kematian” dan ketika itu jiwa kita dipegang oleh Allah dan dalam kondisi itu, diperlihatkan sebagian dari khasanahNya maka tiap orang mengalami dalam berbagai versinya, nyaris menjadi pengalaman unik….

    Untuk catatan terakhir :”seandainya difahamkan tentang “dihidupkan dari yang mati, dimatikan dari yang hidup”, maka “edaran dimasukkannya siang pada malam, dan malam pada siang” akan difahami mengapa ada… —> ini menjadi bagian yang saya harus belajar dan mencoba memahami sebelum kematian tiba, terlebih informasi mengenai kebangkitan yang kedua kalinya….

    Suka

  2. Haniifa said

    ::mas Agor

    Ketika saya masa kanak-kanak, sering melihat Almarhum Ayahanda memperbaiki motor tuanya (sistem perkabelan sangat sederhana).
    Setiap selesai memperbaiki mesin motornya, maka beliau mematikan mesin motor dengan cara menempelkan kikir yang bergagang kayu (baca: alat penghalus besi terbuat dari baja) pada kepala “busi”. Suatu saat beliau menyuruh saya untuk mematikan mesin motor dengan tidak lupa memberi tahukan cara-caranya. Dasar saya kurang memperhatikan nasehat orang tua, saya memegang gagang kikir dengan tangan kanan namun telunjuk menempel pada batang kikir.
    Jelas dalam ingatan saya, saat itu tangan kanan saya tidak bisa bergerak dalam beberapa menit maklum tegangan listri “ribuan” volt menyengat tubuh saya.
    Syukur Alhamdulillah… saya mendapat pengajaran dari Ayahanda (alm).

    Suatu ketika menginjak usia remaja, saat itu jamannya “radio amatir”… teringat saya memasang antena kumis 5/8 Lamda.
    Untuk mengirit bahan tower, maka antena tersebut saya pasang di atas pohon yang tingi dan batang penyangga saya ikatan ke batang pohon tersebut.
    Saat musim hujan tiba seperti biasa petir datang silih berganti, Subhanallah… ketika asyik-asyiknya berbincang ria terdengar suara petir yang sangat keras, dan pada saat yang bersamaan sekilas saya melihat “loncatan bunga listrik” pada mikrophone yang saya pegang, padahal saya sedang duduk diatas kasur.
    Subhanallah… saya terpental dan sampai saat ini saya tidak habis mengerti dengan apa yang terjadi ketika itu.

    Puji syukur… Yaa Allah,
    Maafkanlah hambaMu yang lembah ini…
    Sesungguhnya saya menceritakan pengalaman ini, semata-mata untuk mensyukuri atas karuniaMu… Yaa Allah,
    Dan untuk mensyukuri perjuangan kedua Orang Tuaku (alm), mendidik, melatih,… dengan caraMu… Yaa Allah,
    Saat ini saya dan anak-anak hanya bisa berdo’a…
    Terimalah mereka disisiMu… dan tempatkanlah mereka di SyurgaMu, Amin.

    Firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 7:
    Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS 14:7)
    Wassalam, Haniifa.

    @
    Saya tak mampu juga mencerna, setiap perjalanan sufistik (saya percaya ini dijalani oleh banyak manusia) bersifat unik dan spesifik. Disajikan dalam tataran yang sesuai dengan perkembangan subjek dalam setiap jejaknya. Tingkatan dan kadarnya tentu berbeda bagi setiap orang. Rasanya, kita tahu bahwa pada setiap saat selalu ada yang mengawasi…. Kesimpulan yang Mas buat, menjadi pelajaran juga buat saya….

    Suka

  3. Herianto said

    Menurut saya nih,
    Tidak ada sesuatu yang paling PASTI yang tak mungkin diperdebatkan (diragukan) oleh kelompok mana pun (bahkan oleh pengingkar DIA sekalipun), kecuali masalah : KEMATIAN ini. Bahkan bukankah masalah eksistensi Tuhan sendiri masih ada kelompok yang memasarkan (jadi bahan/wacana debat) nya. 😉

    Jadi jadi teringat dengan satu ayat-NYA :
    “Beribadahlah (sembah Tuhanmu) sampai datang padamu keyakinan” (Al-Hijr : 99)
    Banyak ahli tafsir memahami bahwa makna keyakinan (yaqin) pada ayat di atas adalah kematian. Mungkin ulasannya adalah karena masalah keyakinan (kepastian ?) dan kematian hubungannya sangat dekat seperti paparan di awal.

    Corat-coret saya selanjutnya mungkin begini :
    Kematian adalah salah satu alasan yang membuat kita bertahan untuk hidup (bertahan hidup = bekerja, berjuang, beribadah).
    Bukankah mencapai kematian (keyakinan) adalah alasan lain bagi kita untuk beribadah (Al-Hijr : 99). Dan beribadah adalah pekerjaan utama yang kita lakoni selama di kehidupan ini.
    Mengingat2 kematian justru bukan alasan bagi kita untuk melupakan perjuangan (ibadah real) di kehidupan ini, justru sebaliknya : dapat lebih menguatkan. Energi spritual dari-NYA yang kita capai dari ibadah (ritual) yang berkualitas bisa saja tak berguna di alam sana (menyimpang dari ridha-NYA) jika tak diberdayakan potensi (energi) hebat ini di kehidupan dunia.

    Ma’af mas Agor, saya mungkin kurang memahami secara real kehidupan sufi (tarekat ?).
    Ntah kenapa saya mengira bahwa kehidupan (metoda) sufi yang konon hendak mencapai-NYA dengan cara mengasingkan diri dari keterlibatan (hiruk-pikuk) kehidupan justru kontraproduktif dengan tujuan Penciptaan-NYA atas kita.
    Itu mungkin makanya,
    Membaca referensi “beraliran” sufi (tarekat) yang kering dari (bahkan mengajak menjauhi) keterlibatan dalam pemecahan (hiruk-pikuk) masalah-masalah nyata di kehidupan, kok rasanya janggal (kurang kaffah ? 🙂 ).
    Walau ada juga paparan beberapa ulama harakah yang menulis buku dgn topik tarekat ini (mereka menyebutnya tarbiyatul ruhiyah, seperti said hawa).
    Menurut saya :
    Membersihkan tangan yg kotor gara-gara bekerja tentu lebih baik ketimbang tangan yg selalu bersih tetapi enggan bekerja.
    (Bekerja = keterlibatan di riuhnya kompleksitas di kehidupan ini)

    Saya masih kampanye keseimbangan dunia (kehidupan) vs akhirat (kematian ?) nih. :mrgreen:


    Tetapi memasuki ritual sufi (tarekat) dengan menganggapnya sebagai safari (bepergian sementara), lalu menggapai energi-NYA untuk digunakan saat kembali ke dunia nyata, ini tentu luar biasa.

    Ah, sudah berapa lama nih nikmat (energi) tahajjud (ritual utama sufikah ?) itu tersia-sia … 😦


    Ma’af nih kalo komennya ada yg OOT. 😉

    @
    Begitu bernas yang Mas Herianto lantunkan. Saya malah menikmati pembelajaran ini. Terimakasih.
    Dalam perjalanan sufistik, apakah perjalanan menelaah kalam Allah tentunya juga perjalanan sufistik juga dalam beberapa kondisi seperti yang dilakukan sejumlah ilmuwan ketika sampai di beberapa ranah ujung ilmu pengetahuan. Apalagi jika dan (hanya jika) memang dalam perjalanan yang dilakukannya adalah untuk mengenalNya.
    Saya juga ikut bersetuju bahwa keseimbangan kehidupan dan kematian adalah kampanye yang seharusnya mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Bukankah selama ini sering kita terperangkap oleh ketidakseimbangan. 😀

    Suka

  4. aburahat said

    Mati hanya merupakan pemisah antara dua kehidupan.Jd tdk perlu takut pd kematian. Yg perlu ditakuti adalah kehidupan yg KEDUA

    @
    Amin… saya sering merasa takut pada kedua-duanya. Gagal yang pertama, maka lenyap harapan di yang kedua. Lupa yang pertama, maka sesal di yang kedua… Kampung dunia pendek dan melenakan, kampung kedua adalah kampung halaman yang penuh harapan…..

    Suka

  5. aburahat said

    @ Mas Agor oleh krn itu hrs kita persiapkan diri menghadapi kehidupan kedua. Jgn mas Agor takut pd kehidupan pertama krn mas Agor sendiri yg melakukan. Orang merasa takut apabila ia tdk bisa mengatasi persoalannya yg dihadapi. Tp dlm penghidupan Pertama mas Agor yg menentukan warna kehidupan kedua. Masa kita hrs takut pd ketentuan kita mas?

    @
    Rasanya kesalahan yang dilakukan berulang kembali-berulang kembali…

    Suka

  6. aburahat said

    @Mas Agor
    Allah Maha Pengampun. Asal kita tetap mohon ampun Allah akan mengampuni. FirmanNya: HAI HAMBA2KU YGNLAH KAMU BERPUTUS ASA TERHADAP RAKHMATKU.aKU MENGAMPUBKAN DOSA2MU SEBESAR APAPUN. KARENA AKU ADALAH GAFURURRAHIM. Kira2 begitu maknanya. Banyak dosa malahan bs menjadi banyak pahala. Sebab setiap dosa kita pohonkan pd Allah berubah menjadi pahala. Insya Allah

    @
    Amin… terimakasih Mas Abu…, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita…..

    Suka

  7. rachmat said

    mas, menambah wawasan sejati untuk dunia akhirat menurutku penting sekali. karena satu waktu, tiap kita pasti menghadapinya bukan ? apalagi akibatnya jelas, neraka atau surga yang berdampak kekal selamanya. aku pernah mencari topik tersebut, tentang mati, mati suri atau pengalaman dekat kematian_ biasa juga disebut NDE (near death experience) waktu browsing aku dapetin di situs di bawah ini(ntar di index bs dicari topiknya, kebetulan aku gak sempat catat detailnya):

    http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/index.php
    http://mengenal-islam.t35.com/
    http://to2i2h.multiply.com/

    baik, semoga bermanfaat.
    wassalam

    Suka

  8. smpputri said

    Pernahkah terbayang seandainya kita menjadi orang yang tak mempercayai akhirat?

    Pernahkah terbayangkah menjadi orang yang melakukan aksi penentangan Ahmadiyah saat ini adalah seperti aksi penentangan Abu Lahab kepada Rasulullah Muhammad SAW?

    Pernahkah terbayang berada di sisi Rasulullah menyaksikan saat-saat akhir beliau akan meninggalkan dunia diantar kecupan terakhir Aisyah dan ditunggu malaikat sampai adegan mesra itu berakhir?

    Kematian yang indah seperti apa yang akan kita dapatkan?

    Suka

  9. aburahat said

    @Smpputri

    Pernahkah terbayang seandainya kita menjadi orang yang tak mempercayai akhirat?

    Kalau ini sering terba

    Pernahkah terbayangkah menjadi orang yang melakukan aksi penentangan Ahmadiyah saat ini adalah seperti aksi penentangan Abu Lahab kepada Rasulullah Muhammad SAW?

    Tdk dibayangkan krn jauh bedanya. Jd tdk perlu dibayangkan

    Pernahkah terbayang berada di sisi Rasulullah menyaksikan saat-saat akhir beliau akan meninggalkan dunia diantar kecupan terakhir Aisyah dan ditunggu malaikat sampai adegan mesra itu berakhir?

    Apalagi yg ini suatu kebohongan

    Suka

  10. haniifa said

    @mba Smpputri
    Sedikit saran dari saya….
    Bayangkan saja bagaimana perilaku Umul Mukmin Siti Khadijah…
    Atau kalau ingin lebih baik bayangkan Ibunda Nabi Isa a.s (baca: Maryam) yaitu satu-satunya wanita yang dimulia oleh Allah…
    Jauh lebih baik daripada membayangkan perilaku istri Abu Lahab… 😀

    Suka

  11. truthseeker said

    @heryanto

    Ntah kenapa saya mengira bahwa kehidupan (metoda) sufi yang konon hendak mencapai-NYA dengan cara mengasingkan diri dari keterlibatan (hiruk-pikuk) kehidupan justru kontraproduktif dengan tujuan Penciptaan-NYA atas kita.

    Mas Her, saykurang mengerti yg dimksd dg keterlibata hiruk-pikuk kehidupan?. Krn jk kt konotasikan kalimat tsb sbg suatu yg negatif (kemaksiatan, tipu daya, perlombaan dlm menumpuk harta, dan sikap2 serakah lainnya) mk tentu hal tss bkn hanya hrs dilakukan oleh sufi tp oleh semua org. Nahh, kyknya bkn itu toh yg dimaksud oleh mas Her.
    Jika keterlibata hiruk-pikuk kehidupan? diartikan sebagai bermasyarakat, mk sy tdk setuju jk para sufi dianggap tdk bersosialisasi. Anggapan itu mmg sering muncul bhkn sdh menjadi “trade merk” sufi. Namun jk kt baca sejarah para sufi (Syech Abd Qadir Jaelani, Rumi, Ibn Arabi, Ghazali, Syuhrawardi, dll) ataupun sufi2 yg kt temui di sekitar kt (oyaaa, jgn terjebak dg mrk2 yg berlagak sufi..hehehe) maka sama sekali tdk benar bhw mrk anti sosial, mrk sangat besar kontribusinya kpd masyarakat. Bhw mrk hambar dg dunia mmg betul tp bkn berarti mrk acuh/tdk peduli dg dunia. Jgn kt samakan sufi (islam) dg para pertapa2, jauh sekali bedanya. Hanya mrk sama2 hambar dg dunia. Rata2 dr mrk terkenal di lingkungannya sbg org2 terhormat yg berilmu, berakhlak, dan membantu masyarakat di sekitarnya. Tidak usah jauh2 kita lihat saja para wali songo, mrk adalah sufi2 besar.
    Tapi jg tdk dipungkiri bhw dlm perjalanannya mrk melakukan pengasingan diri (khalwat) yg mana jg dicontohkan oleh Rasulullah. Namun ini hanyalah bagian kecil dr proses awal.
    Urusan mrk dg Allah tdk mengurangi interaksi mrk dg makhluk lain. Mrk sdh sediakan waktu mrk di 1/3 malam utk bermunajat kpd Allah.

    Suka

  12. truthseeker said

    @herianto

    Saya masih kampanye keseimbangan dunia (kehidupan) vs akhirat (kematian ?)

    Mas Her, sy sampai skr blm bs mengerti ttg keseimbangan dunia vs akhirat. Semakin bingung setelah mas Her tambahkan dg dunia => kehidupan dan akhirat => kematian.
    Sebetulnya kalimat ini muncul drmn shg seolah2 pasti benar..hehe maaf kl sy salah.
    Kmd jg selalu muncul pertanyaan ygmn yg msk dunia ygmn yg masuk akhirat. Krn ternyata di masyarakat terjadi banyak salah kaprah. Misalnya:
    “sudah jgn ngurusin akhirat/shalat melulu sekali2 dunianya (dugem)donk”
    Jika ini yg dimksd dunia tentunya salah kaprah kan mas?. Mgkn yg lbh cocok adalah dunia itu semisal kerjaan, sosialisasi, membantu org dll?? Yg tentunya jg tetap sesuatu yg baik khan?.
    Tapi jk spt itu, mk ada jg yg berpendapat bhw kerja kt, sosialisasi kt, membantu org adalah bagian dr tujuan selamat di akhirat jg khan?.
    Atau kt paksa saja bhw itu tetap urusan dunia, terus bgm yg disebut seimbang?. Saya jd malah takut kl seimbang itu dihitung dr lamanya kt habiskan waktu kt, krn berarti akhirat sy blm nyampe 20% donk, jauh dr seimbang yaa?.
    Nahh jika spt itu bukankah kt malah harus menambahwaktu kt urusan akhirat kita? Bhkn para sufi merasa msh blm seimbang (kurang ngurus akhiratnya)

    Mohon penjelasannya mas Her.

    Suka

  13. ucing said

    🙂

    untuk yang memerlukan ticket safari,
    bisa dibeli disini:

    http://qalbusalim.wordpress.com/2007/01/07/al-jenazah-airlines/

    Suka

  14. taufiq hidayatulloh said

    yang pasti belajarlah mati sebelum mati jadi ngak ngehayal rosul itu ahli fikir bukan tukang melamun

    Suka

  15. avan said

    aku mau nanyak,sipa sebenarnya diri kita ini ???

    Suka

  16. wooww …

    Suka

  17. menarik untuk di pahami 🙂

    Suka

  18. Anonim said

    makasih semoga bermanfa’at.amii

    Suka

Tinggalkan komentar