Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kata Manusia dan Kata Al Qur’an, Kalau Beda; Pilih Mana?

Posted by agorsiloku pada November 10, 2007

Kalau kita membaca ayat suci (Al Qur’an) terus kita mendapatkan pemahaman atau mendapatkan penjelasan begini :

Menurut Al Qur’an kata “A” artinya adalah “AA”

Menurut etimologi bahasa kata “A” artinya adalah “BB”.

Menurut pengetahuan lainnya kata “A” artinya adalah bisa “AA” atau “BB”

Lalu dalam kehidupan kita sebagai orang beriman, seorang mukmin, seorang muslim, seorang muchsin atau apalah, pengertian mana yang akan kita siarkan, kita sebarluaskan :

Hanya menurut kata Al Qur’an begini, maka akan tetap mempertahankan pengertian AA atau mengikuti budaya, boleh “AA” boleh juga “BB”. Pokoknya, sesuailah dengan kebutuhan untuk menjelaskan. Tergantung dari tujuan kita.

Bagaimana kalau kita sudah terbiasa dengan pengertian “BB” maka kita tidak pernah memakai pengertian “AA” yang telah dijelaskan Allah?.

Ah…”BB” juga gapapa kok, kan tujuannya baik dan itukan syiar agama?. So what gitu lho. Semua pengertian itu benar kok. Jadi, tinggal pilihan kita, mau pilih yang mana.

Lalu dalam pikiran (hati dan akal) kita bertanya lagi.

Kalau kita punya pengertian berbeda dengan apa yang disampaikan Allah, kita mau pilih yang mana?. Ataukah kita pilih penjelasan semua benar saja, tergantung konteksnya?. Ada pandangan?

Mau contoh?.

Oke, misalnya begini.
QS 27. An Naml 65. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah“, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.

Pertanyaannya : Apakah kita akan mewakili Allah untuk menjelaskan perkara ghaib?  Apakah kita mereduksi pengertian ghaib menjadi bagian dari budaya (pengetahuan manusia), apakah kita akan membedakan ghaib menurut versi Allah dan versi kita?.  Apakah ada pengaruhnya hal ini pada usaha memahami Al Qur’an?.

Manakah yang menurut Anda pantas kita amini? (maaf pertanyaan ini bodoh sekali).  Pasti (insya Allah) jawabannya kata Allah dong.

Oke deh… kalau begitu, mengapa kita tidak menyiarkan penjelasan Allah sebagai satu-satunya penjelasan yang shahih.

Ataukah kita akan menjawab, semua terpulang pada keyakinan masing-masing? (makin bingung deh). !

27 Tanggapan to “Kata Manusia dan Kata Al Qur’an, Kalau Beda; Pilih Mana?”

  1. almirza said

    Sepertinya masalah itu ada pada interpretasi

    @
    Wah agak sulit juga nih. Kalau masalahnya pada interpretasi.. ujung-ujungnya demikian. Namun, ada yang sudah jelas, dan ada yang dita’wil ta’wilkan.
    Sering kita jumpai pembahasan : Menurut Al Qur’an begini, menurut etimologi bahasa begini. Yang kadang mengherankan, sang pembahas kemudian membahas dan menguraikan dari sudut etimologi bahasa dan lain sebagainya. Pengertian yang ada dari al Qur’an malah ditinggalkan 😦

    Suka

  2. El Za said

    Assalamualaikum wr. wb.

    Al Qur’an diturunkan bagi manusia untuk menjadi petunjuk jalan kebenaran, untuk dipelajari dengan sungguh-sungguh, tentu saja dengan bahasa yang dikenal dan dipahami manusia.

    setiap ayat ada ” sebab-sebab turunnya”, ayat diatas (An Naml 65)untuk menjadi hujjah/argument bagi kaum yang tidak yakin dengan akhirat dan Kekuasaan Allah.
    Diingatkn dalam ayat sebelum ini, diayat 64, bahwa Allah-lah yang memberi rezki bagi seluruh mahluk. Rizki merupakan salah satu hal gaib, (dan memang banyak hal gaib yang sama sekali tidak diketahui manusia, misalkan Rizki, jodoh, saat kematian, saat kebangkitan, saat kiamat, akhirat, Neraka, Surga, dsb).

    sebenarnya segala sesuatu adalah hal gaib bagi manusia, manusia hanya mengetahui “”sebatas”” dari apa-apa yang diajarkan Allah, dengan perantaraan panca indera yang dikaruniakan kepada kita, sehingga kita dapat memahami banyak hal baik di dalam maupun diluar diri kita.
    BIsa dibayangkan, andai kita tidak memiliki segala indera ini (panca indera, akal, perasaan dsb).
    Walaupun kita telah banyak mengetahui dan belajar, sesungguhnya semua itu “sangat sangat terbatas”, kita tidak akan mampu menjangkau hal-hal diluar kemapuan indera kita.
    kita tidak bisa melihat spektrum cahaya diluar cahaya tampak (misal sinar x, radiasi nuklir,) atau bendak yang terlalu kecil (energy, partikel dsb), kita mengetahuinya setelah Allah membukakan ilmu pengetahuan melalui karunia akal dan kecerdasan yang dapat kita asah ketika masih hidup di dunia ini.
    Tetapi bagaimana jika kita telah mati? bagaimana kehidupan setelah mati? dan hal2 lain yang tidak dapat kita ketahui dengan indera kita ketika kita masih hidup di dunia ini?

    kita juga tidak tahu, apakah kita besok masih hidup atau mati, dan kapan dibangkitkan dan bagaimana kehidupan setelah mati itu, tetapi kita mengetahuinya (lebih tepat meyakininya)bahwa itu akan terjadi setelah turunnya Wahyu melalui RasulNya.

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Wass.wr.wb..
    Saya memang tidak begitu/belum memahami batasan secara jelas, meski saya percaya mutlak bahwa ghaib itu urusanKu, seperti yang disampaikan Allah. Namun, dalam dalam postingan ini, saya hanya mengambil satu contoh saja, sebagai satu pilihan. Bukan membahas gaibnya. Alasan postingan ini, saya sering menemui bacaan/tafsir/penjelasan yang dimulai dengan kata “menurut bahasa” dst, yang kemudian berbeda dengan makna dari Al Qur’an. Terus pembahasannya lanjutan kerap justru tidak mengarah kepada apa yang disampaikan Allah, tapi menurut pengertian yang berbeda. Ini yang membuat saya beranggapan, bahwa yang terbaik adalah konsisten dengan petunjukNya…

    Suka

  3. kurtubi said

    Dalam budaya pesantren (maaf) lagi2 pesantren. Ada gerakan semacam kehati2an dalam memahami QUr’an sebab sastranya begitu tinggi. Mereka beranggapan tidak cukup dengan hanya terjemahannya saja seperti yang banyak dilahap oleh sementara kalangan kekinian, kemudian menelan bulat2.

    Singkatnya, rekomendasi guru2 saya biasanya, bacalah tafsir dari berbagai kalangan… kemudian disitu kita akan mendapatkan brainstorming berbagai hal: asbabul nuzul, penafsiran dari para ahlinya, dari ahli bahasa, sahabat nabi, tabiin, ahli ta’wil dll…

    Untuk kasus contoh di atas, tentang masalah gaib paling aman kita cari dulu pengertian itu di tafsir A, B, C dst… kemudian dari situ kita bisa meramunya lalu bisa menyimpulkan. Itulah metode ilmiah ala pesantren…. (maaf) kalau pesantren di bawa2.

    @
    Mas Kurtubi.. justru itu beruntung orang pasantren…, jadi berbagi dunk… 😀 Mereka sangat hati-hati dalam memahami Qur’an, sebab sastera dan matematisnya yang begitu tinggi dan berlapis-lapis… pada lapisan mana ia berada, haruslah juga dipahami, terpahami, terhayati. Semakin “tinggi ” pengetahuan dan ilmunya, tentu akan semakin bercahaya pengetahuan dan pemahamannya. Semakin kerdil dan tipis, tentu semakin tipis. Namun begitu, persoalan terletak juga pada sikap dan perilaku untuk mencapai ridhaNya.

    Buat orang yang tidak berada dan tidak pernah berada di lingkungan pasantren. Mencoba memahami gundukan tafsir di tengah segala kesibukan dunia (seperti agor rasakan)… terus terang ribet… Harus juga belajar mendalam bahasa… ini juga nggak sanggup. Kalau sedikit-sedikit okelah. Bahkan bahasa Indonesia saja, yang sudah menjadi bahasa seumur-umur, masih juga belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tentunya menurut kaidah bahasa. Namun, inti dari postingan ini bukan pada contoh gaib atau bukan seeh (itu hanya contoh saja). Intinya pada konsistensi ketika kita menjumpai sebuah kata yang dijelaskan al Qur’an adalah A, dan menurut pengertian lain B. Lalu yang manakah yang akan menjadi pegangan atau yang diyakini. Bukan hanya pada contoh di atas (tadinya seh, agor tidak ingin ngasih contoh, agar fokus pada penjelasan Al Qur’an saja).
    Alasannya, karena saya kadang merasa aneh… kok kita kerap lebih menjelaskan berdasarkan syeikh atau ulama dst dari pada yang ditegasi al Qur’an…Mengapa banyak orang yang ahli di bidangnya, kok sepertinya mendahulukan penjelasan pemimpinnya ketimbang penjelasan al Qur’an atau hadits… bahkan kadang al Qur’an dan hadits malah terasa ditempelkan saja pada jalur berpikirnya.

    Kadang… agor merasa aneh juga ketika malah diketawain ketika meminta penjelasan berdasarkan al Qur’an terlebih dahulu. Sampai kadang hati bertanya :”Situ kok menjelaskan ini, itu pakai hadis pakai kata ini itu”. Kenapa nggak bilang saja, kata al Qur’an begini (tentu untuk sejumlah ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya)….

    Misalnya, gaib itu… Kalau kata Allah itu adalah urusanKu dan tidak seorangpun diberi tahu…
    ya jangan nekad menjelaskan… ikuti saja. Bukankah kalau mengikuti definisi atau tafsir lain dari yang sudah jelas-jelas artinya…. artinya apa ya… Bingung sendiri deh 🙂

    Suka

  4. El Za said

    Assalamualaikum wr wb.

    Saya jadi sangat terharu, bahwa di zaman yang kadang bikin ngeri and hampir putus harapan melihat tingkah laku manusia, ternyata masih ada yang menjadi sangat berhati-hati dalam menterjemahkan Al Qur’an, dan bersungguh-sungguh untuk mempelajarinya, semoga saya juga termasuk golongan ini.
    Mempelajari kitab suci ini, memang harus dengan niat yang tulus, ikhlas karena Allah SWT semata, suci dari hawa nafsu pribadi, sangat teliti, jauh dari terburu-buru apalagi sembrono, dan benar-benar berharap hidayah Allah SWT.

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Wass. Wr.Wb…
    Mas Elza ini, saya jadi malu… saya bertanya karena saya bingung, karena belum cukup mengerti. Bahkan kaffahpun artinya dan lakunya belum saya pahami. Saya kadang merasa ngeri sendiri, mengingkari satu ayat “saja” pada prinsipnya mengikari juga petunjukNya. Jadi, meski menurut pengertian saya, pemahaman ayat itu ketika memberikan penjelasan tentang kata dari al Qur’an (dijelaskan pada ayat atau bagian dari ayat lain atau dijelaskan dalam satu struktur hikmah yang terungkap secara matematis, misal mengenai sholat 17 raka’at, tentang kecepatan cahaya, tentang besi, tentang batasan antara dua laut, tentang digulungnya di hari kiamat) dan lain-lain seperti yang dikembangkan oleh Rashid Khalifa (alm) dan tokoh-tokoh kemudian maka al Qur’an memerincikan secara istimewa dan tak terbayangkan dalam dunia kata. Jika kita kemudian memahami dalam konteks yang lain maka kita berpeluang kehilangan ‘makna’ penting yang sebenarnya (mungkin) tersaji dalam kondisi yang masih hijab. Beberapa artikel yang agor kumpulkan (keseimbangan Al Qur’an) tentang jumlah kata, posisi ayat dan lain-lain mengindikasikan bahwa mendalami ke-matematika-an adalah salah satu model tafsir yang mungkin tidak ada di jaman salaf.
    Bukankah tafsir terbaik juga adalah menafsirkan dari Al Qur’an itu sendiri. Tentu ini tidak akan (jangan) berhenti pada keistimewaan saja, tapi kemampuan Al Qur’an untuk memberikan definisi-definisi fungsi sosial menjadi definisi yang sangat eksak dan definitif. Hal ini akan berbeda jika kita menggunakan penafsiran dari definisi yang lain. Bukankah tidak ada bahasa tertulis dengan kekuatan sastra seindah al Qur’an, setiap kata mewakili sebuah titik informasi, dan setip katanya mengandung kesempurnaan perbandingan yang tak mungkin ada dalam khasanah tulis menulis manusia.

    Jadi, kalau kita sebagai ummat Islam mengagumi atau ta’jub karenanya, maka definisi terbaiklah yang harus kita ambil, dan ketika kita temui yang tidak dipahami (bukan yang jelas/terang), tapi ayat yang ta’wilnya berlapis, maka upaya yang sebaiknya dilakukan adalah tidak berusaha mereka-reka.

    Cara pandang ini boleh jadi keliru… mohon diluruskan.

    Suka

  5. haniifa said

    Assalamualaikum wr wb.
    Menarik sekali postingannya mas agor.
    Menurut pandangan saya, (mohon koreksi jika salah).
    1. Menurut Al Qur’an kata “A” (Konstanta (QS 2:23))
    artinya adalah “AA” (takwil manusia = variable)
    2. Menurut etimologi bahasa kata “A” (etimologi = variabel)
    artinya adalah “BB” (variable randomize)
    3. Menurut pengetahuan lainnya kata “A” (variable bebas)
    artinya adalah bisa “AA” atau “BB” (variable bebas)

    Bukti:
    Al Qur’an menetapkan posisi surat Al Hajj pada urutan ke 22
    Thawaf sempurna jika mengelilingi kabah (titik awal Hajar Aswat) sebanyak 7 kali. Insya Allah, Kontata pi yang benar adalah 22/7

    Jika digambarkan Dalil Naqli = Kontanta (sumbu y), dan Dalil Aqli = Variable (sumbu x) maka manusia hanya bisa mengambil resultantenya saja di antara kedua dalil tersebut.

    Wassalamualaikum wr wb.

    @
    Wass.wr.wb.
    Konstanta A itu merujuk pada satu titik nilai yang dahsyat tak terkira, kompilasi yang dibangun oleh manusia (dan jin) bersama-sama tak mampu merujuk pada kemampuan manusia untuk membuat komposisi sempurna. Bahwa dari setiap peristiwa, tergambarkan sempurna. Keindahan ini menjadi petunjuk dan luasnya ilmu Allah yang tersaji dalam Al Qur’an. Sebagian kecilnya, menjadikan manusia sedikit memahami komposisi dari kalam Illahi. Lalu, kita mencoba untuk mengerti di antara resultante ini.
    Wass.

    Suka

  6. haniifa said

    Salam,
    Setuju mas Agor:
    “Kompilasi yang dibangun oleh manusia (dan jin) bersama-sama tak mampu merujuk pada kemampuan manusia untuk membuat komposisi sempurna”, tapi dengan catatan: ya setidaknya mendekati kesempurnaan. (Maksud saya kesalahan logical akan fatal akibatnya dari pada kesalahan kompilasi)

    Misalnya masalah konstanta pi,untuk kasus nilai r = 3,5 meter
    K = 2 x pi x r
    Jika pi = 22/7 maka secara logical paling gampang (2 x r) baru di bagi 7 maka dengan cepat kita menjawab
    Maka:
    K = 22 meter

    Sebaliknya jika mencoba menghitung nilai 22/7 dulu hasilnya :
    pi = 3.14285714285714285714285714285714285 ( bilangan pi 35 digit silahkan baca http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=140613)
    maka :
    K = 21.999999999999999999999999999999995 Meter

    Dari kasus tersebut jelas tampak bahwa kesalahan logical akan sangat berpengaruh terhadap suatu kebenaran kompilasi padahal mengandung kesalahan logical.

    Allah berfirman dalam Surat Al Fajr ayat 1,2 dan 3
    1. Demi Fajar
    2. dan malam yang sepuluh,
    3. dan yang genap dan yang ganjil,

    Maaf saya mencoba mengkompilasi ayat tersebut, (mohon koreksi jika salah).
    Jika kita mempunyai sebuah tali yang panjangnya 22 meter kemudian tali tersebut saya buat lingkaran, Akankah lingkaran tali tersebut mempunyai diameter tepat 7 Meter ???
    Selanjutnya jika tali tersebut saya buat sebuah Persegi panjang yang sisi-sisinya sbb (panjang = 5 dan lebar = 6):
    5 + 5 = 10
    5 adalah bilangan “GANJIL”
    10 adalah malam yang ke “SEPULUH”
    22 – 10 = 12 adalah bilangan “GENAP”
    12/2 = 6 adalah bilangan “GENAP JUGA”
    Jadi kesimpulan:
    Keliling Lingkaran L dengan D = 7 “SAMA PERSIS” Kotak dimana P=5 dan L=6
    Sekali lagi saya mohon maaf, bukannya untuk mengajari tapi hanya mengingatkan, bukankah ada firman Allah yang mengatakan “…Sampaikanlah walaupun satu ayat..”
    Wassalam

    @
    Ass.Wr.Wb.
    Wow… asyik… saya paling senang membaca (meskipun tidak begitu memahami 😦 ) uraian seperti ini. Yang begini itu selalu baru, lebih dari “coca cola”, lebih news dan tak pernah habis diutak-atik. Selalu bahasa matematika menyampaikan kepastian dalam ukuran kita tentang ketidaktahuan (baca : ketidakpastian) terhadap sebuah bilangan. 🙂
    Wass, agor.
    (agor ingin kumpulkan lagi artikel 22/7 ini menjadi salah satu kesatuan… konstanta kehidupan, sebuah misteri).

    Suka

  7. haniifa said

    Salam,
    Terimakasih mas Agor, tentang niatan pengumpulan artikelnya
    Insya Allah, Tulisan mas Agor lebih enak dibaca dan mudah di cerna.
    Oh yach Selamat I’edul Adha 10 Dzulhijah 1427.
    wasalam

    @
    Salam,
    Yap, saya memang ingin kumpulkan… Phi=22/7 dan pi=1,618… kadang masing bertanya-tanya rasionya. Yang jelas phi=22/7 juga adalah kesetimbangan pada segala ukuran. Mas Haniifa lebih berfokus pada “keistimewaan” angka 7. Tujuh ini memang juga angka yang istimewa dan memiliki “ketersediaan” tujuah di alam ini dan selanjutnya.
    Selamat menunaikan kurban pula.
    Wass, agor.

    Suka

  8. ganedio said

    Keliling segiempat 22 memang pasangan panjang dan lebarnya selalu ganjil dan genap.
    P L
    1 10
    2 9
    3 8
    4 7
    5 6
    6 5
    7 4
    8 3
    9 2
    10 1

    tapi tidak hanya 22, misalnya 26 juga L& P genap dan ganjil. Tapi 22 mempunyai urutan 1 sampai 10.

    @
    Ini keistimewaan matematis. Bahasa yang terukur.

    Suka

  9. haniifa said

    Salam,
    Menarik juga komentarnya mas Ganedio.
    1 + 10 = 11
    .
    5 + 6 = 11
    .
    10 + 1 = 11

    Begitu juga
    22 / 2 = 11

    Menurut pemahaman saya , saya shalat la’il (Shalat Tahajud) boleh juga 11 rakaat, yaitu 8 rakaat tahajud + 3 rakaat witir, atau ada juga 20 rakaat tahajud + 3 rakaat witir.
    Jadi hanya Umat Muslimlah yang mempunyai persamaan :
    11 rakaat = 23 rakaat (Pahalanya ? ya terserah Allah semata).
    Kalau ada perbedaan:
    Firman Allah di surah Al Baqarah ayat 139:
    ” Katakanlah: Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati ”

    Wassalam.

    @
    Subhanallah… QS 2:139 ini kerap agor baca… namun baru sekarang saya dapatkan cara mengertinya. Ayat ini menjadi bagian dari hati ketika bertanya kepada hati sendiri. Terimakasih. Ini ayat yang mendiskusikan pluralitas?.

    Suka

  10. haniifa said

    Salam
    Terimakasih kembali, atas diberikan luang untuk memberikan komentar komentar saya, “yang terkadang mungkin vulgar”, tapi mas agor masih mau menayangkan.
    Juga di blog ini saya merasa mendapatkan “pencerahan”
    Smoga mas agor sehat wal afiat dalam mengelola blog ini,
    Wassalam.

    @
    Salam Mas Haniifa… komentar Mas tajam dan ringan tapi juga dalam. Kadang malah saya butuh waktu lebih lama untuk memahaminya. Saya banyak terbantu oleh banyak komentar yang menurut agor memperkaya dan tidak menghakimi pengelola blog ataupun rekan-rekan. Saya banyak tercerahkan oleh komentar yang masuk dan justru sering lebih manfaat dari postingan yang saya buat. Ini membahagiakan.
    Semoga juga kesehatan dan rahmat melingkupi kita dan saudara-saudara kita semuanya. Amin.

    Suka

  11. anama said

    pertanyaan2 yang kritis, saya pernah mengalaminya juga dan rasanya saya sekarang sudah tercerahkan, semoga…

    Suka

  12. […] Jika ada perbedaan jumlah raakat tahajud… abaikan saja !! […]

    Suka

  13. Rohedi said

    Nah… saya barusan telah salah menuliskan definisi pi yaitu pada pernyataan yang ini:

    >sedangkan yang saudara maksudkan >terkait dengan keliling lingkaran >itu dilambangkan dengan pi, yang
    >nilainya diperoleh dari rasio (hasil bagi atau nisbah) keliling sebuah lingkaran terhadap jari-jarinya.

    mestinya tertulis:

    >sedangkan yang saudara maksudkan >terkait dengan keliling lingkaran itu >dilambangkan dengan pi, yang >nilainya diperoleh dari rasio >keliling sebuah lingkaran terhadap diameternya.

    Salam..
    Rohedi.

    Suka

  14. Rohedi said

    Ass.wr.wb,

    Mungkin diskusi ini sudah rada lama ditutup. Tapi saya percaya masih saja ada saudara kita yang membaca postingan ini, termasuk yang saya alami saat ini.

    Di sini saya hanya bermaksud meluruskan apa yang sudah didiskusikan di atas dari tinjauan matematika eksak, tanpa perlu membuka diskusi/debat dengan para nara sumber diskusi ini.

    Pertama yang perlu diluruskan adalah pernyataan yang ini:

    >haniifa berkata
    >Desember 19, 2007 pada 10:56 am

    >Salam,
    >Yap, saya memang ingin kumpulkan… >Phi=22/7 dan pi=1,618… kadang masing >bertanya-tanya rasionya. Yang jelas >phi=22/7 juga adalah kesetimbangan >pada segala ukuran. Mas Haniifa >lebih berfokus pada “keistimewaan” >angka 7.

    Lambangnya terbalik. Phi adalah sebutan untuk golden ratio yang nilainya Phi=1.618…(tanpa henti karena ia bilangan irrational), sedangkan yang saudara maksudkan terkait dengan keliling lingkaran itu dilambangkan dengan pi, yang nilainya diperoleh dari rasio (hasil bagi atau nisbah) keliling sebuah lingkaran terhadap diameternya, juga bisa diperoleh dari rasio luas sebuah lingkaran terhadap kuadrat jari-jarinya. Pendekatan 22/7 untuk pi yang selama ini kita gunakan untuk menghitung keliling dan luas lingkaran adalah yang ditemukan oleh Pak Archimedes.

    Sepertinya Angka 7 sengaja ditonjolkan guna memperkuat pernyataan sebelumnya, yaitu pernyataan yang ini:

    >haniifa berkata
    >Desember 13, 2007 pada 3:05 pm

    >Bukti:
    >Al Qur’an menetapkan posisi surat Al >Hajj pada urutan ke 22
    >Thawaf sempurna jika mengelilingi >kabah (titik awal Hajar Aswat) >sebanyak 7 kali. Insya Allah, >Kontata pi yang benar adalah 22/7

    Di atas sudah saya infokan kalau angka 22/7=3.142857143…itu hanyalah pendekatan untuk pi, karena yang benar adalah
    pi=3.14159265…(tanpa henti kaena ia bilangan irrational). Bila disimak secara seksama nilai 22/7 itu hanya benar untuk 3 digits pertama saja, lagi pula ia memiliki pola perulangan angka mengingat bentuknya yang rasional (dapat dinyatakan dalam bentuk pembagian).

    Nah, untuk menggapai kenikmatan abadi dari hitung-menghitung nilai pi itu, saya ajak sdr/i untuk visit ke 2 link berikut:

    http://eqworld.ipmnet.ru/forum/viewtopic.php?f=3&t=148,

    yang berisi posting formula exact terbaru untuk bilangan pi,

    dan

    http://eqworld.ipmnet.ru/forum/viewtopic.php?f=2&t=34&start=20.

    yang berisi posting Stable Modulation Technique (disebut SMT), yaitu teknik cerdas pemecah persamaan diferensial biasa orde 1.

    Setelah saya berkunjung alamat di atas, ternyata pemosting formula yang benar untuk pi dan Teknik SMT itu adalah Anak Bangsa Indonesia.

    Semoga Informasi ini bermanfaat buat Kejayaan Islamic Scientific di masa mendatang, Amin.

    Salam kenal dari saya, dan Wassalam.
    Rohedi.

    @
    Mas Rohedi, ass.ww. Terimakasih untuk catatannya. Insya Allah Mas Haniifa, guruku 😀 akan membacanya…. Saya sendiri memang masih belum banyak mengerti kaitan golden ratio ini dalam penanda Al Qur’an…… selain yang telah dibahas oleh berbagai-bagai ilmuwan mengenai komposisi matematis di dalam AQ.
    Namun, matematika sebagai bahasa ilmu, sungguh bahasa yang menarik, meski agor sendiri tidak mendalaminya…
    Memang betul phi sebagai proporsi agung berbeda dengan pi. Selanjutnya tentu saja.. saya segera berkunjung ke site yang dirujuk.
    Salam, agor.

    Suka

  15. haniifa said

    @Mas Rohedi
    Bila disimak secara seksama nilai 22/7 itu hanya benar untuk 3 digits pertama saja.

    Mohon maaf @mas keliru, atau mungkin saya yang keliru… 😀

    Nilai konstanta pi = 22/7 atau 3,14… ?

    Wassalam, Haniifa

    Suka

  16. Rohedi said

    Mas Haniifa,

    Sebenarnya yang saya tahu nilai Pi itu ya 22/7 yang saya dapatkan sejak kelas 5 SD dulu (sekitar 1972 di SDN Blega 1, Kawedanan Blega, Kab. Bangkalan, Madura).

    Walaupun saya punya kalkulator, saya tidak perhatikan belul angka-angka yang ditampilkannya segera setelah saya pencet tombol exp.

    Saya baru tahu nilai Pi yang dianut sekarang itu setelah saya saya bertandang ke teman-teman saya di Jurusan Matematika ITS. Salah satu dari mereka menghafal pi dengan How I wish… maksudnya 3.14 itu. Waktu saya mensimulasikan problem Photonics dengan metode numerik, saya selalu gunakan konstanta pi tetapi jumlah digitsnya saya set sesuai kebutuhan simulasi.

    Waktu berlalu, hingga sampailah ke hari Pi Day 14 maret lalu yang dikenal pula dengan American Pi Day 3/14. Pagi saya buka google koq ternyata sampai saat ini perburuhan terhadap formula Pi itu masih gencar dilakukan.

    Waktu itu, mohon maaf, saya sekedar iseng saja, ee koq ternyata oret-oretan saya itu membuahkan general exact formula for Pi yang mudah-mudahan ia adalah yang sedang diburu (Wallahu a’lam). Tanpa berpikir panjang saya langsung postingkan di alamat link yang saya infokan sebelumnya, karena menurut kolega utama saya Prof.Autar Kaw Dosen T.Mesin di Univ of South Florida (USF) langkah posting itu ndak apa-apa asal penjabarannya segera dipublish secara resmi ke Math Journal yang sesuai. Beliau telah memberi rekomendasi nama Jurnal tersebut.

    Saling sambung Doa Mas Haniifa, semoga upaya kita memajukan sains di Indonesia yang tanpa pamrih ini benar-benar di Ridhoi Allah SWT, sehingga dapat berguna setidaknya buat Anak Bangsa Indonesia.

    Oh ya mengenai..

    22/7=3.142857143…dan pi=3.14159265 itu,

    kalau dibulatkan ke 3 angka di belakang koma keduanya memang sama-sama memberikan 3.142, tetapi kalangan googlinger umumnya khan hanya mengambil 3.14 saja, sebagaimana yang diabadikan dalam 3/14 sebagai hari Pi Day itu, dan kebetulan pula berbarengan dengan Hari ultah Pak Einstein semasa beliau. Makanya, mohon maaf kalau saya katakan seperti yang dipostingan komentar sebelumnya.

    Wassalam,
    Rohedi.

    Suka

  17. haniifa said

    @Mas Rohedi

    Pendekatan 22/7 untuk pi yang selama ini kita gunakan untuk menghitung keliling dan luas lingkaran adalah yang ditemukan oleh Pak Archimedes.

    Rasanya Pak Archimedes belum lahir saat Nabi Ibrahim a.s dengan putranya Nabi Ismail a.s, padahal prosesi ber-haji mengikuti beliau-beliau dan diabadikan pada QS 22:70, bukan begitu @mas ?!

    Wassalam, Haniifa.

    Suka

  18. Rohedi said

    Assalamu’alaikum Mas Haniifa,
    dan juga untuk semuanya…

    Benar adanya, saat Nabi Ibrahim A.S menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya bersama Nabi Ismail A.S sang Putra, Pak Archimedes belum lahir karena masa hidup beliau lebih dekat ke kelahiran Nabi Isa A.S (Almasih), silahkan search Wikipidia tentang beliau.

    Tapi saya percaya bahwa Nabi Ibrahimpun sempat memikirkan panjang lintasan lingkaran yang beliau lalui saat mengitari Ka’bah, walaupun keperluannya bukan untuk mencari nilai pi yang terdefinisi sebagai rasio keliling lingkaran terhadap diameternya itu. Mengapa? karena dari wikipidia itu dijelaskan persoalan mencari nilai pi itu bermula sejak 2000 SM.

    Ini berarti Pak Pythagoraspun (500-200SM) sebenarnya sudah tahu pentingnya nilai Pi tersebut, yang setelah saya melaunching formula exact terbaru untuk Pi yang sejak 4 hari lalu terposting di

    http://eqworld.ipmnet.ru/forum/viewtopic.php?f=3&t=148,

    itu endingnya hanyalah justifikasi bahwa jumlahan kedua sudut pada Segitiga Siku-siku itu sama dengan pi/2. Tapi mengapa formula eksak bilangan Pi dalam kombinasi atau jumlahan dua fungsi arcsin itu belum pernah saya jumpai…? Mohon bantuannya untuk di-search-kan, ya barangkali saja ada yang terlewatkan.

    Mudah-mudahan ini barokah Allah buat ummat Islam via Rohedi Family, karena sebagaimana mas Haniifa kamipun (Istri setia menyediakan kopi dan membelikan rokok, kedua putri saya penuh sabar walaupun papanya asyik nyetak rumus terus) senantiasa menjadikan nilai-nilai luhur yang tersurah dalam Al Qur’an sebagai landasan dalam membangun Matamtika Modern yang tentu saja tidak bertentangan dengan matematika yang telah berkembang sebelumnya.

    Oh ya….dari banyak referensi yang bertebaran di internet, konon angka 22/7 untuk pi itu diperoleh Pak Pythagoras setelah membagi luasan sebuah lingkaran atas 96 buah Poligon (silahkan search Pi History).

    Saya hanya berharap formula exact Pi versi Rohedi Family itu menjadi bagian dari Pi History yang akan datang.

    Ini saja komentar saya mas Haniifa, dan bagi kawan-kawan yang tertarik mengikuti kelanjutan diskusi ini silahkan berkunjung ke link berikut:

    Nilai konstanta pi = 22/7 atau 3,14… ?

    Wassalam…
    Rohedi.

    Suka

  19. Rohedi said

    Mohon maaf ada koreksi,

    >Oh ya….dari banyak referensi yang >bertebaran di internet, konon angka >22/7 untuk pi itu diperoleh Pak >Pythagoras setelah membagi luasan >sebuah lingkaran atas 96 buah >Poligon (silahkan search Pi History).

    Mestinya tertulis :

    Oh ya….dari banyak referensi yang bertebaran di internet, konon angka 22/7 untuk pi itu diperoleh Pak Archimedes setelah membagi luasan sebuah lingkaran atas 96 buah Poligon (silahkan search Pi History).

    Wassalam…
    Tohedi

    Suka

  20. haniifa said

    Wa’alaikum Salam, @Mas Rohedi

    Tapi saya percaya bahwa Nabi Ibrahimpun sempat memikirkan panjang lintasan lingkaran yang beliau lalui saat mengitari Ka’bah, walaupun keperluannya bukan untuk mencari nilai pi yang terdefinisi sebagai rasio keliling lingkaran terhadap diameternya itu. Mengapa? karena dari wikipidia itu dijelaskan persoalan mencari nilai pi itu bermula sejak 2000 SM.

    Mohon maaf @mas, menurut saya Nabi Ibrahim a.s justru memberikan “pesan rahasia” matematika jika dikorelasikan antara Tawaf dan Sa’i.
    Tawaf := panjang lintasan lingkaran
    Sa’i := panjang listasan garis lurus
    Tolong koreksi saya jika salah :
    1. Tawaf := 7 kali (x) keliling
    2. Sa’i := “?” kali (x) panjang dua titik.

    Subahanallah….
    Saya yakin @mas, memahami “Tabel Prima” dimana tersusun :
    2.2.2.2.2.2-:[ 1 ]:-2.2.2

    Atau…
    6x(2)-:[ 1 ]:-3x(2)

    dan angka satu tepat pada posisi ketujuh (7).

    sehingga diperoleh : 6 7 3 apa artinya ?!

    “Tabel Prima” adalah salah satu yang diceritakan oleh QS 67 ayat 3

    Kalau tidak keberatan, ada yang berkenan membuka postingan butut ini.

    “Proporsi Agung – PHI” adalah angka tujuh (7).

    Al Qur’an Surah 67 ayat 3 adalah Kesetimbangan transformasi 6, 7 dan 3

    Wassalam, Haniifa

    Suka

  21. Rohedi said

    Very inspiring, begitu ungkapan yang paling tepat terhadap hasil Ijtihad mas Haniifa. So I am respectful to yours. Keep doing on the job brother, Allah bless you.

    Mas Haniifa, saya percaya bahwa diskusi ini akan menjadi pembelajaran buat Anak Bangsa Indonesia, bahwa berdiskusi senantiasa dilengkapi dengan segenap referensi, sehingga tidak terjebak dalam diskusi kusir yang berkepanjangan.

    Pesan saya, Mas Haniifa tetaplah teguh memaparkan konsep perhitungan nilai Pi dengan berlandaskan pesan rahasia Nabi Ibrahim A.S, sedangkan saya akan menginformasian metode perhitungan Pi dari sudut pandang matematika yang “sedang” digunakan hingga saat ini. Siapa tahu ada diantara visitor yang amat jenius dapat mengawinkan kedua-duanya. Saya jadi teringat barokah yang didapat oleh Pak Balmer seorang Juru Potret yang sama sekali tidak mengerti Fisika Atom, tiba-tiba namanya diabadikan sebagai lintasan Balmer yang amat bermanfaat dalam mempelajari transisi elektron antar tingkat tenaga dalam yang tersedia untuk atom Hydrogen. Mengapa? Karena beliau diberikan kejelian dengan berhasil menghitung panjang gelombang radiasi elektromagnetik yang dipancarkan elektron saat bertransisi, hanya memanfaatkan lokasi dan tinggi spikes spektrum pancaran atom Hydrogen, yang subhanallah ternyata cocok dengan hasil perhitungan Bohr Atomic Theory.

    Okay, saya berharap diskusi lanjutan dapat dilakukan di blog mas Haniifa sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, untuk meneruskan diskusi yang telah kita lakukan sebelumnya.

    Enjoy….

    Wassalam,
    Rohedi.

    Suka

  22. […] masih relatif kebenaraanya dan bukan hal yang mustahil ditemukan bukti-bukti baru, berikut ini diskusi yang hangat dengan beliau: ____________________________________________________________ @Mas Rohedi Tapi saya […]

    Suka

  23. aburahat said

    @Mas Agor Ass.W.W.
    Sebenarnya tidak ada perbedaan antara Firman Allah dan kata manusia. Cuma rasa ke AKUAN tinggi maka kita sering menolak kebenaran dari Allah.
    Sebagai contoh mas mengambil ayat:
    QS 27. An Naml 65. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah“, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan
    Mas menafsirkan materi dilangit dan bumi yang gaib. Tetapi yang dimaksudkan adalah PERKARA. Perkara atau kejadian itulah yang gaib. Umpamnya dapatkah kita mengetahui kapan berhenti beredarnya matahari atau kapan ia redup dan apakah akan redup dll semua perkara ini gaib bagi kita. Apa yang akan terjadi besok tidak kita ketahui dengan pasti. Masih gaib bagi kita. Wasalam

    Suka

    • agorsiloku said

      Wass.ww. Mas Aburahat, Mas Haniifa, dan rekan semua.

      Senang Mas Abu memberikan catatan kembali. Selamat datang kembali. Agor juga, saat ini begitu sempitnya waktu untuk memelihara blog ini. Kesibukan dan perjalanan begitu menyita waktu.
      Agak kesulitan juga agor mencari dari mana ya Mas Abu menyimpulkan bahwa saya menafsirkan materi di langit dan di bumi yang gaib?. Namun, komentar Mas Abu menggelitik untuk direnungi kembali.

      Ada beberapa hal yang memang dapat kita cermati dari ghaib dan perkara gaib ini. Ghaib yang didapat/diketahui oleh Nabi, saat Beliau bertandang dalam peristiwa Isra Miraj dan Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kekuasaanNya. Ayat yang berkenaan dengan ini dan ayat sejenis ketika Allah menunjukkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya adalah peristiwa dan sekaligus juga bentuk materi dalam persepsi manusia (seperti yang ditunjukkan kepada Fir’aun, kepada Nabi Ibrahim, dan ummat terdahulu). Banyak peristiwa di masa depan masuk dalam katagori gaib, dan diisyaratkan juga sebagai ghaib sehingga mudah dipahami yang Mas Abu maksudkan perkara adalah perkara di masa depan, sebagai yang ghaib.
      Pada contoh kejadian wafatnya Nabi Sulaeman, perkara ghaibnya adalah ketidaktahuan dari jin yang masih juga bekerja pada Sang Nabi,padahal beliau sudah wafat. Dengan kata lain, pengetahuan tentang mati,hidup, dan berbangkit memang menjadi perkara ghaib.
      Jadi memang benar yang Mas Abu sampaikan, materi bisa tidak gaib, tapi kejadian/peristiwanya atau perkaranya yang menjadi ghaib. Dan ghaib dalam sebuah perkara, juga menjadi tidak lagi ghaib setelah kejadian/terjadi.

      Namun, apakah ada sumber materi ghaib?. Menjadi menarik pula, ketika Allah menyampaikan bahwa hambaNya yang diperjalankan pada satu malam dan kepadanya diperlihatkan sebagian tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar (yang diperlihatkan adalah yang ghaib untuk manusia umumnya). Dengan begitu, bahwa di langit dan bumi ada materi gaib adalah hal yang masih mungkin bisa diterima. Gaib dalam arti, bahwa komposisi dan aturan-aturan terhadap materi itu tidak berada dalam jangkauan ilmu pengetahuan. Dengan begitu materi yang membangun dan aturannya adalah sepenuhnya gaib bagi kita, bagi ilmu pengetahuan, dan materi itu begitu banyak ada di langit dan bumi kita…. Apakah materi itu berhubungan dengan materi fisis yang bisa dideteksi manusia?. Dalam hal materi gaib, tentulah sesuai definisinya pula. Manusia tidak bisa mengetahui. Sama dengan kita diberi tahu alam kubur itu ada di langit dan bumi, namun materi penyusunnya juga kita tidak mengetahui.
      Dengan begitu, pengertian gaib pada peristiwa/kejadian, dan pada materi juga demikian adanya. Hanya, memang dalam kaitan dengan peristiwa lebih mudah dipahami dari pada memahami materi ghaib. (namanya juga gaib, ya kita tidak mungkin mendefinisikannya).

      Mohon koreksi kembali, khususnya mengenai pendekatan materi ghaib sebagai suatu keniscayaan.
      Wassalam, agor.

      Suka

  24. aburahat said

    @Mas Agor
    Kalau materi(namanya materi/benda) tidak ada yang gaib mas cuma kita belum atau akal kita belum dapat membuktikan.Sebagai contoh ada bintang yang jaraknya bermeliayard tahun cahaya yang belum kita lihat. Untuk detik ini kita katakan gaib. Gaib dalam pandangan kita, tapi bintang tersebut bukan benda gaib. Dalam perhitungan akal kita ada hanya belum tampak. Tapi kalau perkara yang dimaksud Allah, sampai kapanpun tak dapat dipikirkan atau dibayangkan. Allah berfirman bunyinya kurang lebih: Alam dan isinya kuciptakan untuk kamu. Tapi jangan ditanya mengenai perkara yang gaib. Karena itu merupakan milik Allah. Dan akan diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya. Malaikat adalah materi dan Rasul pernah lihat. Tapi kita tidak.dlsb. Mudah2an mas dpt memahami penjelasan yang singkat

    Suka

  25. Irawan Danuningrat said

    Assalamualaikum wr.wb.

    Kang Agor,
    Saya kira semua umat Islam sependapat bhw firman Allah swt dalam al-Qur’an -lah yg mesti dijadikan pegangan oleh semua kaum muslimin. Namun demikian, karena firman Allah tsb disampaikan melalui bahasa yg pd hakekatnya adalah sistem lambang bunyi yg arbitrer yg digunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri; maka tak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan dalam memaknai dan menginterpretasikan sebuah kata, atau ungkapan dalam bahasa tsb.

    Perbedaan memaknai suatu kata atau ungkapan ini bisa terjadi karena berbagai hal, misalnya karena adanya perbedaan pengetahuan dan pengalaman maupun perbedaan dalam maksud, tujuan dan kepentingan.

    Adakalanya perbedaan penginterpretasian kata ini tidak terlalu berpengaruh pada makna keseluruhan suatu frasa, namun tidak jarang berdampak luar biasa atau bahkan berdampak fatal.

    Sebagai contoh, saya memaknai surat al-Ahzab ayat 40 sbb: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan PENUTUP NABI-NABI. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. — (QS 33: [40]).

    Namun kaum terhadap Al-Ahzab ayat 40 tsb kaum Ahmadi menerjemahkannya sbb :
    “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan TERMULIA diantara para nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

    Menurut beberapa pakar bahasa Arab yg saya kenal, penerjemahan yang mengartikan Khatam sbg TERMULIA adalah “aneh” mengingat hal-hal sebagai berikut:
    – Awalan kata “ter” menunjukkan kelebihan dari yang lainnya. Dalam bahasa Arab, kata sifat yang terdiri dari empat huruf seperti: Syarif, Karim (yang artinya mulia), penunjukan kelebihan diawali dengan huruf HAMZAH dan membuang huruf ketiga, menjadi Asyraf, Akram (termulia). Jika kata sifatnya sudah diawali dengan huruf Hamzah seperti: Ahmar (merah), Abyadh (putih), maka untuk menunjukkan kelebihan digunakanlah kata tambahan sebelumnya yang menunjukkan lebih dari sekedar sifat tersebut seperti: aktsaru, asyaddu sehingga menjadi Aktsaru Ihmiraran, dan Asyaddu Sawadan (yang artinya lebih merah, sangat putih).
    – Dalam kitab-kitab Tafsir yang pernah saya baca, tidak ada penafsir yang mengartikan Khatam dengan Termulia. Sejumlah kamus bahasa Arab baik yang ditulis oleh seorang muslim maupun non muslim, tidak ada yang mengartikan Khatam sebagai Asyraf atau Akram. Mereka mengartikan Khatam dengan penutup, penyegel, yang berarti tidak ada lagi setelah itu.
    – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Khatam juga diartikan sebagai pengakhir, pamungkas.- Selain penutup, Khatam juga diartikan dengan cincin. Namun Khatam yang digabungkan dengan kata Nabiyyin/Mursalin/Anbiyaa/Rusul dalam kaitannya dengan Muhammad Rasulullah SAW dimaksudkan sebagai Penutup para Nabi/Rasul.
    – Belum pernah menemukan kamus bahasa Arab yang mengartikan Khatam sebagai Akram/Asyraf yang artinya TERMULIA.

    Dengan menerjemahkan (QS 33: [40]) sebagaimana saya yakini, mustahil menerima Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sebagaimana diakui ybs, karena tertolak oleh QS 33: [40] sbg dasar hukum yg menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan tidak ada nabi lain sesudah beliau.

    Namun manakala kata Khatam diterjemahkan sbg “termulia”, wajar jika kaum ahmadi meyakini bahwa al-Qur’an tidak pernah menyatakan Nabi Muhammad SAW sbg penutup para nabi, sehingga dimungkinkan ada nabi lain setelah beliau wafat.

    Maka dari itu menurut hemat saya permasalahannya mungkin bukan pada apa kita harus merujuk, melainkan lebih pada bagaimana cara memahami/menafsirkan/ menerjemahkan sebuah kata/ayat secara benar dan proporsional.

    Demikian, wallahu’alam.

    Wassalamualaikum wr.wb.

    Suka

  26. […] Jika ada perbedaan jumlah raakat tahajud… abaikan saja !! […]

    Suka

Tinggalkan komentar