Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Siapa Yang Mengatur Perubahan Dari Hukum Alam?

Posted by agorsiloku pada Juli 24, 2007

Ada kondisi logis ketika para pakar berbicara tentang hukum alam atau kerap disebut sunnatullah dalam logika agama. Dan diyakinilah :

QS 48. Al Fath 23. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Terjemahan di atas mengartikan sunnatullah sebagai hukum Allah yang telah ditetapkanNya.

Well… eh.. saya juga nggak tahu juga seeh batasannya. Apakah tepat nggak ya kalau di bilang sunnatullah itu hukum alam. Artinya yang terukur mengikuti perumusan sains?. Apakah ini pembatasan yang kita buat yang didasari kekurangtahuan kita mengenai hukum Allah yang ditetapkan?.

Contoh : Tuh lihat blog ini : Fisika itu Sunnatullah….

Kita emang sih memahaminya begitu. Maksudnya sunnatullah adalah hukum yang lebih kita kenali sebagai hal yang berada pada batasan-batasan sains, yang kita pahami sebagai ilmu dan pengetahuan.

Lha… iyalah… emang kita bisa memahami sesuatu yang tidak bisa kita pahami dengan akal kita 😀 ?

Tentu juga batasan yang kita buat ini hanyalah irisan kecil sekhalee dari ilmuNya.  Jadi kita batasi juga batasan ini sebagai bahasan pada irisan kecil tadi ya 😀

Sunnatullah tentu saja berarti kita tidak bisa keluar dari ketetapan yang qadla dan qadarnya telah ditetapkan.

Maksudnya?.

Ya, untuk manusia yang diciptakan awalnya dari tanah yang diberi bentuk itu, dari saripati yang hina itu.  Nggak bisalah berubah seketika menjadi pesawat terbang atau berangkat ke sana sini tanpa pintu “kemana saja” Doraemon.  Manusia tidak bisa menjadikan darahnya menghancurkan besi seperti alien atau pindah ke alam barzah, jalan-jalan ke surga, kemudian nengok neraka lalu balik lagi.  Kecuali tentunya karena hal khusus (Isra Mi’raj).

Yap… artinya ada pengecualian!.

Apakah ini juga sunnatullah (perjalanan Isra Mi’raj).?

Ya.. iyalah… ingat kan.. definisinya adalah hukum yang Allah tetapkan.

 Apakah Sunnatullah mengalami perubahan?

Pertanyaan yang aneh?.  Apakah perubahan itu bukan Sunnatullah.  Apakah perubahan itu keluar dari aturan hukum semesta yang kita kenali?.  Apakah mukjizat itu sunatullah.  Mengapa kita tidak bisa melihat perubahan dari ketetapan Allah (sunnatullah)?.  Juga termasuk di dalamnya tentu saja ilmu pengetahuan.  Mengapa kita tidak mampu melihat perubahan dari hukum semesta yang kita kenali?.  Jawabnya, bisa jadi sederhana juga: Karena kita tidak bisa mengenali apa yang tidak kita kenali.  Jadi bagaimana bisa kita melihat perubahan, kalau memang perubahan itu tidak bisa kita pahami.  Akal kita terlalu pendek untuk memahaminya.

Oleh karena itu, salah satu ciri dari mujizat adalah manusia hanya bisa terperangah dan tidak tahu sebab akibatnya.  Hanya output akhirnya saja yang tahu.  Prosesnya bagaimana, tak lagi terjelaskan.  Seperti burung yang ditiup Nabi Isa itu. 😀

Dan jelas pula bahwa Sunnatullah itu diurus secara halus dan terus menerus.  Artinya ketetapan itu juga berada dalam sebuah disain pemeliharaan.  Artinya yang ghaib dan Maha Ghaib mempengaruhi selalu seluruh aktivitas pada sunnatullah itu.  Tentunya hal ini logis saja, seperti pada referensi ayat berikut yang sudah amat populer ini :

QS 2. Al Baqarah 255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Nah kalau kitapahami bahwa hukum alam semesta itu dinamis, maka faktor dinamisnya juga tentu saja dipengaruhi oleh hukum-hukum non semesta.  Hukum yang justru manusia tidak mengenalinya, kecuali boleh jadi teramat sangat sedikit. Dan perubahan itu begitu halusnya. 🙂

Wallahu’alam.

Referensi

QS 29. Al ‘Ankabuut 60.

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

QS 31. Luqman 16.

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

QS 6. Al An’aam 103.

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

QS 67. Al Mulk 14.

Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?

19 Tanggapan to “Siapa Yang Mengatur Perubahan Dari Hukum Alam?”

  1. sikabayan said

    euh… kalau jodoh, nyawa, dan rizki teh langsung ditangani sama Allah… kurang lebih inih termasuk yang variable yah?…

    @
    Kalau tak salah ada yang fix ada yang variabel dari keduanya… saya masih mencoba memahami hal ini dan mencari referensinya… 😀

    Suka

  2. Mungkin ada waktunya bagi kita untuk mengetahui semua rahasia ya pak? Atau semua yang rahasia akan terus menjadi rahasia?

    @
    QS At Takaatsur menjelaskan pada suatu waktu kita akan menjadi haqul yakin….. 😀

    Suka

  3. Febdian said

    Wah, Al-Fath 23. Sunatullah adalah sebuah ketetapan yang tidak akan berubah-ubah. Mungkin kita cepat mengasosiasikannya dengan kejadian-kejadian seperti benda jatuh selalu ke bawah, matahari terbit dari timur, gerhana bulan membuat sungai menjadi pasang naik, dan seterusnya.

    Hukum dalam sains adalah sebuah persamaan matematis untuk memodelkan sebuah fenomena. Semakin umum hukum itu, semakin banyak fenonema yang dia jelaskan. Tapi sains menganut paham “apa yang benar hari ini akan selamanya benar sampai terbukti salah”.

    Tidak ada hukum yang mutlak dalam sains, inilah yang membedakannya dengan agama.

    Alam fisika kita, mulai dari ukuran galaksi sampai elektron atau lebih kecil lagi, adalah segala sesuatu yang teramati (baik oleh mata ataupun detektor) dan sekaligus menjadi batas pemahaman kita terhadap hukum alam. Jika tidak teramati, atau tidak bisa dieksperimenkan, itu bukan fisika, tetapi filosofi (atau mungkin metafisika, hehehe).

    Keyakinan saya, fenomena fisika itu sudah ditetapkan oleh Allah, sehingga fisika memang adalah sunatullah (begitu juga dengan sains yang lain). Kalaupun hukum-hukum fisika berubah, itu karena memang keterbatasan kita, bukan berarti sunatullahnya yang berubah.

    @
    QS Al-Fath 23 menerangkan kita tidak akan menemukan perubahan dari sunnatullah (ketetapan Allah), tidak menegaskan tidak akan berubah. Tidak akan menemukan perubahan tentu saja dipahami : kalaupun berubah, kamu tidak akan melihat atau tidak dapat mengamati prosesnya (yah.. kalau tongkat Nabi Musa jadi ular… kita tidak bisa mengetahui perubahannya).

    Setuju dengan baris terakhir : “Kalaupun hukum-hukum fisika berubah, itu karena memang keterbatasan kita, bukan berarti sunatullahnya yang berubah”. Meski saya lebih suka tidak ada kata kalaupun. Mukjizat adalah perubahan yang karenaNya dan kita tidak bisa melihat perubahannya. Ini yang ingin saya tekankan pada postingan ini. Keterbatasan juga adalah salah satu titik dimana sains hanyalah irisan kecil saja dari sunatullah…

    Suka

  4. sikabayan said

    euh… memang harus dicari titik temu yang paling pas gituh… antara hukum fisika sama sunatullah teh…
    kabayan pikir teh secara hukum fisika, terbukti sifat api adalah panas, jadinyah jika ada orang yang tahan api pastilah metafisik atau bisa dibilang orang sakti gituh…tapinyah,
    21:69
    Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”.

    inih menunjukan bahwa sifat si api lah yang menjadi dingin… sebab hai api kataNyah… nabi Ibrahim AS. nyah tidak menjadi sakti…
    bingung kabayan jadinyah…

    @
    ada beberapa hal yang sy lihat Kang :

    Perubahan pada hukum alam (sains), artinya berubahnya kaidah dari hukum sains menjadi hukum yang lain. Istilah lain bisa metafisis, parafisis, nouns, atau ajaib atau mejik, dan tentu saja mukjizat. Perubahan ini tidak dipahami, hanya diketahui awal dan akhirnya saja.

    Perubahan wujud/materi atau apa saja yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum alam. Sebagian terjelaskan oleh ilmu dan pengetahuan… sebagian lagi masih hipotesis. Ini berbicara di ranah sains… Mengunjungi febian.net yang saya rujuk adalah salah satunya yang menarik. Wilayah ini betul-betul wilayah berpikir teoritis dan sebagaian dalam uji dan pengamatan. Hanya sebagian kecil saja berada ada wilayah prasangkaan. Namun, prasangkaan juga dalam ilmu tentu saja akan disebut hipotesis 😀

    Keduanya tentu saja sunnatullah… kenapa tidak !? 😀

    Suka

  5. sikabayan said

    eheuhueh… iyah kang titik temu buat yang inih..
    Tidak ada hukum yang mutlak dalam sains, inilah yang membedakannya dengan agama.
    pan agama juga dalam pelaksanaannyah bisa berubah… sebabnyah nabi Ibrahim AS. belum waktunyah wafat(variable)… jadi ajah dingin apinyah…

    @
    Hukum mutlak dalam sains….. saya juga tidak begitu paham definisi mutlak : Nol Mutlak, minus 273 derajat Celcius?, dilasi waktu?..
    Mutlak dalam agama? …. ketaatan yang mutlak?. Variabel dari kemudahan…
    Rasanya memang sulit yah bermain di khasanah mutlak-mutlakan….

    Suka

  6. Kangguru said

    apakah yang terjadi dialam ini dan alam lainnya adalah sunnatullah???

    @
    Kalau definisi sunnatullah adalah ketetapan Allah, alam lainnya sudah tentu pula ya!….

    Suka

  7. deking said

    Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mau berusaha.
    Lalu apakah usaha yang dilakukan manusia (untuk merubah/memperbaiki nasibnya) juga merupakan sunatulloh?
    *****
    Maut (umur) disebutkan sebagai suatu takdir yang mutlak.
    Lalu bagaimana dengan cara kematian seseorang, apakah itu merupakan sunatulloh?
    Jika iya, alangkah kasihan orang yang mati bunuh diri karena itu berarti dia ditaldirkan untuk mati dengan cara yang tidak benar (membunuh dirinya sendiri).
    *****
    Wah semakin lama semakin pusing kepala saya Pak 😀

    @

    QS 6. Al An’aam 2. Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya, kemudian kamu masih ragu-ragu.

    Segala sesuatu menurut ukuran dan ketetapan yang sudah jelas (bagiNya). Ini sunnatullah. Jadi usaha apapun yang dilakukan, tanpa bekal, hanya keinginan saja… tak bisa juga kita menjalani. Bukankah Allah katakan juga, bahtera dan angin untuk mengangkut manusia. Tapi kalau tidak dimanfaatkan, maka sunnatullah juga hanya sebutan saja 😀

    Umur ditentukan, apakah cara mati ditentukan?. Apakah yang disebut cara mati itu tidak lain dan tidak bukan alasan manusia yang dipahami manusia. Allah mengutus rasulnya untuk mencabut nyawa manusia yang kita tidak tahu rahasianya kecuali sedikit diuraikan pada firmanNya dan sebagian hadis.

    Kita mendapati, kecelakaan luar biasa, tapi bayinya selamat. Orang sedang sholat, kemudian orang sekitar kemudian mengetahui bahwa ybs ternyata sudah berpulang. Kita menyebutnya terserang “jantung koroner” dan lain sebagainya. Orang digerebek penjahat, dibacok, eh… dia sendiri malah selamat. Kejadian-kejadian adalah resultante arah untuk tercapainya satu urusan yang begitu lembut dan tampak ketika bagi sebagian orang dan sebagian lainnya. Orang mati tertabrak mobil ataukah mati terlebih dahulu sebelum ditabrak? (Siapa yang tahu, selain Allah dan Malaikat Maut !). Siapa yang tahu bahwa saat orang itu “sampai pada waktunya”, maka nyawanya dicabut. Lalu ketika dicabut… terjadilah tabrakan itu? . Siapa dan bagaimana asumsi manusia pada kejadian?.

    Membunuh diri (usaha membunuh diri), itulah yang dimurkaiNya. Kematian adalah ketetapanNya, lalu sebab dan akibat hanyalah bagian dari sesuatu yang dicoba pahami manusia.

    Jika sudah waktunya tiba, kalau kata Chairil Anwar : …Kalau sampai waktuku….. 😀

    Suka

  8. sikabayan said

    euh… mungkin yang variable ituh item nyah… kaum apah manusia bisa dituker2 tempatnyah sesuai usahanyah untuk mengisi rencana Maha Besar yang fix dari awal penciptaan alam hingga akhirnyah digulung gituh…
    jodoh, nyawa, rejeki langsung diatur sama Allah… tempat apah jalurnyah sudah fix… kabayan pikir sih komposisi dari jodoh, nyawa, rejeki + usaha.. menentukan koordinat pada tempat atau posisi.. blug…
    kabayan ngelamun…

    @
    Diatur ukurannya, lokasinya, ukuran kemampuannya, ukuran rejekinya. Soal apakah diambil atau tidak, itu pilihan yang juga diberikan. Ada kisah pendek (lupa sumber), Seorang shaleh dan dahinya licin karena ibadah terkena banjir bandang dan hanyut. Lalu, ia bermohon kepada Allah. Kebetulan ada dahan pohon lewat. Ia sebenarnya bisa menyelamatkan diri. Tapi, pikirnya : Masa sih Allah mengirimkan hanya batang pohon untuk dirinya. Banjir semakin besar, datang lagi rakit… tidak mau juga naik… karena dalam angannya yg menolongnya adalah kapal pesiar dan bidadari. Akhirnya mati tenggelam.
    Dalam berbagai ukuran, ada pilihan yang Ia berikan. Insya Allah. 😀

    Suka

  9. sikabayan said

    euh… kliatannyah memang begituh yah kang.. harusnyah mah.. ambil batang pohon buat persiapan… rakit datang.. pindah ke rakit… selama masih hidup masih banyak kesempatan… siapah tahu bisa pindah lagih ke sampan.. trus ke boat.. trus kapal pesiar… Subhanallah… berusaha menjaga serta merawat tetap hidup… sambil menunggu kesempatan yang lebih bagus datang… 🙂
    euh… tapi banyak juga sih kang yang berusaha nyebur dengan gaya batu… baru liahat banjirnyah ajah sdh putus asanyah.. 😦

    @
    Iya Kang… putus asa dan merasa “bahagia” dengan keputusasaannya…. aneh memang manusia itu… 😀

    Suka

  10. Makhfud said

    silakan simak penjelasan Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi mengenai sunnatullah di:

    Menolak Sunnatullah Pasti Binasa

    @
    Saya sudah baca… asyik…. subhanallah, alhamdulillah… satu pola pikir yang cukup menarik.
    Ada sedikit perbedaan dalam definisi terhadap ilmu pengetahuan fisis.

    Yang biasa kita pahami : Sunnatullah sebagai ketentuan dari hukum alam (sains). Ranah ilmu dunia.
    Yang disampaikan pada Al Qur’an didefinisikan Sunnatullah sebagai ketetapan Allah. –> tentu saja pendekatan ini memiliki pemaham yang luas dan seluas-luasnya dalam pengertian yang begitu luas pula cakupannya. Jadi bisa ada dalam ranah sains maupun tidak.

    Yang dijadikan judul Syeikh : Juga memiliki keluasan pengertian. Namun juga relatif pun tampak. Karena kalau kita berada pada alam ini semuanya akan binasa. Terlepas dari menolak atau menerima. Karena ketentuan untuk digulungnya dunia ini telah menjadi ketetapanNya (sunnatullah).
    Namun, dalam keseluruhan tema dari penciptaan, penghapusan, sampai kebangkitan kembali terdapat titik-titik pandang transformasi.

    Kemudian, tentu dalam konteks kekinian… maka penolakan atau ketetapan Allah dari sudut kedua yang disampaikan oleh Syeikh juga akan terbagi dua : Diperhitungkan di dunia, diperhitungkan di akherat. Tunggulah barang sebentar….

    Terimakasih untuk catatan dan linknya. Alhamdulillah, mendapatkan informasi yang begitu berharga.
    Wss.agor.

    Suka

  11. Makhfud said

    bicara soal mukjizat atau karomah yang sepintas lalu orang melihatnya seperti menentang hukum alam (dibakar tidak terbakar, membelah bulan, membelah laut, menghidupkan burung dari tanah, dll) sebenarnya ia mengikut sunnatullah juga.

    Ingat, sunnatullah itu ada dua macam: karhan (terpaksa) dan tauan (sukarela). penjelasannya sila lihat: http://whasid.wordpress.com/2007/07/14/menolak-sunnatullah-pasti-binasa/

    Nah, kalau orang itu mengikut sunnatullah yang tauan (baca: mengikut jalan taqwa, sungguh2 mengusahakan taqwa, ikut seluruh aturan Allah buat yang disuruh dan tinggalkan yang dilarang) maka bagi dia tidak terbakar, belah laut, hidupkan burung/orang, dsb kejadian ajaib adalah ikut sunnatullah juga.

    Itu adalah janji Allh dalam Quran:
    “Sesungguhnya kami pembela orang yang bertaqwa”
    “Siapa yang bertaqwa Allah akan selesaikan masalahnya”

    NAh, Allah menolong dg berbagai cara, salah satunya membelah laut. So itu sunnatullah (aturan Allah) juga.

    seperti Sayidina Abu Bakar menghentikan banjir sungai nil:
    http://aboutmiracle.wordpress.com/2007/05/16/lumpur-lapindo-umar-ibnu-khattab-sudut-pandang-agama/

    @
    Tentu saja sunnatullah juga. Per definisi seperti pada postingan adalah ketetapan Allah.
    Yang sedikit ingin digaris bawahi adalah … perubahan itu (prosesnya) tidak ditampakkan dalam sunnatullah yang kemudian dinamai atau disebut sebagai mukjizat.

    Suka

  12. Makhfud said

    oh iya, api membakar itu namanya hukum adat bukan hukum alam.

    Pada hakikatnya bukan api yang membakar tetapi Allah yang mengijinkan api membakar.

    Orang ribuan kali mencoba memegang api dan hasilnya terbakar maka orang bilang api itu membakar walhal sebenarnya bukan api yang membakar.

    JAdi, adatnya api itu membakar, tetapi kenyataannya tidak selamanya api itu membakar.

    Untuk menyelamatkan akidah manusia, Tuhan tunjukkan satu peristiwa dimana api tidak membakar 🙂

    @
    hm… istilah hukum adat baru buat saya.. tapi tentu saya bisa memahami… Adatnya membakar (tentu terhadap bahan yang sesuai untuk tempat terjadinya transformasi energi).

    Api sendiri dalam ranah ilmu pengetahuan, tidak termasuk bahan cair, padat, atau gas. Lebih berposisi sebagai energi yang ada dalam suatu antara. Kemunculan api… karena “adat”nya membakar.

    Suka

  13. Bowo said

    “Keajaiban/ keanehan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam, tetapi sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman kita terhadap hukum alam.” ST. Augustine.

    @
    Iya pada satu sisi,
    dan tidak di sisi lain.

    Suka

  14. sikabayan said

    euh… memang keajaiban yang terbesar teh… pelaksanaan sekenario awal penciptaan hingga kiamat… semuanyah berjalan terkendali sepenuhnyah dengan 99++ nyah keMahaan Allah…

    @
    Keajaiban terbesar?
    Saya juga susah mendefinisikan.
    Terciptanya kehidupan dan yang hidup bertanya : Mengapa aku ada dan diciptakan, lalu siapakah Engkau yang menciptakanku…..

    Suka

  15. sikabayan said

    euh… yah itulah ajaibnyah teh kang agor.. soalnyah untuk penciptanyah mah tidak ada yang ajaib… 🙂
    duh… pertanyaan yang hidup ituh teh jadi mengingatkan kabayan sama pertanyaan yang mirip…
    kalau aku hamba siapah kah Tuhanku…
    apah mungkin yah kang.. kalau Tuhan juga pernah bertanya?..
    jika Aku Tuhan siapakah hambaKu?…

    @
    Subhanallah, Yang Maha Mengawasi, yang Allah melihat dan memperhitungkan dengan teliti, siapa-siapa hambaNya….

    Suka

  16. Febdian said

    Kang Kabayan (komentar no. 5), maksud “mutlak” dalam kalimat tersebut merujuk pada tidak ada kebenaran yang mutlak (dalam sains), begicu ^^.

    Kalau yang dicontohkan perubahan tata cara ibadah itu kan syariat, jadi bukan itu yang dimaksud dalam kalimat tersebut.

    Maaf telat merespons. Diskusi yang hangat dan menarik ^^

    @
    Tidak ada kebenaran mutlak dalam sains… Begitulah, karena sains berubah bersama kemampuan manusia pada ilmu dan pengetahuan yang dipelajari. Namun… kebenaran mutlak, ah… ini seperti berlari pada pemikiran Nietzsche tentang tuhan dan Tuhan. Tentang kebenaran yang tak terbantahkan dan tentang kesalahan/kekeliruan yang juga tak dapat ditolak.

    Seperti dunia para dewa saja. Karena haqul yakin memang bukan di dunia maya tempatnya, tapi hidup setelah mati. Dunia adalah seperti apa yang kita akan persepsikan. 😀

    Suka

  17. boy said

    @ all
    saya tertarik dengan judulnya ? “Siapa yg mengatur perubahan dari hukum alam ?”

    artikel di atas udah mengatur (baca : membuat kesimpulan) bahwa hukum alam ada yang mengatur.Bagaimana kesimpulan bisa diperoleh dhn jernih bila “sebelumnya” kita telah membuat kesimpulan lebih dulu ?

    @
    Pada kejadian apapun, kesimpulan harus diambil terlebih dahulu sebelum dilakukan uji. Para jagoan ilmu, menamainya sebagai hipotesis. Hipotesis yang teruji benar menjadi teori dan didefinisikan. Kesimpulan adalah awal kita membangun satu standar uji.

    Jadi buatlah kesimpulan awal, tapi bukan sebagai satu-satunya kebenaran (apalagi kalau keliru memahaminya). 😀

    Salam.

    Suka

  18. Salam
    Hukum Yang Allah Swt tetapkan (Sunnatullah) pada makhluk-Nya mencakup 2 hal:

    1.Hukum Takwini: yang mengandung arti ketetapan berdasarkan hukum Alam dan sesuai dengan Sains serta dengan berbagai keajaiban yang ada dialam semesta.

    2. Hukum Tasri’i: yang mengandung arti ketetapan dalam hukum syariat. Artinya manusia (seorang ulama) sebagai perantara Allah untuk menyingkap sebuah hukum bukan sebagai pembuat hukum itu sendiri. Makanya dalam hukum syariat seorang ulama tidak diperbolehkan menghukumi sebuah perkara menurut pendapatnya sendiri.

    Allah menetapkan dua perkara diatas sesuai dengan hikmah dan keadilan-Nya. Tidaklah ia berbuat zalim kepada manusia. Menghukumi sesuatu menurut perkaranya seperti Allah Swt tidaklah memasukkan orang yang berbuat ke dalam surga (kecuali setelah mendapat pengampunan) dan sebaliknya tidaklah memasukkan orang yang berbuat kebajikan kedalam neraka.

    Dalam contoh yang sangat gampang dalam kehidupan sehari-hari: tidaklah Ia (Allah) akan memasukkan gajah kedalam sebuah telur karena potensi sebuah telur yang kecil tidak akan bisa dimasuki gajah.

    Ketika ditanya:Bisakah ketika Allah Berkehendak untuk memasukkan orang yang berbuat kebajikan kedalam neraka atau sebaliknya?
    Hal ini mustahil bagi-Nya untuk dilakukan karena hukum yang Ia tetapkan berdasarkan prinsip hikmah dan keadilan.

    Wassalam

    @
    Nggih… keadilanNya berada dalam kemahaadilan yang juga tak terjangkau oleh daya pikir kita…. Trims “cahaya”nya, semoga menambah daya untuk berada di jalanNya….

    Suka

  19. tolong donk jlasin mengenai hukum takwini dan tasri’i
    beserta surat2 al-quran yang terkait d dalam nya????

    Suka

Tinggalkan komentar