Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Beriman Sudah Bertakwa Belum?

Posted by agorsiloku pada Mei 9, 2007

Beriman adalah perkara gampang !?

Yah, paling nggak sesulit bertakwa begitu. Orang beriman kan tidak berarti bertakwa gitu, tapi yang bertakwa sudah pasti beriman.?
Beriman bisa benar-benar beriman, bisa juga beriman pada sebagian ayat Allah dan petunjuknya tapi nggak tuntas gitu lho. Pada sebagian lain malah enggan. Pokoknya dicari-cari yang sesuai saja, bisa juga beriman hanya sampai di bibir saja. Oleh karena itu, Allah ingatkan : QS 29. Al ‘Ankabuut 2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Jadi jelas bahwa proses pengujian dari orang yang mengaku beriman akan dilakukan oleh Allah dan perangkatnya.
Allah menyebut jin yang tidak mau menghormati Adam sebagai iblis. Kesombongan adalah titik pokok persoalan, namun menyatakan apakah Iblis mengakui Allah?. Jawabnya, ya tentu dong, Iblis itu kan “sempat” berkomunikasi dengan Malaikat Allah. Apakah beriman?, Ya tapi mengingkari prinsip-prinsip orang beriman.

Iblis, setelah kesombongannya, juga masih menantang lagi untuk menggoda manusia sampai akhir waktu yang ditetapkan setelah meminta penangguhan. Kesombongan berikutnya menjadikannya Iblis (dari golongan jin) ini menjadi fatalis. Berputus asa pada rahmat Allah.

Apakah manusia sombong?

QS 31. Luqman 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Ini bagian yang mudah diucapkan tapi susah dipraktekkan. Baju takwa dari sutra, mobil terbaru, mau nyumbang mesjid manggil kru TV, baju dipakai dan wangi-wangian untuk meningkatkan gengsi, jilbabpun model terbaru. Warna-warninya gemerlap.

Kembali ke takwa, takwa lebih menunjukkan suatu derajat dalam proses keberimanan dan beramal shaleh. “.… Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “(QS 49:13)

Jadi tampaknya takwa memilki pengertian yang lebih komprehensif… kalau lagi kuliah masuk mata kuliah kapita selekta ya…..

16 Tanggapan to “Beriman Sudah Bertakwa Belum?”

  1. Raffaell said

    Ajarin dong, gimana caranya rendah hati, dan ngga sombong, ada tutorialnya ngga ?

    @
    😦 😦 😦 saya juga tidak tahu… tidak tahu… tidak tahu…. 😦

    Suka

    • Anonim said

      Jangan ingat perbuatan baik apa yang telah dilakukan ……
      ingat bahwa Allah SWT mengawasi kita semua dari berbagai arah…….
      hati-hati terhadap kehidupan

      Disukai oleh 1 orang

  2. orido said

    manusia memang tidak sepantasnya untuk berlaku sombong dihadapan Allah swt.. karena manusia tidak ada apa2nya dihadapan Allah swt..

    http://orido.wordpress.com/2007/05/08/bmbt-esq-way-165/
    http://orido.wordpress.com/2006/01/17/hotd-kemewahan-dan-keindahan-dunia/
    http://orido.wordpress.com/2005/04/12/darikecilkitamenjadibesar/
    http://orido.wordpress.com/2005/04/05/diataslangitmasihadalangit/

    @
    Trims untuk linknya, membawa butiran permata dalam kata. 😀

    Suka

  3. kurtubi said

    berarti takwa yang bersifat aktif dan iman yang bersifat pasif defensif jika dipadukan bisakah kemudian misalnya, melawan kesombongan tirani, nurani, dan nur’aini? 🙂 (yang terakhir canda)

    @
    Nur’aini mengajak kita merenungkan keduanya. 😀

    Suka

  4. Dimashusna said

    بسم الله الرحمن الرحيم
    Sempurnakah Pemahaman Anda Tentang Taqwa?!
    (Diambil dari buku Lentera Hati)
    Prof .Dr Quraish Shihab
    Dari segi bahasa kata taqwa berarti “memelihara” atau “menghindari”. Para ulama sering kali mendefinisikan Taqwa sebagai “Melaksanakan perintah ALLOH dan menjauhi laranganNYA.”. Sayang definisi ini jarang dijabarkan pengertiannya sehingga menimbulkan kedangkalan pemahaman dan kegersangan penghayatan agama.

    Mari kita pertanyakan : “Apa saja isi dan bentuk perintah ALLOH ?”

    Jika anda membaca AL-QUR’AN , anda pasti menemukan beragam gaya bahasa yg digunakan untuk maksud itu dan beragam pula mahluk yang diperintah dan masalah yang diperintahkanNYA. Ada perintah yg ditujukan kepada manusia dan ada pula yang ditujukan kepada binatang dan alam raya. Ada perintah yang berkaitan dgn Syari’at (agama) dan ada pula yang berkaitan dgn hukum-hukum alam dan hukum-hukum kemasyarakatan (Sunnatulloh) . Semuanya ini termasuk dalam jangkauan makna perintah ALLOH yang dikemukakan di atas.
    Bagi yang taat melaksanakan perintahNYA pastilah mendapat ganjaran, demikian pula sebaliknya. ALLOH Maha Adil, Dia tidak memilih tapi memilah. Dia tidak lalai atau tidur hanya seringkali menunda atau mengulur. Perintah yang berkaitan dgn Syari’at seperti Sholat, Puasa, Zakat ditunda ganjaran dan sanksinya sampai hari kemudian.

    Kalaupun sanksi dan ganjaran itu ada yang dapat dirasakan di dunia , itu sekedar panjar. Berbeda dgn Sunnatulloh, yg sanksi dan ganjarannya dirasakan dalam kehidupan dunia ini. Siapa yg giat bekerja , belajar akan kaya dan sukses dan itulah ganjaranNYA . siapa yang membiarkan diri terserang kuman atau menganggur tidak bekerja, pastilah menderita itulah siksaNYA.

    Bukankah hukum-hukum alam dan kemasyarakatan adalah ciptaaan dan ketentuan ALLOH juga dan penderitaaan yg dialami akibat melanggarnya adalah ketetapanNYA juga yg diberlakukan tanpa pilih kasih serta berdasarkan hukum-hukum itu ? tak perlu ragu lagi selama kita menyadari FirmanNYA ini :
    “ALLOH tidak menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri” (QS 3:117).

    Maka jangan heran dgn kemajuan yang diperoleh non-muslim , karena itu adalah hasil Taqwa mereka dalam bentuk Sunnatulloh, sedangkan kita (ISLAM) baru melaksanakan ½ Taqwa yang lain (SYARI’AT) yang berkaitan dgn urusan akhirat.

    “Mengapa rizki tak kunjung datang sedangkan sedangkan tahajjud dan i’tikaf telah melengkungkan punggung ?” Bukankah ini ganjarannya ada di akhirat nanti? Tidak pula wajar diragukan siksa Tuhan terhadap yang melanggar Syari’atnya, karena memang tidak di sini tempatnya mereka disiksa

    @
    Melengkapi, melengkapi, Mas Dimashusna mengajak kita memikirkan, merenungkan kembali. Trims pencerahannya.

    Suka

  5. muhammad ihsan tawakkal said

    benar mas…..kita semua mengaku beriman…tapi iman yang kaya apa ??????
    takwa secara harpiah adalah TAKUT….tapi disini mungkin yang dimaksud dengan takwa adalah : mengerjakan semua perintah ALLAH SWT dan menjauhi segala laranganNYA..iya to mas ????
    Kalau yang dimaksud adalah KESOMBONGAN….maka tak ada satupun boleh memakai “baju” itu, karena yang boleh SOMBONG hanya ALLAH SWT…wajar kalau DIA sombong kan ? Karena ALLAH SWT adalah Pencipta segala sesuatu dari TIADA menjadi ADA….DIA adalah Yang Maha Segala-galanya.
    Kalau kita ???? Dimana sih hak kita untuk mengklaim semua itu ??? Namun dasar kita saja yang SOMBONG, mengakui hak yang bukan milik kita….Diri ini berasal dari tidak ada, kemudian DIADAKAN….masih juga SOMBONG.
    Apabila kita tetap saja SOMBONG….apa bedanya dengan IBLIS yang mas sebutkan ????
    Ya ALLAH…beri kami taufik dan hidayahMU, agar kami tidak dihinggapi penyakit SOMBONG ini…amin yaa Rabb…kabulkanlah wahai ALLAH yang tidak pernah ingkar janji, yang mana Engkau telah berfirman melalui lisan RasulMU yang mulia Sayyidina Muhammad saw : Siapakah yang mau TOBAT ? Pasti AKU ampuni…siapa yang BERDO’A ? Pasti AKU kabulkan.

    @
    Amin, Ya Allah jadikanlah kami hamba-hambaMu yang menyeru dalam kebaikan, kesabaran dan saling tolong menolong. (QS 103. Al ´Ashr 3).

    Suka

  6. madsyair said

    Kalau begini bagaimana,pak.

    Muslim sudah, mu’min belum

    @
    Seorang yang berhasil mencapai tingkatan muslim, jelas seorang yang beruntung, sehingga orang kafir berkata :

    QS 15. Al Hijr 2. Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.

    Allah telah menamai yang dibawa Ibrahim sebagai muslim :

    QS 22. Al Hajj 78. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.

    Seorang muslim adalah seorang yang berserah diri (merujuk pada pada Nabi Ibrahim):

    QS 3. Ali ‘Imran 67. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.

    Allah membedakan antara orang muslim dan orang mukmin :

    QS 33. Al Ahzab 35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

    Ada keterangan “sesungguhnya”, menegasi posisi kedalaman (tingkatan) dari orang-orang beriman (mukmin) :

    QS 24. An Nuur 62. Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Ketika seorang menjadi mukmin maka pesan bagaimana mengambil sikap masih dinasehati :

    QS 3. Ali ‘Imran 28. Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).

    Dari ayat-ayat di atas, tampaknya level muslim lebih tinggi dari mukmin. Dalam surat Al Mu’min tampak firman Allah yang menegasi, bagaimana seorang muk’min bertindak :
    1. Haa Miim
    2. Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui,
    3. Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya. Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).

    Nah kalau begitu, mukmin masih membutuhkan peningkatan keteguhan (seperti banyak penjelesan tentang iman), sedang muslim tampaknya telah berada pada kualitas dan ketaatan yang lebih tinggi.

    Walahu’alam.

    Suka

  7. deking said

    mau nyumbang mesjid manggil kru TV,

    Hehehehe…eamang ada Pak?
    *kura2 dalam perahu*
    BTW…
    Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Al Baqoroh: 183)
    Dari ayat tsb kita tahu mana yang memilii derajat lebih tinggi antara iman dan takwa…
    beriman —> bertakwa

    @
    😀 menjadi semakin jelas tahapannya. Nggak usah nyari kemana-mana ya… 🙂

    Suka

  8. aricloud said

    @to madsyair
    “Muslim sudah, mu’min belum”

    Seseorang yang menyatakan dua kalimat syahadat, maka ia sudah disebut sebagai seorang “Muslim”, dan darahnya haram. Jadi kriteria Muslim asasnya adalah pernyataan/kesaksian dua kalimat syahadat.
    Seseorang yang telah menyatakan 2 kalimat syahadat kemudian diiringi dengan keyakinan dalam hati akan kebenaran 2 kalimat syahadat tersebut, dan meyakini rukun iman yang 6, maka ia disebut seorang “Mukmin”.
    Seseorang yang telah masuk kategori Mukmin, kemudian juga menjiwai imannya melalui perkataan dan perbuatan dengan melaksanakan rukun islam yang 5, juga berupaya maksimal mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangannya, maka ia disebut “Muttaqin”

    Wallahu’alam

    @
    Iya ya… muttaqin itu kan dipahami sebagai orang-orang bertakwa kan… berarti sebuah proses pada level “advanced”….

    Suka

  9. antobilang said

    Beriman Sudah Bertakwa Belum?

    makanya tiap khotbah jum’at selalu ada nasehat taqwa ya pak? ah tapi kebanyakan pada tidur tuh? hehe

    @
    Ya iyalah Mas Anto, karena mau datang ke Masjid sudah tentu harus beriman kan. :D, tapi soal tidur…. ini membuat agor juga jadi malu 😦

    Suka

  10. Aricloud said

    Ya, setidaknya itulah yang ana pahami.
    Jadi menurut ane tingkatan tertinggi adalah Muttaqin, namun muslim, mukmin dan muttaqin bukan dihubungkan dengan tingkatan mana yang lebih tinggi, namun lebih pada derajat pengokohan serta syarat.
    Jadi seorang muslim belum disebut mukmin jika belum menyempurnakan keimanannya (terutama pada rukun iman yang 6), dan seorang mukmin akan mencapai derajat muttaqin jika ia bertakwa.

    “Wahai orang-orang yang beriman! kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertaqwa…”(Al-Baqarah, 183)

    “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam” (Al-Imran, 102)

    “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa”
    Ini berarti bahwa keimanan harus mendahului ketakwaan, karena aktivitas ketaqwaan tidak berarti tanpa pondasi keimanan (seperti buih yang sirna)

    “jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam”
    Ini karena Islam adalah asas keimanan dan ketakwaan, sehingga tanpa mempersaksikan 2 kalimat syahadat, maka seseorang belum disebut sebagai Muslim. Jika seseorang belum disebut/menjadi muslim, maka mustahil disebut Mukmin, apalagi Muttaqin.

    Jadi saya kurang setuju dengan mas argo (afwan ya mas) kalo dibilang :
    “tampaknya level muslim lebih tinggi dari mukmin”
    “muslim tampaknya telah berada pada kualitas dan ketaatan yang lebih tinggi”

    Karena seorang mukmin insya Allah juga seorang Muslim, namun seorang Muslim, belum tentu seorang Mukmin.

    Contohnya :
    Ada orang yang percaya bahwa Allah swt adalah Tuhannya dan Muhammad saw adalah nabinya, serta mengucap 2 kalimat syahadat. Dia disebut seorang Muslim. Namun ternyata dia kurang memahami makna keimanan, misalnya terutama pada keimanan pada Al Quran.
    Orang ini mengatakan bahwa Al Quran itu bukan kitab yang paling benar, atau meragukan keaslian Al Quran, atau menyebut Al Quran Porno, atau memilih ayat yang satu namun membuang ayat yang lain sesuai hawa nafsunya dalam menetapkan hukum Islam.

    Nah menurut saya orang ini masih disebut Muslim dan darahnya haram ditumpahkan, namun ia belum disebut Mukmin.

    Wallahu ‘Alam

    @
    Sip Mas Ari, lebih clear tampaknya. Saya gunakan kata level, tampaknya kata “derajat” lebih cocok. Kadang saya juga tertukar-tukar atau “berselisih” apakah “derajat” atau “tingkatan”. Saya sependapat penuh lho dengan kata Mas :”Jadi menurut ane tingkatan tertinggi adalah Muttaqin…

    Karena seorang mukmin insya Allah juga seorang Muslim, namun seorang Muslim, belum tentu seorang Mukmin. –> agor merujuk pada ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Muslim, seperti komen saya sebelumnya. Syahadat pertama, sudah jelas kiranya; syahadat kedua agor kira belum merujuk untuk ayat yang menjelaskan bahwa pada masa yang mundur sebelum kehadiran Nabi Muhammad.

    Maaf juga kalau keliru, saling meluruskan ya Mas Ari. Wallahu’alam.

    Suka

  11. madsyair said

    Kalau yang ini pak?
    Mukmin sudah, muhsin belum.

    @
    Muhsin dinyatakan antara lain dalam surat QS 4 An Nisa 125 :
    Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.

    Kata orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah (muhsin) disebutkan pada ayat ini yang langsung diterjemahkan sebagai orang ikhlas berserah diri. Dijelaskan lebih lanjut ia pun mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus.

    Muhsin adalah posisi yang luar biasa ya… lihatlah : Nabi Ibrahim menjadi kesayanganNya.

    Suka

  12. Ada sebuah riwayat kurang lebih demikian ( mohon maaf saya bukan penghapal hadist nih..:)jadi mohon di cek dalam kitab2 hadist )Rasulullah pernah didatangi seorang badwi,badwi itu berkata :”ya Rasulullah, saya sudah beriman”. Jawab Rasulullah ” katakan saja bahwa kamu sudah Islam”
    Berbicara tentang Islam itu mudah, cukup dengan mengucap 5 kalimah syahadat, maka seseorang sudah tidak boleh kita dakwa sebagai kafir. Tetapi berbicara tentang Iman sungguh sulit, apalagi berbicara tentang Taqwa.
    Dalam Al Qur’an ( tolong dicek surat apa yah..? )ada sebuah surat yang menyebutkan ciri2 orang beriman diantaranya yang besar adalah :
    1. Jika disebut saja nama Allah maka bergetarlah hati mereka.
    2. Mereka khusuk dalam Shalat
    3. Dll.
    Coba kita tilik kedalam diri kita, apakah betul beriman itu mudah?
    Iman memiliki peringkat2, minimal ada 5 peringkat :
    1.Iman Taklid ( Iman ikut2an, misalnya orang tua kita Islam kita juga Islam, orang bilang Allah itu ada kita juga mengiyakan tanpa ada argument minimal secara ilmu ). Iman taklid ini belum dianggap sebagai Iman yang haq.
    2. Iman Ilmu, iman berdasarkan Ilmu. Kita belajar rukun iman, kita percaya semua itu. Tapi Ilmu ini adalah sebatas di akal atau pengetahuan. Kita percaya dan tahu bahwa Allah Maha Melihat, tetapi kenapa kita masih sering lirak-lirik ( maaf ya..:) ), orang masih suka menngambil hak orang. Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah Maha Melihat?jawabannya, mereka percaya dan tahu, tetapi tidak terasa sampai dihayati dan dirasakan dalam hati, sampai datang rasa takut kepada Allah. Ini ciri Iman peringkat Ilmu. Iman seperti ini belum tahan uji.
    3. Iman Ayan. Inilah iman penghayatan, hati yang memiliki iman seperti ini adalah hati orang2 soleh. inilah yang disebut oleh Allah ” wahai jiwa-jiwa yang tenang..”. Hati yang memiliki Iman Ayan 24 jam hidup mereka tidak pernah lekang dari mengingati Allah. Inilah taraf atau peringkat iman yang sudah benar, yang dicirikan dengan dua ciri dalam ayat diatas.Iman ini adalah dari hasil mengamalkan dan menghayati Ilmu dengan proses mujahadah yang sungguh2sampai datang rasa cinta dan takut kepada Allah yang begitu mendalam
    4. Iman Haq. Ini sudah tinggi, taraf Iman Para Sahabat, Wali2 Allah, Para Mujaddid, dan Orang bertaqwa. Iman Haq inilah Iman yang dimiliki orang-orang taraf bertaqwa. Ibaratnya mereka “mabuk” dengan Allah.Shalat mereka luar biasa khusuknya.
    5.Iman hakikat. yaitu iman yang dimiliki para Nabi dan Rasul. Mereka ini jasadnya manusia tetapi hatinya hati malaikat. jasadnya bersama manusia tetapi hatinya bersama Allah sepanjang masa.
    Jadi, dimana diri kita?dari 2 ciri yang Allah sebutkan diatas kita bisa bertanya pada hati kita..
    1, Manakah yang lebih menggetarkan hati kita, ketika diseru nama Allah ataukah ketika disebut nama kekasih kita, atau ditawari proyek milyaran, dsb.
    2, Ketika kita Shalat, berapa persen hati kita tertumpu pada Allah atau minimal kita hayati bacaan Shalat kita? Atau malah Al fatihah saja kita tidak tahu artinya? Atau dalam shalat kita ingat hutang kita, dompet kita yang hilang, ingat artis sinetron, ingat cokelat di kulkas,dsb..?
    Baru 2 Ciri tersebut saja saya rasa saya masih jauh, apalagi untuk mencapai derajat Taqwa…mari kita sama2 meningkatkan iman kita.
    semoga bermanfaat.Mohon Ampun Maaf jika ada yang tidak berkenan 🙂
    wassalam
    -zayd-

    @
    Wass. Wr. Wb.
    Terimakasih untuk catatan leveling dari Iman. Semoga bermanfaat bagi saya dan kita semua dalam kerangka pada derajat “impian” kita. Amin.

    Suka

  13. aricloud said

    Ya..membaca ulasan leveling iman dari aboutmiracle, rasanya saya merasa sangat jauh..dari derajat yang seharusnya kita kejar sebagai seorang Muslim.
    Syukron bro

    @
    Ya, Mas Ari. Itu betul. Kadang saya juga merasa tutup saja deh Sains-Inreligion ini. Menuliskan tentang kebaikan, mengajak pada renungan-renungan sederhana, sedang diri ini masih berselimut kehidupan munafik, masih sibuk memilih cat pintu mana yang paling bagus, motor mana yang paling bersih, mobil mana yang terbaru, masih sedikit tergerak melihat kemiskinan, masih marah karena diketuk-ketuk pintu mobil oleh pengemis, lebih banyak bekerja ke dunia dari pada memperhatikan perjalanan berikutnya. Sangat jauh sekali. Betapa tak mudahnya menata. Betul kata Wak Somad, kunjungi lebih sering majelis taklim, bertemu orang shaleh, kalau memang sadar tujuan akhir kehidupan ….

    Suka

  14. Bismillah
    benar sekali, setiap kali saya baca ulang tentang leveling iman ini tiap kali itu juga datang ketakutan pada hati saya.Sebab yang namanya mati kita tidak tahu kapan akan datang, sementara dari segi ilmu saja ( untuk mencukupkan syarat mendapat level iman ilmu ) kita masih jauh. Rukun iman yang 6 point itu kadang kita susah untuk menghayati. Terkadang yang simple pun kita tidak tahu. Misalnya, bagaimanakah sifat fathonah dari Rasulullah itu?apa bukti bahwa Allah itu ada,dsb.Itu baru secara ilmu belum kepada penghayatan. Rasanya jika bukan karena Kasih Sayang atau Rahmat dari Allah kita tidak mungkain selamat.
    Tetapi yang sering membuat hati saya terharu adalah firman Allah yang maknanya bahwa “seorang hamba Allah itu masuk syurga bukan karena ibadahnya, tetapi karena Rahmat dari Tuhan, dan seorang hamba masuk neraka karena keadilan Tuhan” ( mohon dicek ya, saya bukan penghafal matan yang baik nih..maaf). Artinya marilah kita memburu Rahmat Allah ini, kita menjalin silaturahim seperti ini Allah sangat menyukainya, inilah yang mendatangkan Rahmat Tuhan, kita saling mengingatkan itu juga mendatangkan Rahmat Tuhan, kita menghormati tamu itupun mendatangkan Rahmat Tuhan, kita memaafkan orang yang bersalah itu juga dapat Rahmat Tuhan, kita berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita ini juga Rahmat Tuhan.Ibadah kita jangan semata2 untuk mendapat Syurga atau pahala tetapi yang lebih besar lagi adalah untuk mendapat Rahmat Allah, Barangsiapa mendapatkannya maka dia seolah2 mendapat segala2nya
    Sebab kalo kita mengandalkan ibadah kita rasanya sangat jauh sekali.Dulu para sahabat yang dikatakan Rasulullah bahwa mereka dijamin masuk syurga, itupun mereka minimal shalat sunat 100 rakaat tiap hari.Rasulullah yang dijamin tidak berdosa sering shalat malam sampai bengkak2 kaki beliau. Bagaimana dengan kita?Jangankan 100 rakaat, 2 rakaat shalat tahajud saja kita rasakan seolah selimut kita lebih berat dari pada menjalani hidup seharian.Itu belum bagaimana penghayatan atau kekhusukan shalat kita..huufff rasanya masih jauh.Dan Allah berfirman yang maknanya ” Allah sangat benci kepada orang yang putus asa dari Rahmat Allah, sebab Rahmat Allah ini Maha Luas, keampunan Allah lebih besar dari kemarahanNya”.
    Saya harap hal2 seperti ini dapat menguatkan hati kita lagi, sebab kita tidak mampu sendiri, hati kita perlu dipimpin, istilahnya sih perlu berjamaah…dulu para sahabat bisa begitu bertaqwa karena ada Rasulullah yang merupakan “mursyid” bagi para sahabat.
    oya, tentang leveling iman ini saya menyunting buku “iman dan persoalannya ” karya besar Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi. Seorang Syeikh Tarekat Aurad Muhammadiyyah yang tinggal di Malaysia. Beliau salah satu ulama besar yang menjadi tempat rujukan, saya kagum dengan ilmu beliau yang luas tapi renyah untuk dikonsumsi. Bagi teman2 yang berminat saya ada file .pdf buku tersebut boleh teman2 miliki, sebab rasanya berdosa jika mutiara ilmu Islam ini kita sembunyikan…:):)
    ampun maaf sebelumnya kepada empunya blog ini udah “ngercokin” hehehe…semoga bermanfaat buat kita semua.amin
    wassalam
    -zayd-
    @
    Mas Zayd yang dirahmati Allah, senang agor mendapatkan komentar-komentar yang menurut agor memberikan banyak warna dan tambahan ilmu. Lebih tajam dan dalam dari postingan blog ini. Membuat agor bisa “riya” dan bertemu dengan pemikir-pemikir sederhana dan dalam yang meniti dalam kerangka acuan yang “relatif” sama. Kadang saya menjadi sangat malu pada isi blog ini dan asumsi yang dibangun pembacanya. Namun, saya niati memang blog ini untuk berbagi dan berupaya menjadikan sedekah dan berbagi sedekah pada yang mau meluangkan waktu berkunjung ke blog inil. About miracle juga menjadi lembaran-lembaran yang indah bagi cahaya Illahi. Semoga rahmat dan ampunanNya ya kita dapatkan pada masanya. Wass, agor.

    Suka

  15. Dimas said

    Salam’alaikum mas Agor
    Sebenarnya dari dulu pengen komen untuk topik ini tapi belum mendapat kata-kata yang tepat sampai pada akhirnya kemarin setelah membaca buku Moshkel Gosha karya Llewllyn Lee baru aku ngerti mengenai kesombongan. Sebelumnya aku minta maaf karena hanya bisa berbagi ide tentang kesombongan.
    Kesombongan yang saya bahas disini adalah kesombongan yang timbul dalam beragama. Memang jujur aku sadari bahwa sombong sangat sulit untuk diditeksi dan sombong ibarat seorang pencuri yang masuk tanpa izin kedalam hati kita dan merusak apa-apa yang ada didalamnya. Ia bisa merusak ibadah kita, merusak iman kita bahkan yang paling berbahaya ia menebalkan hijab kita terhadap Allah.
    Llewllyn mengatakan sombong ini sebagai “inflasi spiritual”. Suatu keadaan dimana kita merasa bahwa ilmu-ilmu yang kita dapatkan adalah milik kita, akhirnya ilmu-ilmu agama itu membuat kita sombong.
    Seseorang yang sombong akan ilmu-nya bisa diibaratkan seperti sebuah lampu pijar yang berkata “akulah yang menghasilkan cahaya ini”. Padahal lampu pijar tidak akan menghasilkan cahaya tanpa adanya arus listrik. Begitu juga yang terjadi pada diri kita. Jika kita mendapatkan ilmu pengetahuan agama, ilmu ini bersumber dari Allah sebagaimana diri kita adalah lampunya dan Allah adalah listriknya, dan cahayanya adalah ilmu yang penuh kearifan dan kebajikan yang penuh dengan hikmah dan manfaat
    Sebagaimana cahaya lampu yang memberi manfaat untuk menerangi orang lain, semoga ilmu yang kita peroleh dapat menerangi diri kita dan kehidupan orang lain. Insyaallah. Amin Ya Rabbal Alamin.

    @
    Mas Dimas… Wass. Wr. Wb… inflasi spiritual… menarik sekali istilah ini. Rasanya seperti disiram ide baru. Di kejap lain saya ingin mengurai atau berpersepsi mengenai hal ini. Terimakasih berat komentarnya. Ini catatan yang betul-betul mencerahkan. Trims.

    Suka

Tinggalkan komentar