Sains-Inreligion

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Menulis Buku dan Menulis di Media Massa/Blog -2

Posted by agorsiloku pada Februari 19, 2007

Menurut saya, menulis buku jauh lebih tidak sederhana dari pada menulis artikel. Untuk membuat buku, jelas diperlukan lebih bannyak sarana dan kapasitas. Referensi yang seabreg, sistematika tulisan yang terarah dan persiapan lainnya.

Sebelum mengurai lebih banyak tentang menulis buku (meski nggak pernah menulis buku, kecuali tesis atau beberapa buku diktat pelajaran – waktu masih jadi “guru”. Istilahnya diktator – jual diktat beli motor), saya ingin jelaskan dulu tentang “pikiran-pikiran penerbit”. Pelabuhan tempat penulis lempar jangkar dan kemudian diolah kembali menjadi buku yang dinikmati masyarakat.

Jangan lupakan, menurut pengamatan agor, 70% naskah yang masuk dari penulis tidak layak terbit. Editorlah (yang memeriksa dan menyempurnakan naskah sehingga layak terbit) menjadikan sebuah buku layak jual. Editor berpikir bagaimana sebuah buku lahir dengan menarik dan mudah dibaca. ada cerita dari buku Stephen, Riwayat Sang Kala (The Brief History of Time). Setiap rumus yang ditulis oleh Stephen, akan mengurangi sekian ribu eksemplar penjualannya. Jadi, editornya bekerja keras bagaimana buku menjadi sederhana sampai Stephen, sang jawara fisika ini juga sempat frustasi karenanya.


Pertimbangan Komersial Penerbit.

Namanya juga penerbit, tentu saja aspek komersial dipertimbangkan. Penerbit juga spesifik, seperti industri lainnya. Kalau jago di penerbitan agama, berbeda dengan jago di penerbitan buku umum, novel atau sejenisnya atau penerbit buku komik atau komputer. Jadi, jangan tawarkan naskah ke penerbit yang tidak menguasai bidang lainnya. Tanya kiri-kanan dulu deh, dari pada nanti naskah kita dicuekin. Kehati-hatian ini perlu karena naskah yang bagus dikirimkan ke penerbit yang salah, tentu sia-sia dan bikin frustasi. Jadi, kalau sudah punya naskah, temui dulu editornya atau direkturnya atau manajer pemasarannya, apakah mau menerbitkan naskah ini atau itu. Kalau tidak bisa menemui, pelajarilah dulu karakter penerbit itu. Jadi kita bisa tahu, apakah penawaran kita diterima atau ditolak. Jadi, jangan hanya berpikir bahwa naskah saya buruk lalu ditolak, bisa jadi penerbitnya yang buruk maka buku yang baik ditolak. Saling silang begini cukup banyak terjadi di dunia penerbitan. Kalau semua itu sulit dilakukan karena waktu dan jarak. Paling minimum, datanglah ke toko buku, lalu cari buku yang sudah diterbitkan dan katalog bukunya. Ini akan sangat membantu, sebelum keputusan untuk menawarkan naskah dilakuan.


Siapa Penerbit Jago di Indonesia.

Kita tentu menengok penerbit besar seperti Gramedia Pustaka Utama, Penerbit Erlangga, Mizan, Elex Media Kompetindo, Dian Ilmu, Bulan Bintang (sudah almarhum), Balai Pustaka (BUMN), Andi Offset, dan banyak lagi. Penerbit seperti Gramedia atau Elex Media Komputindo (tapi beken dengan komiknya), tampaknya sangat rajin membeli hak cipta dari luar negeri. Biasanya mereka berburu naskah dalam acara-acara akbar dunia, antara lain Buch Messe di Frankurt tiap Oktober. Di situ bertemu antara penjual hak cipta dan pembeli dari mancanegara. Masih ada acara serupa baik di Inggris, Amerika, Jepang, ataupun Mesir. Namun yang paling gebyar katanya sih di Frankurt Jerman itu.

Beda antara pameran buku di Indonesia dengan di luar negeri. Kalau di sono.., mereka jual hak cipta penerbitan, bukan jual buku. Kalau Ikapi daerah atau pusat di sini, sama jual buku saja. Belum ada transaksi yang sifatnya pelebaran distribusi produk dalam atau luar negeri.

Namun, di samping mempertimbangkan oleh siapa buku diterbitkan, pertimbangkan kemudahan dan sifat dari buku yang akan terbit. (Tentang hal ini, nanti dibahas di bagian lain, agor)

Saya tidak hafal siapa yang jago dan siapa yang kere. Namun, dalam 2 – 3 tahun terakhir ini, ada gejala menggembirakan di bidang penerbitan. Semakin maju dan berwarna. Mudah-mudahan ini menunjukkan adanya peningkatan minat baca. Teknologi komputer yang kian berkembang juga memungkinkan semakin mudahnya menerbitkan buku. Teknologi saat ini memungkinkan satu komputer menghasilkan sebuah buku dengan biaya 10 kali lebih murah dari pada yang dikerjakan 10 tahun yang lalu.

Tantangan menerbitkan sendiri tentu saja lebih tinggi, masalah modal modal dan distribusi adalah hal yang musti dipikirkan benar.

Jumlah penerbit anggota Ikapi ada 642 anggota. Dilihat dari jumlah anggotanya lumayan, tapi yang aktif (benar-benar terjadwal penerbitannya, minimum 10-20 buku setahun) mungkin kurang dari 30%nya. Tidak sedikit penerbit yang muncul hanya untuk mengejar proyek-proyek pemerintah.

Tapi, kalau kita yakin dengan diri kita dan punya materi yang bagus, kenapa tidak terbit dan jual sendiri (tentu saja bekerja sama dengan jaringan distribusi toko buku atau pun grossir-grossir). Apa yang disebut bagus!, Naskah seperti apa yang disebut bagus?, dijelaskan di tulisan lain berikutnya.

(Bersambung)

6 Tanggapan to “Menulis Buku dan Menulis di Media Massa/Blog -2”

  1. Ok lanjut dulu mas… ini bisa jadi buku juga 🙂

    @
    trims apresiasinya, jadi semangat nih nulis pengamatan tetangga. 🙂

    Suka

  2. Pak Agor, kalau penerbit buku2 text book siapa? Aku ada rencana nulis text book dengan profesorku, apa sebaiknya diterbitkan sendiri dan di pasarkan sendiri? terimakasih ya pak info-nya.

    @
    Kalau diterbitkan sendiri, membatasi diri dan sebaran amal ilmunya berkurang lho. Kebutuhan buku ajar, sebagaimana usaha yang lain, selalu membutuhkan perluasan. Dan ini selalu ada pihak ketiga yang ikut terlibat. Tapi, kalau sudah punya penerbitan sendiri atau mau usaha di bidang ini, mengapa tidak!.
    Penerbit buku kedokteran yang punya jaringan luas di Indonesia antara lain “CV EGC Penerbit Buku Kedokteran”. Penerbit ini spesialis di buku-buku kedokteran, Penerbit Jambatan Jl. Paseban 29, Jakarta 10440 juga menerbitkan buku kedokteran. Kalau nggak salah PT Gramedia, PT Erlangga juga menerbitkan buku-buku kedokteran. Dua yang terakhir, termasuk yang rajin berburu naskah.

    Suka

  3. Jangan lupa Om, masih ada penerbitan indie, yang bukan anggota IKAPI. Menerbitkan buku yang berada di luar jalur mainstream.
    Kebanyakan ada di Jogja dan di Bandung. Hehehe.

    BTW, materi tesisnya sudah dipublikasi ke publik?

    @
    Setuju, dengan berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi peluang hal-hal baru (seperti penerbitan indie), membangun jaringan sendiri dan jual sendiri lebih terbuka. Dalam industri hal seperti ini bukanlah hal baru, sangat dimungkinkan, dan mengurangi ongkos lain yang membuat harga buku lebih mahal. Skala penerbitan indie masih kecil. Dari dulu pun ada, bukan hanya komik, buku ajar pun demikian. Menggunakan jaringan pertemanan, per”guru”an seperti PKG, MGMP, bergabung dalam satu yayasan dengan komunitas captive market yang besar memungkinkan skala-skala penerbitan hidup dan tumbuh dalam komunal terbatas. Ikapi hanya satu organisasi Penerbit, tapi bukan kartel, aktivitasnya juga sangat minimal (jangan marah ya Pengurus Ikapi) dan antara Ikapi Pusat dan Daerah pun hubungannya relatif “seadanya”, tradisional dan nyaris tanpa konsep (kayak tahu aja… menebak-nebak). Namun, secara umum, sifat industri bergerak dari hulu ke hilir. Di hulu berpijak modal besar dan pengelolaan sumber daya alam, di hilir makin melibatkan percikan dan racikan dengan variasi tinggi. Tautan antaranya selalu dibutuhkan. Mengapa, karena kalau kita mau beli rokok atau kue, bisa sendiri, bisa menyuruh pembantu, bisa juga menyuruh dengan telepon saja. Pembantu dan telepon adalah perluasan dari pemanfaatan suatu jaringan, dimana setiap kegiatan pada dasarnya melahirkan peluang-peluang baru. Begitu juga pada industri buku, pada waktunya akan dibutuhkan ke muara yang sama. Penerbitan indie, dapat saya identikan dengan jamu gendongan. Ada ceruk pasar yang tak pernah bisa “dibunuh” oleh raksasa jamu sebesar apapun. Jadi pilihan bisinisnya adalah dimanfaatkan. Jadi pertumbuhan skala-skala hilir adalah partner nyata dari industri-industri besar. Termasuk CD dan kertas.

    Yogya dan Bandung memang istimewa. Kota pelajar keduanya, Yogya seninya lebih terpelihara, komikus dan gambar-gambar cantik lebih mudah ditemui. Ketika penerbit bulan bintang dibeli (lupa oleh siapa, Mizan ngkali), para editornya menerbitkan buku sendiri, menjual sendiri, datang sendiri ke toko-toko buku. Dalam arena pasar, ia melihat ceruk pasar dan punya pengalaman untuk menerobosnya. Betul-betul skala rumahan.

    BTW, materi tesisnya sudah dipublikasi ke publik?

    Blog kan publik.
    Salam, agor.

    Suka

  4. Zen said

    salam kenal
    @
    Salam kenal kembali, mengunjungi site pembelajaran dan ilmu komputer.. sungguh menarik.

    Suka

  5. […] (bersambung) […]

    Suka

  6. Opik said

    Apa komentar anda tentang novel?
    Terima kasih.
    ******

    @
    Novel atau cerita dibukukan dan sikap penerbit terhadap novel tidak saya ketahui cukup banyak. Juga saya merasa tidak mengamati secara baik, bagaimana sikap dan kehidupan novelis terhadap penerbit. Saya pernah berdikusi dengan editor novel (Superman 1 dan 2), tapi tidak begitu saya seriusi waktu itu. Novel menurut saya jelas dituntut kemampuan untuk melihat masyarakat dan selera masyarakat.

    Pada beberapa kasus, novel sangat dipengaruhi juga oleh nama penulis dan kepiawaian penerbit dalam menangkap selera. Kepercayaan pembaca pada penerbit novel (seperti Gramedia Pustaka Utama) ikut menentukan sukses tidaknya sebuah novel. Barangkali begitu. Menerbitkan sendiri novel, boleh jadi adalah usaha bunuh diri. Karena faktor distribusi dan promosi dalam produk membutuhkan perhatian seksama. jadi berbeda dengan buku ilmu pengetahuan atau buku kitab wahyu. Umur novel juga dipengaruhi oleh trend dan popularitas temporer. Jadi timing marketing memegang peranan penting… Mungkin begitu.

    Suka

Tinggalkan komentar